1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perilaku agresi bukanlah hal yang baru bahkan mungkin sudah menjadi bagian dari kehidupan bermasyarakat. Sehingga tidak jarang kita
menjumpai tindakan pelemparan, pemukulan, penghinaan, dan lain-lain dalam kehidupan sehari-hari. Pemberitaan, baik dari media elektronik
maupun media cetak, mengenai tindakan kekerasan sebagai wujud dari perilaku agresi sangat banyak. Bahkan media elektronik dan cetak
memberikan pemberitaan khusus mengenai kasus kekerasan dan agresi yang dapat kita lihat setiap hari dari berbagai daerah di Indonesia. Pemberitaan
dimedia dan kejadian yang terjadi disekitar kita menandakan bahwa perilaku agresi ada dan dekat dengan kehidupan bermasyarakat.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Tohari Dkk 2011 pada tahun 2008-2010 ditemukan bahwa selama tahun tersebut telah terjadi insiden
konflik dan kekerasan sebanyak 4.021 kali. Hal ini jika dihitung rata-rata pertahun maka rata-rata pertahun terjadi sebanyak 1.340 insiden konflik.
Bahkan jika dihitung maka rata-rata kejadian konflik perhari selama kurun waktu 2008-2010 terjadi 3,6 insiden setiap harinya. Salah satu konflik
kekerasan yang cukup menonjol dalam kurun waktu 2008-2010 adalah kekerasan rutin yang menyumbang sebesar 62,1 dari total kekerasan di
Indonesia. Kekerasan rutin terdistibusi dalam tiga varian kekerasan yaitu
tawuran 27,1, penghakiman massa 27,1, dan pengeroyokan 7,5. Bahkan kekerasan bernuasa etnis atau agama pun menyumbang sebesar
2,2 dari total konflik dan kekerasan. Hal ini berarti dalam 3 tahun terjadi 90 kali insiden konflik bernuasa etnis atau agama dan pertahunnya sebanyak
30 kali insiden konflik. Berdasarkan pemaparan data tersebut, dapat dikatakan bahwa ada kemungkinan dalam setiap daerah di Indonesia terjadi
konflik kekerasan sepertihalnya di daerah Yogyakarta. Salah satu peristiwa kekerasan yang mengemparkan kota Yogyakarta
yaitu peristiwa kekerasan yang dilakukan pada tanggal 19 Maret 2013 oleh sekelompok orang yang berasal dari Nusa Tenggara Timur yang terjadi di
Hogo’s Cafe dan berdampak pada terbunuhnya salah seorang Prajurit KOPASUS. Ada pun orang yang terlibat dalam peristiwa pembunuhan
tersebut adalah seorang pemuda yang masih berstatus sebagai mahasiswa
SERGAP NTT -Jumat, 5 April 2013. Keterlibatan mahasiswa Nusa
Tenggara Timur dalam melakukan tindakan kekerasan bukan hanya pada peristiwa Hogo’s Cafe tetapi pada peristiwa kekerasan lain. Diantaranya
peristiwa pembacokan seorang mahasiswa asal Timor Leste yang diduga dilakukan oleh sekelompok mahasiswa etnis Nusa Tenggara Timur
Okezone-Minggu, 14 April 2013. Peristiwa kekerasan pada tahun 2012 yaitu penusukkan seorang mahasiswa asal Kalimantan dayak dan
pelakunya juga merupakan mahasiswa yang berasal dari Nusa Tenggara Timur Inker Senda-Senin, 25 Maret 2013. Selain itu, banyak peristiwa
kekerasan yang dilakukan oleh mahasiswa Nusa Tenggara Timur yang tidak
terliput oleh media seperti yang dipaparkan oleh Giorgi Babo Mogi dalam cacatan untuk mahasiswa asal Nusatenggara Timur yang berjudul “ Kembali
ke Fitrah Tujuanmu : KULIAH “. Dalam tulisan tersebut Giorgi memaparkan bahwa di lapangan atau panggung-panggung pesta mahasiswa
etnis Nusa Tenggara Timur selalu menjadi terdepan. Akan tetapi, mahasiswa etnis Nusa Tenggara Timur sering menjadi biang kerusuhan,
perkelahian, dan percecokkan. Perseteruan yang terjadi berakhir dengan terjadinya bentrok mahasiswa antar kabupaten se-Nusa Tenggara Timur
bahkan bentrok pun terjadi dengan mahasiswa asal daerah lain sering terjadi. Kondisi ini juga diperparah dengan perilaku negatif mahasiswa
etnis Nusa Tenggara Timur yang mengkomsumsi alkohol, merokok bahkan ada yang terjerumus pada penggunaan narkotika Nagekeo Bersatu- Selasa,
26 Maret 2013. Perilaku mereka yang seperti ini menyebabkan sebagian masyarakat
Yogyakarta bahkan mahasiswa lain yang berasal dari berbagai provinsi memandang negatif mahasiswa etnis Nusa Tenggara Timur. Berdasarkan
wawancara dengan beberapa masyarakat asal Yogyakarta dan mahasiswa dari daerah lain, mereka memandang mahasiswa etnis Nusa Tenggara Timur
sebagai anak-anak yang suka berkumpul dan mabuk-mabukkan, membuat kerusuhan baik di jalan maupun di tempat makan, suka ke tempat hiburan
malam, tidak membayar uang kos, memutar musik keras-keras, dan berkelahi. Citra ini mengakibatkan mahasiswa etnis Nusa Tenggara Timur
identik dengan premanisme dan anarkisme bahkan mereka sulit diterima di kalangan masyarakat untuk tinggal di kos-kos warga kota Yogyakarta.
Perilaku dan tindakan mahasiswa etnis Nusa Tenggara Timur yang dipaparkan di atas dapat dipandang sebagai suatu tindakan kekerasan.
Kekerasan violence berasal dari bahasa latin yaitu violentus, berasal dari kata vi atau vis yang berarti kekuasaan atau berkuasa. Kekerasan merupakan
cerminan dari tindakan agresi atau penyerangan terhadap kebebasan atau martabat
seseorang oleh
perorangan atau
sekelompok orang
www.wikipedia.com. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Krahe 2005 yang mengatakan bahwa kekerasan merupakan salah satu
bentuk dari agresi dalam Dewi, 2012. Anderson dan Bushman 2001 juga mengemukakan bahwa kekerasan merupakan bentuk yang paling ekstrim
dari agresi seperti penyerangan secara fisik dan pembunuhan. Dalam penelitian ini agresi yang digunakan bukan sinonim dari “kegigihan”,
“penguasaan” atau kebebasan melainkan menggunakan “tindak kekerasan” dalam hubungannya dengan bentuk ekstrim dari agresi yaitu upaya keras
untuk benar-benar menyakiti secara fisik Berkowitz, 1995. Sikap agresif dimiliki oleh setiap orang dan merupakan
kecenderungan bawaan self destruction yang di bawah sejak lahir Freud dalam Baron dan Byrne, 2005 dan bersifat instingtual atau fighting instinct
Lorenz dalam Baron dan Byrne, 2005. Bahkan oleh Murray dalam Hall, 1993 agresi dikategorikan sebagai salah satu kebutuhan manusia. Maka
dapat dikatakan bahwa setiap orang memiliki kecederungan untuk agresif.
Perilaku agresi merupakan suatu perilaku yang bertujuan untuk melukai atau mencelakaan orang lain dengan atau tanpa tujuan tertentu Aroson dalam
Koeswara, 1988. Selain itu, Moore dan Fine 1968 dalam Koeswara, 1988 juga mendefenisikan agresi sebagai suatu perilaku kekerasan baik
secara fisik maupun verbal yang ditujukan pada orang lain atau objek-objek lain. Hal serupa juga dikemukana oleh Dollar, Doob, Miller, dan Sears
1939 yang mengatakan bahwa perilaku agresi adalah suatu rangkaian perilaku yang bertujuan untuk melukai orang lain secara langsung dalam
Bandura, 1973. Selain itu, Berkowist 1995 mendefinisikan agresi sebagai segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang baik
secara fisik maupun secara mental bahkan sebagai “dasar dari prestasi
intelektual, dari tercapainya kebebasan, bahkan kebanggaan yang bisa membuat seseorang merasa lebih dari teman-temannya.
Perilaku agresi muncul karena terpicu oleh banyak hal. Penelitian yang telah dilakukan selama 50 tahun terakhir menunjukkan bahwa
menonton kekerasan di TV dan memainkan video game kekerasan dapat meningkatkan perilaku agresi ISRA, 2012. Hal ini serupa dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Anderson dan Bushman 2001 menemukan bahwa tingginya kekerasan di video game berhubungan dengan tingginya
agresi baik itu pada laki-laki atau perempuan, anak-anak atau dewasa dan terbukti dalam penelitian eksperimental atau non-eksperimental. Selain itu,
berdasarkan survei cross-sectional dan longitudinal menunjukkan bahwa orang yang secara terus menerus mengkomsumsi media yang menunjukkan
kekerasan, memiliki kemungkinan perilaku agersinya meningkat ISRA, 2012.
Tipe kepribadian seseorang juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan seseorang berperilaku agresi Baron dan Byrne, 2005;
Bettencourt, Talley,
dan Benjamin
2006; Schellenberg,
2000. Kecenderungan memiliki kepribadian agresi ini juga dapat berkembang dari
pola asuh orang tua dan interaksi anak dengan lingkungan sekitar. Kebanyakan pola asuh orang tua di Nusa Tenggara Timur bersifat otoriter.
Orang tua dalam keluarga dipandang sebagai penguasa, pengambil segala keputusan, dan pembuat peraturan. Seorang anak tidak boleh mengajukan
protes, bertanya bahkan tidak boleh membantah. Hal ini membuat ada jarak antara anak dan orang tua serta membuat adanya kepatuhan yang negatif.
Selain itu, ketika seorang anak melakukan kesalahan, orang tua merasa berhak memberikan hukuman. Hukuman yang diberikan dengan
menggunakan kekerasan yaitu memukul yang mengakibatkan luka dan memar pada tubuh seorang anak dan bahkan ada yang berakhir pada
kematian Isliko, 2008. Orang tua yang menggunakan kekerasan dalam menghukum anak
dimaksudkan untuk mendisiplikan anak. Hal ini seperti yang di kemukakan Petterson dalam Berkowitz, 2006 bahwa banyak agresi di rumah timbul
karena adanya upaya untuk mengendalikan anggota keluarga yang lain. Perlu diketahui bahwa hukuman dengan kekerasan ini dipandang dapat
berfungsi secara efektif apabila bertidak secara konsisten. Konsisten dalam
hal ini mencakup 3 hal yaitu 1 waktunya tepat, 2 ada alternatif bagi tindakan anak-anak itu, dan 3 harga diri si anak tidak terpukul Berkowizt,
2006. Akan tetapi, orang tua di Nusa Tenggara Timur dinilai tidak konsisten karena mereka tidak bahkan jarang mempertimbangkan tingkat
kesalahan dan jenis hukuman yang diberikan. Hal ini dikarenakan mereka memegang paham “ di ujung rotan ada emas” Isliko, 2008. Ungkapan ini
berarti dengan memukul anak maka akan menghasilkan anak yang penurut, disiplin dan menjadi anak yang baik. Terkadang hukuman yang diberikan
orang tua pada anak merupakan bentuk kekesalan yang di lampiaskan pada anak Isliko, 2008.
Pola asuh orang tua di Nusa Tenggara Timur bersifat otoriter Isliko, 2008 . Menurut Baumrind dalam Berkowitz, 2006 pola asuh otoriter ini
dapat menghasil perilaku anak yang takut, gelisah, menjengkelkan, murung, sedih, campuran antara agresif, dan suka menyendiri. Hal serupa juga
ditemukan dalam studi yang dilakukan oleh Olweus dalam Berkowizt, 2006 yang menemukan bahwa orang tua yang keras dan suka menghukum
cenderung menghasilkan anak-anak yang sangat agresif dan antisosial. Perlakuan kasar yang di terima anak dari orang tua bisa menjadi faktor
resiko meningkatkan kemungkinan kecenderungan agresivitas dan antisosial. Bahkan McCorrd dalam, Berkowitz, 2006 mengemukakan
bahwa cara membesarkan anak sering mempunyai pengaruh jangka panjang terhadap perkembangan agresivitas antisosial. Petterson dalam Berkowitz,
2006 juga mengemukan bahwa kebanyakan anak pada dasarnya terlatih
untuk bertindak agresi melalui interaksi mereka dengan anggota keluarga lain. Hal ini berarti bahwa hukuman mengggunakan kekerasan dapat
berfungsi secara efektif apabila dilakukan secara konsisten. Akan tetapi, jika dilakukan secara tidak konsisten maka hal ini akan menyumbang
kecenderungan anak untuk bertindak agresi dan antisosial serta dapat bertahan hingga dewasa.
Pengunaan kekerasan untuk mendisiplinkan anak bukan hanya dijumpai pada pola asuh orang tua namun dijumpai juga dalam lingkungan
sekolah di Nusa Tenggara Timur. Hampir semua lingkungan sekolah baik itu dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menegah Atas, bahkan dijumpai juga
di jenjang Perguruan Tinggi Mulyadi, 2007; Nurhayaty, 2015. Hal ini dikarenakan para guru dan orang tua mempercayai pepata
h “di ujung rotan ada emas” dapat menghasilkan generasi yang cemerlang. Oleh karena itu,
mereka tidak segan-segan memukul anak-anak dengan rotan demi menghasilkan masa depan anak yang cemerlang. Kekerasan yang sering
dilakukan oleh guru di sekolah adalah pada saat siswa datang terlambat ke sekolah maka akan dicubit dijewer dan dipukul menggunakan kayu
Nurhayati, 2015. Para guru juga memukul kepala murid karena tidak mengerjakan tugas, memberi hukuman dengan cara berjemur di bawah sinar
matahari karena terlambat masuk sekolah, menampar, meninju, berjalan dengan lutut, membentak murid yang bertanya bukan menjawab pertanyaan
dan lain sebagainya Mulyadi, 2007.
Hal ini nampak pada pengalaman Subyek JB yang didapatkan ketika menempuh jenjang pendidikan di Sekolah Menegah Pertama dan Sekolah
Menegah Atas di Atambua, Nusa Tenggara Timur. “Di sekolah ketika mendisiplikan itu di tampar terus di
rotan. Saya melihat pepatah “di ujung rotan ada emas” itu yang mereka terapkan pada kita. Makanya emas
bertaburan di NTT itu. Makanya saya pikir mereka tidak sukses sama sekali. Mereka gagal semua guru itu.
Banyak, mungkin akhir-akhir ini saya tidak tahu tapi rata-rata SMP, SMA itukan pake kekerasan semua.
Kekerasannya dengan dipukul semua dan hampir semua mengalami hal
yang sama JB, 2014.” “Saya pernah di rotan. Tidak mengerjakan tugas
sangsinya disuruh berlutut, suruh hormat bendera, berlutut ke tiang bendera. Berdiri ke tiang bendera
hormat bendera, kabel lagi, dipukul JB, 2014.” Bandura 1977 menegaskan bahwa individu belajar dengan cara
mengamati apa yang dilakukan oleh orang lain sering disebut dengan modelling atau imitasi, dimana secara kognitif individu dapat mengamati
tingkahlaku orang lain dan setelah diolah oleh kognitif kemudian akan diadopsi kedalam tingkah laku individu tersebut. Selanjutnya belajar adalah
suatu proses perubahan perilaku yang terbentuk melalui tranformasi informatif yang dihasilkan oleh perilaku langsung individu dalam
interaksinya dengan lingkungan melihat, mengamati, dan meniru atau imitasi dari orang sekitar. Oleh karena itu, anak yang mengalami dan
mengamati berbagai tindak kekerasan dalam lingkungan interaksinya ini akan menggunakan perilaku tersebut sebagai perilakunya sendiri termasuk
tindak kekerasan. Maka dapat dikatakan bahwa orang tua dan lingkungan sekolah yang menggukan kekerasan dalam menghukum seorang anak ini
juga dapat membuat seorang anak meniru apa yang dilakukan oleh orang tua dan sekolah dikemudian harinya. Hal ini karena mereka meniru apa yang
telah mereka lihat selama interaksi mereka dengan lingkungan sekitar. Hal ini nampak pada pengalaman subyek JB yang didapatkan ketika
mengamati dan merasakan serangkaian kekerasan dari orang disekitarnya di Nusa Tenggara Timur.
“Kecenderungan setiap kali melihat orang melakukan kesalahan maka akan langsung memukul. Lasung kesana
memukul karena apa yah saya pikir disaat-saat itu kita dibentuk, saat-saat masa-masa kita umur seperti itu. Saya pikir
kita ini apa yah kita mengikuti jejak yang sudah dibuat oleh orang-orang dan itu kepekaan kita . kita merekam apa yang
dibuat orang itu dan kita itu yang kita ulangi. Dulukan tindakan pertama itu saya ini dulu pernah lihat yang seperti ini.
Itukan kadang-kadang kecenderungan kitakan kesana. Jadi dulukan setiap kali penyelesaian masalah kok seperti ini?
Kalau masih di rumah kita rasanya lain, nah justru yang bertentangan itu ketika di rumah lebih halus, disekolah yang
diasrama itu lebih parah. Saya pikir begitu malah mengatur katanya disiplin. Tapi caranya itukan tidak benar sama sekali
JB, 2014.” Provokasi fisik dan verbal juga merupakan salah satu faktor penyebab
agresi. Sebagai contoh kasus penandukan Zinedine Zidane terhadap Matarasi di lapangan hijau. Penelitian lanjutan mengenai kasus tersebut
menunjukkan bahwa gerakan tubuh dan gerakan bibir Matarasi berhasil memprovokasi Zidane. Manusia memiliki kecendrungan untuk membalas
tindakan agresi seseorang dengan derajat agresi yang sama atau sedikit lebih tinggi dari pada yang diterimanya atau biasanya dikenal dengan balas
dendam Sarwono dan Meinamo, 2009. Terdapat faktor lainnya yang memicu timbulnya agresi yaitu alkohol. Berdasarkan studi metaanalisis
yang dilakukan akhir-akhir ini menegaskan bahwa alkohol dapat menimbulkan agresi baik secara fisik maupun verbal Bushman dan Cooper
dalam Pihl dan Hoaken, 2000. Di Indonesia terutatama kawasan Timur Indonesia mencatat lebih banyak angka kekerasan. Hal ini terlihat melalui
penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Madianung 2003 di Manado. Dalam penelitian itu terungkap bahwa tindakan kekerasan lebih banyak
dilakukan oleh peminum alkohol dari kelompok ekonomi bawah. Tindakan kekerasan mereka terwujud dalam hal menghadang mobil yang sedang
melaju, memalak, melempari rumah orang lain dengan batu, dan lain sebagainya Sarwono dan Meinamo, 2009.
Penelitian yang dilakukan oleh Rahman 2009 mengemukakan bahwa agresi berasal dari perilaku sosial dan budaya yang merupakan faktor
terpenting yang berperan dalam perilaku agresi. Selain itu, nilai dan norma yang mendasari sikap dan tingkah laku dari masyarakat berpengaruh
terhadap agresivitas suatu kelompok Sarwono dan Meinamo, 2009. Sebagai contoh Gonik 2006 dalam Sarwono dan Meinamo, 2009
mengemukakan bahwa sejarah Sparta yang hidup di sekitar Yunani 750- 460 SM memberlakukan hidup keras pada anak-anaknya terutama anak
laki-laki sebagai upaya untuk bertahan hidup yang difilmkan dengan judul 300.
Selain faktor-faktor
di atas,
Baron dan
Byrne 2005
mengelompokkan faktor-faktor yang menyebabkan agresi, antara lain : frustasi, provokasi langsung, pemaparan kekerasan dimedia, keterangsangan
yang meningkat, pola perilaku tipe A, bias atribusi hostile, gender, suhu udara tinggi, alkohol, belief budaya, dan nilai-nilai. Ada pun Faktor-fator
tersebut dapat dikelompokkan kedalam 3 faktor besar yaitu faktor sosial, faktor pribadi, dan faktor situasional Baron dan Byrne, 2005. Sangat
banyak faktor yang menyebabkan agresi akan tetapi perlu diketahui bahwa pemicu umum dari agresi adalah pada saat seseorang mengalami keadaan
emosi tertentu terutama emosi marah. Perasaan marah yang dialami berlanjut pada keinginan untuk melampiaskannya dalam bentuk dan objek
tertentu. Marah adalah suatu pernyataan yang disimpulkan dari perasaan kemudian ditunjukkan. Saat hal itu ditunjukkan sering disertai dengan
konflik dan frustasi Sarwono dan Meinamo, 2009. Penelitian yang dilakukan oleh Berkowitz, Dollard dkk, dan Miller menemukan bahwa
frustasi merupakan salah satu faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan kekerasan dengan tujuan menyakiti orang lain atau
objek lain yang dipandang sebagai penyebab frustasi Berkowitz, 1995. Hal ini didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Diil dan Anderson
1995 yang menemukan bahwa tingkat agresi seseorang lebih tinggi ketika dalam kondisi frustasi dibandingkan dengan mereka yang tidak dalam
kondisi frustasi. Selama ini fokus penelitian berkaitan dengan topik agresi baik itu
studi longitudinal, cross-sectional, eksperimental dan non-eksperimental adalah menemukan hubungan dan besarnya dampak faktor-faktor tersebut
terhadap agresif. Penelitian tersebut betujuan untuk mencari dan
mengembangkan metode penanganan untuk mengurangi timbulnya perilaku agresi. Hasil penelitian tersebut kebanyakan menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara faktor-faktor tersebut dengan perilaku agresi. Oleh karena itu, hal ini dapat memberikan peluang untuk melakukan penelitian yang
lebih detail mengenai latarbelakang keterlibatan mahasiswa etnis Nusa Tenggara Timur dalam melakukan tindakan agresi.
Peneliti dalam penelitian ini mengambil subjek penelitian mahasiswa yang berasal dari Nusa Tenggara Timur. Narasumber dalam penelitian ini
adalah laki-laki. Menurut Bettencourt dan Miller dalam Baron dan Byrne, 2005 perbedaan jenis kelamin dalam agresi sangat besar ketika tidak ada
provokasi dibanding adanya provokasi. Laki-laki cenderung lebih agresif ketimbang perempuan ketika tidak ada hal yang memprovokasi mereka.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Bjorkqvist, Osterman, dan Buck dalam Baron, Branscombe, dan Byrne, 2006 menunjukkan bahwa seorang
laki-laki agresinya cenderung secara langsung sedangkan perempuan agresinya cenderung tidak langsung. Berdasarkan wawancara ditemukan
bahwa seorang anak laki-laki etnis Nusa Tenggara Timur oleh suku dan keluarganya akan dipandang sebagai seorang laki-laki dan disukai apabila
lebih agresif, lebih tanggap dan emosinya dengan cepat dapat memuncak. Selain itu, setiap ayah selalu mengharapkan anak laki-lakinya bersikap
agresif. Hal ini karena menurut mereka laki-laki adalah pelindung keluarga, suku dan sebagai pengganti seorang ayah. Tuntutan pada anak laki-laki agar
bersikap agresif merupakan suatu tuntutan budaya yang lahir dari perang suku yang pernah terjadi JM, komunikasi pribadi, 02 April 2014.
Hal ini nampak pada pengalaman subyek YD dan JB yang didapatkan selama berinteraksi dengan keluarga dan orang disekitarnya di Nusa
Tenggara Timur. “Kalau di saya punya lingkungan sekitar itu, mereka semua
ingin agar semua anak laki-lakinya itu bisa jadi seorang pemimpin, pemimpin yang baik. Tapi sampai sekarang belum
kesampaian tertawa untuk bisa jadi, pemimpin dalam hal bukan berarti untuk bisa melindungi keluarganyalah YD,
2014.
” “Saya pikir kita inikan apa yah kalau adatnya, adatnya
wesewehali yah. Kitakan kawin keluar yah. Tetapi posisi kita disana, laki-laki disana suatu saat berstatus sebagai om kita
adalah panglima dan kita adalah pelindung keluarga dan itu membutuhkan kematangan jiwa kita dan harus, dan itu beban
tersendiri. Karena kita harus mempersiapkan diri besok lusa orang kawin dengan kita punya adik nona, atau kita punya
ponaan lagi, suatu saat kita punya ponaan lagikan kita yang tampil di depan sebagai om yang dianggap panglima dalam
keluarga dan itu status yang sangat tinggi kalau kita punya adat. Minimal kita tidak berwibawa tapi minimal kita dihargai
sehingga adik-adik atau saudara-saudara kita dihargai. Itukan tidak harus tampil dengan fisik bahwa saya hebat bunuh orang
bukan itu orang tidak akan takut kita. Karena orang punya peluang yang sama untuk membunuh orang tertawa JB,
2014.
” Adapun usia perkembangan mahasiswa adalah usia yang berada pada
usia dewasa awal Santrock, 2002. Kriteria lainnya yaitu mahasiswa tersebut tinggal dan berkuliah di Yogyakarta dan pernah telibat dalam tindakan agresi
di Yogyakarta. Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif untuk
mencoba memahami realitas pengalaman subjek penelitian terkait perilaku
agresi yang sedang dilakukan. Hal ini dinilai tepat karena penelitian kualitatif
berusaha mengekplorasi,
mendeskripsikan maupun
mengiterpretasi maksud dari suatu fenomena maupun pengalaman personal dan sosial yang dialami oleh subjek penelitian Creswell, 2007. Peneliti
merasa pendekatan kualitatif merupakan suatu metode yang dapat memfasilitasi peneliti untuk memperoleh gambaran mengenai pengalaman
subjek penelitian terkait dengan perilaku agresi yang telah dilakukan. Penelitian ini juga diharapkan untuk dapat memberikan penjelasan
menganai gambaran bentuk-bentuk perilaku agresi dan faktor penyebab mahasiswa etnis Nusa tenggara Timur melakukan tindakan agresi di kota
Yogyakarta.
B. Rumusan Masalah