cenderung secara
langsung sedangkan
perempuan agresinya cenderung tidak langsung.
c. Faktor Situasional
1 Suhu Udara
Suhu udara pada titik tertentu dapat memicu seseorang untuk melakukan tindakan agresi. Suhu udara
yang terlalu tinggi akan membuat seorang individu berada dalam kondisi tidak nyaman sehingga menyebabkan
mereka kehilangan energi dan tidak mampu melakukan agresi Baron dan Byrne, 2005. Selain itu, Carlsmith dan
Anderson dalam Koeswara, 1988 menyimpulkan bahwa pada musim panas banyak terjadi tindakan agresi. Hal ini
karena pada musim panas hari-hari lebih panjang dari musim-musim lainnya. Berdasarkan penemuan tersebut
mereka sepakat bahwa antara suhu udara dan tindakan kekerasan terdapat kaitan erat.
2 Alkohol
Pada beberapa penelitian Busman, Cooper, dan Gustafson dalam Baron dan Byrne, 2005 ditemukan
bahwa orang yang yang mengkomsumsi alkohol dalam jumlah yang banyak bertindak lebih agresi dan lebih cepat
merespon pada provokasi ketimbang orang yang tidak mengkomsumsi alkohol. Selain itu, pada kenyataanya
bahwa berdasarkan studi metaanalisis yang dilakukan akhir-akhir ini menegaskan bahwa alkohol dapat
menimbulkan agresi baik secara fisik maupun verbal Bushman dan Cooper dalam Pihl dan Hoaken, 2000.
Hasil penelitian Phil dan Hoaken 2000 juga menemukan bahwa laki-laki pecandu alkohol suka mabuk-mabukan
lebih agresif dari teman sebayanya yang tidak pecandu alkohol. Hal ini juga didukung dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Taylor dan Schmut dalam Koeswara, 1988 ditemukan bahwa orang yang mengkomsumsi
alkohol dalam jumlah yang tinggi lebih agresif dibandingkan dengan orang yang tidak mengkomsumsi
alkohol. Maka dapat disimpulkan bahwa alkohol memiliki kaitan erat dengan agresi.
Selain 3 faktor yang dikelompokkan oleh Baron dan Byrne 2005, Berkowitz 2006 juga mengemukakan bahwa keluarga dan
pengaruh kelompok dan geng teman sebaya juga dapat mempengaruhi perkembangan kecenderungan agresif. Berikut ini
akan dibahas secara mengenai faktor-faktor tersebut. 1.
Keluarga Kecenderungan kekerasan seseorang bisa merupakan hasil
berbagai pengaruh, diantaranya : kurang kasih sayang dari orang tua, disiplin orang tua yang keras pada masa pertumbuhan,
faktor turunan dan susunan syaraf, besarnya stres dalam kehidupan, kegagalan dalam memenuhi keinginan pribadi dan
ekonomi, sikap dan nilai-nilai tentang agresi yang menonjol dalam masyarakat atau yang dipegang oleh teman-temannya,
sejauh mana mereka melihat orang lain memakai agresi dalam memecahkan masalah dalam kehidupan nyata atau di layar
bioskop atau TV, dan bagaimana mereka belajar untuk melihat masyarakat
disekitarnya. Tidak
ada sumber
tunggal kecenderungan agresif seseorang seperti halnya tidak ada
sumber tunggal dalam mengembangkan sifat kekerasan. Perlu diketahui bahwa peran keluarga juga menjadi salah
satu faktor penyumbang perkembangan kecenderungan agresif seseorang yang dapat bertahan hingga dewasa. Hal ini
dikarenakan menurut McCord dalam Berkowitz, 1995 pengalaman
keluarga sewaktu
kecil dapat
membantu membentuk jalan hidup mereka setelah dewasa bahkan dapat
mempengaruhi kemungkinan mereka menjadi pelanggar hukum. Oleh karena itu, cara membesarkan anak sering mempunyai
pengaruh jangka panjang terhadap perkembangan agresivitas dan antisosial. Menurut Petterson dalam Berkowitz, 2006
banyak anak pada dasarnya terlatih untuk bertindak agresi melaui interaksi dengan para anggota keluarga yang lain. Selain
itu, kondisi yang penuh tekanan yang ada dalam keluarga seperti
pengangguran, konflik suami istri, pendidikan, pengahasilan, dan latar belakang etnis orang tua juga dapat mempengaruhi
pertumbuhan seorang anak. Hal-hal ini kemudian yang mempangaruhi cara orang tua mengasuh anaknya. Oleh karena
itu, jika seorang anak menjadi berkecendrugan agresif karena interaksi dengan para anggota keluarga maka dia akan
melakukan tindakan yang tidak semestinya diluar keluarga. Penolakan orang tua terhadap anaknya tentu menyakitkan
bagi seorang anak, maka tidak dipungkiri bahwa bahwa banyak anak yang sangat agresif memiliki orang tua yang dingin dan
tidak peduli terhadap anaknya. Menurut McCord, McCord dan Horward dalam Berkowitz, 2006 dalam penelitian mereka
menemukan bahwa para bapak dan ibu dari anak yang agresif kurang
memberikan kasih
sayang terhadap
anaknya dibandingkan dengan anak yang berperilaku baik. Hal ini
didukung dengan penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Joan McCord dalam Berkowitz, 2006. Dalam penelitian tersebut
ditemukan bahwa peserta penelitian yang ketika kecil mengalami penolakan dan tidak mendapatkan kasih sayang yang
penuh dari orang tua ternyata melakukan kejahatan yang serius ketika dewasa walaupun tidak mengalami penyiksaaan fisik.
Olweus dalam Berkowitz, 2006 juga mengemukakan bahwa orang tua yang keras dan suka menghukum cenderung
menghasilkan anak-anak yang agresi dan antisosial. Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan McCord dalam
Berkowitz, 2006 yang menemukan bahwa seorang anak yang disiksa sewaktu kecil ternyata melakukan kejahatan berat setelah
dewasa dibandingkan dengan anank yang terus mendapat kasih sayang dari orang tua mereka. Oleh karena itu, anak-anak kecil
yang setelah dewasa melakukan kejahatan setelah dewasa memiliki orang tua yang memiliki sikap begis, menerapkan
disiplin yang keras, dan penuh hukuman. Banyak ibu dan ayah yang suka menyiksa juga sangat dingin terhadap anaknya,
kadang kejam, tidak mau meluangkan waktu untuk membahas masalah mereka, dan seringkali tidak konsisten dalam
mengendalikan anaknya. Mereka tidak selektif dan konsisten dalam pemilihan tindakan pemberian hukuman atau hadiah.
Mereka cenderung mengomel, mencaci, serta mengancam asal- asalan. Baumrind dalam Berkowitz, 2006 mengemukan bahwa
gaya pengasuhan orang tua yang bersifat otoriter juga dapat membentuk perilaku anak menjadi anak yang kebigungan dan
mudah tersinggung, takut, gelisah, menjengkelkan, agresif dan suka menyendiri, murung, dan sedih.
2. Pegaruh kelompok dan geng
Banyak anak sangat mudah terpengaruh oleh teman- temannya karena merasa ingin dihargai oleh teman sebayanya.
Oleh karena itu, mereka sering mencari teman-teman yang dapat menghargai mereka. Hal ini bahkan berlaku bagi anak-anak
yang sering terlibat perkelahian dengan teman sebayanya. Kenakalan dan kesukaan berkelahi mereka mungkin membuat
banyak teman sebaya mereka menjauhi mereka. Akan tetapi, kebanyakan dari mereka akan tetap memiliki teman lain yang
memiliki agresivitas dan gaya hidup yang sama dengan mereka. Mereka kemudian saling mendukung, percakapan dan tindakan
mereka mengarah pada kesamaan kepentingan, dan sikap mereka mengarah pada kecenderungan kesamaan dalam perilaku
antisosial. Pada kelompok ini mereka mendapat penerimaan, status, dan merasa penting atau dihargai dalam kelompok
dibanding dalam kelompok lain. Mereka juga mendapat dukungan kelompok bahwa pandangan dan sikap mereka
bersama itu benar serta bahwa bahaya yang mereka takuti bisa diatasi Berkowitz, 2006.
Pada kelompok dan geng tersebut mereka bukan saja mendapat rasa aman, status, dan harga diri tetapi mereka juga
membuat aturaran-aturan yang berlaku bagi semua anggota kelompok dan geng. Aturan-aturan tersebut dibuat untuk
menetukan bagaimana anggota kelompok dan geng harus bertindak dalam situasi tertentu. Aturan ini kemudian dapat
memberikan dampak yang kuat terhadap tingkah laku anggota
secara perseorangan. Hal ini karenakan mereka akan mendapatkan dukungan sesama anggota geng dengan mengikuti
standar yang dibuat geng atau ditolak jika tidak memenuhi harapan geng Berkowitz, 2006.
Aturan yang dibuat ini biasanya menentukan perilaku yang diinginkan jika kehormatan anggota geng terancam. Untuk
membuktikan ketangguhan mereka ketika harga diri terancam maka seorang anggota geng harus secara tangguh menghukum
mereka yang menyerang. Keyakinan mereka akan perlunya perilaku agresi dalam keadaan tertentu dapat berfungsi sebagai
penguat bagi kekerasan. Individu yang memegang keyakinan tersebut termotivaisi untuk berbuat sesuai tatacara yang
disepakati. Selain itu, seseorang terdorong suka kekerasan jika menganggap harga dirinya atau citra diri atau identitasnya
terancam. Mereka juga mendapat dukungan dari anggota kelompok ketika mereka mempraktekkan perbuatan mereka
tersebut. Oleh karena itu, penguatan yang diberikan oleh sesama teman mereka menjadi penguat bagi mereka untuk mengulangi
perbuatan tersebut. Hal ini yang kemudian mengembangkan keberanian mereka untuk melakukan penyerangan termasuk
dengan kekerasan secara bersama-sama bahkan agresi yang dilakukan bisa serius Berkowitz, 2006.
B. Kerangka Penelitian : Perilaku Agresi Mahasiswa Etnis Nusa Tenggara
Timur
Terbentuknya perilaku agresi mahasiswa etnis Nusa Tenggara Timur, tentulah dipicu oleh berbagai faktor. Sejumlah penelitian menjelaskan
bahwa terdapat berbagai faktor yang memicu perilaku agresi e.g. Baron at al, 2005; Berkowitz, 2006; Sarwono at al, 2009. Menurut Baron dan Byrne
2005 ada berbagai faktor yang menyebabkan agresi, antara lain : frustasi, provokasi langsung, pemaparan kekerasan dimedia, keterangsangan yang
meningkat, pola perilaku tipe A, bias atribusi hostile, gender, suhu udara tinggi, alkohol, belief budaya, dan nilai-nilai. Ada pun Faktor-fator tersebut
dapat dikelompokkan kedalam 3 faktor besar yaitu faktor sosial, faktor pribadi, dan faktor situasional.
Beberapa penelitian mengemukan bahwa salah satu faktor yang memicu agresi yaitu interaksi anak dengan anggota keluarga lain, pola asuh
orang tua yang bersifat otoriter dan kasar dapat mengembangkan kecenderungan kepribadian agresif seorang anak yang dapat bertahan
hingga dewasa Schellenberg, 2000; Peterson, McCorrd, Olweus, Baumrind dalam Berkowitz, 2006. Sarwono dan Meinamo 2009 mengemukakan
bahwa provokasi fisik dan verbal yang dilakukan seseorang dapat menjadi pemicu tindakan agresi. Mengkomsusi alkohol juga dapat menjadi pemicu
timbulnya agresi baik fisik atau verbal Bushman at al dalam Phil dan Hoaken, 2000; Madianung dalam Sarwono dan Meinamo, 2009.