Uji toksisitas subakut infusa biji Persea americana Mill. terhadap gambaran histopatologis testis dan uterus tikus galur Sprague Dawley.

(1)

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan efek toksik pada pemberian subakut infusa biji Persea americana Mill. terhadap organ testis dan uterus tikus galur Sprague Dawley melalui gambaran histopatologisnya. Selain itu juga untuk mengetahui sifat efek toksik yang ditimbulkan.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan sederhana acak lengkap pola searah. Penelitian ini menggunakan 50 ekor tikus: 25 jantan dan 25 betina, galur Sprague Dawley, umur 2-3 bulan, berat badan 150-250 g. Kemudian dibagi secara acak menjadi 5 kelompok, yaitu kelompok kontrol yang diberi aquadest 14,2857 g/kgBB, dan 4 kelompok perlakuan yang diberi infusa biji Persea americana Mill. dengan dosis berturut-turut 202,24 mg/kgBB (dosis I); 360 mg/kgBB (dosis II); 640,8 mg/kgBB (dosis III) dan 1140,6 mg/kgBB (dosis IV) selama 28 hari. Pada hari ke-29, sebanyak tiga tikus dari tiap dosis dikorbankan, diambil organ testis dan uterus kemudian dilakukan pemeriksaan histopatologis. Selanjutnya dilakukan uji reversibilitas selama 14 hari tanpa diberikan perlakuan pada dua tikus yang tersisa pada setiap dosis. Pada hari ke-15 setelah uji reversibilitas, hewan uji yang tersisa dikorbankan, diambil organ testis dan uterus kemudian dilakukan pemeriksaan histopatologis.

Hasil pemeriksaan histopatologis menunjukkan bahwa organ testis dan uterus dalam keadaan normal. Hasil pemeriksaan tersebut dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan infusa biji alpukat selama 28 hari tidak menimbulkan efek toksik terhadap organ testis dan uterus. Sifat efek toksik dari penelitian ini tidak dapat ditentukan karena gambaran histopatologis pada perlakuan maupun uji reversibilitas menunjukkan testis dan uterus dalam keadaan normal.


(2)

This study aims to examine the toxic effects on the provision of Persea americana Mill. seeds infuse subacute against testicular and uterine organs Sprague Dawley strain rats through its histopathologic. In addition, its objective is also to determine the characteristic of the toxic effects.

This study is purely experimental research with simple designs completely randomized direction. This study used 50 rats : 25 male and 25 female Sprague Dawley strain, age 2-3 months, body weight 150-250 g. Then they were divided randomly into 5 groups: control group were given distilled water 14285,7mg / kg, and 4 treatment groups were given Persea americana Mill. seed infuse with successive doses of 202.24 mg / kg (first dose); 360 mg / kg (second dose); 640,8mg / kg (third dose) and 1140.6 mg / kg (fourth dose) for 28 days. On day 29, three mice from each dose were sacrificed and examinated histopathologically. Furthermore reversibility test for 14 days without treatment given to the two remaining mice at each dose. On the 15th day after the reversibility test, the remaining test animals were sacrificed and examinated histopathologically.

Histopathologic examination showed that testicular and uterine organs in normal state. From the results of the investigation can be concluded that the examination of the avocado seed infuse for 28 days did not cause toxic effects on the testes and uterus organs. The characteristic of the toxic effects of this study can not be determined because the treatment and reversibility test showed testes and uterus in normal state.


(3)

i

TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGIS ORGAN TESTIS DAN UTERUS TIKUS GALUR SPRAGUE DALWEY

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Rosita Olimpia Bagiastrasari NIM : 118114129

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Bersukacitauah dauam Pengharapan, Sabaruah dauam Kesesakan dan Bertekunuah dauam Doa!

(Roma 12:12)

Dengan penuh rasa syukur dan sukacita, Kupersembahkan karya ini untuk: Tuhan Yesus Kristus, pribadi yang tidak pernah meninggalkanku dan selalu membuat segala sesuatu dalam hidupku indah pada akhirnya, Bapak, Ibu dan Adikku yang selalu mendoakanku dan menjadi motivasiku, Keluarga besar Sukarman Hadi Suprapto dan Daniel Sahid Wiyoto yang selalu mendukungku, Sahabat-sahabatku yang selalu setia menguatkan dan selalu memberi warna dihidupku, Seluruh teman-teman yang selalu menemani dan membantu selama perkuliahan, Serta almamaterku....


(7)

v

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa atas berkat, kasih dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “ Uji Toksisitas Subakut Infusa Biji Alpukat (Persea americana Mill.)

terhadap Gambaran Histopatologis Organ Testis dan Uterus Tikus Galur Sprague

Dawley”, sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Dalam penelitian hingga selesainya peyusunan skripsi ini penulis telah banyak memperoleh bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis hendak mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah mengijinkan

penulis menjalankan pembelajaran selama masa studi.

2. Ibu drh. Sitarina Widyarini, M.P., Ph.D. selaku Dosen Pembimbing I Skripsi

atas segala bimbingan, arahan, kesabaran, saran dan motivasi kepada penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.

3. Ibu Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt., selaku Dosen Pembimbing II Skripsi

atas segala bimbingan, arahan, kesabaran, saran dan motivasi kepada penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.

4. Bapak Ipang Djunarko, M.Sc., Apt., selaku Dosen Penguji Skripsi atas segala


(8)

vi

5. Bapak Prof. Dr. C. J. Soegihardjo, Apt., selaku Dosen Penguji Skripsi atas

segala bantuan dan saran demi kemajuan skripsi ini.

6. Ibu Agustina Setiawati, M.Sc., Apt., selaku Kepala Penanggung Jawab

Laboratorium Fakultas Farmasi yang telah memberikan ijin dalam penggunaan semua fasilitas laboratorium untuk kepentingan penelitian ini.

7. Bapak Heru dan Bapak Supardjiman selaku Laboran Farmakologi dan

Toksikologi, Bapak Wagiran selaku Laboran Farmakognosi-Fitokimia, Bapak Kayatno selaku Laboran Biokimia, Bapak Kunto selaku Laboran Kimia Analisis, Bapak Ottok selaku pengelola gudang kefarmasian atas segala bantuan selama pelaksanaan skripsi ini.

8. Bapak Sugiyono yang telah banyak membantu dalam pemeriksaan dan

menentukan diagnosis histopatologis organ, serta Bapak Lilik selaku laboran Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan UGM yang telah banyak membantu dalam pembuatan preparat histopatologis.

9. Bapak Abas Sumarno, Ibu Endang Mulatsih dan Adik Reza Fonda Pradesta

yang senantiasa mendukung, mendoakan, memberi semangat, kasih sayang dan motivasi bagi penulis.

10. Partner dan sahabat skripsi “Tim Biji Alpukat”, Betzylia Wahyuningsih,

Levina Apriyani, Agustina Iswara, Christina Desi, Trifonia Ingrid dan Marselina Cresentia atas kerjasama, bantuan, dukungan, dan kebersamaan selama penelitian dan pengerjaan skripsi.

11. Seluruh dosen dan staf Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma


(9)

vii

Septiavy Estiadewi dan Titis Indrawati Suryaningtyas atas dukungan, doa, semangat, hiburan, kebersamaan dan bantuan selama ini.

13. Teman-teman Farmasi angkatan 2011, khususnya FSM C dan FKK B 2011

Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah banyak memberikan ilmu, pengalaman, kebersamaan dan bantuan kepada penulis.

14. Teman-teman Kost Caritas yaitu Lucia Ari, Rini Indriyanti, Yoanna Kristia,

Carolina Dea, Veronica Ines, Verlita Anna dan Titik Purwaningsih yang selalu membantu dan mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

15. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

banyak berperan selama penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa setiap manusia tidak ada yang sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun khususnya dalam penelitian ini demi kemajuan di masa yang akan datang.

Akhir kata, penulis berharap bahwa skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di Bidang Farmasi, serta semua pihak baik mahasiswa, lingkungan akademis maupun masyarakat.

Yogyakarta, 20 Februari 2015


(10)

(11)

(12)

x

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN... iv

PRAKATA... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... ix

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL... xvi

DAFTAR GAMBAR... xvii

DAFTAR LAMPIRAN... xx

INTISARI... xxi

ABSTRACT... xxii

BAB I. PENGANTAR... 1


(13)

xi

1. Rumusan masalah... 5

2. Keaslian penelitian... 5

3. Manfaat penelitian... 6

B. Tujuan Penelitian... 6

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA... 8

A. Tanaman Alpukat (Persea americana Mill.)... 8

1. Sinonim... 8

2. Klasifikasi... 8

3. Nama umum... 8

4. Morfologi... 9

5. Kandungan... 10

6. Khasiat dan kegunaan... 10

B. Infusa... 11

C. Toksikologi... 11

1. Definisi toksikologi... 11

2. Asas toksikologi... 12


(14)

xii

D. Uji toksikologi subakut... 15

E. Testis... 17

1. Anatomi dan fisiologi testis... 17

2. Histologi testis... 18

3. Efek toksik senyawa pada testis... 21

F. Uterus... 23

1. Anatomi dan fisiologi uterus... 23

2. Histopatologi uterus... 26

3. Efek toksik senyawa pada uterus... 28

G. Keterangan Empiris... 31

BAB III. METODE PENELITIAN... 32

A. Jenis dan Rancangan Penelitian... 32

B. Variabel dan Definisi Operasional... 32

1. Variabel utama... 32

2. Variabel pengacau... 32

3. Definisi operasional... 33


(15)

xiii

D. Alat atau Instrumen Penelitian... 35

1. Alat pembuatan simplisia... 35

2. Alat penetapan kadar air... 35

3. Alat pembuatan infusa biji alpukat... 35

4. Alat perlakuan dan pemeriksaan histopatologi... 35

E. Tata Cara Penelitian... 36

1. Determinasi tanaman Persea americana Mill... 36

2. Pengumpulan bahan... 36

3. Pembuatan serbuk... 36

4. Penetapan kadar air serbuk biji Persea americana Mill... 36

5. Pembuatan infusa biji Persea americana Mill... 37

6. Penetapan dosis infusa Biji Persea americana Mill... 37

7. Penetapan dosis aquadest sebagai Kontrol Negatif... 38

8. Penyiapan hewan uji... 39

9. Pengelompokan dan perlakuan hewan uji... 39

10. Prosedur pemusnahan hewan uji... 40


(16)

xiv

12. Uji reversibilitas... 41

13. Pembuatan preparat dan pemeriksaan histopatologi... 41

14. Pengamatan data pendukung... 42

F. Tata Cara Analisis Hasil... 43

1. Pemeriksaan histopatologi organ... 43

2. Uji reversibilitas... 43

3. Pengamatan berat badan hewan uji... 43

4. Pengukuran asupan pakan dan minum hewan uji... 44

G. Skema Alur Penelitian... 44

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 45

A. Hasil Determinasi Biji Persea americana Mill... 46

B. Pembuatan Serbuk dan Penetapan Kadar Air... 46

C. Gambaran Histopatologis Testis Akibat Pemberian Infusa Biji Alpukat dan Uji Reversibilitas... 47

D. Gambaran Histopatologis Uterus Akibat Pemberian Infusa Biji Alpukat dan Uji Reversibilitas... 53 E. Pengaruh Pemberian Infusa Biji Alpukat terhadap Perubahan


(17)

xv

Berat Badan Tikus Jantan dan Betina... 57

F. Asupan Pakan Tikus Jantan dan Betina Akibat Pemberian Infusa Biji Alpukat... 62

G. Asupan Minum Tikus Jantan dan Betina Akibat Pemberian Infusa Biji Alpukat... 65

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 68

A. Kesimpulan... 68

B. Saran... 68

DAFTAR PUSTAKA... 69

LAMPIRAN... 73


(18)

xvi

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel I. Hasil Pemeriksaan Histopatologi Testis Tikus Kelompok

Kontrol dan Pelakuan Infusa Biji Alpukat selama 28 hari... 48 Tabel II. Hasil Pemeriksaan Histopatologi Testis Kelompok Kontrol

dan Pelakuan Infusa Biji Alpukat pada uji reversibel... 50 Tabel III. Hasil Pemeriksaan Histopatologi Uterus Tikus Kelompok

Kontrol dan Pelakuan Infusa Biji Alpukat selama 28 hari... 53 Tabel IV. Hasil Pemeriksaan Histopatologi Uterus Kelompok Kontrol

dan Pelakuan Infusa Biji Alpukat pada uji reversibel... 56 Tabel V. Purata Berat Badan + SE Tikus Jantan Akibat Pemberian

Infusa Biji Alpukat... 59 Tabel VI. Purata Berat Badan + SE Tikus Betina Akibat Pemberian


(19)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Buah dan Biji Alpukat... 10

Gambar 2. Anatomi Organ Reproduksi Tikus Jantan... 18

Gambar 3. Makroskopis Organ Testis Tikus... 18

Gambar 4. Mikroskopis Organ Testis Tikus... 21

Gambar 5. Macam-macam Kerusakan pada Organ Testis... 23

Gambar 6. Anatomi Organ Reproduksi Tikus Betina... 24

Gambar 7. Makroskopis Organ Uterus Tikus... 26

Gambar 8. Mikroskopis Organ Uterus Tikus... 27

Gambar 9. Mikroskopis Endometrium Tikus... 29

Gambar 10. Macam-macam Kerusakan pada Organ Uterus... 31

Gambar 11. Gambaran Histopatologis Organ Testis Tikus Setelah Pemberian Infusa Biji Alpukat Selama 28 Hari Kelompok Kontrol Aquadest... 49 Gambar 12. Gambaran Histopatologis Organ Uterus Tikus Setelah


(20)

xviii

Perlakuan Dosis 1140,6 g/kgBB... 49 Gambar 13. Gambaran Histopatologis Organ Testis Uji Reversibel pada

Kelompok Kontrol Aquadest ... 52 Gambar 14. Gambaran Histopatologis Organ Testis Uji Reversibel pada

Kelompok Dosis 1140,6 mg/kgBB... 52 Gambar 15. Gambaran Histopatologis Organ Uterus Tikus Setelah

Pemberian Infusa Biji Alpukat Selama 28 Hari Kelompok

Kontrol Aquadest... 55 Gambar 16. Gambaran Histopatologis Organ Uterus Tikus Setelah

Pemberian Infusa Biji Alpukat Selama 28 Hari Kelompok Perlakuan Dosis 1140,6 mg/kgBB... 55 Gambar 17. Gambaran Histopatologis Organ Uterus Uji Reversibel pada

Kelompok Kontrol Aquadest... 57 Gambar 18. Gambaran Histopatologis Organ Uterus Uji Reversibel pada

Kelompok Dosis 1140,6 mg/kgBB... 57 Gambar 19. Berat Badan Tikus Jantan Selama Pemberian Infusa Biji


(21)

xix

Gambar 20. Berat Badan Tikus Betina Selama Pemberian Infusa Biji

Alpukat Selama 28 Hari... 61

Gambar 21. Asupan Pakan Tikus Jantan... 63

Gambar 22. Asupan Pakan Tikus Betina... 64

Gambar 23. Asupan Minum Tikus Jantan... 65


(22)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Foto Biji Alpukat... 74 Lampiran 2. Foto Serbuk Biji Alpukat... 74 Lampiran 3. Foto Infusa Biji Alpukat... 74 Lampiran 4. Foto Pembuatan Infusa Biji Alpukat... 75 Lampiran 5. Foto Pembedahan Hewan Uji... 75 Lampiran 6. Surat Pengesahan Determinasi Biji Alpukat

(Persea americana Mill.)... 76 Lampiran 7. Surat Ethics Committee Approval... 77 Lampiran 8. Hasil Diagnosis Histopatologis... 78 Lampiran 9. Analisis Statistika Perubahan Berat Badan Tikus Jantan... 80 Lampiran 10. Analisis Statistika Perubahan Berat Badan Tikus Betina.... 83


(23)

xxi INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan efek toksik pada pemberian

subakut infusa biji Persea americana Mill. terhadap organ testis dan uterus tikus

galur Sprague Dawley melalui gambaran histopatologisnya. Selain itu juga untuk

mengetahui sifat efek toksik yang ditimbulkan.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan sederhana acak lengkap pola searah. Penelitian ini menggunakan 50

ekor tikus: 25 jantan dan 25 betina, galur Sprague Dawley, umur 2-3 bulan, berat

badan 150-250 g. Kemudian dibagi secara acak menjadi 5 kelompok, yaitu kelompok kontrol yang diberi aquadest 14,2857 g/kgBB, dan 4 kelompok

perlakuan yang diberi infusa biji Persea americana Mill. dengan dosis

berturut-turut 202,24 mg/kgBB (dosis I); 360 mg/kgBB (dosis II); 640,8 mg/kgBB (dosis

III) dan 1140,6 mg/kgBB (dosis IV) selama 28 hari. Pada hari ke-29, sebanyak tiga tikus dari tiap dosis dikorbankan, diambil organ testis dan uterus kemudian dilakukan pemeriksaan histopatologis. Selanjutnya dilakukan uji reversibilitas selama 14 hari tanpa diberikan perlakuan pada dua tikus yang tersisa pada setiap dosis. Pada hari ke-15 setelah uji reversibilitas, hewan uji yang tersisa dikorbankan, diambil organ testis dan uterus kemudian dilakukan pemeriksaan histopatologis.

Hasil pemeriksaan histopatologis menunjukkan bahwa organ testis dan uterus dalam keadaan normal. Hasil pemeriksaan tersebut dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan infusa biji alpukat selama 28 hari tidak menimbulkan efek toksik terhadap organ testis dan uterus. Sifat efek toksik dari penelitian ini tidak dapat ditentukan karena gambaran histopatologis pada perlakuan maupun uji reversibilitas menunjukkan testis dan uterus dalam keadaan normal.


(24)

xxii ABSTRACT

This study aims to examine the toxic effects on the provision of Persea americana Mill. seeds infuse subacute against testicular and uterine organs

Sprague Dawley strain rats through its histopathologic. In addition, its objective is also to determine the characteristic of the toxic effects.

This study is purely experimental research with simple designs completely randomized direction. This study used 50 rats : 25 male and 25 female

Sprague Dawley strain, age 2-3 months, body weight 150-250 g. Then they were divided randomly into 5 groups: control group were given distilled water 14285,7mg / kg, and 4 treatment groups were given Persea americana Mill. seed infuse with successive doses of 202.24 mg / kg (first dose); 360 mg / kg (second dose); 640,8mg / kg (third dose) and 1140.6 mg / kg (fourth dose) for 28 days. On day 29, three mice from each dose were sacrificed and examinated histopathologically. Furthermore reversibility test for 14 days without treatment given to the two remaining mice at each dose. On the 15th day after the reversibility test, the remaining test animals were sacrificed and examinated histopathologically.

Histopathologic examination showed that testicular and uterine organs in normal state. From the results of the investigation can be concluded that the examination of the avocado seed infuse for 28 days did not cause toxic effects on the testes and uterus organs. The characteristic of the toxic effects of this study can not be determined because the treatment and reversibility test showed testes and uterus in normal state.


(25)

1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

Indonesia sangat kaya akan tumbuhan obat alam yang telah digunakan oleh masyarakat sejak zaman dahulu berdasar pengalaman secara turun-temurun.

Budaya kembali ke alam (back to nature) yang marak saat ini sangat mendorong

gencarnya penelitian mengenai manfaat tanaman obat, sehingga dapat digunakan dalam pelayanan kesehatan formal (Monica, 2006), salah satunya adalah

penelitian mengenai biji alpukat. Alpukat (P.americana Mill.) merupakan buah

yang banyak digemari oleh masyarakat Indonesia karena rasanya serta manfaatnya bagi kesehatan. Hariana (2004) menyatakan bahwa alpukat banyak digunakan masyarakat untuk pengobatan tradisional antara lain bagian daging buah yang berkhasiat sebagai obat sariawan, bagian daun berkhasiat sebagai penurun darah tinggi dan sakit kepala, peluruh batu kencing, pereda nyeri saraf dan nyeri lambung, serta bagian biji yang berkhasiat untuk mengobati kencing manis (Diabetes Mellitus). Namun, umumnya biji alpukat bagi sebagian masyarakat dianggap sebagai limbah sehingga hanya akan dibuang, sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Arukwe, Amadi, Duru, Agomuo, Adindu, Odika, et al. (2012), biji alpukat memiliki berbagai kandungan metabolit sekunder antara lain saponin, tanin, flavonoid dan alkaloid yang memiliki berbagai manfaat bagi kesehatan yakni sebagai antiinflamasi, antioksidan hingga peningkat sistem imun. Penelitian berkaitan biji alpukat telah banyak dilakukan dan menyatakan bahwa


(26)

biji alpukat memiliki berbagai manfaat bagi kesehatan. Manfaat tersebut antara lain adalah sebagai nefroprotektor, seperti penelitian yang dilakukan oleh Quraisyin (2013) yang menyatakan pemberian dekoksi biji alpukat dapat memberikan efek nefroprotektif pada ginjal yang terinduksi tetraklorida pada dosis 360,71 mg/kg BB. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Setiawan (2013) yang diberikan dalam bentuk infusa secara akut dan Gunawan (2013) yang diberikan dalam bentuk ekstrak etanol jangka pendek dengan dosis 350 mg/kg BB. Selain itu, melalui penelitian Putri (2013) biji alpukat memiliki efek hepatoprotektor dengan bentuk sediaan infusa pada dosis 360,71 mg/kg BB. Penelitian Anggraeni (2006) mengungkapkan bahwa pemberian infusa biji alpukat dapat menurunkan kadar glukosa pada dosis 315 mg/kg BB, sama halnya penelitian Zuhrotun (2007) yang diberikan dalam bentuk ekstrok etanol dengan dosis 980 mg/kg BB.

Seiring penggunaan biji alpukat untuk pengobatan tersebut, hingga kini belum diketahui apakah konsumsi jangka panjang infusa biji alpukat untuk pengobatan bersifat toksik secara struktural bagi organ tubuh khususnya pada organ reproduksi yaitu testis dan uterus. Organ testis dan uterus termasuk organ penting yaitu sebagai organ reproduksi yang berfungsi menghasilkan individu baru dan menghasilkan hormon-hormon tertentu.

Testis berfungsi sebagai tempat spermatogenesis dan produksi hormon androgen, sedangkan uterus merupakan tempat implantasi zigot yang dibuahi dan kemudian akan menjadi tempat berkembangnya janin selama proses kehamilan. Fungsi organ-organ reproduksi ini sangat penting bagi kelangsungan hidup suatu


(27)

spesies, sehingga muncul gagasan untuk mengetahui ketoksikan dan sifat efek toksik yang mungkin muncul bila mengkonsumsi infusa biji alpukat secara subakut. Penelitian mengenai toksisitas akut dan subakut biji alpukat pernah dilakukan sebelumnya oleh Ozolua, Anaka, Okpo dan Idogun (2009) dengan melakukan pemeriksaan secara biokimia, yaitu pemeriksaan kadar ALT, AST, albumin dan kreatinin. Pada penelitian tersebut tidak dilakukan pemeriksaan struktural (histopatologis) sehingga dalam penelitian ini dilakukan pemeriksaan histopatologis untuk mengetahui kerusakan struktural khususnya pada organ testis dan uterus. Penelitian ini merupakan penelitian uji toksisitas tak khas dengan tujuan untuk melihat spektrum efek toksik yang ditimbulkan dari infusa biji alpukat terhadap organ-organ tubuh hewan uji, sehingga penelitian ini juga dilakukan secara paralel dengan uji toksisitas subakut organ penting lainnya seperti organ hati, ginjal dan pankreas, namum pada penelitian ini berfokus pada organ reproduksi testis dan uterus.

Terdapat berbagai macam kerusakan organ reproduksi yang disebabkan oleh suatu senyawa. Kerusakan pada organ testis yang sering terjadi akibat pemberian suatu senyawa toksik adalah degenerasi tubular, atropi testis, nekrosis,

vakuolasi, dilatasi rete testis (Creazy, Bube, Rijk, Kandori, Kuwahara, Masson et

al. 2012), sedangkan pada uterus kerusakan yang mungkin terjadi adalah

perubahan miometrium, metaplasia skuamosa, hiperplasia endometrium dan endometrial polyps (Aughey and Frye, 2001). Apabila uji toksisitas ini membuktikan adanya kerusakan tersebut dilihat secara struktural maka kemungkinan senyawa yang diberikan dapat bersifat toksik. Adanya ketoksikan


(28)

tersebut akan merusakan organ yang berdampak pada fungsi normal organ tersebut.

Pada penelitian ini, biji alpukat yang digunakan didapatkan dari Depot Es Teller 77 Galeria Mall yang berasal dari perkebunan alpukat di Klaten. Biji alpukat yang diberikan dalam perlakuan dibuat dalam bentuk sediaan infusa. Menurut Direktorat Obat Asli Indonesia (2010) infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan mengekstraksi simplisia nabati dengan air pada suhu 90°C selama 15 menit. Konsumsi biji alpukat untuk pengobatan yang ada di masyarakat adalah dengan cara merebus (Hariana, 2004) dan diminum dengan frekuensi lebih dari satu kali (subakut), sehingga dalam penelitian ini sediaan yang dipilih adalah infusa dan dilakukan selama 28 hari. Dipilih sediaan infusa karena infusa merupakan sediaan yang pembuatannya paling mendekati rebusan yang dibuat oleh masyarakat. Selain itu, bentuk sediaan infusa sudah termasuk dalam kategori bentuk sediaan herbal Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (Direktorat Obat Asli Indonesia, 2010). Dalam penentuan dosis yang digunakan, didasarkan pada dosis penggunaan di masyarakat menurut hasil orientasi penelitian Yoseph (2013).

Pada penelitian ini dilakukan selama 28 hari karena didasarkan pada penggunaan di masyarakat yang digunakan secara berturut-turut atau jangka panjang. Menurut Badan Pengawan Obat dan Makanan (2014) uji toksisitas subakut selama 28 hari digunakan untuk melihat penggunaan di masyarakat sekali pakai atau lebih dari satu kali secara berturut-turut namun kurang dari satu minggu. Penelitian toksisitas subakut infusa biji alpukat ini dilakukan bersamaan


(29)

dengan penelitian toksisitas akut infusa biji alpukat yang dilakukan oleh Wahyuningsih (2015). Hal inilah yang mendorong penulis untuk melakukan

penelitian mengenai ketoksikan dan sifat efek toksik biji P. americana Mill.

terhadap organ testis dan uterus dengan jangka waktu dua puluh delapan hari. 1. Rumusan masalah

a. Apakah pemberian infusa biji alpukat subakut memiliki efek toksik struktural pada organ testis dan uterus tikus?

b. Bagaimana sifat efek toksik yang ditimbulkan infusa biji alpukat pada organ testis dan uterus tikus?

2. Keaslian penelitian

a. Penelitian yang pernah dilakukan, yaitu “Analisis Senyawa Metabolit

Sekunder dan Uji Toksisitas Ekstrak Etanol Biji Buah Alpukat (Persea

americana Mill.)”. Hasil penelitian ekstrak Etanol biji alpukat A (varietas hijau panjang) segar dan kering serta alpukat B (varietas merah bundar) segar dan kering menunjukkan bahwa biji buah alpukat bersifat toksik

(Marlinda, Sangi dan Wuntu, 2012).

b. Penelitian yang pernah dilakukan, yaitu mengenai uji toksisitas akut dan

subakut dari ekstrak air biji Persea americana Mill. pada tikus. Dosis yang

digunakan pada uji toksisitas akut adalah 2, 4, 6, 8 dan 10 mg/kgBB, sedangkan dosis pada uji toksisitas subakut sebesar 10 g/kgBB. Berdasarkan


(30)

adanya toksisitas baik saat pemberian secara akut maupun subakut (Ozolua et al, 2009) .

c. Penelitian yang pernah dilakukan, yaitu “ Effects of Aqueous Seed Extract of

Persea americana Mill. (Avocado) on Blood Pressure and Lipid Profile in Hypertensive Rats” hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol biji alpukat dapat menurunkan tekanan darah pada tikus (Imafidon and Amaechina, 2010)

Sejauh studi pustaka yang dilakukan oleh peneliti, penelitian terkait

dengan efek toksisitas infusa biji Persea americana Mill. terhadap organ testis

dan uterus tikus jantan galur Sprague Dawley belum pernah dilakukan.

3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu kefarmasian dan pengobatan tradisional khususnya mengenai toksisitas

subakut biji alpukat (Persea americana Mill.)

b. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan informasi mengenai toksisitas infusa biji alpukat terhadap organ testis dan uterus dalam pemakaian berturut-turut kurang dari tujuh hari.


(31)

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan ada tidaknya efek toksik dari

infusa biji alpukat terhadap organ testis dan uterus tikus galur Sprague Dawley.

2. Tujuan khusus

a. Dari penelitian ini dapat diketahui apakah infusa biji alpukat memiliki efek

toksik struktural pada organ testis dan uterus tikus

b. Mengetahui sifat efek toksik yang ditimbulkan infusa biji alpukat pada


(32)

8 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA A. Tanaman Biji Alpukat 1. Sinonim

Persea gratissima Gaertn. f. (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan

Makanan , 1978), Laurus persea L, Persea drymifolia Schlecht. and cham, Persea

edulis Raf., Persea nubigena, Persea steyermarkii C.K. Allen (Lim, 2012).

2. Klasifikasi

Berikut adalah taksonomi tanaman Persea americana Mill. :

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Viridiplantae

Infrakingdom : Streptophyta

Superdivision : Embryophyta

Division : Tracheophyta

Subdivision : Spermatophytina

Class : Magnoliopsida

Superorder : Magnolianae

Order : Laurales

Family : Lauraceae

Genus : Persea Mill.

Species : Persea americana Mill.


(33)

3. Nama Umum

Nama alpukat beragam di berbagai negara atau daerah, antara lain avocado, alligator pear, avocado-pear, butter-fruit (English); alligatorbirne, avocadobirne (German); avocat, avocatier, zabelbok, zeboka (French); apukado, avokado (Malay); aguacate, pagua (Spanish); awokado (Thai); alpukat, avokad

(Indonesia); bo, le dau (Vietnam) (Yasir, Das and Kharya, 2010).

4. Morfologi

Tanaman alpukat berbentuk pohon berkayu yang tumbuh menahun (perennial). Ketinggian tanaman antara 3m-10m, batang berlekuk-lekuk dan bercabang banyak, serta berdaun rimbun. Daunnya tumbuh tunggal dan berbentuk bulat dengan tepi rata atau berombak, letak daun agak tegak, dan permukaannya licin sampai agak kasar. Bunga tersusun tandan dari ujung-ujung ranting. Struktur bunga berkelamin dua (hermaprodit) dan pesariannya dibantu oleh lebah madu karena bunganya mempunyai nektar dan staminod yang berfungsi sebagai alat pemikat serangga. Buah alpukat berbentuk bulat (pir) sampai lonjong (oblong), kulitnya licin berbintik kuning dengan ketebalan 1 mm - 1,5 mm, dan pangkal buah tumpul atau meruncing. Buah muda berwarna hijau muda dan setelah tua berubah menjadi hijau tua atau hijau kemerahan. Setiap buah alpukat mengandung satu biji yang berbentuk jorong dengan ukuran kecil sampai besar dengan warna kecoklatan seperti yang ditunjukkan pada (Gambar 1.) (Rukmana, 2005).


(34)

5. Kandungan

Berdasarkan skrining fitokimia, biji buah alpukat diketahui mengandung beberapa senyawa metabolit sekunder, yaitu alkaloid, triterpenoid, tanin,

flavonoid dan saponin (Marlinda et al., 2012). Dari kandungan senyawa-senyawa

metabolit sekunder tersebut, kandungan yang paling banyak terdapat dalam biji

alpukat adalah saponin, yakni 19,21 mg/100g (Arukwe et al., 2012).

6. Khasiat dan kegunaan

Biji alpukat dengan kandungan tanninnya yang berfungsi sebagai astringen dapat menghambat absorbsi glukosa pada usus (Anggraeni, 2006). Penelitian yang dilakukan Anggraeni (2006) dan Zohrotun (2007) juga mengatakan bahwa biji alpukat memiliki khasiat sebagai antidiabetes. Menurut

Hariana (2004)biji alpukat bekhasiat untuk mengobati gigi berlubang dan kencing

manis. Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan Imafidon dan Amaechina

(2010) ekstrak air dari biji Persea americana Mill. (alpukat) dapat menurunkan

tekanan darah dan profil lipid pada tikus hipertensi. Biji alpukat juga memiliki Gambar 1. Buah dan Biji Alpukat


(35)

efek nefroprotektif pada organ ginjal (Quraisyin, 2013) serta efek hepatoprotektif pada organ hati (Putri, 2013).

B. Infusa

Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara mengekstraksi simplisia nabati dengan air pada suhu 90°C selama 15 menit. Pembuatan infusa merupakan cara yang paling sederhana untuk membuat sediaan herbal dari bahan lunak seperti daun dan bunga. Dapat diminum panas atau dingin. Sediaan herbal yang mengandung minyak atsiri akan berkurang khasiatnya apabila tidak menggunakan penutup pada pembuatan infusa (Direktorat Obat Asli Indonesia, 2010).

Cara pembuatan sediaan infusa adalah dengan mencampur simplisia dengan derajat halus yang sesuai dalam panci dengan air secukupnya, panaskan di atas tangas air selama 15 menit terhitung mulai suhu mencapai 90°C sambil sekali-sekali diaduk. Serkai selagi panas melalui kain flanel, tambahkan air panas secukupnya melalui ampas hingga diperoleh volume infusa yang dikehendaki. Infus yang mengandung bukan bahan berkhasiat keras, dibuat dengan menggunakan 10% simplisia (Direktorat Obat Asli Indonesia, 2010).

C. Toksikologi 1. Definisi toksikologi

Toksikologi didefinisikan sebagai cabang ilmu yang mempelajari tentang racun. Racun sendiri didefinisikan sebagai substansi yang menimbulkan efek berbahaya terhadap kehidupan organisme (Hodgson, 2004). Donatus (2001)


(36)

mendefinisikan toksikologi sebagai ilmu yang mempelajari aksi berbahaya zat kimia atas sistem biologi. Definisi ini menunjukkan bahwa yang dipelajari dalam toksikologi adalah antaraksi zat kimia atau senyawa dengan sistem biologi atau makhluk hidup, yang pusat perhatiannya terletak pada aksi berbahaya zat kimia tersebut.

2. Asas toksikologi

Peristiwa timbulnya efek toksis racun atas makhluk hidup terjadi dalam beberapa proses, diawali dengan terjadinya pemejanan racun atas makhluk hidup. Setelah mengalami absorpsi dari tempat pemejanannya, racun atau metabolit didistribusikan ketempat aksi (sel sasaran atau reseptor) tertentu yang ada didalam makhluk hidup. Ditempat aksinya ini terjadi antaraksi antara racun dan metabolitnya dengan komponen penyusun sel sasaran atau reseptor, yang menyebabkan terjadinya serangkaian peristiwa biokimia dan biofisika yang menimbulkan efek toksik dengan wujud dan sifat tertentu (Donatus, 2001).

Berdasarkan atas alur peristiwa timbulnya efek toksik, maka ada empat asas utama yang perlu dipahami dalam mempelajari toksikologi. Empat asas tersebut meliputi kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup, mekanisme aksi, wujud dan sifat efek toksik. Masing-masing akan diuraikan sebagai berikut:

a. Kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup

Suatu racun dapat menimbulkan keracunan karena peristiwa pemejanan tunggal atau berulang racun itu atas makhluk hidup, melalui jalur pemejanan tertentu. Selain itu, kekerapan dan lama pemejanan, saat pemejanan, serta


(37)

besarnya takaran racun, juga merupakan faktor penentu keracunan. Semua faktor tersebut akan mempengaruhi racun ditempat aksinya, sehingga yang dimaksud dengan kondisi pemejanan ialah semua faktor yang menentukan keberadaan racun ditempat aksi tertentu didalam tubuh, yang berkaitan dengan pemejanannya pada makhluk hidup. Kondisi makhluk hidup meliputi keadaan fisiologi (berat badan, umur, jenis kelamin dan kehamilan, suhu tubuh, kecepatan pengosongan lambung, kecepatan aliran darah, status gizi, genetika dan irama sirkadian serta diural) dan keadaan patologis (penyakit saluran cerna, kardiovaskular, liver dan ginjal) (Donatus, 2001).

b. Mekanisme aksi

Mekanisme aksi toksik racun dapat digolongkan menjadi tiga, yakni mekanisme berdasarkan sifat dan tempat kejadian, berdasarkan sifat antaraksi antara racun dan tempat aksinya, dan berdasarkan resiko penumpukan racun dalam gudang penyimpanan tubuh. Berdasarkan sifat dan tempat kejadian mekanisme aksi toksik digolongkan menjadi dua yaitu mekanisme luka intrasel dan mekanisme luka ekstrasel. Mekanisme luka intrasel diawali oleh racun pada tempat aksinya di dalam sel sasaran. Racun akan berinteraksi dengan sasaran molekuler yang khas atau tak khas, melalui mekanisme reaksi kimia. Tubuh akan memberi respon berupa perbaikan atau adaptasi sebelum terjadi efek yang tidak diinginkan, tetapi apabila mekanisme pertahanan tubuh tidak lagi mampu memperbaiki akan timbul respon toksik berupa perubahan biokimia, fungsional atau struktural (Donatus, 2001).


(38)

c. Wujud efek toksik

Wujud efek toksik adalah hasil akhir dari aksi dan respon toksik. Wujud efek toksik suatu racun dapat berupa perubahan biokimia, fungsional dan struktural. Berbagai perubahan ini memiliki ciri yang khas, yakni terbalikkan atau tak terbalikkan. Jenis wujud perubahan biokimia tidak menunjukkan bukti secara langsung terhadap patologi organ, apabila mekanisme homeostasis normal makhluk hidup masih dapat bekerja maka perubahan biokimia bersifat timbal balik (Donatus, 2001).

d. Sifat efek toksik

Sifat efek toksik meliputi reversibilitas (terbalikkan) dan irreversibilitas (tak terbalikkan). Terbalikkan jika efek toksik yang terjadi dapat kembali seperti keadaan normal atau seperti sebelum terjadi efek toksik. Keterbalikan ini tergantung dari sejumlah faktor, termasuk tingkat paparan (waktu dan jumlah racun) dan kemampuan jaringan yang terkena untuk memperbaiki diri atau beregenerasi. Sifat tak terbalikkan adalah jika efek toksik yang terjadi menetap atau tidak dapat kembali seperti keaadaan normal (Williams, James and Roberts, 2000).

3. Jenis uji toksikologi

Pada dasarnya uji toksikologi dapat dibagi menjadi dua golongan, yakni : a. Uji ketoksikan tak khas

Uji ketoksikan tak khas adalah uji toksikologi yang dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan atau spektrum efek toksik suatu senyawa pada aneka


(39)

jenis hewan uji. Pada uji ketoksikan tak khas ini dikenal uji ketoksikan akut, subkronis atau subakut dan kronis.

b. Uji ketoksikan khas

Uji ketoksikan khas adalah uji toksikologi yang dirancang untuk mengevaluasi secara rinci efek yang khas suatu senyawa pada berbagai jenis hewan uji. Pada uji ketoksikan khas ini dikenal berbagai uji yakni uji potensiasi, kekarsinogenikan, kemutagenikan, keteratogenikan, reproduksi, kulit dan mata serta perilaku (Donatus, 2001).

D. Uji Toksisitas Subakut

Uji ketoksikan subakut atau sering disebut dengan subkronis merupakan uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu, selama kurang dari tiga bulan. Uji ini ditujukan untuk mengungkapkan spektrum efek toksik senyawa uji, serta untuk memperlihatkan apakah spektrum efek toksik itu berkaitan dengan takaran dosis (Donatus, 2001). Selain itu, uji toksisitas subakut juga berfungsi untuk memperoleh informasi mengenai efek toksik zat yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas akut, efek toksik setelah pemaparan sediaan uji secara berulang dalam jangka waktu tertentu, dosis yang tidak menimbulkan efek toksik dan mempelajari adanya efek kumulatif serta efek reversibelitas setelah pemaparan sediaan uji secara berulang dalam jangka waktu tertentu (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2014).

Prinsip dari uji toksisitas subakut, yakni sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan setiap hari pada beberapa kelompok hewan uji. Selama


(40)

waktu pemberian sediaan uji, hewan harus diamati setiap hari untuk menentukan adanya toksisitas. Hewan yang mati selama periode pemberian sediaan uji, bila

belum melewati periode rigor mortis (kaku) segera diotopsi, organ dan jaringan

diamati secara makropatologi dan histopatologi. Pada akhir periode pemberian sediaan uji, semua hewan yang masih hidup diotopsi selanjutnya dilakukan pengamatan secara makropatologi pada setiap organ maupun jaringan, serta dilakukan pemeriksaan hematologi, biokimia klinis dan histopatologi (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2014).

Terdapat dua macam uji toksisitas subakut, yang pertama adalah uji toksisitas subakut singkat oral 28 hari yang digunakan untuk menguji sediaan yang penggunaannya secara klinis dalam bentuk sekali pakai dan berulang dalam waktu kurang dari satu minggu. Jenis kedua adalah uji toksisitas subakut oral 90 hari yang digunakan untuk menguji sediaan yang penggunaannya secara klinis berulang dalam waktu satu sampai empat minggu (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2014).

Uji toksisitas subakut untuk mengekplorasi secara luas keseluruhan efek biologis yang ditimbulkan pada tempat aksi yang diberikan pada rentang dosis tertentu. Uji toksisitas subakut dapat menentukan toksisitas secara kualitatif (organ target dan efek yang ditimbulkan) dan kuantitatif (pengaruh atau efek yang ditimbulkan terhadap jaringan dan plasma darah) dari pemberian dosis berulang pada hewan uji (Gad, 2002).


(41)

E. Testis 1. Anatomi dan fisiologi testis

Sistem reproduksi pada tikus jantan terdiri atas sepasang testis yang terdapat dalam skrotum, sepasangan kelenjar asesori dan organ kopulasi (Akbar, 2010) seperti yang terihat pada Gambar 2. Testis adalah dua kelenjar seks primer yang dimiliki laki-laki. Menurut Heffner and Schust (2006) testis memiliki dua fungsi, yaitu sebagai tempat spermatogenesis dan produksi androgen. Testis normalnya terdapat dalam skrotum, yang berfungsi membungkus dan melindungi testis serta mempertahankan suhu testis sekitar 1,5-2°C di bawah suhu abdomen (McPhee and Ganong, 2002).

Pada setiap hewan jantan memiliki sepasang testis yang berbentuk seperti telur atau peluru seperti yang terlihat pada Gambar 3. Testis berada dalam

skrotum yang terdiri atas kulit dan tunica dartos dan sebagian funiculus

spermaticus. Skrotum bereaksi terhadap rangsangan seksual secara vasokonstriksi

dan kontraksi serabut otot-otot polos dari tunica dartos, sehingga struktur dari

skrotum mengencang dan menebal. Testis berada menggantung di daerah prepubis

dan digantung oleh funiculus spermaticus (Junqueira, Cameiro and Kelley, 2007).

Testis terbungkus oleh tunica vaginalis propria yang akan membungkus ductus

epididymis dan ductus deferens. Di bagian profundal tunica ini terdapat tunica albuginea yaitu suatu jaringan ikat padat berwarna putih yang terdiri atas serabut


(42)

2. Histologis testis

a. Tubulus seminiferus

Tubulus seminiferus merupakan saluran yang berliku-liku yang terdapat pada lobus testis (Akbar, 2010). Setiap tubulus seminiferus dilengkapi oleh epitel berlapis majemuk. Tubulus ini membentuk jalinan, tempat masing-masing tubulus

Gambar 2. Anatomi Organ Reproduksi Tikus Jantan

(Suckow, Weisbroth and Franklin, 2006)

Gambar 3. Makroskopis Organ Testis Tikus


(43)

berakhir buntu atau bercabang. Pada ujung setiap lobulus, lumennya menyempit dan berlanjut ke ruas yang pendek yang dikenal dengan tubulus rektus (lurus) yang menghubungkan tubulus seminiferus dengan labirin saluran-saluran berlapis

epitel yang berkesinambungan, yaitu rete testis (Junqueira et al., 2007).

Epitel tubulus terdiri atas dua jenis sel, yaitu sel Sertoli atau sel penyokong dan sel-sel yang merupakan garis turunan spermatogenik. Sel-sel ini membelah beberapa kali dan akhirnya berdeferensiasi menghasilkan spermatozoa. Fenomena dari awal sampai akhir disebut spermatogenesis yang dapat dibagi menjadi tiga fase, fase yang pertama adalah fase spermatositogenesis. Pada fase ini spermatogonium membelah, menghasilkan generasi sel baru yang nantinya akan menghasilkan spermatosit. Fase selanjutnya adalah meiosis, selama fase ini spermatosit mengalami dua kali pembelahan secara berurutan, dengan mereduksi sampai setengah jumlah kromosom dan jumlah DNA per sel menghasilkan spermatid. Fase akhir adalah spermiogenesis, pada fase ini spermatid mengalami

proses sitodiferensiasi rumit menghasilkan spermatozoa (Junqueira et al., 2007).

Tubulus seminiferus ditunjukkan pada Gambar 4. b. Sel Sertoli

Sel Sertoli adalah sel piramid memanjang yang sebagian memeluk sel-sel dan garis keturunan spermatogenik. Dasar sel-sel Sertoli melekat pada lamina basalis sedangkan ujung meluas ke dalam lumen tubulus seminiferus. Kajian dengan mikroskop elektron mengungkapkan bahwa sel-sel ini mengandung banyak retikulum endoplasma halus, sedikit retikulum endoplasma kasar, sebuah kompleks golgi dan banyak mitokondria serta lisosom. Inti yang menunjang yang


(44)

berbentuk segitiga, memiliki banyak lipatan dan sebuah anak inti yang mencolok

dan memiliki sedikit heterokromatin (Junqueira et al., 2007). Menurut Akbar

(2010), sel Sertoli akan menghasilkan Androgen Binding Protein (ABP) atas

stimulus hormon FSH. ABP yang dihasilkan sel Sertoli berfungsi untuk membawa testosteron menuju lumen untuk membantu proses spermiogenesis yaitu proses transformasi dari spermatid menjadi spermatozoa.

Menurut (Junqueira et al., 2007), sel Sertoli sekurang-kurangnya memiliki

tiga fungsi utama, yaitu:

1.) Menunjang, melindungi dan mengatur nutrisi spermatozoa yang berkembang 2.) Fagositosis kelebihan sitoplasma

3.) Mensekresikan ke dalam tubulus seminiferus suatu cairan yang mengalir kesaluran kelamin dan dipakai untuk transport sperma.

c. Jaringan interstisial

Celah antara tubulus seminiferus dalam testis diisi kumpulan jaringan ikat, saraf, pembuluh darah dan limfe. Jaringan ikat terdiri dari berbagai jenis sel, termasuk fibroblas, sel jaringan ikat prakembang, sel mast dan makrofag

(Junqueira et al., 2007). Kelompok sel interstisial endokrin (sel Leydig) yang

terletak diantara tubulus seminiferus yang berbelit-belit, memproduksi testosteron (Eurell, 2004). Pada Gambar 4 ditunjukkan jaringan interstisial.


(45)

3. Efek toksik senyawa pada testis

Testis merupakan bagian penting dalam sistem reproduksi makhluk hidup, apabila testis mengalami kerusakan akibat suatu senyawa atau zat toksik maka akan mempengaruhi fertilitas sistem reproduksi tersebut. Beberapa agen dapat menginduksi toksisitas pada organ testis dengan menghambat sintesis protein yang merusak pembelahan sel secara cepat dan pergantian proses

spermatogenesis dapat terjadi. Menurut Creazy et al. (2012) terdapat berbagai

gangguan spermatogenik pada testis (Gambar 5) setelah dipaparkan suatu senyawa dalam jangka waktu tertentu, yakni:

a. Degenerasi tubular

Degenerasi merupakan perubahan regresif seperti pengecilan atau pengurangan jumlah sel. Akibat dari degenerasi dan penipisan sel germinal yang mungkin dimediasi oleh kerusakan sel sertoli, hipoksia atau peradangan. Diagnosis dapat dilihat dari terjadinya penipisan seluruh sel germinal dan hanya dilapisi oleh sel sertoli.

Gambar 4. Mikroskopis Organ Testis Tikus

S= Tubulus Seminiferus; IT= Jaringan Interstisial

( Tuncer, Sunar, Toy, Baltaci and Mogulkoc, 2011)

S


(46)

b. Atropi

Atropi merupakan gangguan hormonal testis yang disebabkan toksikan masuk melalui kelenjar endokrin testis sehingga mengakibatkan berkurangnya ukuran sel penyusun yang berdampak pada pengecilan ukuran organ. Atropi juga dapat terjadi akibat iskemia intermiten atau hipoksia (misalnya disebabkan karena gangguan aliran darah) yang berdampak pada sel germinal dan sel sertoli.

c. Nekrosis

Nekrosis merupakan kematian jaringan atau sel yang ditemukan pada individu yang masih hidup. Nekrosis dapat disebabkan karena iskemia berkepanjangan (misal disebabkan oleh torsi, trombus atau vasokonstriksi yang berkepanjangan) yang mempengaruhi semua elemen testis. Diagnosis dapat dilihat dari adanya nekrosis koagulatif dari semua struktur testis dan kemungkinan adanya peradangan akut hingga kronik.

d. Vakuolasi

Adanya vakuolasi epitel seminiferus yang diakibatkan karena adanya sejumlah perubahan degeneratif termasuk akumulasi cairan, lipid atau fosfolipid. Diagnosis dapat dilihat dari adanya makrovakuolasi atau mikrovakuolasi. Makrovakuolasi: tunggal, vakuola besar didalam epitel tubular pada setiap epitel seminiferus. Mikrovakuolasi: banyak, kecil, vakuola didalam sitoplasma sel sertoli basal.


(47)

F. Uterus 1. Anatomi dan fisiologi uterus

F. Uterus 1. Anatomi dan fisiologi uterus

Menurut Akbar (2010) organ reproduksi tikus betina terdiri dari ovarium, oviduk, uterus dan vagina (Gambar 6). Uterus adalah tempat implantasi untuk zigot yang dibuahi. Uterus terdiri dari tiga lapisan, yaitu lapisan endometrium, miometrium dan perimetrium (Eurell, 2004). Menurut Akbar (2010) uterus adalah struktur saluran muskuler yang diperlukan untuk penerimaan ovum yang dibuahi, penyedia nutrisi dan pelindung fetus, serta stadium permulaan ekspulsi fetus pada waktu kelahiran.

A B

C

Gambar 5. Macam-macam kerusakan testis: A. Degenerasi atau atropi tubulus seminiferus dan jaringan interstisial edema atau vakuolasi, B. Degenerasi disertai hilangnya proses spermatogenesis, C. Nekrosis sel germinal. St: tubulus seminiferus, Sd: Spermatid, Sp: spermatozoa, V: vakuola


(48)

Tipe uterus tikus, kelinci, marmot dan mamalia kecil lainnya adalah dupleks, dimana uterusnya terdiri dari 2 kornua dan saluran serviks terpisah dengan ujung membuka ke arah vagina (OECD, 2015) seperti ditunjukkan dalam (Gambar 7). Pada manusia dan primata, tipe uterus simpleks di mana uterusnya terdiri dari korpus uteri besar berbentuk buah pear dan tidak memiliki cornua (Rastogi, 2001).

Pada tikus betina terjadi siklus reproduksi yang biasa disebut siklus estrus. Siklus estrus adalah siklus seksual pada mamalia bukan primata yang tidak menstruasi. Tikus termasuk ke dalam hewan poliestrus, artinya dalam periode satu tahun terjadi siklus reproduksi yang berulang-ulang. Satu kali siklus estrus pada tikus tejadi selama enam hari. Siklus estrus merupakan cerminan dari berbagai aktivitas yang saling berkaitan antara hipotalamus, hipofisis dan ovarium. Selama siklus estrus terjadi berbagai perubahan baik pada organ reproduksi maupun pada

Gambar 6. Anatomi Organ Reproduksi Tikus Betina


(49)

perubahan tingkah laku seksual (Akbar, 2010). Menurut Akbar (2010) siklus estrus terdiri dari beberapa fase, yakni:

a. Fase proestrus

Proestrus adalah fase sebelum fase estrus yaitu dimana folikel ovarium tumbuh menjadi folikel de graaf dibawah pengaruh FSH. Fase ini terjadi selama 12 jam. Pada fase ini hormon estrogen akan mengalami peningkatan sehingga menimbulkan perubahan fisiologis dan saraf, disertai kelakuan birahi.

b. Fase estrus

Estrus adalah fase yang ditandai oleh penerimaan pejantan oleh betina untuk berkopulasi, fase ini terjadi selama 12 jam. Hormon estrogen akan merangsang pematangan folikel de graaf dan ovum sehingga siap untuk ovulasi. Folikel yang matang semakin merangsang produksi estrogen. Estrogen merangsang GnRH untuk memproduksi LH yang akan berperan penting dalam proses ovulasi.

c. Fase metestrus

Metestrus adalah periode segera sesudah estrus dimana korpus luteum bertumbuh dengan cepat dan akan merangsang produksi progesteron. Adanya progesteron akan menghambat sekresi FSH untuk menghambat pematangan folikel de graaf sehinga fase estrus benar-benar terhenti. Selama fase ini progesteron akan memicu penebalan endometrium, uterus melakukan persiapan-pesiapan seperlunya untuk menerima dan memberi makan embrio. Fase ini berlangsung selama 21 jam.


(50)

d. Fase diestrus

Diestrus adalah periode terakhir dan terlama sebab berlangsung selama 48 jam. Pada fase ini endometrium akan lebih menebal dan kelenjar endometrim akan beratropi. Apabila terjadi implantasi progesteron akan merangsang pertumbuhan plasenta. Plasenta kemudian akan membentuk gonadotropin untuk mempertahankan korpus luteum sehingga mampu memproduksi progesteron dan estrogen. Apabila tidak terjadi implantasi maka tidak akan terbentuk plasenta dan terjadi penurunan progesteron dan estrogen yang akan menyebabkan peluruhan atau pengelupasan endometrium.

2. Histologis uterus

Uterus yang bikornuata, terdiri dari tanduk kanan dan kiri (kornu), batang (corpus) dan leher (serviks). Dinding uterus pada kornu dan corpus memiliki tiga lapisan, yaitu: endometrium dalam (mukosa), miometrium tengah (muskularis) dan perimetrium luar (serosa) (Aughey and Frye, 2001) seperti yang terlihat pada Gambar 8.

Gambar 7. Makroskopis Organ Uterus Tikus

A= Ovarium kanan; B= Ginjal kiri; C= Uterus kanan


(51)

a. Endometrium

Mukosa dalam atau endometrium, terdiri dari permukaan epitel kolumnar suatu lamina propria tebal yang mengandung banyak pembuluh darah dan kelenjar endometrium (OECD, 2015). Endometrium beserta cairannya mempunyai peranan utama dalam proses reproduksi yakni untuk transport sperma dan tempat deposisi semen ke tempat fetilisasi di oviduk dengan bantuan kontraksi miometrium dan berperan pula dalam proses kapasitasi spermatozoa, selain itu juga sebagai inisiasi implantasi dengan menyediakan nutrisi bagi embrio serta merupakan tempat terjadinya kebuntingan (Rastogi, 2001). Endometrium ditunjukkan dalam Gambar 9.

Gambar 8. Mikroskopis Organ Uterus Tikus


(52)

b. Miometrium

Miometrium merupakan lapisan kedua pada uterus. Miometrium (muskularis) terdiri dari lapisan otot polos yang mengandung pembuluh darah dan

limpa (Akbar, 2010). Vasculare stratum adalah lapisan jaringan ikat yang

membawa pembuluh darah besar pada uterus yang membagi otot melingkar menjadi dua lapisan. (Aughey and Frye, 2001).

c. Perimetrium

Perimetrium adalah lapisan terluar yang dilapisi jaringan ikat atau jaringan serosa yang membungkus uterus (Aughey and Frye, 2001).

3. Efek toksik senyawa pada uterus

Menurut Greaves (2012) efek toksik yang dapat muncul pada uterus adalah sebagai berikut:

Gambar 9. Mikroskopis Endometrium Tikus


(53)

a. Perubahan miometrium dan berat uterus

Pada dasarnya berat dan ukuran endometrium akan meningkat selama terjadinya siklus estrus. Pada hewan pengerat, beberapa perubahan siklus dapat disebabkan karena pelebaran uterus dan akumulasi cairan uterus yang menyebabkan miometrium juga menebal. Perubahan yang signifikan terjadi pada kehamilan yang ditandai dengan hipertrofi otot polos. Pada pemberian xenobiotika juga dapat menyebabkan peningkatan ketebalan miometrium dan pelebaran uterus. Sebagai contoh pelebaran uterus terjadi pada tikus setelah pengobatan dengan progestin dan esterogen. Selain itu, pemberian tamoxifen sebagai modulator reseptor esterogen selektif pada tikus dengan dosis tinggi dilaporkan dapat menyebabkan peningkatan berat uterus.

b. Metaplasia skuamosa

Metaplasia adalah sel yang sedang mengalami diferensiasi digantikan dengan jenis sel yang lain yang juga mengalami diferensiasi dengan kata lain perubahan bentuk sel dewasa satu menjadi bentuk sel dewasa lain. Metaplasia skuamosa epitel kolumnar endometrium adalah perubahan dari sel epitel kolumnar menjadi skuamosa. Metaplasia skuamosa merupakan salah satu dari banyak perubahan pada hewan pengerat yang disebabkan karena pemberian senyawa esterogenik. Hal ini terjadi pada tikus yang diobati dengan esterogen selama kehamilan, periode neonatal atau postnatal atau setelah pengobatan esterogen berkepanjangan pada hewan dewasa. Dosis tinggi estrogen reseptor selektif modulator tamoxifen dilaporkan dapat menyebabkan metaplasia skuamosa pada uterus tikus dan anjing.


(54)

Secara histopatologis, penampakannya bervariasi namun kedua permukaan epithelium dan kelenjar mungkin akan terpengaruh. Keratinisasi dapat berkembang dengan perpanjangan pada mukosa skuamosa dari serviks ke dalam oviduk. Perkembangannya dapat melalui metaplasia langsung dan juga pyometria dari endometrium pada tikus betina.

c. Hiperplasia endometrium

Hiperplasia endometrium adalah gangguan endometrium dimana terjadi penambahan jumlah sel penyusun sehingga organ menjadi lebih besar. Hiperplasia dikaitkan dengan yang berhubungan dengan kadar hormon seks yang sering ada kelebihan estrogen relatif. Pemberian estrogen eksogen atau xenobiotik lainnya dengan efek estrogenik juga menginduksi hiperplasia endometrium di hewan laboratorium dan pada wanita. Namun, ada cukup banyak variasi dalam penampilan histologiss yang dilaporkan, perubahan disebabkan karena induksi estrogen pada hewan laboratorium.

d. Endometrial polyps

Polip endometrium adalah proyeksi sesil atau bertangkai yang memiliki ukuran hipertrofi, hiperplastik atau neoplastik kelenjar endometrium dan stroma yang berbeda-beda. Hal ini cukup sering ditemukan dalam rongga uterus tikus laboratorium dan dapat mewakili daerah hiperplasia lokal karena tidak semua bagian dari endometrium sama-sama responsif terhadap rangsangan hormonal. Prevalensinya sangat tinggi pada tikus wistar yang diturunkan saat mereka bertambah usia di atas dua tahun. Polip adenomatosa dilaporkan terdapat pada


(55)

asetat selama dua tahun. Polip terdiri dari proyeksi epitel yang sangat proliferatif (polups adenomatosa) yang dianggap sebagai pertumbuhan neoplastik, penting untuk berhati-hati terhadap derajat hiperplasia, atypia seluler dan aktivitas miotic mengingat kesulitan dalam memisahkan tajam berbagai bentuk polip endometrium seiring terjadinya penuaan pada tikus.

G. Keterangan Empiris

Penelitian ini merupakan penelitian eksplorasi untuk mengetahui apakah pemberian infusa biji alpukat memberikan pengaruh terhadap gambaran

histopatologi organ testis dan uterus pada tikus galur Sparague Dawley.

Gambar 10. Macam-macam kerusakan uterus: A. Metaplasia skuamosa dan hiperplasia/hipertropi endometrium, B. Endometrial polyp. SM: Squamosa Metaplasia, HE: Hiperplasia/hipertropi (OECD, 2015; Gopinath and Mowat, 2014)


(56)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan sederhana acak lengkap pola searah.

B. Variabel Dan Definisi Operasional 1. Variabel utama

a. Variabel bebas. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah variasi dosis

pemberian infusa biji Persea americana Mill.

b. Variabel tergantung. Variabel tergantung penelitian ini adalah perubahan

histopatologi organ testis dan uterus tikus galur Sprague Dawley setelah

pemberian subakut infusa biji Persea americana Mill.

2. Variabel pengacau

a. Variabel pengacau terkendali. Variabel pengacau terkendali dalam

penelitian ini antara lain, kondisi hewan uji, yaitu tikus jantan galur Sprague

Dawley berjenis kelamin jantan dan betina dengan berat badan 150-250 g dan umur 2-3 bulan diperoleh dari Laboratorium Hayati Imono, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Variabel pengacau lainnya, yaitu bahan uji yang digunakan berupa biji alpukat yang mempunyai waktu panen, waktu tumbuh dan panen yang sama. Frekuensi

pemberian infusa Perseaamericana satu kali sehari dua puluh delapan hari


(57)

berturut-turut dengan waktu pemberian yang sama secara per oral bahan uji

yang digunakan berupa biji Persea americana yang diperoleh dari Depot Es

Teller 77, Galeria Mall, Yogyakarta yang diambil pada bulan Juni 2014.

b. Variabel pengacau tak terkendali. Variabel pengacau tak terkendali dalam

penelitian ini adalah kondisi patologis tikus jantan dan betina galur Sprague

Dawley, spermatogenesis tikus jantan dan siklus estrus tikus betina.

2. Definisi operasional

a. Infusa Persea americana Mill. Infusa P. americana diperoleh dengan

menimbang 8 g serbuk kering biji P. americana dibasahi dalam 16 ml

aquadest kemudian ditambahkan aquadest sampai volume 100 ml dan

dipanaskan pada suhu 900C selama 15 menit sehingga diperoleh infusa biji

Persea americana Mill. dengan konsentrasi 8% b/v.

b. Biji Persea americana Mill. Biji Persea americana Mill. yang digunakan

adalah biji alpukat segar yang tidak busuk.

c. Variasi dosis infusa biji P. americana Mill. Dosis yang diberikan kepada

tikus yaitu: dosis I= 202,24 mg/kgBB, dosis II= 360 mg/kgBB, dosis III= 640,8 mg/kgBB dan dosis IV= 1140,6 mg/kgBB.

d. Perubahan histopatologis. Perubahan morfologi organ testis dan uterus

ditunjukkan dengan adanya perbedaan pada organ tersebut antara perlakuan dan kontrol berdasarkan gambaran histopatologis organ setelah pemberian infusa biji alpukat.


(58)

e. Sifat efek toksik. Sifat efek toksik yang mungkin muncul adalah terbalikkan atau tak terbalikkan.

f. Pemberian subakut. Pemberian infusa biji Persea americana Mill. satu kali

sehari selama 28 hari berturut-turut pada waktu yang sama secara per oral.

C. Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Hewan uji yang digunakan yaitu tikus jantan galur Sprague Dawley dengan

umur 2-3 bulan dan berat badan 150-250 g yang diperoleh dari Laboratorium Imono, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

b. Biji Persea americana Mill. yang diperoleh dari Depot Es Teller 77, Galeria Mall, Yogyakarta yang diambil dari perkebunan alpukat di Klaten pada bulan Juni 2014.

c. Pelarut untuk infusa yang digunakan adalah aquadest yang diperoleh dari

Laboratorium Farmakognosi-Fitokimia, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

d. Bahan kontrol negatif adalah aquadest yang diperoleh dari Laboratorium

Farmakognosi-Fitokimia, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

e. Bahan untuk makanan hewan uji yaitu pellet AD2 dan bahan minuman untuk

hewan uji yaitu air reverse osmose (RO) yang diperoleh dari Laboratorium


(59)

f. Bahan untuk pemeriksaan histologis adalah formalin 10% yang dibuat dengan mengencerkan formalin 30% dengan aquadest sesuai volume yang dikehendaki. Formalin 30% diperoleh dari Laboratorium Kimia Analisis, Fakultas Farmasi, Sanata Dharma, Yogyakarta.

D. Alat Atau Instrumen Penelitian 1. Alat pembuatan serbuk

Timbangan digital, oven, blender, ayakan no.40, wadah untuk

menyimpan serbuk biji alpukat.

2. Alat penetapan kadar air

Alat moisture balanced dan sendok.

3. Alat pembuatan infusa biji Persea americana Mill.

Panci enamel, termometer, stopwatch, bekker glass, gelas ukur, cawan

porselen, batang pengaduk, corong, labu alas bulat, penangas air, timbangan analitik, kain flanel.

4. Alat perlakuan dan pemeriksaan histopatologis

Kandang metabolik tikus (metabolic cage), jarum suntik per oral, spuit

injeksi, timbangan, seperangkat alat bedah, alat-alat gelas dan pot-pot untuk menyimpan organ.


(60)

E. Tata Cara Penelitian 1. Determinasi biji Persea americana Mill.

Determinasi tanaman Persea americana Mill. dilakukan di Fakultas

Farmasi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

2. Pengumpulan bahan

Bahan uji yang digunakan adalah biji Persea americana Mill. yang

diperoleh dari Penjual dari Depot Es Teller 77, Galeria Mall, Yogyakarta yang diambil dari perkebunan alpukat di Klaten pada bulan Juni 2014.

3. Pembuatan serbuk

Biji Persea americana Mill. dibersihkan dari kulit luarnya, dicuci dengan

air mengalir kemudian dipotong tipis, lalu dikeringanginkan kedalam oven yang sudah diatur suhunya, 50°C selam 72 jam. Potongan biji yang sudah kering kemudian diserbuk dan diayak dengan ayakan no. 40.

4. Penetapan kadar air serbuk biji Persea americana Mill.

Sampel serbuk biji Persea americana Mill sebanyak 5 g dimasukkan ke

dalam alat moisture balanced pada suhu 1050C selama 15 menit, kemudian secara


(61)

5. Pembuatan infusa biji Persea americana Mill.

Serbuk kering biji Persea americana Mill. ditimbang 8,0 g dan

dimasukkan dalam panci enamel lalu dibasahi dengan aquadest sebanyak dua kali bobot bahan yang ditimbang, yaitu 16 ml aquadest. Sebanyak 100 ml pelarut aquadest dimasukkan kedalam panci enamel kemudian dipanaskan pada suhu 90°C selama 15 menit. Campuran kemudian diambil dan ditambah aquadest panas sehingga didapatkan volume perasan 100 ml.

6. Penetapan dosis infusa biji Persea americana Mill.

Peringkat dosis infusa biji alpukat didasarkan pada pengobatan yang biasa digunakan oleh masyarakat yaitu ± 2 sendok makan (4 g) serbuk yang direbus dengan 250 ml air. Maka dosis perlakuan yang digunakan adalah 4 g/70kgBB manusia. Berdasarkan data diatas maka konversi dosis manusia 70 kg ke tikus 200 g = 0,018

Dosis untuk tikus 200 g = 0,018 x 4 g = 72 mg/0,2 kgBB = 360 mg/kgBB

Berdasarkan hasil orientasi infusa penelitian yang dilakukan oleh Yoseph (2013), konsentrasi maksimal infusa biji alpukat yang dapat dibuat adalah 8g/100ml dengan asumsi berat badan hewan uji maksimal adalah 350 g dan volume maksimal pemberian infusa secara p.o = 5 ml. Maka dilakukan perhitungan untuk menetukan dosis tinggi perlakuan dengan rumus :

D x BB = C X V

D x 350 g = 8 g/ 100ml x 5 ml D = 1142,8 mg/kgBB


(62)

Kemudian dihitung faktor kelipatan dari dosis rendah dan dosis tinggi. Untuk

menentukan peringkat dosis infusa biji Persea americana Mill. dilakukan

perhitungan sebagai berikut:

= (Faktor Kelipatan)

Berdasarkan faktor kelipatan yang maka diperoleh 4 peringkat dosis, yaitu:

Dosis I : 360 mg/kgBB : 1,78 = 202,24 mg/kgBB

Dosis II : 360 mg/kgBB

Dosis III : 360 mg/kgBB x 1,78 = 640,8mg/kgBB

Dosis IV : 640,8 mg/kgBB x 1,78 = 1140,6 mg/kgBB

7. Penetapan dosis aquadest sebagai kontrol negatif

Untuk menetukan dosis aquadest digunakan berat badan tertinggi untuk mengetahui jumlah dosis maksimum yang dapat diberikan kepada hewan uji. Berdasarkan rumus didapatkan dosis maksimum yaitu:

D x BB = C x V

D x 350 g = 1 g/100 ml x 5 ml D =

D =

D = 14285 mg/kgBB Maka dosis aquadest adalah 14285 mg/kgBB


(63)

8. Penyiapan hewan uji

Hewan uji yang digunakan terdiri dari tikus jantan dan betina galur Sprague Dawley umur 2-3 bulan, berat badan 150-250 g, berjumlah 50 ekor (25

jantan dan 25 betina) disiapkan dan ditempatkan dalam metabolic cage di mana

dalam satu kandang untuk satu tikus. Tiga hari sebelum perlakuan diadaptasikan

terlebih dahulu di metabolic cage. Penelitian dengan hewan coba telah mendapat

etical clearance dari Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada (Lampiran 6).

9. Pengelompokkan dan perlakuan hewan uji

Penelitian ini membutuhkan 50 ekor tikus, yakni 25 ekor tikus jantan dan 25 ekor tikus betina yang masing-masing dibagi secara acak ke dalam lima kelompok dimana setiap kelompok akan berisi 5 tikus. Kelompok I adalah tikus yang diberikan infusa biji alpukat dengan dosis 202,24 mg/kgBB, kelompok II diberikan dosis 360 mg/kgBB, kelompok III diberikan 640,8 mg/kgBB, kelompok IV diberikan dosis 1140,6 mg/kgBB dan kelompok V adalah tikus yang diberikan aquades sebagai kontrol dengan dosis 14285 mg/kgBB. Pemberian infusa biji Persea americana Mill. dilakukan satu kali sehari selama dua puluh delapan hari berturut-turut secara peroral. Pada hari ke-29, sebanyak tiga tikus dari tiap dosis dikorbankan, diambil organ testis dan uterus kemudian dilakukan pemeriksaan histopatologis, selanjutnya dilakukan uji reversibilitas selama 14 hari.


(64)

10. Prosedur pemusnahan hewan uji

Sebelum pembedahan, hewan uji dikorbankan dengan cara anastetika overdosis, yakni memasukkan tikus kedalam wadah tertutup berisi eter yang akan diinhalasi oleh tikus.

11. Prosedur pembedahan hewan uji

Pembedahan hewan uji atau yang di sebut juga proses nekropsi diawali dengan meletakkan hewan yang telah dieutanasi pada papan nekropsi dengan posisi rebah dorsal (perut menghadap keatas) dan posisi kepala menjauhi operator. Kemudian membasahi permukaan tubuh tikus dengan air, lalu dengan

menggunakan foceps kulit abdomen diangkat dan dibuat irisan (digunting)

sepanjang ventral midline (dagu bawah atau irisan sub kutan) dan diambil organ

testis pada tikus jantan dan uterus pada tikus betina dengan menggunakan pinset. Setelah organ diambil kemudian organ dicuci dengan NaCl 0,9% dan dimasukkan kedalam pot formalin 10% untuk diawetkan. Hewan uji yang sudah diambil organnya, lalu dikubur di halaman laboratorium.

Proses pembedahan ini dilakukan pada hari ke-29 terhadap tiga tikus dari setiap kelompok baik kelompok perlakuan dengan empat peringkat dosis maupun pada kelompok kontrol. Selain itu, juga dilakukan pada hari ke-15 terhadap dua tikus yang tersisa untuk uji reversibilitas.


(65)

12. Uji reversibilitas

Uji reversibilitas dilakukan selama 14 hari dimulai setelah perlakuan 28 hari yang dilakukan pada dua hewan uji yang tersisa baik pada kelompok perlakuan empat peringkat dosis maupun pada kelompok kontrol. Pada uji reversibilitas, pemberian infusa biji alpukat pada kelompok perlakuan serta aquadest pada kelompok kontrol pada hewan uji dihentikan, namun tetap diberikan asupan makan maupun minum. Setelah hari ke-15 maka dilakukan pembedahan pada seluruh tikus pada uji reversibilitas dan dilakukan pengamatan histopatologis.

13. Pembuatan preparat dan pemeriksaan histopatologis

Testis dan uterus yang telah disimpan dalam larutan formalin 10% dicelupkan ke dalam aquadest. Kemudian dibuat preparat dengan cara melakukan

prosedur: trimming, dehidrasi, embedding, cutting, staining/pewarnaan (teknik

H-E) dan mounting (Carsun, 1990). Setelah menjadi preparat dilakukan pembacaan

dan pengamtan slide dengan mikroskop untuk mendiagnosis gambaran histopatologis organ testis dan uterus. Prosedur ini dilakukan oleh pihak Laboratorium Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.


(66)

14. Pengamatan data pendukung

a. Penimbangan berat badan hewan uji

Dilakukan penimbangan berat badan hewan uji setiap hari untuk menentukan volume infusa biji alpukat yang diberikan setiap harinya namun data yang digunakan sebagai data pendukung adalah data penimbangan hewan uji tiap minggunya. Data penimbangan berat badan hewan uji dihitung purata perubahan berat badan tiap kelompok hewan uji pada hari ke-0, 7, 14, 21 dan 28. Data perubahan berat badan hewan uji antar minggu dan kelompok perlakuan dianalisis secara statistik dengan

analisis General Linear Model (metode Multivariate).

b.Pengukuran asupan pakan dan minum hewan uji

Hewan uji diberikan asupan pakan 30 g setiap harinya dan asupan minum 100 ml setiap harinya. Untuk mengetahui sebarapa besar asupan pakan yang dikonsumsi oleh tikus maka dilakukan pengukuran setiap harinya. Cara mengukur besarnya asupan pakan yang diterima oleh tikus dengan menimbang pakan yang diberikan pada hari pertama, kemudian pada hari kedua dilakukan penimbangan kembali pakan yang masih tertinggal pada wadah. Selisih penimbangan berat pakan pada hari pertama dan kedua dihitung sebagai asupan pakan yang dikonsumsi pada hari pertama, begitu seterusnya untuk hari selanjutnya.


(67)

F. Tata Cara Analisis Hasil

1. Pemeriksaan histopatologis organ

Data pemeriksaan histopatologis organ dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan mikroskop cahaya (Olympus dp 10) berdasarkan perubahan morfologi yang terjadi dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif.

2. Uji reversibilitas

Data uji reversibilitas dianalisis secara kualitatif berdasarkan perubahan morfologi yang terjadi pada kelompok tikus yang diberhentikan dari pemberian infusa biji alpukat dibandingkan dengan kelompok tanpa perlakuan.

3. Pengamatan berat badan hewan uji

Data penimbangan berat badan hewan uji dihitung purata perubahan berat badan tiap kelompok hewan uji pada hari ke-0, 7, 14, 21 dan 28. Data perubahan berat badan hewan uji antar minggu dan kelompok perlakuan dianalisis secara

statistika dengan analisis General Linear Model (metode Multivariate) hingga

diperoleh nilai signifikansi (sig.) berat badan.

4. Pengukuran asupan pakan dan minum hewan uji

Data asupan pakan dan minum dianalisis dengan cara menghitung purata makanan dan minuman yang dihabiskan tiap kelompok hewan uji setiap harinya, kemudian dibuat grafik perubahan pola makan dan minum hewan uji.


(68)

G. Skema Alur Penelitian

Hewan uji ditempatkan dalam metabolic cage secara acak dan diadaptasikan

selama 7 hari sebelum perlakuan

Hewan uji ditimbang selama 28 hari dan diberi asupan makan & minuim setiap hari Hewan uji diberi infusa biji alpukat hari 1-28 dengan waktu pemberian yang

sama, pada kelompok:

Kel. I Infusa biji alpukat 202,4 mg/kgBB Kel. II Infusa biji alpukat 360 mg/kgBB Kel. III Infusa biji alpukat 640,8 mg/kgBB Kel. IV Infusa biji alpukat 1140,6 mg/kgBB Kel.Kontrol Aquadest 14285 mg/kgBB

Dilakukan pengukuran asupan pakan, minum dan berat badan selama 28 hari setiap pagi

Pada hari ke-29, 3 hewan uji tiap kelompok dibedah dan diamati histopatologis testis & uterus

Dua hewan uji sisanya dibiarkan hidup tanpa diberi perlakuan selama 14 hari (uji reversibilitas)

50 ekor tikus (25 jantan dan 25 betina) masing-masing dibagi dalam 5 kelompok

Pada hari ke-15 hewan uji yang tersisa pada saat uji reversibilitas dikorbankan dan dilakukan pembedahan serta pengamatan histopatologi organ testis dan


(69)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan ada tidaknya efek toksik dan sifat efek toksik infusa biji alpukat terhadap organ testis dan uterus tikus dilihat dari gambaran histopatologisnya. Selain itu, juga untuk mengevaluasi reversibilitas (keterbalikan) efek toksik yang terjadi. Tolok ukur yang digunakan adalah tolok ukur kualitatif berdasarkan analisis perubahan histopatologis yang dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif terhadap organ testis dan uterus tikus.

Data pendukung penelitian ini adalah data berat badan, data asupan pakan dan data asupan minum. Data berat badan hewan uji antar minggu dan kelompok

perlakuan dianalisa secara statistika dengan analisis General Linier Model

(dengan metode Multivariate). Data asupan pakan dan minum dianalisis dengan

cara dibuat grafik untuk melihat apakah pemberian infusa biji alpukat dapat mempengaruhi pola makan dan minum hewan uji.

Gambaran histopatologis organ diperoleh berdasarkan derajat kerusakan sel testis dan uterus pada masing-masing kelompok. Data uji reversibilitas dianalisis secara kualitatif berdasarkan perubahan struktural jaringan yang terjadi pada kelompok tikus yang diberhentikan dari pemberian infusa biji alpukat dibandingkan dengan kelompok tanpa perlakuan.


(70)

A. Hasil Determinasi Biji Persea americana Mill.

Determinasi tanaman yang akan digunakan dalam penelitian memegang peranan penting untuk identifikasi tanaman. Tujuan dari determinasi adalah untuk membuktikan bahwa biji yang digunakan benar berasal dari biji buah alpukat (Persea americana Mill.) sehingga tidak terjadi kesalahan dalam penyiapan bahan yang digunakan karena tumbuhan mempunyai berbagai jenis varietas. Determinasi dilakukan di Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. Hasil determinasi menunjukkan bahwa biji alpukat yang digunakan dalam penelitian ini adalah benar biji alpukat yang berasal dari tanaman alpukat dengan nama ilmiah Persea americana Mill. (Lampiran 6).

B. Pembuatan Serbuk dan Penetapan Kadar Air

Pembuatan serbuk dilakukan dengan mengolah biji alpukat segar yang kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 50°C selama 72 jam. Biji alpukat yang telah kering diserbukkan dan diayak dengan ayakan dengan no mesh 40. Pengayaan dilakukan dengan tujuan untuk menyeragamkan ukuran serbuk. Penetapan kadar air bertujuan untuk mengetahui banyaknya air yang terkandung dalam serbuk yang digunakan dalam pembuatan infusa. Menurut Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan RI (1995), kadar air yang diperbolehkan dalam suatu serbuk adalah tidak lebih dari 10%. Penetapan kadar air ini penting dilakukan karena berpotensi munculnya mikroorganisme jika kadar air terlalu banyak atau lebih dari 10%. Jika dalam serbuk terdapat mikroorganisme maka dapat mencemari serbuk sehingga menjadi tidak layak digunakan sebagai bahan


(1)

Kontrol Aquadest 14285,7 mg/kgBB

N 5 5 5 5 5

Mean 192,8000 192,2000 193,2000 216,6000 221,6000 Std. Deviation 31,05962 18,34939 14,78851 13,81304 45,21394 Std. Error of Mean 13,89028 8,20610 6,61362 6,17738 20,22029

Total N 25 25 25 25 25

Mean 184,9600 197,8400 209,3600 234,5200 250,6400 Std. Deviation 26,61841 22,61209 27,94471 25,53938 32,13627 Std. Error of Mean 5,32368 4,52242 5,58894 5,10788 6,42725

Between-Subjects Factors

Value Label N kelompok_perlakuan 1 Infusa biji alpukat 202,24 mg/kgBB 5

2 Infusa biji alpukat 360 mg/kgBB 5 3 Infusa biji alpukat 640 mg/kgBB 5 4 Infusa biji alpukat 1140,6 mg/kgBB 5 5 Kontrol Aquadest 14285,7 mg/kgBB 5

Multivariate Testsc

Effect Value F Hypothesis df Error df Sig. Intercept Pillai's Trace ,993 464,086a 5,000 16,000 ,000

Wilks' Lambda ,007 464,086a 5,000 16,000 ,000 Hotelling's Trace 145,027 464,086a 5,000 16,000 ,000 Roy's Largest Root 145,027 464,086a 5,000 16,000 ,000 kelompok

_perlakua n

Pillai's Trace 1,100 1,441 20,000 76,000 ,130 Wilks' Lambda ,169 1,915 20,000 54,016 ,030 Hotelling's Trace 3,461 2,509 20,000 58,000 ,003 Roy's Largest Root 3,041 11,557b 5,000 19,000 ,000

a. Exact statistic

b. The statistic is an upper bound on F that yields a lower bound on the significance level. c. Design: Intercept + kelompok_perlakuan


(2)

Levene's Test of Equality of Error Variancesa

F df1 df2 Sig. berat_badan_hari_ke0 3,680 4 20 ,021 berat_badan_hari_ke7 ,168 4 20 ,952 berat_badan_hari_ke14 ,795 4 20 ,542 berat_badan_hari_ke21 ,768 4 20 ,559 berat_badan_hari_ke28 1,474 4 20 ,247 Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups.


(3)

Lampiran 10. Perhitungan Statistik Perubahan Berat Badan Tikus Betina

Case Processing Summary

Cases

Included Excluded Total N Percent N Percent N Percent berat_badan_hari_ke0 *

kelompok_perlakuan

25 100,0% 0 ,0% 25 100,0% berat_badan_hari_ke7 *

kelompok_perlakuan

25 100,0% 0 ,0% 25 100,0% berat_badan_hari_ke14 *

kelompok_perlakuan

25 100,0% 0 ,0% 25 100,0% berat_badan_hari_ke21 *

kelompok_perlakuan

25 100,0% 0 ,0% 25 100,0% berat_badan_hari_ke28 *

kelompok_perlakuan

25 100,0% 0 ,0% 25 100,0%

Report

kelompok_perlakuan berat_badan_ hari_ke0 berat_badan_ hari_ke7 berat_badan_ hari_ke14 berat_badan_ hari_ke21 berat_badan_ hari_ke28 Infusa biji alpukat

202,24 mg/kgBB

N 5 5 5 5 5

Mean 173,2000 186,4000 173,0000 184,4000 199,0000 Std. Deviation 15,20526 34,99000 17,27715 18,14663 16,95582 Std. Error of

Mean

6,80000 15,64800 7,72658 8,11542 7,58288 Infusa biji alpukat

360 mg/kgBB

N 5 5 5 5 5

Mean 153,4000 141,4000 148,0000 159,4000 173,6000 Std. Deviation 25,03597 11,32696 14,15980 12,48199 13,31540 Std. Error of

Mean

11,19643 5,06557 6,33246 5,58211 5,95483 Infusa biji alpukat

640 mg/kgBB

N 5 5 5 5 5

Mean 171,2000 157,4000 161,2000 174,8000 188,2000 Std. Deviation 19,79141 25,59883 27,28919 24,72246 25,38110 Std. Error of

Mean

8,85099 11,44814 12,20410 11,05622 11,35077 Infusa biji alpukat

1140,6 mg/kgBB

N 5 5 5 5 5

Mean 147,2000 158,8000 169,8000 162,6000 167,8000 Std. Deviation 13,40522 7,19027 14,30734 6,94982 11,25611


(4)

Std. Error of Mean

5,99500 3,21559 6,39844 3,10805 5,03389 Kontrol Aquadest

14285,7 mg/kgBB

N 5 5 5 5 5

Mean 139,8000 151,8000 144,4000 157,8000 170,0000 Std. Deviation 9,73139 16,79881 25,44209 21,91347 16,88194 Std. Error of

Mean

4,35201 7,51266 11,37805 9,80000 7,54983

Total N 25 25 25 25 25

Mean 156,9600 159,1600 159,2800 167,8000 179,7200 Std. Deviation 20,85761 24,95109 22,02181 19,48290 20,07386 Std. Error of

Mean

4,17152 4,99022 4,40436 3,89658 4,01477

Between-Subjects Factors

Value Label N kelompok_perlakuan 1 Infusa biji alpukat 202,24 mg/kgBB 5

2 Infusa biji alpukat 360 mg/kgBB 5 3 Infusa biji alpukat 640 mg/kgBB 5 4 Infusa biji alpukat 1140,6 mg/kgBB 5 5 Kontrol Aquadest 14285,7 mg/kgBB 5

Multivariate Testsc

Effect Value F Hypothesis df Error df Sig. Intercept Pillai's Trace ,997 1108,333a 5,000 16,000 ,000 Wilks' Lambda ,003 1108,333a 5,000 16,000 ,000 Hotelling's Trace 346,354 1108,333a 5,000 16,000 ,000 Roy's Largest Root 346,354 1108,333a 5,000 16,000 ,000 Kelompok Pillai's Trace 1,133 1,502 20,000 76,000 ,106 Wilks' Lambda ,206 1,649 20,000 54,016 ,074 Hotelling's Trace 2,387 1,731 20,000 58,000 ,054 Roy's Largest Root 1,676 6,369b 5,000 19,000 ,001

a. Exact statistic

b. The statistic is an upper bound on F that yields a lower bound on the significance level. c. Design: Intercept + Kelompok


(5)

Levene's Test of Equality of Error Variancesa

F df1 df2 Sig. berat_badan_hari_ke0 10,282 4 20 ,000 berat_badan_hari_ke7 2,865 4 20 ,050 berat_badan_hari_ke14 1,478 4 20 ,246 berat_badan_hari_ke21 1,490 4 20 ,243 berat_badan_hari_ke28 1,607 4 20 ,211 Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups.


(6)

BIOGRAFI PENULIS

Penulis skripsi yang berjudul

“Uji Toksisitas Subakut

Infusa Biji

Persea Americana

Mill. Terhadap

Gambaran Histopatologis Organ Testis Dan Uterus

Tikus Galur

Sprague Dalwey”

mempunyai nama

lengkap Rosita Olimpia Bagiastrasari, merupakan anak

pertama dari dua bersaudara pasangan Abas Sumarno

dan Endang Mulatsih. Penulis dilahirkan di

Gunungkidul, Yogyakarta pada 26 Juli 1992. Pendidikan

formal yang telah ditempuh yaitu, pendidikan

prasekolah dasar di TK Padamara Wonosari

(1996-1999), Pendidikan dasar di SD BOPKRI Wonosari

(1999-2005), Pendidikan menengah di SMP Negeri 1

Wonosari (2005-2008), Pendidikan lanjutan di SMA Negeri 1 Wonosari

(2008-2011). Penulis menempuh pendidikan sarjana di Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta pada tahun 2011. Selama menjalani masa perkuliahan

penulis juga aktif dalam berbagai organisasi seperti menjadi anggota divisi

organisasi dalam kepengurusan Jaringan Mahasiswa Kesehatan Indonesia (JMKI)

komisariat Farmasi Universitas Sanata Dharma periode 2013-2014 dan Sekretaris

I Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Farmasi periode 2014-2015. Selain itu,

penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan diantaranya anggota divisi

Publikasi, dekorasi dan dokumentasi acara TITRASI 2012, anggota divisi humas

acara

Pharmacy Days

2012, koordinator divisi Publikasi, dekorasi dan

dokumentasi acara Makrab JMKI 2013, koordinator divisi humas acara Desa

Mitra 1 & 2 2013, anggota divisi humas Seminar Nasional Hari Pendidikan 2013,

anggota divisi konsumsi acara

The Colaboration of Shadow Puppet and Dance

2013, koordinator divisi akomodasi acara

Student Exchange Programme

2013,

koordinator divisi acara Seminar Nasional 2013 “Menyongsong Penerapan Sistem

Jaminan Sosial Nasional 2014”. Penulis juga pernah menjadi Asisten Praktikum

Botani Farmasi (2013).


Dokumen yang terkait

Aktivitas Antimikroba Ekstrak Biji Alpukat (Persea americana Mill). Terhadap Beberapa Mikroba Patogen Secara In Vitro

11 95 60

Uji toksisitas akut ekstrak etanol 96% biji buah alpukat (persea americana mill.) terhadap larva artemia salina leach dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)

0 10 64

Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol 96% Biji Buah Alpukat (Persea americana Mill.) Terhadap Larva Artemia salina Leach dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). 2014

2 34 64

UJI AKTIVITAS ANTIDIABETES EKSTRAK ETANOL BIJI ALPUKAT (Persea americana Mill.) TERHADAP TIKUS Uji Aktivitas Antidiabetes Ekstrak Etanol Biji Alpukat (Persea americana Mill.) Terhadap Tikus Galur Wistar Yang Diinduksi Aloksan.

0 1 10

Uji toksisitas subakut infusa biji Alpukat (Persea americana Mill.) terhadap gambaran histopatologis ginjal tikus Sprague Dawley.

1 5 97

Uji toksisitas subakut infusa biji alpukat (persea americana mill. ) terhadap kadar serum Glutamic Pyruvic Transaminase dan Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase darah pada tikus Sprague Dawley.

1 5 131

Uji toksisitas subakut infusa biji Persea americana Mill. terhadap gambaran histopatologis hati tikus Sprague Dawley.

0 1 92

Uji toksisitas subakut infusa biji Alpukat (Persea americana Mill.) terhadap kadar glukosa darah dan gambaran histopatologis pankreas tikus Sprague Dawley.

0 6 99

Uji toksisitas akut infusa biji alpukat Persea americana Mill. pada mencit Galur Swiss.

0 18 122

Uji toksisitas subakut infusa biji Persea Americana Mill. pada tikus galur Sprague dawley terhadap kadar blood urea nitrogen dan kreatinin.

0 2 131