Pengaruh Pemberian Timbal Asetat Dan Vitamin C Terhadap Kadar Molondialdehyde Dan Kualitas Spewrmatozoa Di Dalam Sekresi Epididimis Mencit Albino (Mus musculus L) Strain BalB/C

(1)

PENGARUH PEMBERIAN TIMBAL ASETAT DAN

VITAMIN C TERHADAP KADAR MALONDIALDEHYDE DAN

KUALITAS SPERMATOZOA DI DALAM SEKRESI EPIDIDIMIS

MENCIT ALBINO (

Mus musculus

L)

STRAIN BALB/C

TESIS

Oleh

T.M. FAUZI

057008005/BM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

PENGARUH PEMBERIAN TIMBAL ASETAT DAN

VITAMIN C TERHADAP KADAR MALONDIALDEHYDE DAN

KUALITAS SPERMATOZOA DI DALAM SEKRESI EPIDIDIMIS

MENCIT ALBINO (

Mus musculus

L)

STRAIN BALB/C

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan

dalam Program Studi Biomedik

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

T.M. FAUZI

057008005/BM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(3)

Judul Tesis : PENGARUH PEMBERIAN TIMBAL ASETAT DAN VITAMIN C TERHADAP KADAR

MALONDIALDEHYDE DAN KUALITAS

SPERMATOZOA DI DALAM SEKRESI EPIDIDIMIS

MENCIT ALBINO (Mus musculus L)

STRAIN BALB/C

Nama Mahasiswa : T.M. Fauzi Nomor Pokok : 057008005 Program Studi : Biomedik

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(dr.Yahwardiah Siregar, PhD) (Dr. Ramlan Silaban, MSi)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,


(4)

Tanggal lulus : 22 Agustus 2008 Telah diuji pada

Tanggal : 22 Agustus 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : dr.Yahwardiah Siregar, PhD Anggota : 1. Dr. Ramlan Silaban, MSi

2. dr. Datten Bangun, MSc, SpFK 3. Dr. Dwi Suryanto, MSc


(5)

ABSTRAK

Masalah polusi logam berat termasuk salah satunya timbal merupakan masalah yang serius di negara-negara maju maupun berkembang seperti Indonesia. Timbal dapat terkontaminasi terutama pada manusia, dan hewan melalui udara, air, dan tanah. Polusi timbal terutama berasal dari gas buang kendaraan bermotor dan cemaran limbah industri baterai aki. Sifatnya yang terakumulasi di dalam jaringan tubuh berdampak terhadap kerusakan struktur lipid membran sel, ditandai dengan meningkatnya kadar malondialdehyde (MDA) sebagai salah satu produk dari peroksidasi lipid.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemaparan timbal asetat dan vitamin C yang diberikan bersamaan secara oral selama 36 hari terhadap kadar malondialdehyde dan kualitas spermatozoa di dalam sekresi cauda epididimis mencit.

Penelitian ini dilakukan secara eksperimental, 36 ekor mencit (Mus musculus L) albino jantan Strain Balb/c dibagi menjadi 6 kelompok perlakuan yang masing-masing terdiri dari 6 ekor. Hasil penelitian menunjukkan terjadi peningkatan kadar MDA bermakna (p<0,05) pada kelompok perlakuan timbal asetat 0,1 % w/v, dan timbal asetat 0,3 % w/v dibandingkan dengan kelompok perlakuan aquadest/kontrol.

Penambahan vitamin C dengan dosis 0,2 mg/g BB pada mencit yang dipapar timbal asetat 0,1% w/v dapat menurunkan kadar malondialdehyde secera bermakna (p<0.05) dibandingkan dengan kelompok yang diberikan tanpa penambahan vitamin C. Pemberian vitamin C dosis 0,2 mg/g BB kurang bekerja efektif menurunkan kadar malondialdehyde (p>0,05) jika diberikan pada kelompok mencit yang dipapar timbal asetat 0,3 % w/v dibandingkan dengan kelompok tanpa penambahan vitamin C. Pemberian vitamin C saja tidak berpengaruh bermakna (p>0.05) terhadap kadar malondialdehyde dibandingkan dengan kelompok perlakuan aquadest/kontrol.

Pemberian timbal asetat 0,1 % w/v atau 0,3 % w/v pada mencit dapat mempengaruhi penurunan jumlah, motilitas, kecepatan gerak, dan persentase morfologi normal spermatozoa secara bermakna (p<0,05) bila dibandingkan dengan kelompok perlakuan aquadest/kontrol. Penambahan vitamin C 0,2 mg/g BB dapat meningkatkan motilitas, dan kecepatan gerak secara bermakna (p<0,05) pada hewan uji yang dipapar timbal asetat 0,1 % w/v dibandingkan dengan kelompok hewan uji tanpa penambahan vitamin C. Hasil lainnya menunjukkan pemberian vitamin C saja pada hewan uji ternyata tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap penurunan kualitas spermatozoa.

Kata kunci : timbal asetat, vitamin C, malondialdehyde, peroksidasi lipid, spermatozoa.


(6)

ABSTRACT

Heavy metal pollution is a problem and lead pollution in particular represents a serious problem in develop nations and also developing nations like Indonesia. Lead contamination especially in humans, and animals occurs by polluted air, water, and land. Lead pollution is especially heavy in motor vehicle exhaoust and certain industries, as well as a consequence of inadequate disposal of lead batteries. Lead can accumulate in body tissues and damage the structure of lipid cell membranes. This damage can be measured by the rate of formation of malondialdehyde (MDA), a product of lipid peroxidation.

The goal of this research was to know the influence of lead acetate exposure and vitamin C on the rate of MDA formation and the quality of spermatozoa in mice, as measured in secretions from the caudal epididymis. This experimental research was conducted using 36 male mice ( Mus musculus L) albino Strain Balb/c that were into six treatment groups each consisting of six mice. The lead acetate and vitamin C were administered orally over 36 days.

The results of this research showed a significant increase (p<0,05) in MDA levels in groups treated with lead acetate at 0,1% w/v, and 0,3% w/v compared to the aquadest/control group. Addition of vitamin C at a dose of 0,2 mg/g body weight in mice exposed to lead acetate at 0,1%.w/v significantly reduced MDA levels (p<0,05) compared to the lead exposed not treated with vitamin C.

Vitamin C dose 0,2 mg/g body weight was less effective MDA levels in the group exposed to lead acetate at 0,3% w/v. there was no significant difference between this group an the lead exposed group not treated with vitamin C. Administration of vitamin C does not have a significant effect (p>0,05) on MDA levels compared to the aquades/control group.

Administration of lead acetate at 0,1% w/v or 0,3% w/v in mice significantly influenced the amount, motility, speed, and percentage of morphologically normal spermatozoa in negative ways compared to the aquadest/ control group.Addition of vitamin C at 0,2 mg/g body weight in mice which were exposed to lead acetate at 0,1 % w/v significantly improved the motiliy, and speed of spermatozoa (p<0,05) compared to the lead exposed group not treated with vitamin C. other results showed administration of vitamin C only did not have a significant effect (p<0,05) on the quality of the spermatozoa.


(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul, ”Pengaruh Pemberian Timbal Asetat dan Vitamin C Terhadap Kadar Malondialdehyde dan Kualitas Spermatozoa di Dalam Sekresi Epididimis Mencit Albino (Mus Musculus L) Strain Balb/C ”.

Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dilaksanakan penulis dalam rangka memenuhi persyaratan untuk meraih gelar Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Dengan selesainya tesis ini, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), dan seluruh jajarannya yang telah memberi kesempatan pada penulis untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana USU Medan.

dr. Yahwardiah Siregar, PhD, (Ketua Komisi Pembimbing), dan Dr. Ramlan Silaban, MSc (Anggota Komisi Pembimbing) atas perhatian, dorongan semangat, bimbingan dan kesabaran telah mengorbankan waktu mulai dari persiapan penelitian sampai penyelesaian tesis ini.


(8)

dr. Datten Bangun, MSc, SpFK (Komisi Pembanding), dan Dr. Dwi Suryanto, MSc (Komisi Pembanding) atas perhatian dan saran yang bermanfaat bagi penulis untuk kesempurnan penyusunan tesis ini.

Direktur Sekolah Pascasarjana USU Medan, Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, dan Ketua Program Studi Magister Biomedik dr. Yahwardiah Siregar, PhD, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program Magister Biomedik di Sekolah Pasacasarjana USU Medan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua dosen yang telah membimbing penulis selama mengikuti pendidikan magister ini.

Persembahan terima kasih tulus, rasa hormat dan sembah sujud kepada ayahanda dan ibunda tercinta ( dr. H. Kamajaya, MSc, SpAnd dan Hj. Esther Novika ) yang telah membesarkan dengan susah payah dengan penuh kasih sayang dan atas dukungan serta semangat mereka inilah Penulis dapat menjalani pendidikan hingga pascasarjana. Semoga Allah SWT mengampuni dan selalu merahmati kedua ayahanda dan ibunda Penulis. Buat adinda T.M. Fajar, ST, T. Larry Arthit, dan T.M. Reza Syahputra yang Penulis kasihi.

Terima kasih juga Penulis sampaikan kepada teman-teman : dr. T. Helvi Mardiani, Suharsih, SSi, Emni Purwonigsih, SSi, dan dr. Dwi Rita Anggraini, MKes, atas dorongan semangat sehingga tesis ini dapat selesai.


(9)

Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih perlu mendapat perbaikan dan saran dari semua pihak untuk kesempurnaan tulisan ini. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita semua. Amin. Terima Kasih.

Medan, 20 Agustus 2008 Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

1. Nama : Tengku Muhammad Fauzi 2. Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 29 September 1979

3. Agama : Islam

4. Status : Belum Menikah

5. Alamat : Jl. Tridharma No. 24 Medan 6. Telp/HP : 061-8214687/08566236600 7. Pendidikan

SD Kemala Bhayangkari Medan : 1986-1992 SMP Negeri 2 Medan : 1992-1996 SMU Dharma Pancasila Medan : 1996-1999 Sarjana (S1) Biologi FMIPA USU : 1999-2005 Sekolah Pascasarjana, Program Biomedik USU : 2005-2008 8. Riwayat Pekerjaan

Asisten Dosen Biologi di Fak.Kedokteran USU : 2001-2005 Asisten Dosen Biologi di Fak.Kedokteran UMI : 2002-sekarang Staf Pengajar di AKPER YBS Medan : 2006-sekarang


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Hipotesis... 6

1.5. Manfaat Penelitian ... 6

1.6. Kerangka Teori... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA... 9

2.1. Timbal ... 9

2.1.1. Sifat fisika dan kimia timbal ... 9

2.1.2. Keracunan timbal ... 10

2.2. Oksidasi Lipid ... 11

2.3. Malondialdehid (MDA) Sebagai Penanda Peroksidasi Lipid ... 13

2.4. Radikal Bebas dan Sistem Pertahanan Tubuh ... 14

2.5. Antioksidan Sebagai Pelindung Kesehatan ... 17

2.6. Sistem Reproduksi Jantan Pada Mencit ... 19

2.6.1. Organ testis ... 19

2.6.2. Sistem duktus ... 21

2.6.3. Spermatogenesis ... 22

2.6.4. Struktur sel sperma ... 24

2.7. Pengaruh ROS Terhadap Faal Spermatozoa ... 25


(12)

2.9. Pengukuran dan Pengaruh Senyawa Malondialdehyde (MDA) .. 27

III. METODE PENELITIAN... 29

3.1. Rancangan Penelitian ... 29

3.2. Bahan dan Alat ... 29

3.3. Waktu dan Tempat ... 30

3.4. Variabel Penelitian ... 30

3.4.1. Variabel independent ... 30

3.4.2. Variabel dependent ... 31

3.5. Pelaksanaan Penelitian ... 31

3.5.1. Pemeliharaan hewan percobaan ... 31

3.5.2. Perlakuan hewan percobaan ... 31

3.6. Prosedur Pemeriksaan ... 32

3.6.1. Pengambilan sekresi cauda epididimis ... 32

3.6.2. Pengamatan kualitas spermatozoa... 33

3.6.3. Penentuan kadar MDA di dalam suspensi sekresi cauda epididimis ... 37

3.7. Analisis Data ... 39

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 40

4.1. Hasil Penelitian ... 40

4.2. Pembahasan ... 55

V. KESIMPULAN DAN SARAN... 62

5.1. Kesimpulan ... 62

5.2. Saran … ... 62


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Tingkat Pb di darah pada anak-anak... 10

2. Beberapa sumber radikal bebas ... 16

3. Rancangan percobaan ... 32

4. Persiapan MDA standar untuk spektrofotometer ... 38

5. Data pengamatan kadar MDA suspensi sekresi cauda epididmis mencit ... 40

6. Hasil uji BNT antar rata-rata kadar MDA berbagai kelompok perlakuan ... 41

7. Data pengamatan kualitas spermatozoa mencit ... 44

8. Hasil uji BNT antar rata-rata jumlah, persentase motil, kecepatan gerak, dan persentase morfologi spermatozoa berbagai kelompok perlakuan ... 49

9. Kecepatan reaksi senyawa-senyawa radikal bebas yang bereaksi dengan asam ascorbat (AscH- ) ... 59


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman 1. Kerangka teori penelitian pengaruh Pb asetat dan vitamin C

terhadap kadar MDA dan kualitas spermatozoa mencit ... 8

2. MDA sebagai produk akhir peroksidasi lipid ... 14

3. Anatomi testis dan saluran reproduksi mencit (Mus musculus L) jantan ... 19

4. Reaksi TBA dengan MDA membentuk warna merah muda ... 28

5. Senyawa M1G (pyrimido[1,2-a]purin-10(3h)-one)... 28

6. Hemositometer Improved Neubauer ... 34

7. Grafik kadar rata-rata MDA... 41

8. Grafik rata-rata jumlah spermatozoa... 45

9. Grafik rata-rata persentase motilitas spermatozoa grade a ... 45

10. Grafik rata-rata persentase motilitas spermatozoa grade b ... 46

11. Grafik rata-rata persentase motilitas spermatozoa grade c ... 46

12. Grafik rata-rata persentase total spermatozoa motil... 47

13. Grafik rata-rata kecepatan gerak spermatozoa ... 48

14. Grafik rata-rata persentase total morfologi spermatozoa normal.. 49

15. Morfologi spermatozoa mencit (Mus musculus L) strain Balb/c .. 55

16. Peroksidasi lipid ... 56


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman 1. Output analisis data kadar MDA suspensi sekresi epididimis dan

kualitas spermatozoa mencit meliputi : jumlah, motilitas, kecepatan gerak, dan morfologi spermatozoa dengan uji Anova

satu arah (p=0.05) menggunakan software SPSS 13 ... 68 2. Output analisis data kadar MDA suspensi sekresi epididimis dan

kualitas spermatozoa mencit meliputi : jumlah, motilitas, kecepatan gerak, dan morfologi spermatozoa dengan uji lanjut

BNT (p=0.05) menggunakan software SPSS 13... 69 3. Surat keterangan strain mencit ... 81


(16)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Timbal (Pb) merupakan salah satu logam berat yang dapat mencemari lingkungan terutama yang berasal dari gas buang kendaraan bermotor. Timbal ditambahkan sebagai bahan aditif pada bensin dalam bentuk timbal organik (Contoh: Tetra Etil-Pb dan Tetra Metil-Pb). Pada pembakaran bensin, timbal organik ini berubah menjadi anorganik. Sekitar 70% timbal yang terkandung dalam bensin akan diemisikan melalui knalpot kendaraan tersebut. Banyaknya pengguna kendaraan bermotor, terutama yang menggunakan bensin bertimbal sebagai bahan bakar mengakibatkan terjadinya peningkatan emisi gas buang kendaraan bermotor yang mengandung zat timbal (Pb). Timbal diperlukan sebagai bahan aditif pada bensin untuk menjaga agar mesin jangan bergetar (anti knocking).

Komisi Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) melaporkan bahwa konsentrasi timbal di udara ambient di beberapa kota besar seperti: Jabotabek pada tahun 2000 menunjukkan 1,75-3,5 µg/m3, kota Bandung pada tahun 2004 2-3,5 µg/m3, Yogyakarta 2 µg/m3, Makassar 9 µg/m3 dan Semarang 9 µg/m3. Konsentrasi 1 µg/m3 timbal yang berada di udara berdampak pada peningkatan kadar timbal dalam darah 2,5-5,3 ug/dl dan apabila terakumulasi hingga 40 ug/dl berdampak menurunnya jumlah sperma, dan gerak sperma yang berarti pula gejala kemandulan.(KPBB, 2006).


(17)

Timbal sering juga menyebabkan keracunan pada hewan ruminansia. Rumput pakan ternak yang terkontaminasi oleh Pb dari udara sering menyebabkan keracunan kronis, tetapi padang rumput yang terkontaminasi cemaran limbah peleburan logam ataupun limbah baterai/aki sering menyebabkan toksisitas yang akut. Pada hewan ruminansia gejala khas dari keracunan Pb antara lain: gastro-enteritis, anemia, dan ensepalopati (Darmono, 2001). Hasil penelitian menunjukkan sapi yang mengalami keracunan Pb terjadi akumulasi timbal pada jaringan hati, ginjal dan otot hewan tersebut (Darmono, 2001).

Sifat timbal yang toksik dan akumulatif ini menyebabkan banyak organ yang dapat dipengaruhi, salah satunya adalah sistem reproduksi hewan jantan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa keracunan Pb dapat mengakibatkan penurunan jumlah spermatozoa pada mencit (Antonio et al, 2004; Barrat et al, 1989; Sokol et al , 1985). Selain itu Pb (timbal) dapat menginduksi terjadinya stres oksidasi pada hewan percobaan, ditandai dengan naiknya Lipid Peroxidation Potential (LPP) di dalam jaringan. Penelitian menunjukkan pemberian timbal asetat dengan dosis tunggal 200 mg/kg BB melalui injeksi intraperitoneal selama 4 minggu dapat meningkatkan LPP di dalam jaringan testis. LPP dapat ditentukan dengan mengukur molekul malondialdehyde (MDA) mengikuti tes standar thiobarbituric acid (TBA) (Acharya et al, 2003).

Pengukuran MDA banyak dilakukan sebagai parameter terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid yang tinggi ternyata memiliki hubungan dengan berbagai


(18)

macam penyakit. Hal tersebut dibuktikan oleh beberapa penelitian antara lain Suryawanshi et al (2006) melaporkan bahwa kadar MDA plasma pada penderita diabetes mellitus meningkat dibandingkan dengan kontrol. Penderita penyakit hati oleh alkohol juga menunjukkan peningkatan kadar MDA (Gupta et al, 2005). Selain itu hasil penelitian Zarghami et al (2005) menunjukkan bahwa pria yang mengalami asthenozoospermic kadar MDA di dalam semen menunjukkan terjadi peningkatan dibandingkan pria yang normozoospermic, serta berkorelasi dengan penurunan motilitas spermatozoa.

Kemampuan menetralisir senyawa oksidan sebenarnya sudah dimiliki oleh tubuh/sel itu sendiri. Enzim glutation peroksidase, uric acid dan enzim katalase bekerja menetralisir oksidan hidrogen peroksida. Hidrogen peroksida (H2O2)

merupakan salah satu molekul Reactive Oxygen Species (ROS) dan penyebab terjadinya peroksidasi lipid. Selain itu senyawa oksidan seperti superoksida (O2 -)

dapat dinetralisir oleh tubuh dengan bantuan enzim superoksida dismutase (SOD), radikal hidroksil dan oksigen singlet dinetralisir oleh uric acid. Walaupun tubuh memiliki enzim-enzim antioksidan sendiri, namun kerjanya banyak berada di intrasel. Kemampuan tubuh tidak cukup untuk menetralisir senyawa oksidan yang diakibatkan paparan bahan-bahan beracun yang berasal dari lingkungan yang bersifat radikal, termasuk salah satunya timbal, pestisida, nitrat, radioaktif, merkuri, dan sebagainya. (Goodman , 1995)


(19)

Vitamin C (L- Ascorbic Acid) merupakan senyawa alami yang bersifat antioksidan kuat dan pengikat radikal bebas namun bukan bersifat enzimatis. Senyawa ini umumnya hanya dapat disintesis oleh tanaman. Manusia tidak mampu mensintesis senyawa ini. Ketidakmampuan ini menyebabkan manusia umumnya menderita penyakit yang disebut hipoaskorbemia, dan dalam keadaan parah akan timbul skorbut yang fatal. Kepentingan senyawa ini bagi manusia salah satunya ternyata berdasarkan kemampuannya mengikat zat-zat radikal seperti superoksida dan radikal hidroksil, juga bereaksi langsung dengan hidrogen peroksida, oleh karena itu vitamin C dapat mencegah berbagai radikal bebas bersifat toksik yang menyebabkan oksidasi. Banyak penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa vitamin C sangat bermanfaat bagi pencegahan dan pengobatan penyakit antara lain: menurunkan tekanan darah dan kolesterol, mencegah terjadinya resiko serangan jantung, bekerja sebagai antioksidan dalam pengobatan asma, melindungi sistem imun dalam melawan virus (Goodman, 1995), dan berbagai macam manfaat lainnya yang masih perlu diteliti kembali.

Salah satu hal yang menarik untuk diteliti adalah bagaimana kemampuan antioksidan dalam melindungi gangguan sistem reproduksi jantan karena bahan-bahan beracun atau polutan dari lingkungan yang bersifat radikal. Seperti yang dikemukakan sebelumnya bahwa senyawa timbal (Pb) dapat mengganggu sistem reproduksi hewan percobaan tikus jantan berupa kerusakan histologi testis dan penurunan jumlah spermatozoa. Wibisono (2001) melaporkan bahwa vitamin C


(20)

mampu melindungi sistem reproduksi tikus jantan yang terpapar gelombang ultrasonik (merupakan salah satu pemicu terjadinya radikal bebas) ternyata menunjukkan terjadi penurunan jumlah spermatid sebesar 57%. Pemberian vitamin C dengan dosis 0,20 mg/g BB bersamaan dengan pemaparan gelombang ultrasonik selama 15 hari ternyata dapat meningkatkan jumlah spermatid sampai 66%.

Dengan dasar kemampuan vitamin C sebagai antioksidan, perlu dilakukan penelitian eksperimental lebih lanjut bagaimana pengaruh pemberian bersamaan timbal asetat ( Pb(C2H3O2)2·3H2O ) dan vitamin C terhadap kualitas spermatozoa dan

kadar malondialdehyde (MDA) di dalam sekresi cauda epididimis mencit jantan selama satu siklus spermatogenesis mencit.

1.2. Perumusan Masalah

Meskipun telah banyak penelitian tenteang timbal kepada hewan percobaan namun belum diketahui bagaimana pengaruh pemberian timbal asetat (Pb (C2H3O2)2·3H2O ) secara oral bersamaan vitamin C terhadap kualitas spermatozoa

dan kadar MDA di dalam sekresi cauda epididimis mencit (Mus musculus L ).

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan umum: Mengetahui pengaruh timbal (Pb) terhadap profil lipid membran dan kualitas spermatozoa, serta pengaruh pemberian vitamin C bersamaan dengan Pb asetat.


(21)

Tujuan khusus :

1. Mengetahui pengaruh pemberian Pb asetat secara oral selama 36 hari terhadap profil lipid membran dengan mengukur kadar malondialdehyde (MDA) di dalam sekresi cauda epididimis mencit.

2. Mengetahui pengaruh pemberian Pb asetat secara oral selama 36 hari terhadap kualitas spermatozoa di dalam sekresi cauda epididimis mencit.

3. Mengetahui pengaruh vitamin C untuk melindungi lipid membran yang diberikan bersamaan dengan Pb asetat secara oral selama 36 hari.

4. Mengetahui pengaruh pemberian vitamin C terhadap kualitas spermatozoa yang diberikan bersamaan dengan Pb asetat secara oral selama 36 hari.

1.4. Hipotesis

1. Pemberian timbal asetat 0,1% dan 0,3% secara oral selama 36 hari dapat mempengaruhi penurunan kualitas spermatozoa dan peningkatan kadar MDA di dalam sekresi cauda epididimis mencit (Mus musculus L)

2. Pemberian vitamin C dengan dosis 0,20 mg/g BB secara oral pada kelompok perlakuan yang terpapar timbal asetat 0,1% w/v dan 0,3% w/v selama 36 hari dapat menormalkan kualitas spermatozoa dan penurunan kadar MDA di dalam sekresi cauda epididimis mencit (Mus musculus L)


(22)

1.5. Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi tentang dampak keracunan timbal (Pb) terhadap sistem reproduksi hewan jantan.

2. Agar masyarakat dapat mengetahui betapa pentingnya vitamin C dalam tubuh khususnya mengatasi dampak keracunan timbal.

3.. Sebagai dasar bagi terbentuknya penelitian baru atau lanjutan penelitian ini.

1.6. Kerangka Teori

Logam berat Pb (timbal) dapat menginduksi terjadinya oksidasi lipid,

terutama pada rantai asam lemak tidak jenuh/polyunsaturated fatty acid (Gambar 1). Lipid yang mengalami oksidasi ini akan menjalani reaksi lanjutan secara

berantai membentuk produk radikal seperti radikal bebas peroksil, radikal bebas PUFA, dan radikal bebas superoksida. Peningkatan jumlah radikal ini akan mengakibatkan terjadinya dekomposisi asam lemak tidak jenuh menjadi lipid peroksida yang sangat tidak stabil. Peroksidasi lipid juga dapat terdekomposisi oleh senyawa radikal bebas menjadi senyawa malondialdehyde (MDA).

Vitamin C berperan dalam menetralisir (scavenger) terhadap senyawa-senyawa radikal bebas tersebut. Penelitian ini akan mengungkap kemampuan untuk melindungi tubuh dari toksisitas senyawa logam berat Pb.

Produk peroksidasi lipid, yaitu MDA dapat bereaksi dengan Thiobarbituric acid (TBA) membentuk kromogen berwarna merah. Absorbansinya dapat diukur


(23)

dengan menggunakan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 534 nm, dan dari absorbansi tersebut dapat ditentukan kadar MDA secara kuantitatif dalam sampel tertentu, seperti pada: jaringan, plasma, dan sekresi cauda epididimis. Peningkatan kadar MDA menunjukkan secara tidak langsung terjadi peningkatan stress oksidasi.

Gambar 1. Kerangka teori penelitian pengaruh Pb asetat dan vitamin C terhadap kadar MDA dan kualitas spermatozoa mencit


(24)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Timbal

Timbal atau timah hitam (Pb) merupakan logam berat yang terdapat secara alami di dalam kerak bumi dan tersebar ke alam dalam jumlah kecil melalui proses alami maupun buatan. Apabila timbal terhirup atau tertelan oleh manusia, akan beredar mengikuti aliran darah, diserap kembali di dalam ginjal dan otak, dan disimpan di dalam tulang dan gigi. Manusia terkontaminasi timbal melalui udara, debu, air dan makanan.

2.1.1. Sifat fisika dan kimia timbal

Timbal adalah logam berat, dengan nomor atom 82, berat atom 207,19 dan berat jenis 11,34. bersifat lunak dan bewarna biru keabu-abuan dengan kilau logam yang khas sesaat setelah dipotong. Kilaunya akan segera hilang sejalan dengan pembentukan lapisan oksida pada permukaannya, mempunyai titik leleh 327,50C dan titik didih 1740 0C (MSDS, 2005).

Lebih dari 95% timbal merupakan senyawa anorganik dan umumnya dalam bentuk garam timbal anorganik, kurang larut dalam air, dan selebihnya berbentuk timbal organik. Senyawa timbal organik ditemukan dalam bentuk senyawa tetraethyllead (TEL) dan tetramethyllead (TML). Jenis senyawa ini hampir tidak larut dalam air, namun dapat dengan larut dalam pelarut organik, misalnya dalam lipid (WHO, 1977).


(25)

2.1.2. Keracunan timbal

Ukuran keracunan suatu zat ditentukan oleh kadar dan lamanya paparan. Keracunan dibedakan menjadi keracunan akut dan keracunan kronis. Keracunan yang disebabkan oleh timbal dalam tubuh mempengaruhi berbagai jaringan dan organ tubuh. Organ-organ tubuh yang menjadi sasaran dari keracunan timbal adalah sistem peredaran darah, sistem saraf, sistem urinaria, sistem reproduksi, sistem endokrin, dan jantung (Darmono, 2001).

Efek yang disebabkan oleh keracunan timbal pada anak-anak dan orang dewasa dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Tingkat Pb di darah pada anak-anak Kelompok Kadar Pb di darah Efek pada anak-anak

1 1-9 µg/dL Gangguan belajar

2 10-14 µg/dL

Gangguan pendengaran, pertumbuhan lamban, masalah belajar

3 20-44 µg/dL

Sakit kepala, Berat badan menurun, dan gangguan sistem saraf

4 45-69 µg/dL Anemia, nyeri perut yang hebat 5 > 69 µg/dL Kerusakan otak mengakibatkan

kematian (Sumber: Center for Disease Control and Prevention, 2000)


(26)

Pada orang dewasa kadar Pb darah 10 µg/dL mempengaruhi perkembangan sel darah, kadar 40 µg/dL mempengaruhi beberapa fungsi dari kemampuan darah untuk membentuk hemoglobin, gangguan sistem saraf menyebabkan kelelahan, irritability, kehilangan ingatan, dan reaksi lambat. Pb juga menyebabkan penyakit ginjal yang kronis dan gagal ginjal, sedangkan pada sistem reproduksi mengakibatkan berkurangnya jumlah sperma atau meningkatnya jumlah sperma yang abnormal. Pada wanita hamil jumlah yang sangat tinggi akan mengakibatkan keguguran. Kadar Pb ynang tinggi di darah juga dapat menaikkan tekanan darah (Shannon, 1998).

2.2. Oksidasi Lipid

Oksidasi lipid biasanya terbentuk melalui proses pembentukan radikal bebas yang terdiri dari tiga proses dasar yaitu:


(27)

RH, R , RO , ROO , ROOH dan M berturut-turut merupakan simbol untuk asam lemak tidak jenuh atau ester dengan atom H pada atom karbon alilik, radikal alkil, radikal alkoksil, radikal peroksil, hidroperoksida dan logam transisi (Apriyanto, 2002)

Pada tahap awal reaksi terjadi pelepasan hidrogen dari asam lemak tidak jenuh secara homolitik sehingga terbentuk radikal alkil yang terjadi karena adanya inisiator (panas, oksigen aktif, logam atau cahaya). Pada keadaan normal radikal alkil cepat bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksil dimana radikal peroksil ini bereaksi lebih lanjut dengan asam lemak tidak jenuh membentuk hidroperoksida dengan radikal alkil, kemudian radikal alkil yang terbentuk ini bereaksi dengan oksigen. Reaksi autoksidasi adalah reaksi berantai radikal bebas. Laju reaksi antara radikal alkil dengan oksigen berlangsung cepat, maka kebanyakan radikal bebas berbentuk radikal peroksil. Akibat hal tersebut, reaksi terminasi utama biasanya melibatkan 2 radikal peroksil.

Laju oksidasi meningkat dengan meningkatnya jumlah ikatan rangkap pada asam lemak, sebagai contoh, asam linoleat (18:2) dioksidasi 10 kali lebih cepat daripada asam oleat (18:1) dan asam linoleat (18:3) dioksidasi 20-30 kali lebih cepat daripada asam oleat. Hidroperoksida dapat terbentuk pada berbagai posisi dimana ikatan rangkap berada, sebagai contoh pada asam oleat terdapat 4 hidroperoksida yang dibedakan atas posisi peroksida yaitu dapat pada posisi 8, 9, 10 atau 11. Semakin banyak ikatan rangkap asam lemak, maka semakin banyak pula


(28)

kemungkinan posisi hidroperoksida yang terbentuk. Hal ini berarti akan semakin banyak jenis produk degradasi asam lemak yang bersangkutan seperti akan dijelaskan di bawah ini. (Apriyanto, 2002)

Hidroperoksida asam lemak tak jenuh yang terbentuk karena oksidasi sangat tidak stabil dan mudah mengalami pemecahan menjadi berbagai senyawa flavor dan juga produk nonvolatil. Dekomposisi hidroperoksida berlangsung melibatkan pemutusan gugus-OOH sehingga terbentuk radikal alkoksil dan radikal hidroksil. Radikal alkoksil ini kemudian mengalami pemutusan beta pada rantai C-C sehingga terbentuk aldehid dan radikal alkil atau vinil. Berbagai jenis senyawa dihasilkan dari degradasi lipid diantaranya hidrokarbon, aldehid, keton, asam karboksilat, alkohol dan heterosiklik (Apriyanto, 2002).

Di samping dapat menurunkan jumlah lipid yang dapat dicerna dan tersedia sebagai sumber energi, oksidasi lipid juga dapat menghasilkan senyawa-senyawa radikal. Senyawa-senyawa radikal dalam bahan pangan dapat terserap ke dalam tubuh kemudian dapat memicu terbentuknya senyawa radikal dalam tubuh. Senyawa radikal dalam tubuh berperan dalam menentukan proses penuaan (aging), terjadinya aterosklerosis dan penyakit jantung koroner (Apriyanto, 2002).

2.3. Malondialdehid (MDA) Sebagai Penanda Peroksidasi Lipid

Peroksidasi lipid dalam bahan pangan akan terdekomposisi menjadi aldehid, keton dan khususnya malonaldehid (Gambar 2). Senyawa-senyawa karbonil ini akan


(29)

bereaksi dengan gugus amino protein melalui reaksi amino-karbonil dan pembentukan basa Schiff. Reaksi malonaldehid dengan rantai samping lisil akan mengakibatkan cross-linking dan polimerisasi protein. Reaksi ini berdampak pada menurunnya nilai gizi protein dan dapat menimbulkan off-flavour (Apriyanto, 2002).

Gambar 2. MDA Sebagai produk akhir peroksidasi lipid

2.4. Radikal Bebas dan Sistem Pertahanan Tubuh

Reaksi radikal bebas sebenarnya adalah suatu mekanisme biokimia yang normal terjadi dalam tubuh. Radikal bebas biasanya hanya bersifat intermediat (perantara), dan kemudian cepat diubah menjadi substansi lain yang tidak lagi membahayakan tubuh. Misalnya, hormon-hormon prostaglandin dibentuk melalui suatu seri reaksi radikal bebas atau reaksi detoksifikasi racun yang masuk ke dalam tubuh yang juga mengikutsertakan radikal bebas. Jika pada kesempatan yang berumur sangat pendek ini, radikal bebas bertemu DNA atau enzim atau asam lemak majemuk tak jenuh (polyunsaturated fats), maka suatu permulaan kerusakan sel dapat terjadi (Husaini, 2001).


(30)

Senyawa-senyawa maupun reaksi-reaksi kimia yang cenderung menghasilkan spesies oksigen reaktif (spesies oksigen yang potensial toksik) disebut pro-oksidan. Radikal bebas adalah atom/molekul yang pada kulit terluarnya mengandung satu/lebih elektron tak berpasangan. Tidak semua spesies oksigen reaktif adalah radikal bebas (umpamanya H2O2 & singlet oksigen bukan radikal bebas, tetapi

termasuk spesies oksigen reaktif. Karena adanya kecenderungan mengambil sebuah elektron (e-) dan senyawa-senyawa lain maka spesies oksigen ini sangat reaktif. Beberapa spesies oksigen reaktif yang dijumpai dalam tubuh adalah:

1. Radikal Bebas Superoksida (O2- )

2. Radikal Bebas Hidroksil (OH - ). 3. Radikal Bebas Alkoksil (RO- ) 4. Radikal Bebas Peroksil (ROO-) 5. Peroksida lipid (LOOH)

6. Hidrogen peroksida (H2O2).

7. Singlet Oksigen (IO2)

8. Ion Hipoklorit (OCl).

(Lautan, 1997) Reactive Oxygen Species (ROS) kemungkinan dilibatkan dalam patofisiologi penyakit manusia, seperti kanker, kardiovaskuler dan juga pada penyakit neurodegeneratif seperti alzheimer dan parkinson. ROS secara tetap diproduksi oleh reaksi metabolisme dalam tubuh manusia (Tuminah, 2000).


(31)

Radikal bebas tidak stabil dan mempunyai reaktivitas yang tinggi. Jika radikal bebas tidak dinaktivasi, reaktivitasnya dapat merusak seluruh tipe makromolekul seluler, termasuk karbohidrat, protein, lipid dan asam nukleat. Kerusakan protein oleh radikal bebas dapat menyebabkan katarak, pada lipid menyebabkan aterosklerosis dan pada DNA menyebabkan kanker. Meskipun demikian radikal bebas tidak selalu merugikan, misalnya, radikal bebas berperan dalam pencegahan penyakit yang disebabkan karena mikrobia melalui sel-sel darah khusus yang disebut fagosit. Beberapa sumber radikal bebas dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Beberapa sumber radikal bebas Sumber Internal Sumber Eksternal

Mitokondria Fagosit

Xantin oksidase

Reaksi yang melibatkan besi dan logam transisi lainnya

Arachidonat pathway Peroksisome

Olahraga Peradangan Iskemia/reperfusi

Rokok sigaret Polutan lingkungan Radiasi

Obat-obatan tertentu, pestisida dan anastesi dan larutan industri

ozon

(Tuminah, 2000) Tubuh manusia mempunyai beberapa mekanisme untuk bertahan terhadap radikal bebas dan ROS lainnya. Pertahanan yang bervariasi saling melengkapi satu dengan yang lain karena bekerja pada oksidan yang berbeda atau dalam bagian seluler yang berbeda. Suatu garis pertahanan yang penting adalah sistem enzim, termasuk superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase. SOD merupakan golongan enzim antioksidan yang penting dalarn pendekomposisian


(32)

katalitik radikal superoksida menjadi hidrogen peroksida dan oksigen. Katalase secara spesifik mengkatalisis dekomposisi hidrogen peroksida. Glutation peroksidase merupakan golongan enzim antioksidan yang mengandung selenium yang penting dalam mengurangi hidroperoksida, sebagai contoh: hasil oksidasi lipid (Tuminah, 2000).

2.5. Antioksidan Sebagai Pelindung Kesehatan

Antioksidan dengan berat molekul kecil lainnya ditemukan dalam makanan, yang diketahui adalah vitamin E, vitamin C dan karotenoid. Beberapa makanan juga mengandung substansi antioksidan lain. Sebagian besar antioksidan yang dijumpai dalam makanan tersebut adalah fenolat atau senyawa polifenolat. Meskipun substansi tersebut belum diketahui fungsi nutrisinya, akan tetapi mungkin penting bagi kesehatan manusia karena potensi antioksidannya (Tuminah, 2000).

Secara fisiologis sebenarnya tubuh sudah mempersiapkan diri untuk menangkal radikal bebas atau oksidan dengan tersedianya antioksidan dalam sistem intrasel membran, cairan ekstrsel, sitoplasma dan lipoprotein membran. Enzim antioksidan yang dibentuk di dalam tubuh yaitu: superoksida dismutase (SOD), glutation peroksidae, katalase, dan glutation reduktase. Sedangkan antioksidan yang berupa mikronutrien dikenal tiga yang utama, yaitu: -karoten, vitamin C dan vitamin E (Sies et al, 1991).


(33)

Berdasarkan fungsinya antioksidan dapat dibagi menjadi: (1). Tipe pemutus rantai reaksi pembentuk radikal bebas, dengan menyumbangkan atom H, misalnya vitamin E; (2). Tipe pereduksi, dengan mentransfer atom H atau oksigen, atau bersifat pemulung, misalnya vitamin C; (3). Tipe pengikat logam, mampu mengikat zat peroksidan, seperti Fe dan Cu, misalnya flavanoid; (4). Antioksidan sekunder, mampu mendekomposisi hidroperoksida menjadi bentuk stabil, pada manusia dikenal SOD, katalase, dan glutation peroksidase (Hariyatmi, 2004).

Sejumlah penelitian epidemiologis telah menguji peranan spesifik nutrien antioksidan dalam pencegahan penyakit. Sebagai contoh: konsumsi vitamin C yang tinggi dikaitkan dengan penurunan risiko kanker. vitamin C atau glutation

dapat membersihkan OH yang sangat reaktif. Fenolat yang merupakan 1 dari kelompok utama komponen makanan non-esensial dikaitkan dengan penghambatan aterosklerosis dan kanker. Konsumsi vitamin E yang cukup, penting dalam memperkecil resiko penyakit jantung koroner. Vitamin E mencegah penyebaran kerusakan oleh radikal bebas dalam membran biologik dengan kemampuannya membersihkan radikal proksil (Tuminah, 2000).


(34)

2.6. Sistem Reproduksi Jantan Pada Mencit

Sistem reproduksi pada mencit jantan terdiri atas sepasang testis, pasangan kelenjar-kelenjar aksesori, dan sistem duktus termasuk organ kopulasi (Gambar 3).

Gambar 3. Anatomi testis dan saluran reproduksi mencit (Mus musculus L) jantan. a = testis, b = caput epididimis, c = cauda epididmis, dan d = vas deferens. Tanda panah menunjukkan bagian yang dipotong untuk mengisolasi cauda epididimis. Perbesaran 40 x

2.6.1. Organ testis

Gonad indeferen sewaktu embrio dini pada betina berdiferensiasi menjadi ovarium, sedangkan pada jantan menjadi testis. Pada semua spesies testis berkembang di dekat ginjal, yaitu pada daerah krista genitalis primitif. Pada mammalia, testis mengalami penurunan yang cukup jauh, pada kebanyakan spesies berakhir pada skrotum. Pada burung, testis tidak mengalami penurunan, tetap tinggal pada posisi di sekitar daerah testis itu berasal. Fungsi testis ada dua macam: yang


(35)

menghasilkan hormon seks jantan disebut androgen, dan yang menghaslkan gamet jantan disebut sperma (Nalbandov,1990).

Sperma dihasilkan di tubulus semeniferus yang merupakan lebih dari 90 persen dari massa testis. Tubulus-tubulus tersebut sangat berliku-liku; setiap testis mengandung tubulus-tubulus yang mencapai jarak bermil-mil bila direntangkan. Struktur histologi tubulus berubah secara cepat dengan bertambahnya umur. Pada jantan muda struktur tubulus masih sederhana; epitelium lembaga hanya terdiri atas sel-sel spermatogonia dan sertoli. Pada jantan yang lebih tua spermatogonia tumbuh menjadi spermatosit primer, yang setelah pembelahan miosis pertama tumbuh menjadi spermatosit sekunder haploid. Selanjutnya spermatosit sekunder haploid menjadi spermatid, yang setelah mengalami sederetan transformasi disebut spermiogenesis, kemudian tumbuh menjadi satu sel sperma yang terdiri dari atas sebuah kepala, sebuah bagian tengah (tubuh) serta bagian ekor (Nalbandov, 1990).

Fungsi testis lainnya yang penting adalah sekresi hormon seks jantan. Bukti-bukti yang ada dan yang terbaik menunjukkan bahwa hanya sel Leydig yang terdapat pada jaringan interstisial mensekresi hormon androgen, tetapi belum dapat menyampaikan sama sekali adanya sedikit kemungkinan bahwa komponen-komponen tubulus semeniferus mungkin berperan serta pada fungsi ini. Di antara spesies dan di dalam satu spesies terdapat perbedaan perkembangan yang besar pada sel Leydig. Sel Leydig ditemukan pada semua mammalia pada segala umur, terutama bila jantan berada pada musim penangkaran, tetapi lagi-lagi terdapat perbedaan


(36)

antarspesies tentang banyaknya sel Leydig yang dapat ditemukan. Pada babi dan tikus, sel interstisial ini berkembang sangat baik, dan kumpulan sel-sel Leydig yang cukup luas menghuni bagian yang cukup luas dari volume total testis. Pada mausia dan sapi, sel-sel Leydig jauh lebih sedikit dan tidak membentuk sarang-sarang yang besar seperti yang terjadi pada spesies lain. Sekresi androgen oleh sel Leydig dikontrol hormon-hormon pituitari, dan tingkat sekresinya tergantung pada tingkat fungsional kelenjar pituitari (Nalbandov,1990).

2.6.2. Sistem duktus

Sistem duktus pada jantan sebagian besar verasal dari sistem duktus Wolff pada ginjal mesonefrik sebagian dari sistem Muller, yang pada betina hampir seluruhnya digunakan untuk pembentukan duktus-duktusnya. Pada jantan tetap bertahan sebagai rudimen pada prostat, yakni dalam bentuk utrikel prostatik (uterus jantan atau uterus maskulinus) (Nalbandov, 1990).

Tubulus mesonefrik berkembang menjadi vas eferen, duktus mesonefrik menjadi epididimis, sedangkan vas deferen dan vesikula seminalis dibentuk terakhir dari evaginasi duktus. Sisa-sisa dari sistem duktus yang lain(uretra-uretra prostatik, membranosa dan karvenosa) berkembang dari sinus urogenitalis seperti halnya dengan du akelenjar aksesori jantan yang lain, yaitu kelenjar prostat dan kelenjar Cowper (kelenjar bulbo-uretra) Duktuli efrensia menjadi berkelok-kelok, dan duktuli berasal dari rete testis (Nalbandov, 1990).


(37)

Duktuli tersebut secara bergantian dibatasi oleh kelompok sel-sel epitelium berbentuk tinggi dan rendah yang memiliki silia yang tidak dapat bergerak. Secara berangsur-angsur duktuli tersebut bersatu, membentuk duktus tunggal yang berkelok-kelok serta membentuk bagian-bagian kepala, tubuh dan ekor epididimis, yang dibatasi oleh sel-sel epitelium berbentuk kompleks semu berukuran tinggi dan memiliki stereosilia yang dapat bergerak (Nalbandov, 1990).

Epididimis merupakan saluran reproduksi jantan yang berfungsi menghasilkan kelenjar reproduksi jantan, dan juga merupakan tempat penyimpanan spermatozoa sementara sebelum dikeluarkan. Spermatozoa yang terdapat di dalam epididmis merupakan sel tunggal dengan membran selnya mengandung kadar fosfolipid yang tinggi. Senyawa lipid yang terdapat pada membran spermatozoa mengandung asam lemak tidak jenuh yang sangat rentan mengalami oksidasi terutama oleh karena adanya induksi dari senyawa-senyawa radikal bebas atau (ROS) Reactive Oxygen Species. Selain lipid, kadar ROS yang tinggi dapat juga mengoksidasi protein dan DNA (Sanoka et al, 2004).

2.6.3. Spermatogenesis

Pada waktu lahir atau menetas, jantan memiliki tubulus yang tidak berlumen dan dibatasi oleh lapisan tunggal epitelium bernukleus kecil. Waktu jantan mencapai kedewasaan, dalam stubulus secara perlahan terbentuk lumen dan epitelium lembaga (muasal) tumbuh dari satu menjadi berlapis-lapis seperti terlihat pada hewan jantan dewasa. Dan dalam tubulus ini dapat ditemukan semua tipe sel lembaga


(38)

(spermatogonia, spermatosit primer serta sekunder, dan spermatozoa). Diantara individu dan spesies terdapat variasi yang sangat besar mengenai umur dimulainya spermatogenesis dan kecepatan perkembangannya. Spermatogenesis berkembang paling cepat pada spesies yang jantannya mencapai kedewasaan seksual relatif awal. Hewan yang berumur pendek (ayam) proses spermatogenesisnya berlanjut dan tidak berkurang sampai mati, dan sebagian besar tubulus tampaknya berfungsi secara normal sepanjang hidup. Pada mammalia umur panjang (manusia, babi, sapi) spermatogenesis berlanjut sepanjang hidup, tetapi melewati umur pertengahan tubulus secara normal yang lambat-laun akan mengalami atrofi, sampai akhirnya hanya sedikit yang menunjukkan aktivitas spermatogenik (Nalbandov,1990).

Seringkali individu tertentu mampu menghasilkan sperma hidup dan mampu mengadakan penangkaran jauh sebelum sebagian besar anggota spesies yang lain atau anggota populasi yang lain dapat melakukannya. Kedewasaan seksual pada anak laki-laki dan mammalia lain yang terjadi terlalu awal mungkin lebih umum daripada yang kita perkirakan. Spermatogenesis sempurna, dengan sperma dalam epididimis tampak pada testis seekor domba berumur 72 hari, dan sperma yang motil dapat ditemukan pada ayam Leghorn 62 hari. Umur kedewasaan seksual bersifat genetik, dan tampak dari kenyataan bahwa terdapat perbedaan besar antara bangsa-bangsa hewan domestik (pada sapi perah, sapi Brown Swiss mencapai kedewasaan empat sampai enam bulan lebih lambat dibanding sapi Jersey atau Guernsey). Kenyataannya telah terbukti, bahwa pada semua bangsa hewan domestikasi, dapat dilakukan seleksi


(39)

dengan tujuan untuk hewan dengan kedewasaan seksual awal atau lambat (secara sadar atau tidak) (Nalbandov, 1990).

Pada jantan penangkar musiman testis mengalami regresi sepenuhnya selama diluar musim penangkaran, dan epitelium lembaga kembali pada keadaan seperti yang umumnya terdapat pada hewan jantan yang belum dewasa seksual. Pada saat itu tubulus kehilangan lumennya dan dibatasi oleh spermatogonia kecil satu lapis. Pada kebanyakan mammalia, testis bermigrasi dari skrotum ke rongga tubuh, dan tetap tinggal di sini sampai sesaat sebelum dimulainya musim penangkaran berikutnya. Kemudian mereka mengalami perubahan yang sama seperti yang terjadi ketika mencapai pubertas, danterulang lagi pada setiap permulaan musim penangkaran berikutnya (Nalbandov, 1990).

2.6.4. Struktur sel sperma

Sel sperma yang normal terbentuk dari kepala, leher, bagian tengah, dan ekor. Kepala ditutup oleh tudung protoplasmik (galea kapitis). Galea kapitis ini dulu dikira hanya ditemukan pada sel sperma dewasa, tetapi sekarang diketahui bangunan ini merupakan bagian normal kepala sperma. Galea kapitis ini biasanya terlarut bila sperma diberi pelarut lemak yang biasanya digunakan untuk pengecatan. Bentuk kepala bervariasi tergantung spesies. Pada sapi, domba, babi dan kelinci bebentuk bulat telur pipih, sedangkan pada manusia berbentuk bulat. Bila bergerak sperma berenang dalam cairan suspensinya seperti ikan dalam air. Hanya bila sudah mati maka sperma tampak datar dengan permukaan. Pada unggas, kepala berbentuk


(40)

silinder memanjang; pada mencit dan tikus, ujung kepala berbentuk kait (Nalbandov, 1990).

Leher yang merupakan bagian tengah, dan ekor tidak tersusun dari flagellum tunggal yang padat tetapi tersusun dari beberapa (9 atau 18) berkas fibril, yang dibungkus oleh suatu selubung. Pada puncak ekor, selubung menghilang, fibril menyembul dalam bentuk sikat yang telanjang. Bentuk anatomi secara terinci ini pertama kali dilihat melalui mikroskop cahaya yang sederhana dan digambarkan oleh Ballowitz 1886, tetapi tidak sampai tahun 1941 yaitu saat digunakannya mikroskop elektron, maka gambaran sel sperma diperbaharui (dengan menggunakan alat elektronik, maka pembesaran gambar dan ketelitian tidak menimbulkan masalah lagi). Morfologi sperma sudah ditegaskan berkali-kali sejak tahun 1943 dalam buku teks, sperma masih digambarkan memiliki flagelum yang padat (Nalbandov, 1990).

2.7. Pengaruh ROS Terhadap Faal Spermatozoa

Reactive Oxygen Species (ROS) bersifat toksik terhadap spermatozoa manusia. Beberapa data penelitian menunjukkan konsentrasi (jumlah) ROS sedikit diperlukan untuk fungsi normal/fisiologis mengatur fungsi-fungsi somatik spermatozoa. ROS berkadar rendah meningkatkan kemampuan spermatozoa manusia mengikat di zona pellucida. Efek tersebut diperkuat oleh pemberian vitamin E. Konsentrasi rendah H2O2, superoksida anion, hydrogen peroksida, dosis rendah


(41)

seperti nitric oksida dan peroksida anion (O2-) yang menguatkan kapastasi sperma dan

reaksi akrosom (Darmawan, 2006).

Bentuk abnormal spermatozoa dan leukosit seminalis diejakulasi merupakan sumber produksi ROS. Setiap ejakulasi selalu terkontaminasi dengan potensi sumber produksi ROS. Akibatnya sebagian sel spermatozoa mengalami kerusakan oksidatif dan kehilangan fungsinya. Spermatozoa menghasilkan ROS melalui dua jalan yaitu (1). Sistem oksidasi NADPH pada tingkat membran plasma spermatozoa dan (2). NADPH dependent oxydo-reductase pada tingkat mitokondria. Sistem mitokondria merupakan penghasil utama ROS spermatozoa pada pria infertil. Rangsangan radang, infeksi mengaktifkan leukosit. Leukosit aktif meningkatkan produksi NADPH melalui hexose monophosphate shunt. Sistem myeloperoksidase leukosit polimorfonuklear dan makrofag menjadi aktif dan mengahsilkan respiratory burst dan produksi ROS yang banyak (Darmawan, 2006).

Bentuk respiratory burst merupakan mekanisme awal/dini dan aktif pertahanan tubuh terhadap infeksi dan membunuh kuman. Kerusakan spermatozoa akibat ROS yang diproduksi leukosit bila konsentrasi leukosit sangat tinggi (contoh: Leukositosperma). Sharm et al (Darmawan, 2006) meneliti bahwa leukosit seminalis banyak konsentrasinya di bawah nilai cutt off WHO (<1x106) peroxidase positif leukosit/ml semen untuk keadaan leukositosperma. Fakta tersebut di atas menyatakan bahwa plasma seminalis mengandung banyak ROS scavenger tetapi nilai perlindungannya bervariasi antara 10%-100% terhadap ROS yang dihasilkan leukosit.


(42)

2.8. Kelainan Morfologi Sel Sperma

Beberapa penyimpangan dari morfologi normal dianggap sebagai abnormalitas. Antara lain sel sperma dengan kepala raksasa atau kepala kerdil, kepala rangkap, sel sperma tanpa kepala atau tanpa ekor (seringkali disebabkan perlakuan yang kasar waktu membuat persediaan untuk diwarnai atau untuk pengawetan, tetapi sering juga terlihat pada pembuatan persediaan yang dikerjakan hati-hati), kepala dengan banyak ekor, ekor bengkok atau melingkar, dan kepala-kepala protoplasmik di bagian tengah. Pada ejakulasi yang normal dapat tidak dijumpai atau jarang dijumpai abnormalitas-abnormalitas tersebut. Bila abnormalitas ditemukan dalam jumlah besar, fertilitas pejantan pemilik semen tersebut akan terganggu. Sebagai patokan, bila jumlah sel sperma abnormal mendekati 50 persen dari total sel sperma pada ejakulat, jantan tersebut steril-meskipun jumlah sel sperma yang normal pada ejakulat seharusnya secara teoritis jauh lebih cukup untuk memungkinkan terjadinya fertilisasi (Nalbandov, 1990).

2.9. Pengukuran dan Pengaruh Senyawa Malondialdehyde (MDA)

Pengukuran kadar MDA merupakan cara pengukuran aktivitas radikal bebas secara tidak langsung, sebab yang diukur adalah produk dari reaksi radikal bebas bukan pengukuran radikal bebas secara langsung (Edyson, 2003). Senyawa MDA dapat diukur secara kuantitatif dengan menggunakan metode Thiobarbituric Acid Reactive Substance (TBARS) assay. Reaksi yang terjadi antara asam thiobarbiturat


(43)

(TBA) dan MDA membentuk kromogen berwarna merah muda yang dapat diukur absorbansinya pada panjang gelombang 532 nm (Gambar 4).

Gambar 4. Reaksi TBA dengan MDA membentuk warna merah muda

Menurut Marnet (1999), Senyawa MDA dapat berikatan dengan deoxyadenosine dan deoxyguanosine pada DNA, sehingga mengakibatkan terbentuknya ”DNA-adduct” (DNA termodifikasi) dan produk utamanya adalah pyrimidopurinone yang dikenal dengan M1G (Gambar 5), bersifat mutagenik dan

dapat menyebabkan terjadinya kanker.


(44)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara eksperimental dengan desain Rancangan Acak Lengkap (RAL). Sebanyak 36 ekor mencit jantan dibagi ke dalam 6 kelompok perlakuan dan masing-masing perlakuan terdiri atas 6 ekor mencit jantan.

Menurut Sugandi (1994), Penentuan jumlah ulangan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) ditentukan berdasarkan rumus derajat bebas galat. Dengan memperhatikan banyak perlakuan yang diberikan diusahakan agar derajat bebas galat minimal sama dengan 20.

Rumus Penentuan Jumlah Ulangan Rancangan Acak Lengkap: t = Jumlah Perlakuan

r = Jumlah Ulangan

t (r-1)

20

3.2. Bahan dan Alat

Pada penelitian ini hewan yang digunakan adalah mencit albino jantan dewasa (Mus musculus L) Strain Balb/c berumur ± 3 bulan dengan berat badan 30-45 g yang diperoleh dari Balai Penyelidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Propinsi Sumatera Utara (Lampiran 3).

Bahan-bahan kimia yang digunakan antara lain : Lead Acetate (Merck) , L-Ascorbic acid (Merck), 2-Thiobarbituric acid (Merck), 1,1,3,3-Tetramethoxypropane


(45)

99 % (Sigma), Sodium hydroxide (Merck), Acetic acid glacil (Merck), Giemsa (Merck), NaCl 0,9%, dan Aquadest.

Alat-alat yang diperlukan antara lain: Jarum oral (Gavage), spuit 1 ml, bak bedah & disectting set, gelas arloji, gelas objek, cawan petri, batang pengaduk, vorteks, sentrifuse ependorf®, oven, termometer, spektrofotometer UV Genesys®, mikroskop cahaya, mikroskop bedah, dan hemositometer Improved Neubauer.

3.3. Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan selama ± 3 bulan. Pemeriksaan kualitas spermatozoa epididimis dan kadar Malondialdehyde di dalam sekresi cauda epididimis dilakukan di Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Untuk pemeliharaan hewan dilakukan di kandang hewan Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3.4 Variabel Penelitian 3.4.1. Variabel independent

1. Timbal asetat 2. Vitamin C


(46)

3.4.2. Variabel dependent

1. Kualitas Spermatozoa meliputi: jumlah spermatozoa, motilitas, kecepatan gerak, dan morfologi spermatozoa.

2. Kadar Malondialdehyde di dalam sekresi cauda epididimis

3.5. Pelaksanaan Penelitian

3.5.1. Pemeliharaan hewan percobaan

Hewan percobaan ditempatkan dalam wadah/kandang plastik bertutup, dialas dengan sekam padi, didalam masing-masing kandang ditempatkan 6 ekor mencit jantan. Pemeliharaan hewan dilakukan dalam kondisi 12 jam terang dan 12 jam gelap Makanan berupa pellet ayam broiler PC-05 (PT. Mabar Feed) dan minuman berupa aquadest diberikan secara ad libithum. Kandang ditempatkan dalam ruangan yang memiliki ventilasi dan masuk cahaya matahari secara tidak langsung. Kandang, tempat makan/minum dibersihkan dan alas sekam diganti sedikitnya 2 kali dalam seminggu.

3.5.2 Perlakuan hewan percobaan

Sebanyak 36 ekor mencit jantan yang sehat (ditandai dengan gerakan lincah, dan nafsu makan baik) dengan berat 30-45 g diambil secara acak dengan bantuan tabel acak dan dibagi kedalam 6 kelompok perlakuan ( Tabel 3).


(47)

Tabel 3. Rancangan percobaan Kelompok Perlakuan

aquadest Perlakuan Pb asetat Perlakuan vitamin C Lama perlakuan P0 ( 6 ekor mencit ) 0,1 ml/10 g BB

- -

36 hari P1 ( 6 ekor mencit )

-Konsentrasi 0,1 % w/v, sebanyak 0,1

mL/ 10 g BB

-36 hari

P2 ( 6 ekor mencit )

-Konsentrasi 0,3 % w/v, sebanyak 0,1

mL/ 10 g BB

-36 hari

P3 ( 6 ekor mencit )

-Konsentrasi 0,1 % w/v, sebanyak 0,1 mL/ 10 g BB

Dosis 0,2

mg/g BB 36 hari

P4 ( 6 ekor mencit )

-Konsentrasi 0,3 % w/v, sebanyak 0,1 mL/ 10 g BB

Dosis 0,2

mg/g BB 36 hari P5 ( 6 ekor mencit )

-

-

Dosis 0,2

mg/g BB 36 hari Pemberian bahan percobaan secara oral menggunakan jarum oral/gavage dan dilakukan setiap hari antara jam 08.30 sampai dengan jam 10.30 selama 36 hari.

3.6. Prosedur Pemeriksaan

3.6.1 Pengambilan sekresi cauda epididimis

Untuk mendapatkan spermatozoa di dalam sekresi cauda epididimis dilakukan menurut Kaspul (2004) yang telah dimodifikasi sebagai berikut: Setelah 36 hari perlakuan, masing-masing hewan percobaan dikorbankan dengan cara dislokasi leher dan selanjutnya dibedah. Kemudian organ testis beserta epididimis sebelah kanan diambil dan diletakkan ke dalam cawan petri yang berisi NaCl 0,9 %. Di bawah mikroskop bedah dengan pembesaran 40 kali cauda epididimis dipisahkan


(48)

dengan cara memotong bagian proximal corpus epididimis dan bagian distal vas deferens (Gambar 3). Selanjutnya cauda epididimis dimasukkan ke dalam gelas arloji yang berisi 1 ml NaCl 0,9 % hangat (37oC), kemudian bagian proximal cauda dipotong sedikit dengan gunting lalu cauda ditekan dengan perlahan hingga sekresi/cairan epididimis keluar dan tersuspensi dengan NaCl 0,9 %. Suspensi spermatozoa yang telah diperoleh dapat digunakan untuk pemeriksaan kadar MDA dan dilakukan pengamatan kualitas spermatozoa yang meliputi: jumlah, motilitas, kecepatan gerak, dan morfologi spermatozoa.

3.6.2. Pengamatan kualitas spermatozoa

Pengamatan kualitas spermatozoa dilakukan sebagai berikut : 1. Jumlah spermatozoa

Suspensi spermatozoa yang telah diperoleh terlebih dahulu dihomogenkan. Selanjutnya diambil sebanyak 10 µl sampel dan dimasukkan ke dalam kotak-kotak hemositometer Improved Neubauer serta ditutup dengan kaca penutup. Di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran lensa objektif 40 kali, hemositometer diletakkan dan dihitung jumlah spermatozoa pada kotak / bidang A,B,C,D, dan E (Gambar 6).


(49)

Gambar 6. Hemositometer Improved Neubauer

Hasil perhitungan jumlah spermatozoa kemudian dimasukkan ke dalam rumus penentuan jumlah spermatozoa/mL suspensi sekresi cauda epididimis sebagai berikut :

dimana N = jumlah spermatozoa yang dihitung pada kotak A,B,C,D,dan E

2. Motilitas spermatozoa

Suspensi spermatozoa yang diperoleh dibiarkan terlebih dahulu selama 5 menit pada suhu kamar selanjutnya diteteskan suspensi ini pada kamar hitung improved Neubauer kemudian diamati di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran lensa objektif 40 kali.

Jumlah spermatozoa = N / 2 x 105 spermatozoa / mL supensi

Gerakan spermatozoa diamati dan dikategorikan menurut WHO (1987) sebagai berikut :


(50)

(a). Jika sperma bergerak cepat dan lurus kedepan (gerak maju sangat baik) (b). Jika geraknya lambat atau sulit maju lurus atau bergerak tidak lurus (gerak lemah)

(c). Jika tidak bergerak maju (d). Jika sperma tidak bergerak

Biasanya empat sampai enam lapangan pandang yang harus diperiksa untuk mendapat 100 spermatozoa secara berurutan yang kemudian diklasifikasi sehingga menghasilkan persentase setiap kategori motilitas.

3. Kecepatan gerak spermatozoa diukur berdasarkan waktu rata-rata yang diperlukan dari 25 spermatozoa untuk motil dan bergerak lurus menempuh satu kotak mikrohemositometer (1/20 mm).

4. Morfologi spermatozoa dapat diamati pada sediaan apus dengan pewarnaan Giemsa yang dilakukan sebagai berikut :

a. Reagensia

1. Phosphate buffer, 0.066 M (pH 6,9) dibuat sebagai berikut : 320 ml KH2PO4, 9.1 g/L ditambah 400 ml Na2HPO4, 11.9 g/L,

diatur pH dengan NaOH dan ditambahkan dengan aquadest sampai volume menjadi 1 liter. Setelah volume menjadi 1 liter pH harus diukur lagi.


(51)

7 mL Giemsa (Merck : Cat. No.1222) dilarutkan ke dalam 160 mL Phosphate buffer, dan harus selalu dibuat segar untuk setiap kali

pewarnaan. b. Prosedur pewarnaan

Apusan suspensi spermatozoa yang telah kering difiksasi dengan metanol selama lebih kurang 5 menit, setelah itu dibuang larutan fiksatif dan dibiarkan sampai kering pada suhu kamar. Apusan diwarnai dengan larutan Giemsa selama 30 menit, kemudian dibilas dengan phosphate buffer, dan dibiarkan sampai kering pada suhu kamar.

Pemeriksaan morfologi spermatozoa dilakukan dengan membedakan bentuk spermatozoa normal dan abnormal dari 100 spermatozoa yang diamati. Sehingga diperoleh data bentuk spermatozoa dalam persen. Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop dengan perbesaran lensa objektif 40 kali.

Menurut Hayati et al (2005), kriteria morfologi spermatozoa normal dan abnormal pada hewan mencit (Mus musculus L) adalah sebagai berikut :

1. Normal = Akrosom / bentuk kepala seperti kurva dengan membentuk kait (hook) pada bagian ujung kepala. Bagian leher sampai ujung ekor lurus dengan jumlah ekor tunggal/tidak bercabang.

2. Abnormal = terdapat kelainan bentuk kepala seperti : kepala kerdil, tidak mempunyai kepala, tidak ada hook, dan kepala ”amorphus” (tidak jelas


(52)

bentuknya). Sedangkan pada ekor dapat dijumpai kelainan seperti: ekor membengkok atau bercabang.

3.6.2 Penentuan kadar MDA di dalam suspensi sekresi cauda epididimis

Pemeriksaan kadar MDA di dalam supensi sekresi cauda epididimis dilakukan menurut Rao et al dalam Hsieh et al, 2006 yang telah dimodifikasi sebagai berikut : a. Reagensia

1. 2-Thiobarbituric acid (Merck ; Cat. No.1.08180.0025 )

2. 1,1,3,3-Tetramethoxypropane 99 % (Sigma ; Cat. No. 108383) 500 µM 3. Acetic acid glacial

4. Sodium hydroxide (NaOH) 5. Aquadest

b. Persiapan Regensia 1. TBA/Buffer Reagent

TBA/Buffer Reagent terdiri dari : 0,67 g 2-thiobarbituric acid dilarutkan dalam 100 mL aquadest, selanjutnya ditambah 0,5 g sodium hidroxyde dan 100 mL asam asetat glasial.

2. Standard MDA

Sebanyak 250 µL 1,1,3,3- tetramethoxypropane (Malondialdehyde bis) 500 µM dilarutkan dalam 750 µL aquadest untuk memperoleh larutan stok MDA 125 µM. Selanjutnya dari larutan stok MDA 125 µM dilarutkan dalam aquadest dan dibuat 8 seri standar MDA yang dapat dilihat pada tabel.3 dibawah ini :


(53)

Tabel 4. Persiapan standar MDA untuk spektrofotometer Nomor

standard

Konsentrasi MDA (µM)

Volume MDA

standard (µL) Volume pelarut (µL)

8 50 400 600 7 25 200 800

6 10 80 920

5 5 40 960

4 2,5 20 980

3 1,25 10 990

2 0,625 5 995

1 0 0 1000

c. Prosedur Uji

1. Sebanyak 500 μl sampel (suspensi sekresi cauda epididimis) atau standar MDA dimasukkan dalam tabung ependorf yang masing-masing telah diberi label

2. Ditambahkan 0,5 mL aquadest pada masing-masing tabung. 3. Kemudian ditambahkan 0,5 ml TBA/Buffer Reagent

4. Selanjutnya masing-masing tabung diinkubasi di dalam waterbath dengan suhu 95 oC selama 60 menit

5. Setelah diinkubasi, masing-masing tabung di keluarkan dari waterbath dan setelah dingin masing-masing tabung disentrifugas dengan kecepatan 7000 rpm selama 10 menit.


(54)

6. Supernatan diambil untuk selanjutnya dianalisis dengan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 534 nm.

3.7. Analisis Data

Dari hasil penelitian diperoleh data kadar MDA di dalam sekresi cauda epididimis dan data kualitas spermatozoa (konsentrasi, motilitas, kecepatan gerak, dan morfologi spermatozoa). Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji ANOVA satu arah. Bila terdapat perbedaan nyata dilanjutkan dengan uji BNT (Beda Nyata Terkecil) untuk melihat perbedaan antar kelompok kontrol dan masing-masing perlakuan (Hanafiah, 2000).


(55)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1. Hasil Penelitian

Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil berupa kadar Malondialdehyde (MDA) di dalam suspensi sekresi epididmis mencit (Mus musculus L) Strain Balb/c adalah sebagai berikut :

Tabel 5. Data pengamatan kadar MDA suspensi sekresi cauda epididmis mencit Perlakuan

Data Sampel

P0 P1 P2 P3 P4 P5

1 0.30 0.83 2.23 0.65 1.26 0.30

2 0.13 1.00 1.62 0.74 0.91 0.74

3 0.04 0.83 1.00 0.78 1.00 0.52

4 0.74 0.91 1.48 0.39 1.53 0.39

5 0.78 1.53 1.35 0.52 1.31 0.52

6 0.61 1.31 1.13 0.78

Kadar MDA (µM/mL)

Rata-rata

0.43 ± 0.32

1.06 ± 0.29

1.46 ± 0.44

0.64 ± 0.16

1.53 0.74 1.25 ±

0.26

0.53 ± 0.18 Keterangan :

P0 = Perlakuan aquadest ( kontrol ) P1 = Perlakuan Pb asetat 0,1 % P2 = Perlakuan Pb asetat 0,3 %

P3 = Perlakuan Pb asetat 0,1 % + Vitamin C 0,2 mg/g BB P4 = Perlakuan Pb asetat 0,3 % + Vitamin C 0,2 mg/g BB P5 = Perlakuan Vitamin C 0,2 mg/g BB

Dari Tabel 5 dan Gambar 7 dapat dilihat adanya peningkatan kadar rata-rata MDA di dalam sekresi epididimis mencit jantan pada kelompok perlakuan P1 ( Pb asetat 0,1 %) , P4 ( Pb asetat 0,3 % + vitamin C 0,2 mg/g BB) , dan P2 ( Pb asetat 0,3 %) dibandingkan dengan kelompok hewan uji kelompok P0 (perlakuan aquadest / kontrol ), P5 (perlakuan vitamin C 0,2 mg/g BB) ), dan P3 ( Pb asetat 0,1 % + vitamin C 0,2 mg/g BB.


(56)

0.43 1.06 1.46 0.64 1.25 0.53 0 0.5 1 1.5

P0 P1 P2 P3 P4 P5

Kadar rata-rata MDA

di dalam sekresi cauda epididimis

Perlakuan K a d a r MD A ( µ M / mL )

Gambar 7. Grafik kadar rata-rata MDA

Berdasarkan hasil analisis statistik dengan menggunakan uji Anova satu arah (Lampiran 1) diproleh nilai p<0,05 yang berarti terdapat perbedaan yang bermakna di antara kelompok perlakuan hewan uji. Selanjutnya dilakukan uji beda rerata pengaruh perlakuan dengan menggunakan metode uji Beda Nyata Terkecil (BNT) (Lampiran 2) untuk mengetahui perbedaan antar kelompok perlakuan hewan uji.

Tabel 6. Hasil uji BNT antar rata-rata kadar MDA berbagai kelompok perlakuan

Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 P5

P0 * * NS * NS

P1 * * * NS *

P2 * * * NS *

P3 NS * * * NS

P4 * NS NS * *

P5 NS * * NS *

Keterangan :

NS = Tidak berbeda nyata * = berbeda nyata

Dari hasil uji BNT pada Tabel.6 diperoleh hasil ternyata terdapat perbedaan yang bermakna (p<0.05) antara kelompok P0 dengan kelompok P1 dan P2. Hal ini


(57)

menunjukkan bahwa pemberian Pb asetat 0,1 % dan 0,3 % secara oral selama 36 hari dapat mempengaruhi peningkatan kadar MDA didalam sekresi epididimis mencit jantan. Peningkatan kadar MDA terjadi seiring dengan peningkatan konsentrasi pemberian timbal asetat, ditunjukkan pada hasil uji BNT antara perlakuan P1 dengan P2 yang berbeda nyata.

Sedangkan hasil uji BNT antara kelompok perlakuan P1 (Perlakuan Pb asetat 0,1%) dengan perlakuan P3 ( Pb asetat 0,1% + vitamin C 0,2 mg/g BB) menunjukkan terdapat penurunan kadar MDA yang bermakna (p<0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa pemberian vitamin C dengan dosis 0,2 mg/g BB secara oral selama 36 hari sudah dapat berperan sebagai antioksidan untuk menangkal/melindungi efek senyawa radikal bebas yang dapat ditimbulkan oleh senyawa Pb asetat 0,1%, ditandai dengan penurunan kadar MDA di dalam sekresi epididmis pada hewan uji kelompok perlakuan P3 (Pb asetat 0,1% + vitamin C 0,2 mg/g BB yang diberikan secara bersamaan), dibandingkan dengan kelompok perlakuan P1 yang hanya diberikan Pb asetat 0,1%. Namun hal ini tidak terjadi antara kelompok perlakuan P2 dengan P4, dari hasil uji BNT ternyata Kadar MDA pada kelompok perlakuan P4 (Pb asetat 0,3% + vitamin C 0,2 mg/g BB) tidak mengalami penurunan yang bermakna (p>0,05) dibandingkan dengan kelompok perlakuan P2 yang hanya diberikan Pb asetat 0,3%. Hal ini mungkin terjadi karena dosis vitamin C sebanyak 0,2 mg/g BB yang diberikan secara oral selama 36 hari belum dapat berperan optimal sebagai antioksidan dalam melindungi/menangkal senyawa-senyawa radikal bebas yang ditimbulkan lebih


(58)

banyak oleh karena terpapar senyawa Pb dengan konsentrasi yang lebih tinggi pada kelompok P4 dibandingkan dengan kelompok P2.

Hasil uji BNT lainnya antara kelompok P0 (perlakuan aquadest/kontrol) dengan P3 (Pb asetat 0,1% + vitamin C 0,2 mg/g BB yang diberikan secara bersamaan), dan P5 (perlakuan vitamin C 0,2 mg/g BB), menunjukkan tidak mempengaruhi kadar MDA. Hal ini menunjukan pemberian vitamin C dosis 0,2 mg/g BB bersifat tidak meracuni dan sudah dapat berperan melindungi efek dari senyawa-senyawa radikal bebas yang ditimbulkan dari paparan logam berat timbal (Pb) dengan konsentrasi yang rendah (0,1%).

Sedangkan hasil uji BNT pada kelompok P1 dengan P2 dan P4 ternyata menunjukkan peningkatan kadar MDA, yang berarti logam berat Pb bersifat racun, dan dapat menimbulkan kerusakan lipid pada membran sel, ditandai tingginya kadar MDA sebagai salah satu parameter kerusakan tersebut yang diperoleh di dalam sekresi epididimis. Walupun pada kelompok perlakuan yang diberi penambahan vitamin C dengan dosis 0,2 mg/g BB sebagai antioksidan, ternyata belum mampu melindungi kerusakan yang ditimbulkan dari paparan timbal dengan konsentrasi yang lebih tinggi sampai 0,3%. Konsentrasi Pb yang tinggi ini ternyata sangat berdampak makin meningkatnya senyawa MDA yang terbentuk dibandingkan dengan konsentrasi Pb yang lebih rendah (0,1%). Untuk kualitas spermatozoa meliputi : jumlah, motilitas, kecepatan gerak, dan morfologi spermatozoa dari hasil penelitian ini diperlihatkan pada Tabel 7 sebagai berikut:


(59)

Tabel 7. Data pengamatan kualitas spermatozoa mencit Motilitas spermatozoa (%)

Morfologi spermatozoa ( %) Kelompok Jumlah Spermatozoa ( juta / mL ) suspensi sekresi cauda epididmis Grade a Grade b Grade c Grade d Total Motil Kecepa- tan Gerak sperma (detik/ 1/20 mm) Nor- mal Abnor-mal P0 (aquadest/

kontrol ) 41.50 ± 9.58 13.33 ± 8.16 38.33 ± 9.30 29.17 ± 9.70 19.17 ± 8.01 80.83 ±8.01 0.82 ± 0.07 79.33 ± 6.05 20.83 ± 5.84 P1 (Pb asetat

0,1 %) 20.33 ± 10.54 12.50 ± 9.87 32.50 ±12.14 30.00 ± 14.83 25.00 ± 6.32 75.00 ±6.32 1.15 ± 0.24 65.00 ± 4.47 35.00 ± 4.47 P2 (Pb asetat

0,3 %) 26.67 ± 8.47 5.00 ±6.32 20.83 ±12.81 38.33 ± 16.93 35.83 ± 6.64 64.17 ±6.64 1.35 ± 0.06 62.50 ± 9.87 37.50 ± 9.87 P3 ( Pb asetat 0,1

% + Vitamin C 0,2 mg/g BB )

17.17 ± 4.95 17.50 ± 6.89 43.33 ±14.37 23.33 ± 9.30 15.83 ± 4.91 84.17 ±4.91 0.77 ± 0.14 67.50 ± 6.12 32.50 ± 6.12

P4 ( Pb asetat 0,3 % + Vitamin C 0,2 mg/g BB )

23.50 ± 6.97 5.00 ± 4.47 38.33 ±24.63 40.83 ± 26.53 15.83 ± 3.76 84.17 ±3.76 1.08 ± 0.15 66.67 ± 6.05 33.33 ± 6.05

P5 (Vitamin C 0,2 mg/g BB )

38.00 ± 5.36 30.83 ±11.58 40.00 ±13.03 10.83 ± 6.64 18.33 ±10.80 81.67 ±10.80 0.77 ± 0.11 74.17 ± 4.91 25.83 ± 4.91


(60)

41.5 20.33 26.67 17.17 23.5 38 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

P0 P1 P2 P3 P4 P5

Jumlah spermatozoa di dalam suspensi sekresi cauda epididimis

Perlakuan J u m la h ( ju ta /m L

Gambar 8. Grafik rata-rata jumlah spermatozoa

Dari Gambar 8. di atas dapat dilihat adanya penurunan jumlah spermatozoa secara berurutan dari kelompok perlakuan P5, P2, P4, P1, dan yang terendah P3, dibandingkan dengan kelompok P0 (perlakuan aquadest/kontrol).

13.33 12.5 5 17.5 5 30.83 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

P0 P1 P2 P3 P4 P5

Persentase motilitas grade a

Perlakuan P e rs e n ta s e ( % )


(61)

Untuk parameter motilitas spermatozoa grade a (Gambar 9) menunjukkan terjadi penurunan pada kelompok P2 dan P4 dibandingkan dengan P0, P1, dan P5. Persentase motilitas grade a tertinggi pada kelompok P5

38.33

32.5

20.83

43.33 38.33 40

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

P0 P1 P2 P3 P4 P5

Persentase motilitas grade b

Perlakuan

Pe

rse

n

ta

se

(

%

)

Gambar 10. Grafik rata-rata persentase motilitas spermatozoa grade b

Sedangkan persentase motilitas grade b dari grafik pada Gambar 10 menunjukkan nilai yang hampir sebanding pada P0, P1, P3, P4, dan P5. Nilai sangat rendah tampak pada kelompok P2 dibandingkan dengan kelompok lainnya.


(62)

29.17 30 38.33 23.33 40.83 10.83 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

P0 P1 P2 P3 P4 P5

Persentase motilitas grade c

Perlakuan Pe rse n ta se ( % )

Gambar 11. Grafik rata-rata persentase motilitas spermatozoa grade c

Pada parameter persentase motilitas grade c (Gambar 11) menunjukkan nilai yang sebanding antara P0, P3, dan P5. Persentase dari ketiga kelompok tersebut nilainya lebih rendah bila dibandingkan dengan P1, P2, dan P4.

80.83 75

64.17

84.17 84.17 81.67

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

P0 P1 P2 P3 P4 P5

Persentase total spermatozoa motil

Perlakuan P e rs e n ta se ( % )


(63)

Persentase spermatozoa motil tampaknya pada kelompok P3, P4, dan P5 sebanding dengan kelompok P0 (perlakuan aquadest/kontrol), namun pada kelompok P1 dan P2 dari grafik menunjukkan terjadi penurunan perentase spermatozoa motil (spermatozoa grade a + grade b + grade c) dibandingkan dengan kelompok P0 (Gambar 12). 0.82 1.15 1.35 0.77 1.08 0.77 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4

P0 P1 P2 P3 P4 P5

Kecepatan Gerak Spermatozoa

P l k ( d ik/

K e c e p a ta n ( d e ti k / 0 .0 0 5 m m ) Perlakuan

Gambar 13. Grafik rata-rata kecepatan gerak spermatozoa

Pada Gambar 13 menunjukkan kecepatan gerak spermatozoa tampak menurun pada kelompok P4, P1, dan P2 dibandingkan dengan kelompok P0, ditandai dengan lamanya waktu yang diperlukan sperma untuk bergerak dengan jarak 1/20 mm. Kelompok P3, dan P5 tampak sebanding persentase rata-rata kecepatan gerak sepermatozoa dengan kelompok P0.


(64)

79.33

65 62.5 67.5 66.67 74.17

0 10 20 30 40 50 60 70 80

P0 P1 P2 P3 P4 P5

Persentase Morfologi spermatozoa normal

P e rs e n ta s e ( % ) Perlakuan

Gambar 14. Grafik rata-rata persentase total morfologi spermatozoa normal Sedangkan pada parameter persentase morfologi spermatozoa normal, dari Gambar.14 menunjukkan grafik yang hampir sebanding pada kelompok P2, P4, P1, dan P3, dimana terjadi penurunan persentase jumlah morfologi normal spermatozoa dibandingkan dengan kelompok P5, dan P0.

Tabel 8. Hasil uji BNT rata-rata jumlah, persentase motil, kecepatan gerak, dan persentase morfologi spermatozoa berbagai kelompok perlakuan

Pengamatan Kualitas Spermatozoa Perla-

kuan P0 P1 P2 P3 P4 P5

P0 * * * * NS

P1 * NS NS NS *

P2 * NS * NS *

P3 * NS * NS *

P4 * NS NS NS

.jumlah Spermatozoa per mL suspensi sekresi cauda epdidimis

P5 NS * * *

* *


(65)

Lanjutan tabel 8.

Pengamatan Kualitas Spermatozoa

Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 P5

P0 NS * NS NS *

P1 NS * * * NS

P2 * * * * *

P3 NS * * NS NS

P4 NS * * NS

Persentase spermatozoa

motil Grade a

P5 * NS * NS

NS NS

P0 * * NS * NS

Persentase spermatozoa

motil

P1 * * * NS *

P2 * * * * *

P3 NS * * * NS

Grade b

P4 * NS * * *

P5 NS * * NS *

P0 * * * * *

Persentase spermatozoa

motil

P1 * NS NS NS *

P2 * NS NS NS *

P3 NS * * * NS

Grade c

P4 * NS NS NS NS

P5 * * * NS NS

P0 NS * NS NS NS

P1 NS * * * NS

P2 * * * * *

P3 NS * * NS NS

P4 NS * * NS

Persentase total spermatozoa

motil

P5 NS NS * NS

NS NS

P0 * * NS * NS

P1 * * * NS *

P2 * * * * *

P3 NS * * * NS

P4 * NS * *

Kecepatan gerak spermatozoa

P5 NS * * NS

* *


(66)

Lanjutan tabel 8.

Pengamatan Kualitas Spermatozoa

Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 P5

P0 * * * * NS

P1 * NS NS NS *

P2 * NS NS NS *

P3 NS NS * * NS

P4 * NS NS NS

Persentase Morfologi Spermatozoa

Normal

P5 NS * * NS

NS NS

P0 * * * * NS

Persentase

Morfologi P1 * NS NS NS *

P2 * NS NS NS *

Spermatozoa

P3 * NS NS NS NS

Abnormal

P4 * NS NS NS NS

P5 NS * * NS NS

Keterangan :

NS = Tidak berbeda nyata * = berbeda nyata

Dari hasil uji BNT sebagaimana dilihat pada Tabel 8 di atas menunjukkan adanya perbedaan nyata jumlah spermatozoa (p<0.05) antara kelompok perlakuan kontrol dengan kelompok perlakuan P1, P2, P3, dan P4. Hal ini menyatakan bahwa perlakuan timbal asetat berdampak terhadap penurunan jumlah spermatozoa, dan pemberian vitamin C bersamaan dengan timbal asetat juga menunjukkan masih terjadi penurunan jumlah spermatozoa di dalam sekresi cauda epididmis hewan uji. Bila dibandingkan konsentrasi spermatozoa antara kelompok hewan uji yang keracunan Pb asetat 0,1 % dan 0,3 % yang diberi tambahan vitamin C 0,2 mg/g BB dibandingkan dengan kelompok hewan uji yang tanpa penambahan vitamin C


(1)

P4 P0 -3.333 4.105 .423

P1 -9.167(*) 4.105 .033

P2 -20.000(*) 4.105 .000

P3 .000 4.105 1.000

P5 -2.500 4.105 .547

P5 P0 -.833 4.105 .841

P1 -6.667 4.105 .115

P2 -17.500(*) 4.105 .000

P3 2.500 4.105 .547

P4 2.500 4.105 .547

P0 P1 5.833 4.105 .166

P2 16.667(*) 4.105 .000

P3 -3.333 4.105 .423

P4 -3.333 4.105 .423

P5 -.833 4.105 .841

P1 P0 -5.833 4.105 .166

P2 10.833(*) 4.105 .013

P3 -9.167(*) 4.105 .033

P4 -9.167(*) 4.105 .033

P5 -6.667 4.105 .115

P2 P0 -16.667(*) 4.105 .000

P1 -10.833(*) 4.105 .013

P3 -20.000(*) 4.105 .000

P4 -20.000(*) 4.105 .000

P5 -17.500(*) 4.105 .000

P3 P0 3.333 4.105 .423

P1 9.167(*) 4.105 .033

P2 20.000(*) 4.105 .000

P4 .000 4.105 1.000

Total spermatozoa motil / bergerak (%)


(2)

Multiple Comparisons LSD

Dependent Variable (I) Mencit (J) Mencit

Mean Difference (I-J)

Std.

Error Sig.

P4 P0 3.333 4.105 .423

P1 9.167(*) 4.105 .033

P2 20.000(*) 4.105 .000

P3 .000 4.105 1.000

P5 2.500 4.105 .547

P5 P0 .833 4.105 .841

P1 6.667 4.105 .115

P2 17.500(*) 4.105 .000

P3 -2.500 4.105 .547

P4 -2.500 4.105 .547

P0 P1 -.33333(*) .08442 .000

P2 -.53333(*) .08442 .000

P3 .04667 .08442 .585

P4 -.26167(*) .08442 .004

P5 .05167 .08442 .545

P1 P0 .33333(*) .08442 .000

P2 -.20000(*) .08442 .024

P3 .38000(*) .08442 .000

P4 .07167 .08442 .403

P5 .38500(*) .08442 .000

P2 P0 .53333(*) .08442 .000

P1 .20000(*) .08442 .024

P3 .58000(*) .08442 .000

P4 .27167(*) .08442 .003

P5 .58500(*) .08442 .000

P3 P0 3.333 4.105 .423

P1 9.167(*) 4.105 .033

P2 20.000(*) 4.105 .000

P4 .000 4.105 1.000

Kecepatan gerak spermatozoa (detik/0,005 mm)


(3)

P4 P0 .26167(*) .08442 .004

P1 -.07167 .08442 .403

P2 -.27167(*) .08442 .003

P3 .30833(*) .08442 .001

P5 .31333(*) .08442 .001

P5 P0 -.05167 .08442 .545

P1 -.38500(*) .08442 .000

P2 -.58500(*) .08442 .000

P3 -.00500 .08442 .953

P4 -.31333(*) .08442 .001

P0 P1 14.333(*) 3.745 .001

P2 16.833(*) 3.745 .000

P3 11.833(*) 3.745 .004

P4 12.667(*) 3.745 .002

P5 5.167 3.745 .178

P1 P0 -14.333(*) 3.745 .001

P2 2.500 3.745 .510

P3 -2.500 3.745 .510

P4 -1.667 3.745 .660

P5 -9.167(*) 3.745 .020

P2 P0 -16.833(*) 3.745 .000

P1 -2.500 3.745 .510

P3 -5.000 3.745 .192

P4 -4.167 3.745 .275

P5 -11.667(*) 3.745 .004

P3 P0 -11.833(*) 3.745 .004

P1 2.500 3.745 .510

P2 5.000 3.745 .192

P4 .833 3.745 .825

Morfologi Spermatozoa Normal ( % )


(4)

Multiple Comparisons LSD

Dependent Variable (I) Mencit (J) Mencit

Mean Difference (I-J)

Std.

Error Sig.

P4 P0 12.500(*) 3.727 .002

P1 -1.667 3.727 .658

P2 -4.167 3.727 .272

P3 .833 3.727 .825

P5 7.500 3.727 .053

P5 P0 5.000 3.727 .190

P1 -9.167(*) 3.727 .020

P2 -11.667(*) 3.727 .004

P3 -6.667 3.727 .084

P4 -7.500 3.727 .053

P0 P1 -14.167(*) 3.727 .001

P2 -16.667(*) 3.727 .000

P3 -11.667(*) 3.727 .004

P4 -12.500(*) 3.727 .002

P5 -5.000 3.727 .190

P1 P0 14.167(*) 3.727 .001

P2 -2.500 3.727 .507

P3 2.500 3.727 .507

P4 1.667 3.727 .658

P5 9.167(*) 3.727 .020

P2 P0 16.667(*) 3.727 .000

P1 2.500 3.727 .507

P3 5.000 3.727 .190

P4 4.167 3.727 .272

P5 11.667(*) 3.727 .004

P3 P0 11.667(*) 3.727 .004

P1 -2.500 3.727 .507

P2 -5.000 3.727 .190

P4 -.833 3.727 .825

Morfologi Spermatozoa Abnormal ( % )


(5)

P4 P0 12.500(*) 3.727 .002

P1 -1.667 3.727 .658

P2 -4.167 3.727 .272

P3 .833 3.727 .825

P5 7.500 3.727 .053

P5 P0 5.000 3.727 .190

P1 -9.167(*) 3.727 .020

P2 -11.667(*) 3.727 .004

P3 -6.667 3.727 .084

P4 -7.500 3.727 .053

Ket : Sig = nilai p

Jika nilai p<0.05 = berbeda nyata / signifikan


(6)

Dokumen yang terkait

Pengaruh Pemberian Vitamin C Dan E Terhadap Gambaran Histologis Testis Mencit (Mus musculus L.) Yang Dipajankan Monosodium Glutamat (MSG)

0 46 78

Pengaruh Pemberian Vitamin C Dan E Terhadap Gambaran Histologis Hepar Mencit (Mus musculus L.) Yang Dipajankan Monosodium Glutamat (MSG)

3 83 66

Pengaruh Pemberian Vitamin E Terhadap Gambaran Histologis Tubulus Proksimal Ginjal Pada Mencit Betina Dewasa (Mus musculus L) Yang Mendapat Latihan Fisik Maksimal

0 59 66

Pengaruh Pemberian Vitamin E Terhadap Jumlah, Morfologi Dan Motilitas Sperma Serta Kadar Malondialdehyde (MDA) Testis Mencit Jantan Dewasa (Mus musculus L) Yang Mendapat Latihan Fisik Maksimal

0 66 81

Pengaruh Pemberian Timbal Asetat Dan Vitamin C Terhadap Kadar Molondialdehyde Dan Kualitas Spewrmatozoa Di Dalam Sekresi Epididimis Mencit Albino (Mus musculus L) Strain BalB/C

0 69 96

Pengaruh Pemberian Kalsium Secara Oral Terhadap Kadar Plumbum Dalam Darah Mencit (Mus Musculus L)

1 45 59

Pengaruh Aktivitas Fisik Maksimal Terhadap Jumlah Dan Hitung Jenis Leukosit Pada Mencit (Mus musculus L) Jantan

0 29 101

Pengaruh Pemberian Vitamin C Dan E Terhadap Gambaran Histologis Hepar Mencit (Mus musculus L.) Yang Dipajankan Monosodium Glutamat (MSG)

0 0 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Monosodium Glutamat (MSG) - Pengaruh Pemberian Vitamin C Dan E Terhadap Gambaran Histologis Hepar Mencit (Mus musculus L.) Yang Dipajankan Monosodium Glutamat (MSG)

0 0 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Monosodium Glutamat (MSG) - Pengaruh Pemberian Vitamin C Dan E Terhadap Gambaran Histologis Testis Mencit (Mus musculus L.) Yang Dipajankan Monosodium Glutamat (MSG)

0 0 10