Studi deskriptif perilaku agresi mahasiswa etnis Nusa Tenggara Timur (NTT) di Yogyakarta.

(1)

MAHASISWA ETNIS NUSA TENGGARA TIMUR (NTT) DI YOGYAKARTA

Wilhelmina Rosa Laka

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor pemicu perilaku agresi dan bentuk-bentuk perilaku agresi yang telah dilakukan oleh mahasiswa etnis Nusa Tenggara Timur (NTT). Pendekatan kualitatif deskriptif dipilih untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut dan menggunakan metode wawancara semi-terstruktur. Subjek yang diteliti berjumlah 4 orang dan dipilih menggunakan criterion sampling yaitu dipilih dengan kriteria mahasiswa etnis Nusa Tenggara Timur yang menempuh pendidikan di Yogyakarta dan pernah terlibat dalam melakukan tindakan agresi. Mengacu pada dua fokus penelitian, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada 3 faktor pemicu perilaku agresi yaitu pertama faktor sosial yang terdiri dari lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal, mendapat kelompok pertemanan, dan rasa solidaritas. Kedua yaitu faktor individu yang terdiri dari emosi negatif. Ketiga yaitu faktor situasional yang terdiri dari alkohol. Terdapat juga 2 bentuk perilaku agresi. Pertama perilaku agresi fisik yaitu perilaku agresi fisik aktif langsung seperti tawuran yang melibatkan adu fisik memukul dan melempar. Kedua perilaku agresi verbal yaitu perilaku agresi verbal aktif langsung seperti memaki dan menghina.


(2)

OF ETHNIC EAST NUSA TENGGARA (NTT) STUDENTS IN YOGYAKARTA

Wilhelmina Rosa Laka

ABSTRACT

This study aims at finding out the factors that trigger aggressive behavior and the forms of such behavior demonstrated by ethnic East Nusa Tenggara (NTT) students. A qualitative descriptive approach using semi-structured interviews has been applied to answer the research questions. Four research subjects have been selected by using criterion sampling, that is to say, selected on the criterion that they are ethnic East Nusa Tenggara students currently studying in Yogyakarta and have ever been involved in aggressive acts. Referring to the two focuses of this study, the result obtained indicates that there are three factors that trigger aggressive behavior. Firstly, social factor which consists of family circle, living environment, finding friendship groups, and sense of solidarity. Secondly, individual factor, namely negative emotions. Thirdly, situational factor, namely alcohol. And there are two forms of aggressive behavior. Firstly, physically aggressive behavior, namely a direct and active act such as engaging in a gang fight that involves hitting and throwing. Secondly, verbally aggressive behavior, namely a direct and active act such as cursing and insulting.


(3)

STUDI DESKRIPTIF PERILAKU AGRESI MAHASISWA

ETNIS NUSA TENGGARA TIMUR (NTT)

DI YOGYAKARTA

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh : Wilhelmina Rosa Laka

NIM : 109114152

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan, jadilah

padaku menurut perkataanmu.

(Lukas 1:38)

Yang terpenting banyak menolong bila tidak bisa menolong cukup tidak

menyakiti.

(Y.M.DalaiLama

)

Lihat lagit melampauwi awan-awan……….

(Gede Prama)

Do what ever you can, with what ever you

have, wherever you are and love inside your

heart………

Karya yang sederhana ini ku persembahkan kepada :

Dia yang sudah jauh mengenal diriku sebelum aku dikandung ibuku yaitu Tuhan sang pencipta dan pengasih,

Buat Alm. ayahanda untuk kasih sayangnya yang tak berkesudahan bagiku, Buat ibunda tercinta untuk kasih dan cintanya melahirkan, merawat,

membesarkanku, mendukung, dan selalu berlutut mendoakan ku dalam setiap doa yang ia daraskan.

Buat ke-10 kakakku yang telah menjelma menjadi ibu dan ayah bagiku yang selalu mengasihi, merawat, mendukung dan memberikan semangat,

Dan pada semua orang yang dengan caranya masing-masing mencintai dan mendukungku.


(7)

(8)

STUDI DESKRIPTIF PERILAKU AGRESI

MAHASISWA ETNIS NUSA TENGGARA TIMUR (NTT) DI YOGYAKARTA

Wilhelmina Rosa Laka

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor pemicu perilaku agresi dan bentuk-bentuk perilaku agresi yang telah dilakukan oleh mahasiswa etnis Nusa Tenggara Timur (NTT). Pendekatan kualitatif deskriptif dipilih untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut dan menggunakan metode wawancara semi-terstruktur. Subjek yang diteliti berjumlah 4 orang dan dipilih menggunakan criterion sampling yaitu dipilih dengan kriteria mahasiswa etnis Nusa Tenggara Timur yang menempuh pendidikan di Yogyakarta dan pernah terlibat dalam melakukan tindakan agresi. Mengacu pada dua fokus penelitian, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada 3 faktor pemicu perilaku agresi yaitu pertama faktor sosial yang terdiri dari lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal, mendapat kelompok pertemanan, dan rasa solidaritas. Kedua yaitu faktor individu yang terdiri dari emosi negatif. Ketiga yaitu faktor situasional yang terdiri dari alkohol. Terdapat juga 2 bentuk perilaku agresi. Pertama perilaku agresi fisik yaitu perilaku agresi fisik aktif langsung seperti tawuran yang melibatkan adu fisik memukul dan melempar. Kedua perilaku agresi verbal yaitu perilaku agresi verbal aktif langsung seperti memaki dan menghina.


(9)

DESCRIPTIVE STUDY OF THE AGGRESSIVE BEHAVIOR OF ETHNIC EAST NUSA TENGGARA (NTT) STUDENTS

IN YOGYAKARTA

Wilhelmina Rosa Laka

ABSTRACT

This study aims at finding out the factors that trigger aggressive behavior and the forms of such behavior demonstrated by ethnic East Nusa Tenggara (NTT) students. A qualitative descriptive approach using semi-structured interviews has been applied to answer the research questions. Four research subjects have been selected by using criterion sampling, that is to say, selected on the criterion that they are ethnic East Nusa Tenggara students currently studying in Yogyakarta and have ever been involved in aggressive acts. Referring to the two focuses of this study, the result obtained indicates that there are three factors that trigger aggressive behavior. Firstly, social factor which consists of family circle, living environment, finding friendship groups, and sense of solidarity. Secondly, individual factor, namely negative emotions. Thirdly, situational factor, namely alcohol. And there are two forms of aggressive behavior. Firstly, physically aggressive behavior, namely a direct and active act such as engaging in a gang fight that involves hitting and throwing. Secondly, verbally aggressive behavior, namely a direct and active act such as cursing and insulting.


(10)

(11)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti haturkan kepada Tri Tunggal yang Maha Kudus

dan Bunda Allah Santa Perawan Maria atas perlindungan, berkat dan

penyertaanya, peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan lancar.

Peneliti menyadari bahwa tanpa benih impian, peristiwa, dan setiap perjumpaan

yang merupakan rencana-Nya, peneliti tidak akan dapat segera menyelesaikan

skripsi ini. Penelitian ini berjudul “Studi Deskriptif Perilaku Agresi Mahasiswa Etnis Nusa Tenggara Timur (NTT) di Yogyakarta” diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) pada Program Studi Psikologi

Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Terselesaikanya skripsi ini tidak akan terjadi tanpa kesempatan, semangat,

dan masukkan dari beberapa pihak. Dalam kesempatan ini, peneliti ingin

mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak.

1. Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma sekaligus Dosen

Pembimbing Akademik (2010-2011), dan Pembimbing Skripsi, Dr. Tarsisius

Priyo Widiyanto, M. Si. atas nasihat dan dukungannya selama peneliti

menjalani proses perkuliahan serta meberikan masukan, arahan, dan motivasi

dalam menyusun skripsi ini.

2. Ibu Ratri Sunar A., S.Psi., M. Si. sebagai Ketua Program Studi yang telah

memfasilitasi kelancaran kegiatan perkuliahan.

3. Ibu Monica Eviandaru M., M. App., Psych. sebagai dosen pembimbing


(12)

masukan-masukan yang menginspirasi peneliti dalam mengerjakan skripsi ini serta

mengajarkan peneliti dalam mengalisis data penelitian. Metode pegajaran

yang diterapkan selama perkuliahan juga memberikan gambaran baru bagi

peneliti mengenai proses belajar.

4. Ibu Passchedona Henrieatta P.D.A.D. Sabati S.Psi., M.A. sebagai dosen

pembimbing akademik (2013-2015) yang sudah membimbing dan

memberikan masukan yang bermanfaat selama peneliti menjalani proses

perkuliahan.

5. Staf dan karyawan Fakultas Psikologi: Bu Nanik, Mas Gandung, Mas Muji,

Mas Doni, Pak Gik atas pelayanan baik dalam administrasi dan sarana

perkuliahan.

6. Cicil, Aning, K’Ria, Maya, Vinda, Sr. Marcel, Sr. Petra atas masukan, dukungan dan nasehat-nasehat yang menguatkan peneliti selama menjalani

masa kuliah dan menyusun skripsi ini.

7. K’ Ria atas bantuan dalam melakukan analisis tematik. Aning atas bantuan mengoreksi dan memberikan masukan-masukan yang bermamfaat dalam

menyusun skripsi ini.

8. Teman-teman Psikologi 2010, kost cinta dan kost aulia atas kebersamaan,

pengalaman dan dukungannya selama perkuliahan dan penyelesaian skripsi

ini.

9. Teman-teman SEKAR Yogyakarta K’Wim, K’Andi, K’Ical, K’Riko, Diks’Noken dan Om’Lo buat kebersamaan dan dukungnya.


(13)

10.Buat kedua orang tuaku Alm. Bapa Thobias Laka dan Mama Petronela Laka

Salem untuk cinta dan kasihnya yang tidak berkesudahan yang sudah

melahirkan, merawat, membesarkan, dan mendukung saya dalam setiap

langkah saya serta selalu mennyebut nama saya dalam setiap doa yang di

daraskan.

11.Buat kakak saya yang tercinta Alm. Rm. Yohanes Senda Laka Pr, Maxie

Laka bersama Mimi Toto, Alm. Yuliana Laka, Anton Laka bersama Lora

Fobia, Sr. Veronika Laka, Meri Laka bersama Jonson Wijawa, Fatima Laka

bersama Egi Riwu, Emanuel Laka, Rigo Laka bersama Ines Uju, Paul Laka

dan adik Yuli Bano beserta keponakanku yang tercinta Yulia, Gilbert, Girel,

Chiara, Caroline, dan Micela untuk kasih sayang, doa, dan dukungan selama

perkuliahan dan penyelesaiaan skripsi ini.

12. Buat Mama Ana, K’Melki, K’Hengki, K’Ririn, K’Yongki, Iki, Sun, K’Yuni sekeluarga dan K’Voni sekeluarga untuk perhatian serta dukungan selama perkuliahan dan penyelesaian sripsi ini.

13.Keempat orang subjek dalam penelitian ini atas pengalaman bekerjasama dan

berbagi pengalaman hidup yang memungkinkan terselesaikannya skripsi ini.

14.Buat kekasih yang tercinta Markus Chrisantus Frinademetz Megu Toal buat

cinta dan perhatian serta dukungan selama perkuliahan dan penyelesaain

skripsi ini.

15.Pihak-pihak lain yang telah memberikan dukungan. Sekali lagi peneliti


(14)

Peneliti juga ingin mengucapkan maaf jika selama berelasi, peneliti

melakukan kesalahan yang membuat Anda dan teman-teman sekalian tidak

nyaman.

Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan. Oleh

karena itu, peneliti mengharapkan adanya masukkan agar skripsi ini lebih

berkualitas dan berguna.

Yogyakarta, 15 Mei 2015


(15)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

DAFTAR TABEL ... xix

DAFTAR SKEMA ... xx

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah... 15

C. Tujuan Penelitian ... 15

D. Manfaat Penelitian ... 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Konseptual Perilaku Agresi ... 17


(16)

1. Pengertian Perilaku Agresi ... 17

2. Jenis-Jenis Agresi ... 18

3. Teori-Teori Agresi ... 23

a. Teori Kognitif Neo-Asosiasionis ... 24

b. Teori Model Umum Afektif Agresi (GAAM) ... 25

c. Teori Belajar : Modeling ... 29

4. Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Perilaku Agresi ... 30

a. Faktor Sosial ... 31

b. Karakteristik Kepribadian ... 33

c. Faktor Situasional ... 35

B. Kerangka Penelitian ... 42

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 44

B. Fokus Penelitian ... 46

C. Informan Penelitian ... 47

D. Metode Pengumpulan Data ... 48

E. Prosedur Analisis ... 51

1. Organisasi Data ... 51

2. Pengkodean (coding) ... 51

3. Interpretasi... 52

4. Rangkuman Temuan Penelitian ... 52


(17)

1. Kredibilitas Penelitian ... 52

2. Dependability Penelitian ... 54

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Penelitian ... 56

1. Persiapan Penelitian ... 56

2. Pelaksanaan Penelitian ... 57

3. Proses Analisis Data ... 63

B. Profil Informan ... 68

1. Deskripsi Informan 1 (YD) ... 68

2. Deskripsi Informan 2 (JB) ... 68

3. Deskripsi Informan 3 (RS) ... 69

4. Deskripsi Informan 4 (ID) ... 69

C. Rangkuman Tema Temuan Penelitian ... 81

D. Deskripsi Tema Temuan Penelitian ... 82

1. Faktor-Faktor Pemicu Perilaku Agresi... 82

a. Faktor Sosial ... 82

b. Faktor Individu ... 89

c. Faktor Situasional ... 90

2. Bentuk Perilaku Agresi ... 92

a. Agresi Fisik ... 92

b. Agresi Verbal ... 94


(18)

F. Keterbatasan Penelitian ... 101

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 103

B. Saran ... 103

DAFTAR PUSTAKA ... 105


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Protokol Wawancara... 110

Lampiran 2. Transkrip Verbatim Wawancara dan Analisis Data

Subjek 1 (YD) ... 113

Lampiran 3. Transkrip Verbatim Wawancara dan Analisis Data

Subjek 2 (JB) ... 149

Lampiran 4. Transkrip Verbatim Wawancara dan Analisis Data

Subjek 3 (RS) ... 223

Lampiran 5. Transkrip Verbatim Wawancara dan Analisis Data

Subjek 4 (ID) ... 247

Lampiran 6. Surat Pernyataan Persetujuan Wawancara

Subjek 1 (YD) ... 269

Lampiran 7. Surat Keterangan Keabsahan Hasil Wawancara

Subjek 1 (YD) ... 271

Lampiran 8. Surat Pernyataan Persetujuan Wawancara

Subjek 2 (JB) ... 273

Lampiran 9. Surat Keterangan Keabsahan Hasil Wawancara

Subjek 2 (JB) ... 275

Lampiran 10. Surat Pernyataan Persetujuan Wawancara

Subjek 3 (RS) ... 277

Lampiran 11. Surat Keterangan Keabsahan Hasil Wawancara

Subjek 3 (RS) ... 279


(20)

Subjek 4 (ID) ... 281

Lampiran 13. Surat Keterangan Keabsahan Hasil Wawancara


(21)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Panduan Wawancara ... 49

Tabel 2. Jadwal Wawancara dengan Subjek 1 (YD) ... 58

Table 3. Jadwal Wawancara dengan Subjek 2 (JB) ... 59

Tabel 4. Jadwal Wawancara dengan Subjek 3 (RS) ... 60

Tabel 5. Jadwal Wawancara dengan Subjek 4 (ID) ... 61

Tabel 6. Proses Analisis Data ... 64

Tabel 7. Rangkuman Tema Hasil Analisis Tematik ... 70


(22)

DAFTAR SKEMA

Skema 1. Teori Kognitif Neo-Asosiasionis ... 25

Skema 2. Teori General Affective Aggression Model (GAAM) ... 28

Skema 3. Teori Belajar Sosial Bandura ... 30


(23)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perilaku agresi bukanlah hal yang baru bahkan mungkin sudah

menjadi bagian dari kehidupan bermasyarakat. Sehingga tidak jarang kita

menjumpai tindakan pelemparan, pemukulan, penghinaan, dan lain-lain

dalam kehidupan sehari-hari. Pemberitaan, baik dari media elektronik

maupun media cetak, mengenai tindakan kekerasan sebagai wujud dari

perilaku agresi sangat banyak. Bahkan media elektronik dan cetak

memberikan pemberitaan khusus mengenai kasus kekerasan dan agresi yang

dapat kita lihat setiap hari dari berbagai daerah di Indonesia. Pemberitaan

dimedia dan kejadian yang terjadi disekitar kita menandakan bahwa perilaku

agresi ada dan dekat dengan kehidupan bermasyarakat.

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Tohari Dkk (2011) pada tahun

2008-2010 ditemukan bahwa selama tahun tersebut telah terjadi insiden

konflik dan kekerasan sebanyak 4.021 kali. Hal ini jika dihitung rata-rata

pertahun maka rata-rata pertahun terjadi sebanyak 1.340 insiden konflik.

Bahkan jika dihitung maka rata-rata kejadian konflik perhari selama kurun

waktu 2008-2010 terjadi 3,6 insiden setiap harinya. Salah satu konflik

kekerasan yang cukup menonjol dalam kurun waktu 2008-2010 adalah

kekerasan rutin yang menyumbang sebesar 62,1 % dari total kekerasan di


(24)

tawuran 27,1%, penghakiman massa 27,1%, dan pengeroyokan 7,5%.

Bahkan kekerasan bernuasa etnis atau agama pun menyumbang sebesar

2,2% dari total konflik dan kekerasan. Hal ini berarti dalam 3 tahun terjadi

90 kali insiden konflik bernuasa etnis atau agama dan pertahunnya sebanyak

30 kali insiden konflik. Berdasarkan pemaparan data tersebut, dapat

dikatakan bahwa ada kemungkinan dalam setiap daerah di Indonesia terjadi

konflik kekerasan sepertihalnya di daerah Yogyakarta.

Salah satu peristiwa kekerasan yang mengemparkan kota Yogyakarta

yaitu peristiwa kekerasan yang dilakukan pada tanggal 19 Maret 2013 oleh

sekelompok orang yang berasal dari Nusa Tenggara Timur yang terjadi di

Hogo’s Cafe dan berdampak pada terbunuhnya salah seorang Prajurit KOPASUS. Ada pun orang yang terlibat dalam peristiwa pembunuhan

tersebut adalah seorang pemuda yang masih berstatus sebagai mahasiswa

(SERGAP NTT -Jumat, 5 April 2013). Keterlibatan mahasiswa Nusa

Tenggara Timur dalam melakukan tindakan kekerasan bukan hanya pada

peristiwa Hogo’s Cafe tetapi pada peristiwa kekerasan lain. Diantaranya peristiwa pembacokan seorang mahasiswa asal Timor Leste yang diduga

dilakukan oleh sekelompok mahasiswa etnis Nusa Tenggara Timur

(Okezone-Minggu, 14 April 2013). Peristiwa kekerasan pada tahun 2012

yaitu penusukkan seorang mahasiswa asal Kalimantan (dayak) dan

pelakunya juga merupakan mahasiswa yang berasal dari Nusa Tenggara

Timur (Inker Senda-Senin, 25 Maret 2013). Selain itu, banyak peristiwa


(25)

terliput oleh media seperti yang dipaparkan oleh Giorgi Babo Mogi dalam

cacatan untuk mahasiswa asal Nusatenggara Timur yang berjudul “ Kembali

ke Fitrah Tujuanmu : KULIAH! “. Dalam tulisan tersebut Giorgi

memaparkan bahwa di lapangan atau panggung-panggung pesta mahasiswa

etnis Nusa Tenggara Timur selalu menjadi terdepan. Akan tetapi,

mahasiswa etnis Nusa Tenggara Timur sering menjadi biang kerusuhan,

perkelahian, dan percecokkan. Perseteruan yang terjadi berakhir dengan

terjadinya bentrok mahasiswa antar kabupaten se-Nusa Tenggara Timur

bahkan bentrok pun terjadi dengan mahasiswa asal daerah lain sering

terjadi. Kondisi ini juga diperparah dengan perilaku negatif mahasiswa

etnis Nusa Tenggara Timur yang mengkomsumsi alkohol, merokok bahkan

ada yang terjerumus pada penggunaan narkotika (Nagekeo Bersatu- Selasa,

26 Maret 2013).

Perilaku mereka yang seperti ini menyebabkan sebagian masyarakat

Yogyakarta bahkan mahasiswa lain yang berasal dari berbagai provinsi

memandang negatif mahasiswa etnis Nusa Tenggara Timur. Berdasarkan

wawancara dengan beberapa masyarakat asal Yogyakarta dan mahasiswa

dari daerah lain, mereka memandang mahasiswa etnis Nusa Tenggara Timur

sebagai anak-anak yang suka berkumpul dan mabuk-mabukkan, membuat

kerusuhan baik di jalan maupun di tempat makan, suka ke tempat hiburan

malam, tidak membayar uang kos, memutar musik keras-keras, dan


(26)

identik dengan premanisme dan anarkisme bahkan mereka sulit diterima di

kalangan masyarakat untuk tinggal di kos-kos warga kota Yogyakarta.

Perilaku dan tindakan mahasiswa etnis Nusa Tenggara Timur yang

dipaparkan di atas dapat dipandang sebagai suatu tindakan kekerasan.

Kekerasan (violence) berasal dari bahasa latin yaitu violentus, berasal dari

kata vi atau vis yang berarti kekuasaan atau berkuasa. Kekerasan merupakan

cerminan dari tindakan agresi atau penyerangan terhadap kebebasan atau

martabat seseorang oleh perorangan atau sekelompok orang

(www.wikipedia.com). Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh

Krahe (2005) yang mengatakan bahwa kekerasan merupakan salah satu

bentuk dari agresi (dalam Dewi, 2012). Anderson dan Bushman (2001) juga

mengemukakan bahwa kekerasan merupakan bentuk yang paling ekstrim

dari agresi seperti penyerangan secara fisik dan pembunuhan. Dalam

penelitian ini agresi yang digunakan bukan sinonim dari “kegigihan”, “penguasaan” atau kebebasan melainkan menggunakan “tindak kekerasan” dalam hubungannya dengan bentuk ekstrim dari agresi yaitu upaya keras

untuk benar-benar menyakiti secara fisik (Berkowitz, 1995).

Sikap agresif dimiliki oleh setiap orang dan merupakan

kecenderungan bawaan (self destruction) yang di bawah sejak lahir (Freud

dalam Baron dan Byrne, 2005) dan bersifat instingtual atau fighting instinct

(Lorenz dalam Baron dan Byrne, 2005). Bahkan oleh Murray (dalam Hall,

1993) agresi dikategorikan sebagai salah satu kebutuhan manusia. Maka


(27)

Perilaku agresi merupakan suatu perilaku yang bertujuan untuk melukai atau

mencelakaan orang lain dengan atau tanpa tujuan tertentu (Aroson dalam

Koeswara, 1988). Selain itu, Moore dan Fine (1968) (dalam Koeswara,

1988) juga mendefenisikan agresi sebagai suatu perilaku kekerasan baik

secara fisik maupun verbal yang ditujukan pada orang lain atau objek-objek

lain. Hal serupa juga dikemukana oleh Dollar, Doob, Miller, dan Sears

(1939) yang mengatakan bahwa perilaku agresi adalah suatu rangkaian

perilaku yang bertujuan untuk melukai orang lain secara langsung (dalam

Bandura, 1973). Selain itu, Berkowist (1995) mendefinisikan agresi sebagai

segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang baik

secara fisik maupun secara mental bahkan sebagai “dasar dari prestasi intelektual, dari tercapainya kebebasan, bahkan kebanggaan yang bisa

membuat seseorang merasa lebih dari teman-temannya.

Perilaku agresi muncul karena terpicu oleh banyak hal. Penelitian

yang telah dilakukan selama 50 tahun terakhir menunjukkan bahwa

menonton kekerasan di TV dan memainkan video game kekerasan dapat

meningkatkan perilaku agresi (ISRA, 2012). Hal ini serupa dengan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Anderson dan Bushman (2001) menemukan

bahwa tingginya kekerasan di video game berhubungan dengan tingginya

agresi baik itu pada laki-laki atau perempuan, anak-anak atau dewasa dan

terbukti dalam penelitian eksperimental atau non-eksperimental. Selain itu,

berdasarkan survei cross-sectional dan longitudinal menunjukkan bahwa


(28)

kekerasan, memiliki kemungkinan perilaku agersinya meningkat (ISRA,

2012).

Tipe kepribadian seseorang juga merupakan salah satu faktor yang

menyebabkan seseorang berperilaku agresi (Baron dan Byrne, 2005;

Bettencourt, Talley, dan Benjamin 2006; Schellenberg, 2000).

Kecenderungan memiliki kepribadian agresi ini juga dapat berkembang dari

pola asuh orang tua dan interaksi anak dengan lingkungan sekitar.

Kebanyakan pola asuh orang tua di Nusa Tenggara Timur bersifat otoriter.

Orang tua dalam keluarga dipandang sebagai penguasa, pengambil segala

keputusan, dan pembuat peraturan. Seorang anak tidak boleh mengajukan

protes, bertanya bahkan tidak boleh membantah. Hal ini membuat ada jarak

antara anak dan orang tua serta membuat adanya kepatuhan yang negatif.

Selain itu, ketika seorang anak melakukan kesalahan, orang tua merasa

berhak memberikan hukuman. Hukuman yang diberikan dengan

menggunakan kekerasan yaitu memukul yang mengakibatkan luka dan

memar pada tubuh seorang anak dan bahkan ada yang berakhir pada

kematian (Isliko, 2008).

Orang tua yang menggunakan kekerasan dalam menghukum anak

dimaksudkan untuk mendisiplikan anak. Hal ini seperti yang di kemukakan

Petterson (dalam Berkowitz, 2006) bahwa banyak agresi di rumah timbul

karena adanya upaya untuk mengendalikan anggota keluarga yang lain.

Perlu diketahui bahwa hukuman dengan kekerasan ini dipandang dapat


(29)

hal ini mencakup 3 hal yaitu (1) waktunya tepat, (2) ada alternatif bagi

tindakan anak-anak itu, dan (3) harga diri si anak tidak terpukul (Berkowizt,

2006). Akan tetapi, orang tua di Nusa Tenggara Timur dinilai tidak

konsisten karena mereka tidak bahkan jarang mempertimbangkan tingkat

kesalahan dan jenis hukuman yang diberikan. Hal ini dikarenakan mereka

memegang paham “ di ujung rotan ada emas” (Isliko, 2008). Ungkapan ini berarti dengan memukul anak maka akan menghasilkan anak yang penurut,

disiplin dan menjadi anak yang baik. Terkadang hukuman yang diberikan

orang tua pada anak merupakan bentuk kekesalan yang di lampiaskan pada

anak (Isliko, 2008).

Pola asuh orang tua di Nusa Tenggara Timur bersifat otoriter (Isliko,

2008) . Menurut Baumrind (dalam Berkowitz, 2006) pola asuh otoriter ini

dapat menghasil perilaku anak yang takut, gelisah, menjengkelkan, murung,

sedih, campuran antara agresif, dan suka menyendiri. Hal serupa juga

ditemukan dalam studi yang dilakukan oleh Olweus (dalam Berkowizt,

2006) yang menemukan bahwa orang tua yang keras dan suka menghukum

cenderung menghasilkan anak-anak yang sangat agresif dan antisosial.

Perlakuan kasar yang di terima anak dari orang tua bisa menjadi faktor

resiko meningkatkan kemungkinan kecenderungan agresivitas dan

antisosial. Bahkan McCorrd (dalam, Berkowitz, 2006) mengemukakan

bahwa cara membesarkan anak sering mempunyai pengaruh jangka panjang

terhadap perkembangan agresivitas antisosial. Petterson (dalam Berkowitz,


(30)

untuk bertindak agresi melalui interaksi mereka dengan anggota keluarga

lain. Hal ini berarti bahwa hukuman mengggunakan kekerasan dapat

berfungsi secara efektif apabila dilakukan secara konsisten. Akan tetapi, jika

dilakukan secara tidak konsisten maka hal ini akan menyumbang

kecenderungan anak untuk bertindak agresi dan antisosial serta dapat

bertahan hingga dewasa.

Pengunaan kekerasan untuk mendisiplinkan anak bukan hanya

dijumpai pada pola asuh orang tua namun dijumpai juga dalam lingkungan

sekolah di Nusa Tenggara Timur. Hampir semua lingkungan sekolah baik

itu dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menegah Atas, bahkan dijumpai juga

di jenjang Perguruan Tinggi (Mulyadi, 2007; Nurhayaty, 2015). Hal ini

dikarenakan para guru dan orang tua mempercayai pepatah “di ujung rotan ada emas” dapat menghasilkan generasi yang cemerlang. Oleh karena itu, mereka tidak segan-segan memukul anak-anak dengan rotan demi

menghasilkan masa depan anak yang cemerlang. Kekerasan yang sering

dilakukan oleh guru di sekolah adalah pada saat siswa datang terlambat ke

sekolah maka akan dicubit (dijewer) dan dipukul menggunakan kayu

(Nurhayati, 2015). Para guru juga memukul kepala murid karena tidak

mengerjakan tugas, memberi hukuman dengan cara berjemur di bawah sinar

matahari karena terlambat masuk sekolah, menampar, meninju, berjalan

dengan lutut, membentak murid yang bertanya bukan menjawab pertanyaan


(31)

Hal ini nampak pada pengalaman Subyek JB yang didapatkan ketika

menempuh jenjang pendidikan di Sekolah Menegah Pertama dan Sekolah

Menegah Atas di Atambua, Nusa Tenggara Timur.

“Di sekolah ketika mendisiplikan itu di tampar terus di rotan. Saya melihat pepatah “di ujung rotan ada emas” itu yang mereka terapkan pada kita. Makanya emas bertaburan di NTT itu. Makanya saya pikir mereka tidak sukses sama sekali. Mereka gagal semua guru itu. Banyak, mungkin akhir-akhir ini saya tidak tahu tapi rata-rata SMP, SMA itukan pake kekerasan semua. Kekerasannya dengan dipukul semua dan hampir semua mengalami hal yang sama (JB, 2014).”

“Saya pernah di rotan. Tidak mengerjakan tugas sangsinya disuruh berlutut, suruh hormat bendera, berlutut ke tiang bendera. Berdiri ke tiang bendera hormat bendera, kabel lagi, dipukul (JB, 2014).”

Bandura (1977) menegaskan bahwa individu belajar dengan cara

mengamati apa yang dilakukan oleh orang lain (sering disebut dengan

modelling atau imitasi), dimana secara kognitif individu dapat mengamati

tingkahlaku orang lain dan setelah diolah oleh kognitif kemudian akan

diadopsi kedalam tingkah laku individu tersebut. Selanjutnya belajar adalah

suatu proses perubahan perilaku yang terbentuk melalui tranformasi

informatif yang dihasilkan oleh perilaku langsung individu dalam

interaksinya dengan lingkungan (melihat, mengamati, dan meniru atau

imitasi dari orang sekitar). Oleh karena itu, anak yang mengalami dan

mengamati berbagai tindak kekerasan dalam lingkungan interaksinya ini

akan menggunakan perilaku tersebut sebagai perilakunya sendiri termasuk

tindak kekerasan. Maka dapat dikatakan bahwa orang tua dan lingkungan


(32)

juga dapat membuat seorang anak meniru apa yang dilakukan oleh orang tua

dan sekolah dikemudian harinya. Hal ini karena mereka meniru apa yang

telah mereka lihat selama interaksi mereka dengan lingkungan sekitar.

Hal ini nampak pada pengalaman subyek JB yang didapatkan ketika

mengamati dan merasakan serangkaian kekerasan dari orang disekitarnya di

Nusa Tenggara Timur.

“Kecenderungan setiap kali melihat orang melakukan kesalahan maka akan langsung memukul. Lasung kesana (memukul) karena apa yah saya pikir disaat-saat itu kita dibentuk, saat-saat masa-masa kita umur seperti itu. Saya pikir kita ini apa yah kita mengikuti jejak yang sudah dibuat oleh orang-orang dan itu kepekaan kita . kita merekam apa yang dibuat orang itu dan kita itu yang kita ulangi. Dulukan tindakan pertama itu saya ini dulu pernah lihat yang seperti ini. Itukan kadang-kadang kecenderungan kitakan kesana. Jadi dulukan setiap kali penyelesaian masalah kok seperti ini? Kalau masih di rumah kita rasanya lain, nah justru yang bertentangan itu ketika di rumah lebih halus, disekolah yang diasrama itu lebih parah. Saya pikir begitu malah mengatur katanya disiplin. Tapi caranya itukan tidak benar sama sekali (JB, 2014).”

Provokasi fisik dan verbal juga merupakan salah satu faktor penyebab

agresi. Sebagai contoh kasus penandukan Zinedine Zidane terhadap

Matarasi di lapangan hijau. Penelitian lanjutan mengenai kasus tersebut

menunjukkan bahwa gerakan tubuh dan gerakan bibir Matarasi berhasil

memprovokasi Zidane. Manusia memiliki kecendrungan untuk membalas

tindakan agresi seseorang dengan derajat agresi yang sama atau sedikit lebih

tinggi dari pada yang diterimanya atau biasanya dikenal dengan balas

dendam (Sarwono dan Meinamo, 2009). Terdapat faktor lainnya yang


(33)

yang dilakukan akhir-akhir ini menegaskan bahwa alkohol dapat

menimbulkan agresi baik secara fisik maupun verbal (Bushman dan Cooper

dalam Pihl dan Hoaken, 2000). Di Indonesia terutatama kawasan Timur

Indonesia mencatat lebih banyak angka kekerasan. Hal ini terlihat melalui

penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Madianung (2003) di Manado.

Dalam penelitian itu terungkap bahwa tindakan kekerasan lebih banyak

dilakukan oleh peminum alkohol dari kelompok ekonomi bawah. Tindakan

kekerasan mereka terwujud dalam hal menghadang mobil yang sedang

melaju, memalak, melempari rumah orang lain dengan batu, dan lain

sebagainya (Sarwono dan Meinamo, 2009).

Penelitian yang dilakukan oleh Rahman (2009) mengemukakan bahwa

agresi berasal dari perilaku sosial dan budaya yang merupakan faktor

terpenting yang berperan dalam perilaku agresi. Selain itu, nilai dan norma

yang mendasari sikap dan tingkah laku dari masyarakat berpengaruh

terhadap agresivitas suatu kelompok (Sarwono dan Meinamo, 2009).

Sebagai contoh Gonik (2006) (dalam Sarwono dan Meinamo, 2009)

mengemukakan bahwa sejarah Sparta yang hidup di sekitar Yunani

(750-460 SM) memberlakukan hidup keras pada anak-anaknya terutama anak

laki-laki sebagai upaya untuk bertahan hidup yang difilmkan dengan judul

300.

Selain faktor-faktor di atas, Baron dan Byrne (2005)

mengelompokkan faktor-faktor yang menyebabkan agresi, antara lain :


(34)

yang meningkat, pola perilaku tipe A, bias atribusi hostile, gender, suhu

udara tinggi, alkohol, belief budaya, dan nilai-nilai. Ada pun Faktor-fator

tersebut dapat dikelompokkan kedalam 3 faktor besar yaitu faktor sosial,

faktor pribadi, dan faktor situasional (Baron dan Byrne, 2005). Sangat

banyak faktor yang menyebabkan agresi akan tetapi perlu diketahui bahwa

pemicu umum dari agresi adalah pada saat seseorang mengalami keadaan

emosi tertentu terutama emosi marah. Perasaan marah yang dialami

berlanjut pada keinginan untuk melampiaskannya dalam bentuk dan objek

tertentu. Marah adalah suatu pernyataan yang disimpulkan dari perasaan

kemudian ditunjukkan. Saat hal itu ditunjukkan sering disertai dengan

konflik dan frustasi (Sarwono dan Meinamo, 2009). Penelitian yang

dilakukan oleh Berkowitz, Dollard dkk, dan Miller menemukan bahwa

frustasi merupakan salah satu faktor yang mendorong seseorang untuk

melakukan tindakan kekerasan dengan tujuan menyakiti orang lain atau

objek lain yang dipandang sebagai penyebab frustasi (Berkowitz, 1995). Hal

ini didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Diil dan Anderson

(1995) yang menemukan bahwa tingkat agresi seseorang lebih tinggi ketika

dalam kondisi frustasi dibandingkan dengan mereka yang tidak dalam

kondisi frustasi.

Selama ini fokus penelitian berkaitan dengan topik agresi baik itu

studi longitudinal, cross-sectional, eksperimental dan non-eksperimental

adalah menemukan hubungan dan besarnya dampak faktor-faktor tersebut


(35)

mengembangkan metode penanganan untuk mengurangi timbulnya perilaku

agresi. Hasil penelitian tersebut kebanyakan menunjukkan bahwa terdapat

hubungan antara faktor-faktor tersebut dengan perilaku agresi. Oleh karena

itu, hal ini dapat memberikan peluang untuk melakukan penelitian yang

lebih detail mengenai latarbelakang keterlibatan mahasiswa etnis Nusa

Tenggara Timur dalam melakukan tindakan agresi.

Peneliti dalam penelitian ini mengambil subjek penelitian mahasiswa

yang berasal dari Nusa Tenggara Timur. Narasumber dalam penelitian ini

adalah laki-laki. Menurut Bettencourt dan Miller (dalam Baron dan Byrne,

2005) perbedaan jenis kelamin dalam agresi sangat besar ketika tidak ada

provokasi dibanding adanya provokasi. Laki-laki cenderung lebih agresif

ketimbang perempuan ketika tidak ada hal yang memprovokasi mereka.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Bjorkqvist, Osterman, dan Buck

(dalam Baron, Branscombe, dan Byrne, 2006) menunjukkan bahwa seorang

laki-laki agresinya cenderung secara langsung sedangkan perempuan

agresinya cenderung tidak langsung. Berdasarkan wawancara ditemukan

bahwa seorang anak laki-laki etnis Nusa Tenggara Timur oleh suku dan

keluarganya akan dipandang sebagai seorang laki-laki dan disukai apabila

lebih agresif, lebih tanggap dan emosinya dengan cepat dapat memuncak.

Selain itu, setiap ayah selalu mengharapkan anak laki-lakinya bersikap

agresif. Hal ini karena menurut mereka laki-laki adalah pelindung keluarga,


(36)

bersikap agresif merupakan suatu tuntutan budaya yang lahir dari perang suku

yang pernah terjadi (JM, komunikasi pribadi, 02 April 2014).

Hal ini nampak pada pengalaman subyek YD dan JB yang didapatkan

selama berinteraksi dengan keluarga dan orang disekitarnya di Nusa

Tenggara Timur.

“Kalau di saya punya lingkungan sekitar itu, mereka semua ingin agar semua anak laki-lakinya itu bisa jadi seorang pemimpin, pemimpin yang baik. Tapi sampai sekarang belum kesampaian (tertawa) untuk bisa jadi, pemimpin dalam hal bukan berarti untuk bisa melindungi keluarganyalah (YD, 2014).”

“Saya pikir kita inikan apa yah kalau adatnya, adatnya wesewehali yah. Kitakan kawin keluar yah. Tetapi posisi kita disana, laki-laki disana suatu saat berstatus sebagai om kita adalah panglima dan kita adalah pelindung keluarga dan itu membutuhkan kematangan jiwa kita dan harus, dan itu beban tersendiri. Karena kita harus mempersiapkan diri besok lusa orang kawin dengan kita punya adik nona, atau kita punya ponaan lagi, suatu saat kita punya ponaan lagikan kita yang tampil di depan sebagai om yang dianggap panglima dalam keluarga dan itu status yang sangat tinggi kalau kita punya adat. Minimal kita tidak berwibawa tapi minimal kita dihargai sehingga adik-adik atau saudara-saudara kita dihargai. Itukan tidak harus tampil dengan fisik bahwa saya hebat bunuh orang bukan itu orang tidak akan takut kita. Karena orang punya peluang yang sama untuk membunuh orang (tertawa) (JB, 2014).”

Adapun usia perkembangan mahasiswa adalah usia yang berada pada

usia dewasa awal (Santrock, 2002). Kriteria lainnya yaitu mahasiswa tersebut

tinggal dan berkuliah di Yogyakarta dan pernah telibat dalam tindakan agresi

di Yogyakarta.

Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif untuk


(37)

agresi yang sedang dilakukan. Hal ini dinilai tepat karena penelitian

kualitatif berusaha mengekplorasi, mendeskripsikan maupun

mengiterpretasi maksud dari suatu fenomena maupun pengalaman personal

dan sosial yang dialami oleh subjek penelitian (Creswell, 2007). Peneliti

merasa pendekatan kualitatif merupakan suatu metode yang dapat

memfasilitasi peneliti untuk memperoleh gambaran mengenai pengalaman

subjek penelitian terkait dengan perilaku agresi yang telah dilakukan.

Penelitian ini juga diharapkan untuk dapat memberikan penjelasan

menganai gambaran bentuk-bentuk perilaku agresi dan faktor penyebab

mahasiswa etnis Nusa tenggara Timur melakukan tindakan agresi di kota

Yogyakarta.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latarbelakang di atas maka, rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah apa yang melatarbelakangi keterlibatan mahasiswa

etnis Nusa Tenggara Timur dalam melakukan tindakan agresi ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menggambarkan faktor-faktor pemicu keterlibatan mahasiswa etnis

Nusa Tenggara Timur dalam melakukan tindakan agresi.

2. Menggambarkan bentuk-bentuk perilaku agresi yang dilakukan oleh


(38)

3. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoretis

Penelitian ini memberikan kontribusi dalam memperluas penelitian

sebelumnya dan menambah wawasan pengetahuan di bidang

Psikologi Sosial mengenai gambaran faktor-faktor pemicu perilaku

agresi beserta bentuk-bentuk perilaku agresi yang dilakukan oleh

mahasiswa etnis Nusa Tenggara Timur di daerah Yogyakarta. Selain

itu, diharapkan dapat menjadi sumbangan bagi peneltian selanjutnya.

2. Manfaat praktis

a. Bagi partisipan penelitian, penelitian ini diharapkan untuk

menyadarkan mereka dan menambah pengetahuan mereka

mengenai gambaran faktor-faktor pemicu perilaku agresi beserta

bentuk-bentuk perilaku agresi yang telah mereka lakukan di

daerah Yogyakarta. Hal ini dilakukan dengan cara peneliti akan

memepresentasikan hasil penelitiannya pada forum diskusi

mahasiswa etnis Nusa Tenggara Timur yang juga dihadiri oleh

partisipan penelitian.

b. Bagi orang tua dan masyarakat di Nusa Tenggara Timur untuk mengetahui gambaran faktor-faktor pemicu perilaku agresi

beserta bentuk-bentuk perilaku agresi yang dilakukan oleh


(39)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Konseptual Perilaku Agresi

Tinjauan pustaka mengenai perilaku agresi yang akan dijelaskan

dibawah ini tidak digunakan sebagai landasan teori dalam penelitian

melainkan sebagai pendukung dalam menyusun kerangka koseptual yang

akan memandu peneliti dalam melakukan penelitian serta menambah

pemahaman peneliti mengenai area konseptual yang menjadi fokus utama

penelitian.

1. Pengertian Perilaku Agresi

Banyak ahli yang melakukan penelitian mengenai perilaku

agresi. Oleh karena itu, tentulah banyak ahli yang mendefenisikan

perilaku agresi menurut cara pandang mereka masing-masing.

Menurut Bandura (1973) ada beberapa ahli yang mendefenisikan

agresi semata-mata sebagai atribut dari perilaku, namun ada pula

beberapa dari mereka yang mengasumsikan adanya peran dorongan,

kesamaan emosi, atau berdasarkan intensitas tindakan yang berpotensi

untuk melukai. Hal ini menunjukkan bahwa hal yang sama tidak

selalu memiliki kesamaan arti.

Buss (dalam Berkowist, 1995) mendefinisikan agresi sebagai

pengiriman stimulus yang berbahaya bagi orang lain. Hal ini serupa


(40)

Sears (1939) yang mengatakan bahwa perilaku agresi adalah suatu

rangkaian perilaku yang bertujuan untuk melukai orang lain secara

langsung (dalam Bandura, 1973). Selain itu, Berkowist (1995)

mendefinisikan agresi sebagai segala bentuk perilaku yang

dimaksudkan untuk menyakiti seseorang baik secara fisik maupun

secara mental. Agresi juga dipandang bukan hanya usaha untuk

menyakiti seseorang tetapi sebagai dasar intelektual untuk tercapainya

suatu kebebasan dan membuat seseorang individu bangga bahwa ia

lebih dari teman-temannya.

2. Jenis-Jenis Agresi

Agresi hanya dapat dilihat melalui perilaku yang menunjukkan

agresi itu sendiri. Ada berbagai macam perilaku yang menunjukkan

dan menggambarkan agresi. Perilaku-perilaku tersebut oleh sebagian

ahli dikelompokkan sehingga muncullah suatu penggolongan perilaku

agresi yang kemudian dikenal dengan bentuk-bentuk agresi atau

jenis-jenis agresi.

Buss (dalam Dayakisni dan Hudaniah, 2012) mengelompokkan

agresi dalam 8 bentuk yaitu agresi fisik aktif langsung, agresi fisik

pasif langsung, agresi fisik aktif tidak langsung, agresi fisik pasif tidak

langsung, agresi verbal aktif langsung, agresi verbal pasif langsung,

agresi verbal aktif tidak langsung, dan agresi verbal pasif tidak

langsung. Bentuk agresi yang di kemukakan oleh Bus antara lain


(41)

1. Agresi fisik aktif langsung : merupakan tindakan agresi fisik

yang dilakukan individu atau kelompok dengan cara berhadapan

secara langsung dengan individu atau kelompok lain yang

menjadi targetnya kemudian terjadi kontak fisik secara langsung

seperti memukul, mendorong, menembak, dan lain-lain.

2. Agresi fisik pasif langsung : merupakan tindakan agresi fisik

yang dilakukan individu atau kelompok dengan cara berhadapan

langsung dengan individu atau kelompok targetnya akan tetapi

tidak terjadi kontak fisik secara langsung seperti demonstrasi,

aksi mogok, dan aksi diam.

3. Agresi fisik aktif tidak langsung : merupakan tindakan agresi

fisik yang dilakukan oleh individu atau kelompok lain dengan

cara tidak berhadapan secara langsung dengan individu atau

kelompok lain yang menjadi targetnya seperti merusak harta

korban, membakar rumah, menyewa tukang pukul, dan lain-lain.

4. Agresi fisik pasif tidak langsung : Merupakan tindakan agresi

fisik yang dilakukan oleh individu atau kelompok lain dengan

cara tidak berhadapan dengan individu atau kelompok lain yang

menjadi target dan tidak terjadi kontak fisik secara langsung

seperti tidak peduli, apatis, dan masa bodoh.

5. Agresi verbal aktif langsung : merupakan tindakan agresi verbal


(42)

berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain

seperti menghina, memaki, marah, dan mengumpat.

6. Agresi verbal pasif langsung : merupakan tindakan agresi verbal

yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara

berhadapan dengan individu atau kelompok lain akan tetapi

tidak terjadi kontak verbal secara langsung seperti menolak

berbicara dan bungkam.

7. Agresi verbal aktif tidak langsung : merupakan tindakan agresi

verbal yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara

tidak berhadapan secara langsung dengan individu atau

kelompok lain yang menjadi targetnya seperti menyebar fitnah

dan mengadu domba.

8. Agresi verbal pasif tidak langsung : merupakan tindakan agresi

verbal yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara

tidak berhadapan dengan individu atau kelompok lain yang

menjadi targetnya dan tidak terjadi kontak verbal secara

langsung seperti tidak memberi dukugan dan tidak

menggunakan hak suara.

Berkowist (1995) membedakan agresi berdasarkan tujuan

perilakunya menjadi 2 jenis yaitu:

1. Agresi instrumental adalah agresi yang dilakukan untuk

mencapai tujuan-tujuannya selain menyakiti atau melukai orang


(43)

kejahatan bukan hanya untuk melukai atau membunuh orang lain

tetapi melakukannya demi uang. Selain itu, seorang suami yang

memukul istrinya bukan hanya untuk melukai istrinya tapi untuk

menunjukkan dominasi dirinya dalam keluarganya.

2. Agresi emosional adalah agresi yang tujuan utamanya adalah

untuk menyakiti orang lain. Agresi ini biasanya dilakukan ketika

seorang individu marah maka timbul dorongan untuk menyakiti

orang lain. Selain itu, individu tersebut juga tidak

mempertimbangkan akibat dari perbuatannya.

Moyer (dalam Koeswara, 1988) membagi perilaku agresi

kedalam tujuh bentuk antara lain :

1. Agresi predatori adalah agresi yang dibangkitkan oleh adanya

kehadiran objek lain (mangsa). Biasanya agresi ini terdapat pada

organisme atau species yang menjadikan hewan dari species lain

sebagai mangsanya.

2. Agresi antar jantan adalah agresi yang secara tipikal

dibangkitkan oleh kehadiran sesama jantan pada satu species.

3. Agresi ketakutan adalah agresi yang dibangkitkan oleh

tertutupnya kesempatan untuk menghindar dari ancaman.

4. Agresi tersinggung adalah agresi yang dibangkitkan oleh

perasaan tersinggung atau marah. Respon menyerang muncul

terhadap stimulus yang luas baik berupa objek-objek hidup


(44)

5. Agresi pertahanan adalah agresi yang dilakukan oleh organisme

dalam rangka mempertahankan daerah kekuasaannya dari

ancaman atau gangguan anggota species-nya sendiri. Agresi ini

biasanya dikenal juga dengan sebutan agresi terotorial.

6. Agresi maternal adalah agresi yang spesifik pada species betina

(induk) yang dilakukan dalam upaya melindungi anak-anaknya

dari berbagai macam.

7. Agresi instrumental adalah agresi yang dipelajari, diperkuat

(reinforced) dan dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan

tertentu.

Menurut Moyer (dalam Koeswara, 1988) ketujuh tipe agresi

yang dikemukakan, tidak ada satu pun tipe agresi yang eksklusif. Hal

ini berarti tipe-tipe ini dengan intensitas kemunculan yang berbeda

bisa ditemukan baik pada hewan maupun pada manusia. Berdasarkan

kuantitas pelakunya, agresi dibedakan menjadi agresi individual yaitu

agresi yang dilakukan secara individu atau perorangan dan agresi

kolektif yaitu agresi yang dilakukan secara kolektif atau

bersama-sama oleh beberapa individu. Sedangkan berdasarkan normalitasnya,

agresi dibedakan menjadi agresi normal yaitu agresi yang disebabkan

oleh stimulus yang nyata atau jelas dan agresi patologis yaitu agresi

yang disebabkan oleh adanya penyakit mental.

Berbeda dengan Bus, Berkowitz, dan Moyer memandang


(45)

membagi perilaku agresi berdasarkan norma yang berlaku dalam

masyarakat antara lain :

1. Agresi antisosial yaitu tindakan agresi yang tidak sesuai dengan

norma sosial yang ada dalam masyarakat seperti tindakan

kriminal (perampokan, pembunuhan, dan pemukulan).

2. Agresi prososial yaitu tindakan agresi yang diatur oleh norma

sosial seperti hukuman yang diberikan atas tindakan kejahatan.

3. Agresi yang disetujui yaitu tindakan agresi yang tidak diterima

oleh norma sosial tetapi masih berada dalam batas yang wajar.

Tindakan tersebut tidak melanggar standar moral yang telah

diterima seperti seorang wanita yang memukul atau melawan

orang yang mencoba memperkosa dirinya.

3. Teori-Teori Agresi

Ada beberapa ahli yang menyampaikan pendapatnya mengenai

perilaku agresi. Para ahli psikologi juga mengajukan berbagai teori

untuk menjelaskan mengenai perilaku agresi. Pada penelitian ini,

peneliti akan menggunakan beberapa teori untuk menggambarkan

perilaku agresi. Teori-teori tersebut antaralain: Teori Kognitif

Neo-Asosiasionis; Teori belajar Bandura (1973); Teori Model Umum

Afektif Agresi atau GAAM (General Affectif Agression Model) oleh

Lindsay dan Anderson pada tahun 1996 (dalam Baron dan Byrne,


(46)

a. Teori Kognitif Neo-Asosiasionis

Teori Kognitif Neo-Asosiasionis merupakan

perkembangan dari hipotesis frustasi-agresi oleh Berkowitz,

(1993). Teori ini menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa yang

tidak mengenakkan akan membangkitkan perasaan negatif (afek

negatif) (Clarke, 2003). Kemudian, perasan negatif akan

menstimulasi secara otomatis keberbagai pikiran, ingatan,

respon fisiologis, dan reaksi motorik. Reaksi ini yang kemudian

berasosiasi dengan reasi melawan atau menyerang. Asosasi yang

terjadi ini dapat menimbulkan perasaan marah (emosi) dan takut

(Berkowitz, 2006). Perasan negatif dapat dikurangi dengan

beberapa cara dan dua pilihan yang dapat dipilih oleh seorang

individu yaitu berperilaku agresi atau lari dari situasi dengan

menarik diri (withdrawal). Pilihan seseorang dalam memilih

tergantung pada bagaimana orang menilai situasi dengan

mempertimbangkan norma-norma sosial yang berlaku dan jenis

atribusi yang diterapkan pada rangsangan permusuhan. Hal ini

berarti individu telah belajar untuk menggunakan agresi sebagai

salah satu sarana untuk mengatasi situasi yang tidak


(47)

Skema 1. Teori Kognitif Neo-asosiasionis dalam memandang agresi dalam Clarke (2003)

b. Teori model umum afektif agresi atau GAAM (General

Affective Aggression Model)

Lindsay dan Anderson pada tahun 1996 (dalam Baron dan

Byrne, 2005) membuat suatu model pembentukan perilaku

agresi yang lebih terperinci dimana teori ini menyediakan

gambaran yang baik mengenai kedalaman dan kecanggihan dari

pandangan-pandangan baru tersebut. Teori ini kemudian dikenal

dengan GAAM (General Affective Aggression Model / Model

Umum Afektif Agresi). Teori ini menyatakan bahwa agresi

dipicu oleh berbagai faktor seperti provokasi, frustasi, Peristiwa

yang tidak menyenang kan

Afek negatif

Pertimbangan untuk berperilaku agresi

Pertimbangan untuk

berperilaku menarik diri

Pemrosesan yang lebih tinggi dengan penilaian dan norma-norma sosial, atribusi pada situasi, dan perilaku yang dipelajari.

Perilaku aktual : agresi atau menarik diri (withdrawal).


(48)

afektivitas negatif, sifat yang mudah marah, kepercayan

mengenai agresi, bias atribusi hostile, pola perilaku tipe A, dan

lain-lain. Keseluruhan faktor-faktor tersebut terbagi kedalam

dua kelompok besar, yaitu faktor perbedaan individu dan faktor

situasional.

Faktor-faktor perbedaan individual antara lain :

1. Sifat yang mendorong seorang individu untuk melakukan

agresi seperti mudah marah.

2. Adanya perasaan negatif dalam diri.

3. Sikap dan kepercayaan tertentu terhadap agresi seperti

mempercayai hal tersebut diterima atau layak.

4. Nilai mengenai agresi seperti pandangan bahwa agresi

merupakan hal yang baik. Hal ini merupakan kebanggaan

tersendiri untuk menunjukkan sikap maskulin.

5. Ketrampilan spesifik terkait agresi seperti mengetahui cara

berkelahi atau menggunakan senjata.

Faktor-faktor situasional antara lain :

1. Perasaan frutasi yang dialami.

2. Adanya bentuk penyerangan tertentu dari orang lain

seperti penghinaan (provokasi).

3. Tanda-tanda yang berhubungan dengan agresi seperti


(49)

4. Semua hal yang membuat seorang individu merasa tidak

nyaman seperti suhu udara yang tinggi, rasa sakit,

kebosanan, polusi udara, dan lain sebagainya.

Faktor-faktor inilah yang dapat mempengaruhi

keterangsangan yang mengarah pada tahap afektif dan kognisi

seseorang. Selain faktor-faktor ini, Anderson juga menjelaskan

tiga proses pembentukan agresi dalam diri seorang individu.

Tiga proses tersebut antaralain :

1. Keterangsangan (Arousal) : faktor-faktor tersebut

membangkitkan keterangsangan fisiologis atau

antusiasme.

2. Keadaan afektif (Affective states) : faktor-faktor tersebut

membangkitkan perasaan bermusuhan (hostile) dan

tanda-tanda yang tampak seperti ekpresi wajah marah.

3. Kognisi (cognitions) : faktor-faktor tersebut

membangkitkan pikiran hostile dan membawa ingatan

hostile kedalam pikiran.

Pada saat faktor-faktor perbedaan individual dan

situasional mempengaruhi proses pembentukan perilaku agresi

maka akan terjadi perilaku agresi terbuka. Akan tetapi, perilaku

agresi juga tergantung interpretasi individu atas situasi saat

kejadian berlangsung bedasarkan faktor-faktor peringatan yang


(50)

Skema 2. Teori General Affective Aggression Model (GAAM) Bushman danAderson ( 2002) (dalam Baron, Byrne, dan Branscombe, 2006).

FAKTOR PEMICU

FAKTOR SITUASI

 Provokasi

 Frustasi

 Tanda-tanda yang berhubungan dengan agresi

 Semua hal yang membuat seorang individu merasa tidak nyaman

FAKTOR INDIVIDU

 Adanya perasaan negatif dalam diri

 Sifat mudah marah

 Adanya kepercayaan mengenai agresi

 Nilai yang

mendukung agresi adalah hal yang baik

 Perilaku Tipe A

KONDISI INTERNAL SESAAT

Afeksi

Kognisi Keterangsangan

Proses penilaian dan pengambilan keputusan

Aksi yang disengaja atau tertuju

Respon implusif seperti agresi


(51)

c. Teori Belajar : Modelling

Teori belajar observasional mengemukakan bahwa

sebagian besar tingkah laku termasuk agresi diperoleh dari hasil

belajar melalui pengamatan (observasi) terhadap tingkah laku

yang ditampilkan oleh individu-individu yang berperan sebagai

model (Koeswara, 1988). Teori ini dikemukan oleh Bandura

dimana ia mengatakan bahwa berdasarkan pandangan social

learning individu tidak digerakkan oleh keinginan dari dalam

dirinya sendiri melainkan oleh keadaan lingkungan (Bandura,

1973). Bandura juga mengatakan bahwa perilaku agresi

dihasilkan oleh pola asuh yang diperoleh seorang anak melaui

proses belajar.

Bandura (1973) membedakan pendekatan social learning

dengan pendekatan lain dengan cara mempertegas pendekatan

social learning melalui pembuatan suatu skema dimana

dijelaskan bahwa kejadian yang tidak menyenangkan (aversive)

akan membangkitkan keterangsangan emosional individu.

Ketika seseorang berada dalam keadaan menderita maka akan

dilakukan pengatisipasian kejadian dari individu yang akan

memperkuat dan memotivasi individu untuk bertindak. Melalui

proses inilah muncul berbagai respon. Respon-respon tersebut

antralain : dependency, achievement (pencapaian tujuan),


(52)

psikosomatis, ketergantungan pada obat-obatan dan alkohol,

membentuk pemecahan masalah (problem solving).

Perilaku-perilaku tersebut tidak sama pada setiap individu tergantung

pada seberapa besar coping individu terhadap stres dan seberapa

efektif tindakan tersebut bagi individu itu sendiri.

Skema 3. Teori Belajar Sosial Bandura (1973)

4. Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Perilaku Agresi

Agresi sebagai bentuk dari perilaku tentulah dipengaruhi oleh

banyak hal. Banyak ahli yang mengemukakan faktor-faktor pemicu

munculnya perilaku agresi diantaranya kepribadian individu, keadaan

dependency achievemen t

withdrawal t

resignation

agresi

achievemen t

Ketergantu ngan pada obat-obatan dan alkohol psikosomat is t

Kejadian yang tidak menyenangkan

Konsekuensi pengantipasian

Keterangsanga n emosional

Memperkuat dan memotivasi


(53)

lingkungan, dan keadaan orang-orang disekitar bahkan situasi

setempat seperti suhu udara. Baron dan Byrne (2005)

mengelompokkan faktor-faktor agresi kedalam 3 kelopok besar yang

kemudian dari ketiga kelompok tersebut terbagi lagi kedalam

beberapa bagian. Ada pun faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai

berikut :

a. Faktor Sosial

1) Frustasi

Koeswara (1998) mendefenisikan frustasi sebagai

suatu situasi dimana seorang individu mengalami

keterhambatan atau kegagalan dalam mencapai tujuan

tertentu yang diinginkan oleh individu tersebut. Selain itu,

Brekowist (dalam Koeswara,1998) mengemukakan

pendapat bahwa ada dua macam fakor yang menjadi

prasyarat munculnya agresi yaitu kesiapan untuk bertindak

agresi yang terbentuk dari pengalaman frustasi dan

stimulus-stimulus ekternal yang memicu munculnya

agresi. Hal ini berarti seorang individu bertindak agresi

karena adanya frustasi dimana individu tersebut berada

dalam situasi yang tidak menyenangkan dan ingin

mengatasi situasi tersebut dengan berbagai cara dan salah

satunya adalah melakukan tindakan agresi (Berkowist


(54)

juga berpendapat bahwa frustasi menjadi pemicu agresi

dalam situasi tertentu terutama penyebabnya dipandang

tidak adil atau tidak legal.

2) Provokasi Langsung

Agresi biasanya merupakan hasil dari provokasi

fisik atau verbal dari orang lain. Provokasi yang biasanya

memicu seseorang melakukan tindakan agresi yakni

berupa kritik yang dianggap tidak adil, ungkapan sarkastis,

dan kekerasan fisik. Jarang seseorang menghindar apabila

dirinya menerima suatu bentuk agresi dari orang lain.

Sebaliknya mereka akan membalasnya dengan lebih

sedikit, sama besar atau bahkan melebihi agresi yang

mereka terima karena mereka beranggapan bahwa orang

lain memiliki tujuan untuk menyakiti mereka (Baron dan

Byrne, 2005). Selain itu, Geen (dalam Koeswara,1998)

percaya bahwa provokasi merupakan pemicu timbulnya

agresi karena provokasi biasanya merupakan serangan

terhadap rasa harga diri (self-esteem) seorang individu.

3) Tayangan Kekerasan di Media Massa

Hasil penelitian membuktikan bahwa film atau

program-program televisi yang menayangkan aksi

kekerasan dapat membuat seseorang untuk melakukan


(55)

terbayangkan oleh mereka (Baron dan Byrne, 2005).

Busman dan Anderson (dalam Baron dan Byrne, 2005)

berpendapat bawa media dapat menjadi efek yang kuat

bagi kognitif yang berhubungan dengan agresi, secara

perlahan-lahan dapat membentuk hostile expectation bias

yang pada akhirnya jika ekspetasinya kuat maka seorang

individu dapat menunjukkan reaksi agresi.

b. Karakteristik Kepribadian

1) Pola Perilaku Tipe A

Glass dan Strube (dalam Baron, Branscombe, dan

Byrne, 2006) berpendapat bahwa orang yang memiliki

pola perilaku tipe A dapat dideskripsikan sebagai orang

yang sangat kompetitif, sangat terburu-buru, dan mudah

tersinggung maupun agresif. Sebaliknya, orang dengan

pola perilaku tipe B adalah orang yang tidak sangat

kompetitif, tidak selalu bertanding melawan waktu, dan

tidak mudah kehilangan kendali emosi. Hal ini

menunjukkan bahwa orang dengan pola perilaku tipe A

lebih dapat memicu timbulnya agresi dibanding yang

memiliki pola perilaku tipe B (Baron dan Byrne, 2005).

2) Bias Atribusi Hostile

Bias atribusi hostile mengacu pada kecenderungan


(56)

sebagai suatu bentuk kesengajaan namun mengasumsikan

bahwa kesengajaan tersebut sebagai bentuk provokasi

sehingga seorang individu akan bereaksi melawan atau

membalasnya, misalnya dengan cara langsung memarahi

orang tersebut. Seorang individu yang memiliki bias

atribusi hostile yang tinggi jarang memandang tindakan

orang lain sebagai bentuk ketidaksengajaan. Selain itu,

Bias atribusi hostile merupakan salah satu faktor pribadi

(perbedaan individu) yang penting dalam agresi (Baron

dan Byrne, 2005).

3) Perbedaan Jenis Kelamin

Menurut Bettencourt dan Miller (dalam Baron dan

Byrne, 2005) perbedaan jenis kelamin dalam agresi

sangat besar ketika tidak ada provokasi dibanding adanya

provokasi. Laki-laki cenderung lebih agresif ketimbang

perempuan ketika tidak ada hal yang memprovokasi

mereka. Akan tetapi, jika mereka berada dalam situasi

yang memprovokasi mereka secara intens maka

perempuan akan sama agresinya dengan laki-laki. Sebuah

penelitian yang dilakukan oleh Bjorkqvist, Osterman, dan

Buck (dalam Baron, Branscombe, dan Byrne, 2006)


(57)

cenderung secara langsung sedangkan perempuan

agresinya cenderung tidak langsung.

c. Faktor Situasional

1) Suhu Udara

Suhu udara pada titik tertentu dapat memicu

seseorang untuk melakukan tindakan agresi. Suhu udara

yang terlalu tinggi akan membuat seorang individu berada

dalam kondisi tidak nyaman sehingga menyebabkan

mereka kehilangan energi dan tidak mampu melakukan

agresi (Baron dan Byrne, 2005). Selain itu, Carlsmith dan

Anderson (dalam Koeswara, 1988) menyimpulkan bahwa

pada musim panas banyak terjadi tindakan agresi. Hal ini

karena pada musim panas hari-hari lebih panjang dari

musim-musim lainnya. Berdasarkan penemuan tersebut

mereka sepakat bahwa antara suhu udara dan tindakan

kekerasan terdapat kaitan erat.

2) Alkohol

Pada beberapa penelitian Busman, Cooper, dan

Gustafson (dalam Baron dan Byrne, 2005) ditemukan

bahwa orang yang yang mengkomsumsi alkohol dalam

jumlah yang banyak bertindak lebih agresi dan lebih cepat

merespon pada provokasi ketimbang orang yang tidak


(58)

bahwa berdasarkan studi metaanalisis yang dilakukan

akhir-akhir ini menegaskan bahwa alkohol dapat

menimbulkan agresi baik secara fisik maupun verbal

(Bushman dan Cooper dalam Pihl dan Hoaken, 2000).

Hasil penelitian Phil dan Hoaken (2000) juga menemukan

bahwa laki-laki pecandu alkohol (suka mabuk-mabukan)

lebih agresif dari teman sebayanya yang tidak pecandu

alkohol. Hal ini juga didukung dengan hasil penelitian

yang dilakukan oleh Taylor dan Schmut (dalam Koeswara,

1988) ditemukan bahwa orang yang mengkomsumsi

alkohol dalam jumlah yang tinggi lebih agresif

dibandingkan dengan orang yang tidak mengkomsumsi

alkohol. Maka dapat disimpulkan bahwa alkohol memiliki

kaitan erat dengan agresi.

Selain 3 faktor yang dikelompokkan oleh Baron dan Byrne

(2005), Berkowitz (2006) juga mengemukakan bahwa keluarga dan

pengaruh kelompok dan geng (teman sebaya) juga dapat

mempengaruhi perkembangan kecenderungan agresif. Berikut ini

akan dibahas secara mengenai faktor-faktor tersebut.

1. Keluarga

Kecenderungan kekerasan seseorang bisa merupakan hasil

berbagai pengaruh, diantaranya : kurang kasih sayang dari orang


(59)

faktor turunan dan susunan syaraf, besarnya stres dalam

kehidupan, kegagalan dalam memenuhi keinginan pribadi dan

ekonomi, sikap dan nilai-nilai tentang agresi yang menonjol

dalam masyarakat atau yang dipegang oleh teman-temannya,

sejauh mana mereka melihat orang lain memakai agresi dalam

memecahkan masalah (dalam kehidupan nyata atau di layar

bioskop atau TV), dan bagaimana mereka belajar untuk melihat

masyarakat disekitarnya. Tidak ada sumber tunggal

kecenderungan agresif seseorang seperti halnya tidak ada

sumber tunggal dalam mengembangkan sifat kekerasan.

Perlu diketahui bahwa peran keluarga juga menjadi salah

satu faktor penyumbang perkembangan kecenderungan agresif

seseorang yang dapat bertahan hingga dewasa. Hal ini

dikarenakan menurut McCord (dalam Berkowitz, 1995)

pengalaman keluarga sewaktu kecil dapat membantu

membentuk jalan hidup mereka setelah dewasa bahkan dapat

mempengaruhi kemungkinan mereka menjadi pelanggar hukum.

Oleh karena itu, cara membesarkan anak sering mempunyai

pengaruh jangka panjang terhadap perkembangan agresivitas

dan antisosial. Menurut Petterson (dalam Berkowitz, 2006)

banyak anak pada dasarnya terlatih untuk bertindak agresi

melaui interaksi dengan para anggota keluarga yang lain. Selain


(60)

pengangguran, konflik suami istri, pendidikan, pengahasilan,

dan latar belakang etnis orang tua juga dapat mempengaruhi

pertumbuhan seorang anak. Hal-hal ini kemudian yang

mempangaruhi cara orang tua mengasuh anaknya. Oleh karena

itu, jika seorang anak menjadi berkecendrugan agresif karena

interaksi dengan para anggota keluarga maka dia akan

melakukan tindakan yang tidak semestinya diluar keluarga.

Penolakan orang tua terhadap anaknya tentu menyakitkan

bagi seorang anak, maka tidak dipungkiri bahwa bahwa banyak

anak yang sangat agresif memiliki orang tua yang dingin dan

tidak peduli terhadap anaknya. Menurut McCord, McCord dan

Horward (dalam Berkowitz, 2006) dalam penelitian mereka

menemukan bahwa para bapak dan ibu dari anak yang agresif

kurang memberikan kasih sayang terhadap anaknya

dibandingkan dengan anak yang berperilaku baik. Hal ini

didukung dengan penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Joan

McCord (dalam Berkowitz, 2006). Dalam penelitian tersebut

ditemukan bahwa peserta penelitian yang ketika kecil

mengalami penolakan dan tidak mendapatkan kasih sayang yang

penuh dari orang tua ternyata melakukan kejahatan yang serius

ketika dewasa walaupun tidak mengalami penyiksaaan fisik.

Olweus (dalam Berkowitz, 2006) juga mengemukakan bahwa


(61)

menghasilkan anak-anak yang agresi dan antisosial. Hal ini

didukung dengan penelitian yang dilakukan McCord (dalam

Berkowitz, 2006) yang menemukan bahwa seorang anak yang

disiksa sewaktu kecil ternyata melakukan kejahatan berat setelah

dewasa dibandingkan dengan anank yang terus mendapat kasih

sayang dari orang tua mereka. Oleh karena itu, anak-anak kecil

yang setelah dewasa melakukan kejahatan setelah dewasa

memiliki orang tua yang memiliki sikap begis, menerapkan

disiplin yang keras, dan penuh hukuman. Banyak ibu dan ayah

yang suka menyiksa juga sangat dingin terhadap anaknya,

kadang kejam, tidak mau meluangkan waktu untuk membahas

masalah mereka, dan seringkali tidak konsisten dalam

mengendalikan anaknya. Mereka tidak selektif dan konsisten

dalam pemilihan tindakan pemberian hukuman atau hadiah.

Mereka cenderung mengomel, mencaci, serta mengancam

asal-asalan. Baumrind (dalam Berkowitz, 2006) mengemukan bahwa

gaya pengasuhan orang tua yang bersifat otoriter juga dapat

membentuk perilaku anak menjadi anak yang kebigungan dan

mudah tersinggung, takut, gelisah, menjengkelkan, agresif dan

suka menyendiri, murung, dan sedih.

2. Pegaruh kelompok dan geng

Banyak anak sangat mudah terpengaruh oleh


(62)

Oleh karena itu, mereka sering mencari teman-teman yang dapat

menghargai mereka. Hal ini bahkan berlaku bagi anak-anak

yang sering terlibat perkelahian dengan teman sebayanya.

Kenakalan dan kesukaan berkelahi mereka mungkin membuat

banyak teman sebaya mereka menjauhi mereka. Akan tetapi,

kebanyakan dari mereka akan tetap memiliki teman lain yang

memiliki agresivitas dan gaya hidup yang sama dengan mereka.

Mereka kemudian saling mendukung, percakapan dan tindakan

mereka mengarah pada kesamaan kepentingan, dan sikap

mereka mengarah pada kecenderungan kesamaan dalam perilaku

antisosial. Pada kelompok ini mereka mendapat penerimaan,

status, dan merasa penting atau dihargai dalam kelompok

dibanding dalam kelompok lain. Mereka juga mendapat

dukungan kelompok bahwa pandangan dan sikap mereka

bersama itu benar serta bahwa bahaya yang mereka takuti bisa

diatasi (Berkowitz, 2006).

Pada kelompok dan geng tersebut mereka bukan saja

mendapat rasa aman, status, dan harga diri tetapi mereka juga

membuat aturaran-aturan yang berlaku bagi semua anggota

kelompok dan geng. Aturan-aturan tersebut dibuat untuk

menetukan bagaimana anggota kelompok dan geng harus

bertindak dalam situasi tertentu. Aturan ini kemudian dapat


(63)

secara perseorangan. Hal ini karenakan mereka akan

mendapatkan dukungan sesama anggota geng dengan mengikuti

standar yang dibuat geng atau ditolak jika tidak memenuhi

harapan geng (Berkowitz, 2006).

Aturan yang dibuat ini biasanya menentukan perilaku

yang diinginkan jika kehormatan anggota geng terancam. Untuk

membuktikan ketangguhan mereka ketika harga diri terancam

maka seorang anggota geng harus secara tangguh menghukum

mereka yang menyerang. Keyakinan mereka akan perlunya

perilaku agresi dalam keadaan tertentu dapat berfungsi sebagai

penguat bagi kekerasan. Individu yang memegang keyakinan

tersebut termotivaisi untuk berbuat sesuai tatacara yang

disepakati. Selain itu, seseorang terdorong suka kekerasan jika

menganggap harga dirinya (atau citra diri atau identitasnya)

terancam. Mereka juga mendapat dukungan dari anggota

kelompok ketika mereka mempraktekkan perbuatan mereka

tersebut. Oleh karena itu, penguatan yang diberikan oleh sesama

teman mereka menjadi penguat bagi mereka untuk mengulangi

perbuatan tersebut. Hal ini yang kemudian mengembangkan

keberanian mereka untuk melakukan penyerangan termasuk

dengan kekerasan secara bersama-sama bahkan agresi yang


(64)

B. Kerangka Penelitian : Perilaku Agresi Mahasiswa Etnis Nusa Tenggara Timur

Terbentuknya perilaku agresi mahasiswa etnis Nusa Tenggara Timur,

tentulah dipicu oleh berbagai faktor. Sejumlah penelitian menjelaskan

bahwa terdapat berbagai faktor yang memicu perilaku agresi (e.g. Baron at

al, 2005; Berkowitz, 2006; Sarwono at al, 2009). Menurut Baron dan Byrne

(2005) ada berbagai faktor yang menyebabkan agresi, antara lain : frustasi,

provokasi langsung, pemaparan kekerasan dimedia, keterangsangan yang

meningkat, pola perilaku tipe A, bias atribusi hostile, gender, suhu udara

tinggi, alkohol, belief budaya, dan nilai-nilai. Ada pun Faktor-fator tersebut

dapat dikelompokkan kedalam 3 faktor besar yaitu faktor sosial, faktor

pribadi, dan faktor situasional.

Beberapa penelitian mengemukan bahwa salah satu faktor yang

memicu agresi yaitu interaksi anak dengan anggota keluarga lain, pola asuh

orang tua yang bersifat otoriter dan kasar dapat mengembangkan

kecenderungan kepribadian agresif seorang anak yang dapat bertahan

hingga dewasa (Schellenberg, 2000; Peterson, McCorrd, Olweus, Baumrind

dalam Berkowitz, 2006). Sarwono dan Meinamo (2009) mengemukakan

bahwa provokasi fisik dan verbal yang dilakukan seseorang dapat menjadi

pemicu tindakan agresi. Mengkomsusi alkohol juga dapat menjadi pemicu

timbulnya agresi baik fisik atau verbal (Bushman at al dalam Phil dan


(65)

Selain itu, Berkowitz (2006) juga mengemukakan bahwa faktor

keluarga dan pengaruh kelompok dan geng sebagai faktor yang dapat

mengembangkan kecenderungan agresif yang akan bertahan hingga dewasa.

Maka tidak dipungkiri jika seorang anak yang memiliki interaksi yang

buruk dalam keluarga dan lingkungan pertemanan pada saat dewasa

ditemukan banyak melakukan tindak kekerasan dan agresi yang serius.

Faktor-faktor pemicu agresi tersebut kemudian merangsang seorang

individu untuk melakukan berbagai bentuk agresi baik itu secara verbal atau

fisik dengan tujuan untuk melukai orang lain (Buss dalam Dayakisni dan

Hudaniah, 2012). Maka dalam penelitian ini, peneliti mau melihat

faktor-faktor pemicu perilaku agresi beserta bentuk-bentuk perilaku agresi

mahasiswa etnis Nusa Tenggara Timur dari sudut pandang informan


(66)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian yang berjudul “Studi Deskriptif Perilaku Agresi Mahasiswa Etnis Nusa Tenggara Timur di Yogyakarta” ini menggunakan metode kualitatif. Pilihan metode ini dinilai lebih tepat untuk menjawab

tujuan penelitian yaitu menggambarkan faktor yang melatarbelakangi

keterlibatan mahasiswa berlatarbelakang etnis Nusa Tenggara Timur dalam

melakukan tindakan agresi dan mengambarkan bentuk-bentuk perilaku

agresi yang telah dilakukan oleh mahasiswa Etnis Nusa Tenggara Timur di

daerah Yogyakarta karena penelitian kualitatif berusaha mengekplorasi,

mendeskripsikan maupun mengiterpretasi maksud dari suatu fenomena

maupun pengalaman personal dan sosial yang dialami oleh subjek penelitian

(Creswell, 2007). Penelitian kualitatif juga berusaha untuk

menggambarkan, menjelaskan peristiwa-peritiwa dan pengalaman sehingga

bukan untuk memprediksi. Peneliti dalam penelitian kualitatif mempelajari

orang diwilayah mereka dengan setting yang alamiah seperti rumah,

sekolah, rumah sakit, jalanan dan sebagainya (Willig, 2008). Maka dari itu,

desain dari suatu penelitian kualitatif juga bersifat alamiah dengan tidak

berusaha untuk memanipulasi setting penelitian juga dinilai sesuai dengan


(67)

Selain itu, ada beberapa pertimbangan yang mengarahkan peneliti

untuk memilih pendekatan kualitatif terutama terkait ciri-ciri penelitian

kualitatif. Berdasarkan perspektif teoritis dan ilmu-ilmu sosial penelitian

kualitatif berada di bawah paradigma interpretatif atau fenomenologis

(Poerwandari, 2005). Dibawah paradigma tersebut, maka tujuan dari

penelitian sosial adalah menginterpretasi dan berusaha memahami

kehidupan sosial yang dialami oleh subjek penelitian. Berbagai tujuan yang

telah disebutkan diatas dinilai sesuai dengan penelitian ini karena penelitian

ini berangkat dari usaha untuk memahami kehidupan sosial subjek

penelitian. Oleh karena itu, peneliti memerlukan kerangka teknis untuk

membantu peneliti agar dapat berinteraksi secara lebih mendalam dengan

subjek peneliti dan kerangka teknis tersebut ditawarkan dari metode

penelitian kualitatif.

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif dimana data yang diperoleh

berupa penggambaran yang ingin menerjemahkan pandangan dasar

interpretatif dan fenomenologi dengan tujuan untuk memahami kehidupan

sosial manusia (Poerwandari, 2005). Termasuk kegiatan, sikap, pandangan,

proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu

fenomena (Whitney dalam Natzir, 2005). Poerwandari (2005) juga

menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan

untuk mengumpulkan data dan mengola data yang bersifat deskriptif berupa


(68)

resmi, dan lain sebagainya. Penelitian ini akan menggunakan transkip

wawacara yang kemudian data akan diolah kedalam bentuk deskriptif

sehingga penelitian ini memenuhi syarat dalam menggunakan pendekatan

kualitatif deskriptif.

B. Fokus Penelitian

Data yang diperoleh dalam penelitian kualitatif sangat luas. Hal ini

dikarenakan data kualitatif bersifaf holistik (menyeluruh, tidak dapat

dipisah-pisahkan). Oleh karena itu, peneliti perlu melakukan pembatasan

terhadap penelitian yang dilakukan dengan cara menetapkan fokus

penelitian. Fokus penelitian dimaksudkan pada kebaharuan informasi dalam

upaya untuk memahami secara lebih luas dan mendalam mengenai situasi

sosial dari subjek penelitian (Sugiyono, 2013). ). Untuk memahami konteks

kehidupan subjek secara luas dan mendalam maka perlu dijelaskan secara

terperinci mengenai area konseptual penelitian yang menjadi fokus

penelitian. Area konseptual tersebut mencakup defenisi perilaku agresi,

faktor-faktor pemicu perilaku agresi, dan bentuk-bentuk perilaku agresi.

Agresi yang dimaksudkan dalam hal ini adalah serangkaian perilaku

kekerasan yang bertujuan untuk melukai orang lain baik secara fisik, verbal,

dan mental bahkan sebagai “dasar dari prestasi intelektual, dari tercapainya kebebasan, bahkan kebanggaan yang bisa membuat seseorang merasa lebih

dari teman-temannya (Berkowitz, 1995). Perilaku agresi timbul karena


(69)

pemicu perilaku agresi kedalam 3 kelompok besar. Pertama yaitu faktor

sosial yang terdiri dari frustasi, provokasi langsung, dan tayangan kekerasan

di media masa. Kedua yaitu faktor kepribadian yaitu pola perilaku tipe A,

bias atribusi hostile, dan perbedaan jenis kelamin. Ketiga yaitu faktor

situasional yang terdiri dari suhu udara dan alkohol. Selajutnya Berkowitz

(2006) juga menambahkan faktor keluarga dan pengaruh kelompok atau

geng sebagai faktor yang mendukung berkembangnya kecendrungan agresif

yang dapat bertahan hingga dewasa. Bentuk-bentuk agresi terdiri dari

berbagai macam. Buss (dalam Dayakisni dan Hudaniah, 2012)

mengkategorikan agresi dalam 2 bentuk yaitu agresi verbal dan fisik baik

secara langsung dan tidak langsung.

Maka dalam penelitian ini, terdapat 2 fokus penelitian yaitu :

1. Faktor-faktor pemicu perilaku agresi (Faktor-faktor apa saja yang

memicu terjadinya perilaku agresi mahasiswa etnis Nusa Tenggara

Timur di daerah Yogyakarta?)

2. Bentuk-bentuk perilaku agresi (Bentuk-bentuk perilaku agresi seperti

apa saja yang dilakukan mahasiswa etnis Nusa Tenggara Timur di

daerah Yogyakarta?)

C. Informan Penelitian

Penelitian kualitatif tidak bertujuan untuk melakukan generalisasi

melainkan untuk melihat pengalaman informan dari cara pandang informan


(1)

279

LAMPIRAN

11

Surat Keterangan

Keabsahan Hasil

Wawancara

Informan

3 (RS)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(2)

(3)

281

LAMPIRAN

12

Surat Pernyataan

Persetujuan Wawancara

Informan

4 (ID)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(4)

(5)

283

LAMPIRAN

13

Surat Keterangan

Keabsahan Hasil

Wawancara

Informan

4 (ID)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(6)