Penggunaan ekstrak air biji alpukat juga dapat mengurangi kadar kolesterolol total, trigliserida, dan kolesterol LDL Nwaoguikpe and Braide,
2011 karena adanya kandungan betasitosterol dan tokoferol pada biji alpukat. Anaka, Ozolua dann Okpo 2009 melaporkan ekstrak air biji P. americana Mill.
dapat menurunkan tekanan darah. Selain itu, biji buah alpukat bersifat nefroprotektif pada tikus jantan yang terinduksi karbon tetraklorida Yoseph,
2013.
B. Infusa
Infusa didefinisikan sebagai sediaan cair yang dibuat dengan mengekstraksi simplisia nabati dengan air pada suhu 90
o
C selama 15 menit Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2010. Pembuatan sediaan infusa adalah dengan
mencampur simplisia yang telah diayak dengan derajat halus yang sesuai dalam panci dengan air secukupnya. Pemanasan dilakukan di atas penangas air selama 15
menit terhitung sejak mencapai 90
o
C yang disertai dengan pengadukan. Penyerkaian dilakukan menggunakan kain flannel yang disertai dengan
menambahkan air panas secukupnya melalui ampas hingga diperoleh volume infus yang dikehendaki Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan RI, 1995.
5 .
Khasiat dan kegunaan
C. Toksikologi
Toksikologi merupakan ilmu yang mempelajari aksi berbahaya zat kimia atas sistem biologi. Definisi ini menunjukkan bahwa objek yang dipelajari dalam
toksikologi adalah antaraksi zat kimia atau senyawa asing dengan sistem biologi atau makhluk hidup, yang pusat perhatiannya terletak pada aksi berbahaya zat kimia
tersebut Donatus, 2001.
1. Kondisi, mekanisme, wujud dan sifat efek toksik racun
a. Kondisi efek toksik
Kondisi efek toksik adalah keadaan atau faktor yang mempengaruhi keefektifan absorpsi, distribusi dan eliminasi zat beracun di dalam tubuh sehingga
menentukan keberadaan kadar dan lama tinggal senyawa atau metabolitnya di tempat aksi dan keefektifan antaraksinya mekanisme aksi. Keadaan ini
bergantung pada kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup Donatus, 2001. b.
Mekanisme aksi Mekanisme aksi toksik racun dapat digolongkan menjadi tiga, yakni
mekanisme berdasarkan sifat dan tempat kejadian, berdasarkan sifat antaraksi antara racun dan tempat aksinya dan berdasarkan risiko penumpukan racun dalam
gudang penyimpanan tubuh Donatus, 2001. c.
Wujud efek toksik Wujud efek toksik adalah hasil akhir dari aksi dan respon toksik. Respon
toksik merupakan suatu proses di mana sel, jaringan atau organ menanggapi adanya luka dalam komponen-komponen tubuhnya. Respon yang terjadi merupakan hasil
dari 1 perubahan biokimia terhadap luka sel akibat antaraksi racun dan tempat
aksinya. Termasuk efek toksik jenis ini di antaranya penghambatan respoirasi selular, perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit dan gangguan pasok energi.
Perubahan biokimia pada umumnya bersifat terbalikkan; 2 perubahan fisiologis fungsional yang berkaitan dengan antaraksi racun dengan reseptor atau tempat
aktif enzim sehingga mempengaruhi fungsi homeostasis tertentu. Perubahan ini bersifat terbalikkan. Termasuk efek toksik jenis ini di antaranya anoksia, gangguan
pernapasan, perubahan kontraksi dan relaksasi otot, dan gangguan sistem saraf pusat; 3 perubahan struktural, yang biasanya diawali oleh perubahan biokimia
atau fungsional. Termasuk dalam jenis ini di antaranya perlemakan, nekrosis, karsinogenesis dan teratogenesis Donatus, 2001.
d. Sifat efek toksik
Sifat efek toksik meliput reversibilitas terbalikkan dan irreversibilitas tak terbalikkan. Dikatakan terbalikkaan jika efek toksik yang terjadi dapat
kembali seperti keadaan normal atau seperti sebelum terjadi efek toksik. Keterbalikkan ini tergantung dari sejumlah faktor, termasuk tingkat paparan waktu
dan jumlah racun dan kemampuan jaringan yang terkena untuk memperbaiki diri atau beregenarasi. Sifat tak terbalikkan adalah jika efek toksik yang terjadi menetap
atau tidak dapat kembali seperti keadaan normal Williams, James and Roberts, 2000.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketoksikan racun
Pada dasarnya, aneka ragam faktor yang dapat mempengaruhi ketoksikan racun dapat digolongkan menjadi dua, yakni faktor yang berasal dari racun faktor
intrinsik racun dan faktor yang berasal dari makhluk hidupnya faktor intrinsik makhluk hidup.
Racun merupakan zat kimia. Karena itu ketoksikan racun tak lepas dari sifat fisika dan kimia bawaan racun tersebut. Faktor intrinsik racun melipputi faktor
kimia, kondisi pemejanan, pengolahan, pengawetan, pengentalan dan pengepakkan. Bergantung pada sifat dan berbagai proses yang dapat mempengaruhi sifat racun
maka berbagai faktor tersebut dapat mempengaruhi keefektifan translokasi atau antaraksi racun dengan tempat aksinya.
Faktor intrinsik makhluk hidup merupakan kondisi fisiologis berat badan, umur, suhu tubuh, kecepatan pengosongan lambung, kapasistas fungsional
cadangan, penyimpanan racun, kecepatan alir darah, status gizi, jenis kelamin, kehamilan, genetika, irama siskardian, irama diurnal dan kondisi patologis pada
makhluk hidup penyakit Donatus, 2001.
D. Toksisitas Subakut
Jenis uji toksikologi dibagi menjadi dua golongan yaitu uji ketoksikan khas dan uji ketoksikan tak khas. Uji ketoksikan khas uji toksistas akut, subkronis
dan kronis merupakan uji untuk mengevaluasi secara rinci efek yang khas sesuatu senyawa pada aneka ragam jenis hewan uji, sedangkan uji ketoksikan tak khas
merupakan uji yang dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan atau spektrum efek toksik suatu senyawa pada aneka ragam jenis hewan uji Donatus, 2001.
Uji toksisitas subkronis yang biasanya disebut juga subakut merupakan uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji
tertentu, selama kurang dari tiga bulan. Uji ini ditujukan untuk mengungkapkan spektrum efek toksik senyawa uji, serta untuk memperlihatkan apakah spektrum
efek toksik itu berkaitan dengan takaran dosis Donatus, 2001. Jumlah hewan uji yang digunakan untuk uji ketoksikan subkronis adalah
lima ekor untuk masing-masing jenis kelamin dalam tiap kelompok perlakuan. Hewan uji harus diadaptasikan dahulu selama beberapa hari sebelum dilakukan
percobaan agar kondisi hasil percobaan yang diperoleh benar-benar merupakan pengaruh pemberian perlakuan, bukan karena lingkungan yang baru bagi hewan uji
Derelanko and Hollinger, 2002.
E. Pankreas 1.