8
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA
A. Hati
1. Anatomi dan fisiologi hati
Hati adalah organ berwarna merah kecoklatan karena berisi darah dengan konsistensi lunak dan merupakan salah satu kelenjar terbesar di tubuh
dengan berat sekitar 1500 gram. Pada bayi ukurannya relatif besar dan mengisi 25 volume rongga perut Wibowo, 2008. Hati pada orang dewasa memiliki berat
1400-1600 gram, yaitu sekitar 2.5 berat badan Robbins dan Cotran, 2010. Hati manusia terletak dalam rongga perut sebelah kanan. Bagian
terbesar terlindung oleh tulang-tulang iga dan permukaan atasnya melekat pada sekat rongga badan diafragma Wibowo, 2008. Sebagian besar massa hati
terletak di sebelah kanan hypochondriac dan area epigastric, tapi dapat mencapai kiri hypochondriac dan area umbilical Martini, Nath, dan Bartholomew, 2012.
Kedudukan hati Nampak setinggi iga kelima dan melebar di sebelah bawah sampai pinggiran iga-iga di sebelah kanan Gambar 1 Pearce, 2009.
Gambar 1. Kedudukan Hati Pearce, 2009.
Hati terbagi dalam dua belahan utama, kanan dan kiri. Permukaan atas berbentuk cembung dan terletak di bawah diafragma; permukaan bawah tidak rata
dan memperlihatkan lekukan Pearce, 2009. Hati dibungkus oleh kapsul fibrosa yang kuat dan dilindungi oleh lapisan peritoneum visceral. Pada permukaan
anterior, terdapat falciform ligament yang memisahkan antara lobus kanan dan kiri. Penebalan pada bagian tepi posterior falciform ligament disebut ligamen bundar
atau ligamentum teres. Pada permukaan posterior dari hati, vena cava inferior menandai pembagian lobus kanan dan lobus kaudata. Pada bagian inferior lobus
kaudata terdapat lobus kuadrata, terselip di antara lobus kiri dan kantong empedu. Pembuluh darah aferen dan struktur lain mencapai hati melewati jaringan ikat
omentum, yang kemudian bertemu di daerah yang disebut porta hepatis Gambar 2 Martini, et al., 2012.
Gambar 2. Anatomi hati Martini, et al., 2012
Setiap belahan atau lobus terdiri atas lobulus. Lobulus ini berbentuk polyhedral segi banyak dan terdiri atas sel hati berbentuk kubus, dan cabang-
cabang pembuluh darah diikat bersama oleh jaringan hati. Hati mempunyai dua
jenis persediaan darah, yaitu yang datang melalui arteri hepatika dan yang melalui vena porta Pearce, 2009.
Pembuluh darah yang terdapat di hati adalah : a. Arteri hepatica, yang keluar dari aorta dan memberikan seperlima darahnya
kepada hati; darah ini mempunyai kejenuhan oksigen 95 sampai 100 persen b. Vena porta yang terbentuk dari vena lienalis dan vena mesenterika superior,
menghantarkan empa perlima darahnya ke hati; darah ini mempunyai kejenuhan oksigen hanya 70 persen sebab beberapa O
2
telah diambil limpa dan usus. Darah vena porta
ini membawa zat makanan yang telah diabsorbsi mukosa usus halus kepada hati
c. Vena hepatica mengembalikan darah dari hati ke vena kava inferior. Di dalam vena hepatica
tidak terdapat katup d. Saluran empedu terbentuk dari penyatuan kapiler-kapiler empedu yang
mengumpulkan empedu dari sel hati Maka terdapat empat pembuluh darah utama yang menjelajahi seluruh hati, dua
yang masuk, yaitu arteri hepatica dan vena porta, dan dua yang keluar yaitu vena hepatica
dan saluran empedu Gambar 3 Pearce, 2009.
Gambar 3. Diagram pembuluh-pembuluh yang masuk dan keluar hati Pearce, 2009
Sel-sel hepar mendapat suplai darah dari vena portae hepatis yang kaya makanan, tidak mengandung oksigen, dan kadang-kadang toksik, serta dari arteria
hepatica yang mengandung oksigen. Sistem peredaran darah yang tidak biasa ini
menyebabkan sel-sel hepar mendapat darah yang relatif kurang oksigen. Keadaan ini dapat menjelaskan mengapa sel hepar lebih rentan terhadap kerusakan dan
penyakit Wibowo dan Paryana, 2009. Secara histologi, hati tersusun oleh beberapa komponen Gambar 4,
yaitu :
Gambar 4. Histologi hati Tortora dan Derrickson, 2012.
a. Hepatosit atau sel hati, merupakan sel fungsional terbanyak yang menyusun hati dan melakukan berbagai fungsi metabolisme, sekresi, dan fungsi endokrin.
Hepatosit membentuk susunan tiga dimensi yang kompleks disebut lamina hepatik. Lamina hepatik merupakan suatu pelat hepatosit dengan satu sel tebal
yang berbatasan di kedua sisi ruang endotel vaskular yang disebut sinusoid. Lamina hepatik mempunyai cabang dan struktur yang tidak teratur. Lamina
hepatik membentuk alur dalam membrane sel diantara hepatosit dan menyediakan ruang bagi kanalikuli yang mana hepatosit mengeluarkan empedu.
b. Kanalikuli empedu, merupakan saluran kecil di antara hepatosit yang berfungsi mengumpulkan empedu yang dihasilkan oleh hepatosit. Empedu yang telah
berada di saluran empedu kemudian akan melewati bile ductules kemudian saluran empedu bile duct.
c. Sinusoid, merupakan pembuluh darah kapiler yang sangat permeabel di antara hepatosit yang menerima darah kaya oksigen dari percabangan arteri hepatik dan
darah terdeoksigenasi dari percabangan vena porta hepatik. Sinusoid-sinusoid kemudian bertemu dan mengantarkan darah menuju vena sentral, dari vena
sentral darah kemudian mengalir ke vena hepatik, yang mana akan diangkut menuju vena cava inferior. Pada sinusoid terdapat sel fagosit disebut sel kupffer
yang bertugas menghancurkan sel-sel darah merah dan putih yang sudah tua, bakteri, serta benda asing lainnya yang terdapat pada aliran darah vena yang
diangkut dari saluran pencernaan. Tortora dan Derrickson, 2012.
2. Fungsi hati
Fungsi hati bersangkutan dengan metabolisme tubuh, khususnya mengenai pengaruhnya atas makanan dan darah Pearce, 2009. Setiap hari,
hepatosit mensekresi sekitar 800-1000 mL empedu, suatu cairan berwarna kuning kecoklatan. Empedu memiliki pH 7,6-8,6 dan mengandung air, garam empedu,
kolesterol, fosfolipid yang disebut lesitin, pigmen empedu, dan beberapa ion. Pigmen terpenting dari empedu adalah bilirubin. Fagositosis sel darah merah yang
sudah tua akan melepaskan besi, globin, dan bilirubin. Besi dan globin akan mengalami daur ulang, sedangkan bilirubin disekresikan menjadi empedu dan
akhirnya dipecah di usus Martini, et al., 2012. Hati berfungsi untuk merombak sel darah merah yang tua; mengekskresi
bilirubin; detoksifikasi racun; menyimpan Fe
2+
dan vitamin A, D, E, dan K; memproduksi protein plasma; menyimpan glukosa sebagai glikogen; merombak
glikogen menjadi glukosa; memproduksi urea; dan membantu dalam regulasi kolesterol dalam darah serta mengubahnya menjadi garam empedu Mader, 2010.
Untuk mengatasi berbagai potensi kerusakan yang dapat terjadi, hepatosit memiliki kemampuan regenerasi yang cepat sebagai mekanisme untuk
memperbaiki jaringan hati yang rusak. Apabila terjadi kerusakan pada sel hati yang disebabkan oleh racun, maka sel hati akan langsung mengadakan mitosis besar-
besaran di daerah yang terjadi kerusakan Corwin, 2009.
3. Kematian dan regenerasi hepatosit
Struktur normal liver dan fungsinya dipengaruhi oleh keseimbangan antara kematian dan regenerasi sel. Kematian hepatosit dapat disebabkan karena
nekrosis atau apoptosis. Nekrosis ditandai dengan hilangnya ketahanan membran plasma dengan pelepasan senyawa-senyawa kimia secara lokal yang menyebabkan
terjadinya respon inflamasi Sherlock dan Dooley, 2002. Apoptosis merupakan mekanisme yang normal terjadi pada sel. Ketika
sel mengalami kerusakan maka sel akan mengalami perusakan alami yang diperantarai inflamasi. Inflamasi yang memperantarai kerusakan pada apoptosis
berbeda dengan nekrosis, pada apoptosis pelepasan mediator inflamasi hanya
sedikit Gambar 5. Proses patologis dapat menganggu mekanisme apoptosis normal yang memicu terjadinya penyakit. Peningkatan apoptosis yang dipengaruhi
cholangiocytes dapat menyebabkan duktopenia. Stimulasi apoptosis secara berlebih
dapat memicu gagal hati fulminant Sherlock dan Dooley, 2002. Apoptosis dapat disalahartikan dari nekrosis karena kriteria
morfologinya yang serupa, untuk membedakannya dapat dilakukan menggunakan mikroskop cahaya atau elektron. Suatu agen toksik dapat menginduksi lebih dari
satu kerusakan hati, baik apoptosis maupun nekrosis, kejadian ini dapat berlangsung bersamaan maupun merupakan kelanjutan dari kejadian lain
Hodgson, 2004. Regenerasi terjadi ketika jumlah hepatosit berkurang. Hepatosit akan
distimulasi oleh mediator primer, yaitu sitokin untuk bergerak menuju primed state
G G
1
, kemudian hormon pertumbuhan akan menstimulasi sintesis DNA dan replikasi seluler Gambar 5. Faktor transkripsi utama meliputi NF
גB dan STAT 3. Regenerasi dapat terjadi dengan sangat cepat Sherlock dan Dooley,
2002.
Gambar 5. Kematian dan Regenerasi hepatosit Sherlock dan Dooley, 2002.
Jika hepatosit mengalami kerusakan yang menyebabkan respon ini tidak berjalan, maka hepatosit dapat dihasilkan dari sel yang berhubungan dengan saluran
empedu, yang juga disebut sel oval. Sel tersebut berasal dari sel pada saluran kecil bilirubin atau kanal Hering. Hepatosit dapat juga dihasilkan dari stem sel
ekstrahepatik, yaitu sumsum tulang Sherlock dan Dooley, 2002.
4. Kerusakan hati
Hati merupakan organ yang sering menjadi sasaran untuk diinduksi mengalami kerusakan menggunakan senyawa kimia. Beberapa faktor penting
diketahui dapat menambah kerentanan hati. Pertama, sebagian besar xenobiotik memasuki hati melalui sistem pencernaan dan setelah mengalami proses absorbsi
akan dikirim oleh vena porta hepatik menuju hati, sehingga hati merupakan organ pertama yang diperfusi oleh zat kimia yang diabsorbsi oleh usus. Faktor kedua
adalah hati memiliki enzim untuk metabolisme xenobiotik dalam konsentrasi yang tinggi dengan enzim utamanya adalah sitokrom P450. Meskipun sebagian besar
biotransformasi adalah reaksi detoksifikasi, banyak reaksi oksidatif yang menghasilkan metabolit reaktif yang dapat menginduksi kerusakan hati. Bagian hati
yang sering mengalami kerusakan adalah daerah sentrilobuler dan pada daerah tersebut memiliki konsentrasi sitokrom P450 yang tinggi dalam hati Hodgson,
2004. Jenis kerusakan hati tergantung pada jenis agen toksik, keberbahayaan
intoksikasi, dan jenis paparan, baik akut maupun kronis. Beberapa jenis kerusakan dapat spesifik terjadi pada hati contohnya kolestasis dan terdapat pula yang tidak
spesifik pada hati contohnya nekrosis dan karsinogenesis Hodgson, 2004. Jenis- jenis kerusakan hati, yaitu:
a. Nekrosis Nekrosis sel merupakan proses degeneratif yang dapat menyebabkan
kematian sel. Nekrosis, biasanya merupakan kelukaan akut, yang dapat terjadi pada area lokal dan hanya mempengaruhi beberapa hepatosit focal necrosis, atau
dapat juga mempengaruhi keseluruhan lobus massive necrosis. Kematian sel terjadi bersamaan dengan pecahnya membran sel, dan didahului oleh beberapa
perubahan morfologi seperti edema sitoplasmik, dilatasi reticulum endoplasma, disagregasi polisoma, akumulasi trigliserida, pembengkakan mitokondria dengan
adanya angguan pada cristae, dan disolusi organela dan nukleus. Hati memiliki kemampuan regenerasi yang cepat, sehingga lesi nekrotik bukan termasuk kondisi
yang gawat, tetapi apabila nekrosis terjadi pada area yang luas maka dapat menyebabkan kerusakan hati yang berbahaya dan bahkan gagal hati Hodgson,
2004. Nekrosis ditandai dengan peningkatan jumlah eosinofil di sitoplasma dan tampak homogen dibanding sel normal karena telah kehilangan glikogen Robins
Cotran, 2010. b. Kolestasis
Kolestasis merupakan penekanan atau penghentian dari aliran empedu, dan mungkin dapat disebabkan baik oleh intrahepatik maupun ekstrahepatik.
Inflamasi atau pengeblokan pada saluran empedu menyebabkan terjadinya retensi garam empedu sebanyak akumulasi bilirubin, dan bahkan dapat memicu terjadinya
jaundice atau penyakit kuning. Mekanisme lain yang menyebabkan kolestasis
termasuk perubahan permeabilitas membran hepatosit maupun kanalikuli biliar. Kolestasis biasanya diinduksi oleh obat dan susah untuk dilakukan uji pada hewan.
Perubahan kimiawi darah dapat digunakan sebagai alat diagnostik Hodgson, 2004.
c. Sirosis Sirosis merupakan penyakit progresif yang ditandai dengan deposisi
kolagen melalui hati. Sebagian besar kasus sirosis merupakan akibat dari kelukaan akibat paparan zat kimia secara kronis. Akumulasi dari bahan fibrosa menyebabkan
restriksi aliran darah yang berbahaya, gangguan proses metabolisme dan proses detoksifikasi secara normal. Situasi ini tidak dapat berbalik karena kerusakan lebih
lanjut dan bahkan dapat memicu gagal hati Hodgson, 2004. Area hati yang rusak akibat sirosis dapat menjadi permanen dan sikatriks sehingga darah tidak dapat
mengalir dengan baik pada jaringan hati yang rusak dan hati mulai menciut, serta menjadi keras Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2007.
d. Hepatitis Hepatitis merupakan suatu inflamasi pada hati yang biasanya
disebabkan oleh virus. Hepatitis dapat pula disebabkan oleh senyawa kimia tertentu, biasanya obat yang dapat menginduksi terjadinya hepatitis yang serupa
dengan yang disebabkan oleh infeksi virus Hodgson, 2004. e. Karsinogenesis
Karsinogenesis merupakan bentuk paling umum dari tumor hati disebut hepatoselular karsinoma, bentuk lainnya termasuk cholangiocarcinoma,
angiosarcoma, glandular carcinoma, dan sel karsinoma hati yang tidak
terdiferensiasi. Bahan alami yang dapat menyebabkan kanker hati contohnya aflatoksin, cycasin, dan safrol. Senyawa sintesis yang dapat menyebabkan
karsinogenesis contohnya dialkylnitrosamines dan dimethylbenzanthracene Hodgson, 2004.
5. Steatosis
Perlemakan hati merujuk pada akumulasi lemak di hepatosit secara abnormal. Pada waktu yang sama terdapat penurunan lipid plasma dan lipoprotein.
Terdapat berbagai macam agen toksik yang dapat menyebabkan perlemakan hati dengan mekanisme yang berbeda-beda. Pada dasarnya akumulasi lemak dikaitkan
dengan gangguan baik pada sintesis atau sekresi lipoprotein. Kelebihan lemak dapat dihasilkan dari suplai berlebih asam lemak bebas dari jaringan adiposa atau pada
umumnya dari gangguan pelepasan trigliserida dari hati menuju plasma. Trigliserida disekresi dari hati sebagai lipoprotein very low density lipoprotein,
VLDL. Peran dari perlemakan hati hingga menyebabkan kerusakan hati belum dipahami dengan jelas, dan perlemakan hati itu sendiri tidak berarti disfungsi hati.
Onset dari akumulasi lemak pada hati bersamaan dengan perubahan biokimia dalam darah, sehingga analisis kimia darah dapat berguna sebagai alat diagnosa Hodgson,
2004. Salah satu pemicu terjadinya perlemakan hati adalah alkohol. Pemeriksaan yang dilakukan pada kasus ini adalah pemeriksaan enzim SGOT, SGPT, dan ALP
Dudgale, 2013.
6. Bilirubin
Bilirubin adalah suatu produk penguraian sel darah merah, sebagian besar 80-85 berasal dari haemoglobin dan sisanya berasal dari protein yang
mengandung haem contohnya sitokrom P450 Sherlock dan Dooley, 2002. Setelah sel darah merah menghabiskan rentang umurnya 120 hari, membran sel tersebut
menjadi sangat rapuh dan pecah. Hemoglobin dilepaskan dan diubah menjadi bilirubin bebas oleh sel-sel fagositik Corwin, 2009.
Enzim yang mengubah haem menjadi bilirubin adalah mikrosomal haem oksigenase Gambar 6. Pemecahan cincin pophyrin terjadi secara selektif
pada jembatan α-methane. Jembatan karbon α diubah menjadi karbon monoksida dan perannya digantikan oleh 2 molekul oksigen yang berasal dari oksigen
molekular. Hasilnya adalah tetrapyrrole yang memiliki struktur IX α-biliverdin.
Tetrapyrrole diubah menjadi IX α-biliverdin oleh enzim sitosol, yaitu biliverdin reduktase. Tetrapyrrole bersifat larut air, sedangkan bilirubin larut lemak.
Perubahan menjadi larut dalam lemak disebabkan karena penyusunan kembali cincin pyrrole sehingga ikatan hidrogen internal menutupi rantai samping asam
propionate dan menyebabkan bilirubin susah larut dalam air. Ikatan ini dapat dipecah oleh alkohol dalam reaksi diazo van den Bergh yang mengubah bilirubin
tak terkonjugasi menjadi bilirubin terkonjugasi Sherlock dan Dooley, 2002. Bilirubin bebas berikatan dengan albumin plasma dan mengalir dalam
darah menuju hati. Bilirubin bebas dianggap tidak terkonjugasi karena walaupun berikatan dengan albumin, pengikatannya bersifat reversibel. Setelah berada di hati,
bilirubin dibebaskan dari albumin dan karena bilirubin bebas bersifat larut dalam lemak, bilirubin tersebut mudah masuk ke dalam hepatosit. Setelah berada di dalam
hepatosit, bilirubin dengan cepat berikatan dengan zat lain, biasanya asam
glukoronat, dan di tempat ini dianggap terkonjugasi. Bilirubin terkonjugasi bersifat larut air dan tidak larut lemak Corwin, 2009.
Gambar 6. Metabolisme haemoglobin menjadi bilirubin. M, metil; P, propionate; V,vinil
Sherlock dan Dooley, 2002
Sebagian besar bilirubin terkonjugasi secara aktif disalurkan ke kanalikulus empedu kemudian bilirubin tersebut disalurkan bersama dengan
komponen empedu lainnya ke kandung empedu atau usus halus. Sejumlah kecil bilirubin terkonjugasi tidak menuju ke usus sebagai komponen empedu tetapi
diserap kembali masuk aliran darah. Hal ini menyebabkan hampir selalu terdapat
sebagian kecil bilirubin tidak terkonjugasi dalam perjalanannya menuju hati Corwin, 2009.
Setelah berada di dalam usus, bilirubin terkonjugasi diproses oleh bakteri dan diubah menjadi urobilinogen. Sebagian besar urobilinogen masuk ke
dalam aliran darah dan diekskresi oleh ginjal dalam urin, sebagian diekskresi dalam tinja, dan sebagian mengalami daur ulang kembali ke hati dalam sirkulasi
enterohepatik usus ke hati. Gambar 7 menunjukkan langkah-langkah yang terjadi dalam konjugasi dan ekskresi bilirubin Corwin, 2009.
Gambar 7. Biotransformasi bilirubin Corwin, 2009.
Konjugasi bilirubin penting untuk ekskresi bilirubin. Tanpa konjugasi, bilirubin tidak dapat diekskresi oleh ginjal atau usus. Penanganan bilirubin oleh hati
adalah suatu bentuk detoksifikasi metabolik. Tanpa konjugasi, terjadi penumpukan bilirubin tidak terkonjugasi dalam darah yang mungkin mencapai kadar yang dapat
bersifat toksik Corwin, 2009. Bilirubin total merupakan biomarker yang dikaitkan dengan gangguan
homeostatis bilirubin. Ketika kadar bilirubin total semakin meningkat menunjukkan
kemungkinan gangguan fungsi hati, yang dapat menyebabkan gagal hati Gupta, 2014. Kadar bilirubin serum merupakan biomarker fungsi hati yang nyata, yang
mana dapat mengukur kemampuan hati untuk membersihkan bilirubin dari darah ketika mengalir melalui hati Senior, 2006. Kadar bilirubin total normal pada tikus
yaitu 0,1 – 0,2 mgdl Suckow, Weisbroth, dan Franklin, 2006.
B. Hepatotoksisitas