Objek Kajian Ilmu Ushul Fikih

kata iqh menurut bahasa artinya memahami, mengerti, yaitu bentuk masdar dari هقف artinya faham, mengerti, pintar dan kepintaran. Sedangkan menurut istilah yaitu semua hukum yang dipetik dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. melalui usaha pemahaman dan ijtihad tentang perbuatan orang mukallaf baik wajib, haram, mubah, sah atau selain dari itu hanya berupa cabang-cabangnya saja. Jadi ushul iqh itu adalah ilmu yang mempelajari dasar-dasar atau jalan yang harus ditempuh di dalam melakukan istimbath hukum dari dalil-dalil syara’. Terdapat beberapa ulama yang mendeinisikan ushul ikih sebagai berikut: a. Menurut Abdul Wahhab Khallaf Ilmu tentang kaidah-kaidah aturan-aturanketentuan-ketentuan dan pembahasan- pembahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci. b. Menurut Muhammad Abu Zahrah Ilmu yang menjelaskan jalan-jalan yang ditempuh oleh imam-imam mujtahid dalam mengambil hukum dari dalil-dalil yang berupa nas- ̣nas ̣syara’ dan dalil-dalil yang didasarkan kepadanya, dengan memberi ’illat alasan-alasan yang dijadikan dasar ditetapkannya hukum serta kemaslahatan-kemaslahatan yang dimaksud oleh syara’. c. Menurut Syekh Muhammad al-Hudhori memberikan rumusan ushul ikih sebagai berikut: ِةَلِدَاْا َنِم ِةَيِعْ َشلا ِم َكْحَا ْا ُطاَبْنِتْسِا اَهِب ُلَسَوَتُي ِتَلا ُدِعاَوَقلْا َوُه “Ushul iqh yaitu sesuatu ilmu tentang anggaran dasar qaidah yang menjadi perantara untuk istinbath hukum syara dari suatu dalil”. Jadi ushul ikih adalah ilmu yang mempelajari cara-cara atau kaidah-kaidah, teori-teori dan sumber-sumber secara terinci dalam rangka menghasilkan hukum Islam.

A. Objek Kajian Ilmu Ushul Fikih

Menurut ulama mazhab Syai’i yang menjadi obyek kajian para ulama ushul ikih adalah dalil-dalil yang bersifat global seperti kehujahan ijmā’ dan qiyās, cara menetapkan hukum dari dalil-dalil tersebut, dan status orang yang menggali dalil serta pengguna hukum tersebut. Untuk yang disebut ini mencakup syarat-syarat mujtahid serta syarat-syarat taqlīd. Menurut Dr. Wahbah az-Zuhaili yang menjadi obyek kajian ushul ikih adalah sebagai berikut : 1. Mengkaji sumber hukum Islam atau dalil-dalil yang digunakan dalam menggali hukum syara’, baik yang disepakati seperti kehujahan al-Qur’an dan sunah Nabi Saw., maupun yang diperselisihkan seperti kehujahan istịsān dan al-maṣlạah al-mursalah 2. Mencarikan jalan keluar dari dalil-dalil yang secara lahir dianggap bertentangan, baik melalui al-jam’u wa at-taufīq pengompromian dalil, tarjị̄ al-adillah, nasakh, 97 Fikih - Ushul Fikih Kurikulum 2013 atau tasāqut ad-dalīlain pengguguran kedua dalil yang bertentangan. Misalnya, pertentangan ayat dengan ayat, ayat dengan hadis, atau hadis dengan pendapat akal. 3. Pembahasan ijtihad, syarat-syarat, dan sifat-sifat orang yang melakukannya mujtahid, baik yang menyangkut syarat-syarat umum maupun syarat-syarat khusus keilmuan yang harus dimiliki mujtahid. 4. Pembahasan tentang hukum syara’ naṣ dan ijmā’, yang meliputi syarat dan macam- macamnya, baik yang bersifat tuntutan untuk berbuat, meninggalkan suatu perbuatan, memilih untuk melakukan suatu perbuatan atau tidak, maupun yang berkaitan dengan sebab, syaraṭ, māni’, ṣah, fāsid, serta azīmah dan rukhṣah. Dalam pembahasan hukum ini juga dibahas tentang pembuat hukum al-mạkūm alaih, ketetapan hukum dan syarat- syaratnya, serta perbuatan-perbuatan yang dikenai hukum. 5. Pembahasan tentang kaidah-kaidah yang digunakan dan cara menggunakannya dalam mengistinbatkan hukum dari dalil-dalilnya, baik melalui kaidah bahasa maupun melalui pemahaman terhadap tujuan yang akan dicapai oleh suatu nạ ayat atau hadis. Dengan demikian terlihat jelas perbedaan antara obyek ushul ikih dan obyek ikih itu sendiri. Obyek kajian ushul ikih adalah dalil-dalil, sedangkan obyek ikih adalah perbuatan seseorang yang telah mukallaf telah dewasa dalam menjalankan hukum. Jika ahli ushul ikih membahas dalil-dalil dan kaidah-kaidah yang bersifat umum, maka ahli ikih mengkaji bagaimana dalil-dalil juz’i sebagian dapat diterapkan pada peristiwa- peristiwa khusus. Misalnya, perintah adalah wajib, hal ini merupakan ketentuan universal yang sesuai dengan bagian-bagiannya sebagaimana irman Allah dalam al-Qur’an bahwa aqīmu aṣ- ṣalāh dirikanlah shalat dan ātu az-zakāh keluarkan zakat. Sedangkan cara menggunakan ketentuan-ketentuan universal dalam menggali hukum syara’ ialah, irman Allah aqīmu kalimat perintah yang menunjukkan makna ṭalab tuntutan yaitu kerjakan dan tidak ada tanda-tanda yang mengalihkan perkataan dari makna perintah kepada makna lainnya. Oleh karena itu, setiap kalimat yang menunjukkan arti perintah selama tidak ada hal yang mengalihkan dari makna asalnya maka kalimat tersebut menunjukkan wajib. Hasilnya, bahwa aqīmu menuntut wajibnya pekerjaan yang dituntut aqimu yaitu shalat. Akhirnya, sebuah produk hukum yang dikandung dalam aqīmu aṣ-ṣalāh bahwa shalat itu wajib.

B. Tujuan mempelajari Ushul Fikih