Pengaruh pemberian fraksi heksan-etanol dari ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius L. jangka panjang 6 hari terhadap aktivitas serum alt dan ast tikus betina galur wistar terinduksi karbon tetraklorida.

(1)

i INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa pemberian fraksi heksan-etanol dari ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius L. (FHEMM) jangka panjang 6 hari menurunkan aktivitas serum ALT dan AST serta untuk mengetahui ada tidaknya kekerabatan antara dosis FHEMM dengan aktivitas serum ALT dan AST, tikus betina galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida (CCl4).

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Sejumlah 30 ekor tikus dipilih dan dibagi secara acak ke dalam 6 kelompok. Kelompok I diberi CMC-Na, kelompok II diberi CCl4, Kelompok III diberi FHEMM dosis 137,14 mg/kgBB. Kelompok IV-VI

secara berututan diberi dosis 34,28 mg/kgBB+CCl4; 68,57 mg/kgBB+CCl4; dan

137,14 mg/kgBB+CCl4. Data penelitian ini diuji normalitasnya menggunakan uji

Shapiro-Wilk dan terbukti memiliki distribusi normal sehingga data ini dianalisis dengan uji One-Way ANOVA dengan taraf kepercayaan 95% diikuti dengan uji post hoc. Uji post hoc yang digunakan untuk data yang diasumsikan memiliki vasiansi sama adalah uji Tuckey’s HSD, sedangkan uji Games-Howell digunakan untuk data yang tidak diasumsikan memiliki variansi sama. Variansi data dianalisis menggunakan uji Levene.

Hasil menunjukkan kelompok kontrol hepatotoksin mengalami peningkatan aktivitas serum ALT dan AST dibandingkan dengan kontrol negatif dan secara statistik berbeda bermakna. Peningkatan aktivitas serum ALT dan AST dapat dicegah dengan pemberian FHEMM dosis 68,57 mg/kgBB dan dosis 137,14 mg/kgBB. Hasil juga menunjukkan tidak adanya kekerabatan antara dosis pemberian terhadap aktivitas serum ALT dan AST. Chebulagic acid, macatannin A, dan macatannin B diduga sebagai senyawa yang bertanggung jawab terhadap aktivitas ini, namun penelitian lebih lanjut diperlukan.


(2)

ii ABSTRACT

The aim of this study were to prove that administration of hexane-ethanol fraction from methanol-water extract of Macaranga tanarius L. leaves (FHEMM) in 6 days long termed decreased the activity of serum ALT and AST and to determine whether there was a relation between FHEMM doses and serum activity of ALT and AST, in female Wistar rats induced by CCl4.

This study was a pure experimental with single factor completely randomized design. Thirty rats were selected and divided randomly into 6 groups. Group I was given CMC-Na, group II was given CCl4, group III was given FHEMM

of 137.14 mg/kgBW. Group IV-VI were given FHEMM of 34.28 mg/kgBW+CCl4;

68.57 mg/kgBW+CCl4; and 137.14 mg/kgBW+CCl4 respectively. Data normality

was analyzed by Shapiro-Wilk test and proved to have normal distribution, so this data was analyzed by One-Way ANOVA with confident interval 95% followed by post hoc test. Post hoc test that was used for data that equal variances assumed was

Tuckey’s HSD test, on the other hand Games-Howell was used for data that was not assumed to be equal variances. Data variances was analyzed by Levene test.

The results showed that hepatotoxin control group increased in serum activity of ALT and AST significantly compared to the negative control. Elevation serum activity of ALT and AST can be prevented by administering FHEMM of 68.57 mg/kgBW and 137.14 mg/kgBW. The results also showed that there were no relation between FHEMM doses and serum activity of ALT and AST. Chebulagic acid, macatannins A and macatannins B suspected as the compounds that responsible for these activities, however further study needs to be done.


(3)

i

PENGARUH PEMBERIAN FRAKSI HEKSAN-ETANOL DARI EKSTRAK METANOL-AIR DAUN Macaranga tanarius L. JANGKA PANJANG 6 HARI TERHADAP AKTIVITAS SERUM ALT DAN AST

TIKUS BETINA GALUR WISTAR TERINDUKSI KARBON TETRAKLORIDA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Sona Karisnata Inriano NIM: 128114167

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya sederhana ini untuk kedua orangtuaku dan saudara-saudaraku.

abracadabra

For they who wonder, here etymology of this wonderful spell: The word abracadabra derive from an Aramaic phrase meaning

“I create as I speak.”

It comprise the abbreviated forms of the Hebrew words Ab (Father), Ben (Son) and Ruach A Cadsch (Holy Spirit).

The first known mention of the word was in the third century AD in a book called Liber Medicinalis and historically was believed to have healing power when inscribed on amulet.


(7)

v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan indikasi plagiarisme dalam naskah ini, maka saya bersedia menanggung segala sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Yogyakarta, 1 Desember 2015 Penulis


(8)

vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Sona Karisnata Inriano

NIM : 128114167

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

Pengaruh Pemberian Fraksi Heksan-Etanol dari Ekstrak Metanol-Air Daun

Macaranga tanarius L. Jangka Panjang 6 Hari terhadap Aktivitas Serum ALT

dan AST Tikus Betina Galur Wistar Terinduksi Karbon Tetraklorida

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikannya secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 1 Desember 2015 Yang menyatakan,


(9)

vii PRAKATA

Pertama-tama penulis ingin mengungkapkan rasa syukur yang mendalam atas kasih karunia yang telah dianugerahkan Tuhan sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Pemberian Fraksi Heksan-Etanol dari Ekstrak Metanol-Air Daun Macaranga tanarius L. Jangka Panjang 6 Hari terhadap Aktivitas Serum ALT dan AST Tikus Betina Galur Wistar Terinduksi Karbon Tetraklorida” tepat pada waktunya.

Dengan tulus hati, penulis ingin berterima kasih kepada setiap orang yang telah menginspirasi dan menemani perjalanan hidup penulis hingga penulis dapat mencapai titik ini. Penulis juga sangat berterima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu selama proses pembuatan skripsi ini. Secara khusus penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

2. Ibu Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt., selaku Dosen Pembimbing Skripsi atas segala bimbingan, pendampingan, dukungan, dan kasih yang luar biasa bagi penulis selama proses penelitian dan penyusunan skripsi.

3. Bapak Ipang Djunarko, M.Sc., Apt., selaku Dosen Penguji atas segala perhatian, masukan, dan dukungan demi kemajuan skripsi ini.

4. Bapak Yohanes Dwiatmaka, M.Si., selaku Dosen Penguji atas segala perhatian, masukan, dan dukungan demi kemajuan skripsi ini.

5. Ibu Agustina Setiawati, M.Sc., Apt., selaku Kepala Penanggung jawab Laboratorium Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah


(10)

viii

memberikan izin dalam penggunaan fasilitas laboratorium untuk kepentingan penelitian ini.

6. Bapak Jeffry Julianus, M.Si., selaku Dosen Pembimbing Akademik atas segala bimbingan dan motivasi kepada penulis selama menempuh pendidikan sarjana di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma dan selama proses penyusunan skripsi ini.

7. Segenap dosen atas ilmu dan pengalaman yang telah dibagikan kepada penulis sehingga sangat membantu proses penyusunan skripsi ini.

8. Pak Heru, Pak Wagiran, Pak Parjiman dan segenap laboran laboratorium Fakultas Farmasi atas segala kerja sama dan bantuan selama proses pelaksanaan penelitian di laboratorium.

9. Bapak dan Ibu, serta Mas Aan dan Leo atas segala doa, kepercayaan, dan dukungan serta kasih yang luar biasa bagi penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

10.Novita yang telah bersama-sama berjuang dan menemani sejak awal proses penelitian, hingga terselesaikannya skripsi ini, serta menjadi sumber inspirasi dalam proses penyelesaian skripsi ini.

11.Sahabat-sahabat seperjuangan Cyndi, Maria, dan Rahayu atas segala bantuan dan dukungannya selama proses penelitian dan penyelesaian skripsi ini.

12.Tim FHEMM atas segala kerjasama dalam proses pengerjaan skripsi ini. 13.Para sahabat yang luar biasa Adis, Edward, Ella, Novita, Rei, Siti, dan Venny


(11)

ix

14.Sahabat-sahabat “keluarga cemara” atas suntikan semangat yang luar biasa dalam proses penyelesaian skripsi ini.

15.Teman-teman FKK-B 2012, FSM-D 2012, dan seluruh angkatan 2012 atas kerjasama, kebersamaan, dan semangat yang juga berperan penting dalam proses penyelesaian skripsi ini.

16.Seluruh kakak tingkat dan adik tingkat penulis yang telah banyak membantu dan memberikan semangat bagi penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 17.Sahabat-sahabat penulis Jagok dan Widhi atas dukunganya untuk penulis dalam

penyelesaian skripsi ini.

18.Para pemuda dan pemudi GKSBS atas dukunganya untuk penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

19.Tim “at a Glance” atas dukunganya untuk penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan tidak terhindar dari kesalahan. Untuk itu penulis memohon maaf atas segala kesalahan yang ada dan dengan senang hati menerima seluruh kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi perkembangan penulis di masa yang akan datang. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan mampu memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kefarmasian.


(12)

x DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

INTISARI ... xix

ABSTRACT ... xx

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Rumusan masalah ... 6

2. Keaslian penelitian ... 6

3. Manfaat penelitian ... 7

B. Tujuan Penelitian ... 7

1. Tujuan umum ... 7


(13)

xi

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ... 9

A. Anatomi Hati ... 9

B. Histologi Hati ... 14

C. Fisiologi Hati ... 20

D. Patologi Hati ... 27

E. Perlemakan Hati ... 35

1. Spektrum perlemakan hati ... 35

2. Karakteristik perlemakan hati ... 36

3. Patogenesis perlemakan hati ... 40

4. Peran stres oksidatif pada NAFLD ... 44

5. Hubungan resistensi insulin dengan NAFLD dan NASH ... 48

6. Terapi NAFLD dan NASH ... 51

F. Aminotransferase ... 53

G. Karbon Tetraklorida ... 55

H. Macaranga tanarius L. ... 59

1. Taksonomi ... 59

2. Nama lain ... 60

3. Penyebaran ... 60

4. Budidaya ... 60

5. Deskripsi tanaman ... 61

6. Kandungan kimia ... 62


(14)

xii

J. Landasan Teori ... 67

K. Hipotesis ... 71

BAB III. METODE PENELITIAN ... 72

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 72

B. Variabel dan Definisi Operasional ... 72

1. Variabel utama ... 72

2. Variabel pengacau ... 72

3. Definisi operasional ... 73

C. Bahan Penelitian ... 74

1. Bahan utama ... 74

2. Bahan kimia ... 75

D. Alat Penelitian ... 76

1. Alat pembuatan FHEMM ... 76

2. Alat perlakuan hewan uji ... 76

E. Tata Cara Penelitian ... 76

1. Determinasi tanaman Macaranga tanarius L. ... 76

2. Pengumpulan bahan uji ... 77

3. Pembuatan serbuk daun Macaranga tanarius L. ... 78

4. Penetepan kadar air serbuk daun Macaranga tanarius L. ... 79

5. Pembuatan ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius L. ... 79

6. Pembuatan FHEMM ... 80


(15)

xiii

8. Pembuatan suspensi FHEMM ... 82

9. Pembuatan CCl4 dalam olive oil (1:1) ... 82

10.Penetapan rute injeksi CCl4 ... 82

11.Penetapan dosis CCl4 ... 83

12.Penetapan waktu pencuplikan darah ... 83

13.Pengelompokkan dan perlakuan hewan uji ... 84

14.Pengukuran aktivitas serum ALT dan AST ... 85

F. Tata Cara Analisis Hasil ... 85

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 87

A. Hasil Determinasi Tanaman ... 87

B. Hasil Penetapan Kadar Air Serbuk Daun Macaranga tanarius L. ... 88

C. Hasil Uji Pendahuluan ... 88

1. Hasil penetapan dosis hepatotoksin CCl4 ... 88

2. Hasil penetapan waktu pencuplikan darah ... 89

D. Pengaruh pemberian FHEMM jangka panjang 6 hari terhadap kadar ALT dan AST tikus betina galur Wistar terinduksi CCl4 ... 95

1. Kelompok kontrol CMC ... 98

2. Kelompok kontrol hepatotoksin CCl4 ... 99

3. Kelompok kontrol FHEMM ... 102

4. Kelompok perlakuan ... 103

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 115

A. Kesimpulan ... 115


(16)

xiv

DAFTAR PUSTAKA ... 116 LAMPIRAN ... 122 BIOGRAFI PENULIS ... 161


(17)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel I. Aktivitas serum ALT dan AST pada jam ke 0, 24

dan 48 jam setelah induksi CCl4 ... 90

Tabel II. Hasil pengukuran aktivitas serum ALT... 96 Tabel III. Hasil pengukuran aktivitas serum AST... 97


(18)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Permukaan hati ... 10

Gambar 2. Lobus anatomis hati dan fisura model ... 11

Gambar 3. Segmen hepatik ... 13

Gambar 4. Komponen histologi hati ... 14

Gambar 5. Perbandingan tiga unit struktural dan fungsional hati ... 17

Gambar 6. Asinus hepatik ... 19

Gambar 7. Skema respon inflamasi ... 29

Gambar 8. Fibrosis hati ... 33

Gambar 9. Metabolisme alkohol ... 40

Gambar 10. Sintesis GSH melalui jalur metabolisme metionin ... 47

Gambar 11. Peran utama lipotoksisitas dalam NASH ... 50

Gambar 12. Mekanisme toksisitas CCl4... 58

Gambar 13. Daun Macaranga tanarius L. ... 61

Gambar 14. Kandungan kimia Macaranga tanarius L. ... 63

Gambar 15. Kandungan kimia Macaranga tanarius L. ... 63

Gambar 16. Kandungan kimia Macaranga tanarius L. ... 64

Gambar 17. Kandungan kimia Macaranga tanarius L. ... 65


(19)

xvii

Gambar 19. Aktivitas serum ALT pada jam ke 0, 24 dan 48 jam setelah induksi CCl4 ... 91

Gambar 20. Aktivitas serum AST pada jam ke 0, 24 dan 48 jam setelah induksi CCl4 ... 93

Gambar 21. Grafik hasil pengukuran aktivitas serum ALT ... 97 Gambar 22. Grafik hasil pengukuran aktivitas serum AST ... 98 Gambar 23. Kekerabatan antara dosis FHEMM dengan aktivitas serum

ALT tikus betina galur Wistar terinduksi CCl4 ... 109

Gambar 24. Kekerabatan antara dosis FHEMM dengan aktivitas serum


(20)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Foto daun Macaranga tanarius L. ... 123

Lampiran 2. Foto ekstrak metanol air daun Macaranga tanarius L. ... 124

Lampiran 3. Foto FHEMM ... ... 125

Lampiran 4. Foto suspensi FHEMM ... 126

Lampiran 5. Surat determinasi tanaman Macaranga tanarius L. ... 127

Lampiran 6. Surat ethical clearance penelitian ... 128

Lampiran 7. Surat keterangan penggunaan IBM SPSS Statistics 22 ... 129

Lampiran 8. Hasil Uji statistik orientasi waktu pencuplikan darah ... 130

Lampiran 9. Hasil uji statistik aktivitas serum ALT ... 138

Lampiran 10. Hasil uji statistik aktivitas serum AST ... 147

Lampiran 11. Perhitungan konversi dosis ke manusia ... 155

Lampiran 12. Perhitungan konversi waktu tikus ke manusia... 156

Lampiran 13. Perhitungan kadar air serbuk daun Macaranga tanarius L. ... 157

Lampiran 14. Perhitungan persen rendemen FHEMM... 158

Lampiran 15. Perhitungan efek pencegahan kenaikan aktivitas ALT dan AST... 159


(21)

xix INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa pemberian fraksi heksan-etanol dari ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius L. (FHEMM) jangka panjang 6 hari menurunkan aktivitas serum ALT dan AST serta untuk mengetahui ada tidaknya kekerabatan antara dosis FHEMM dengan aktivitas serum ALT dan AST, tikus betina galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida (CCl4).

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Sejumlah 30 ekor tikus dipilih dan dibagi secara acak ke dalam 6 kelompok. Kelompok I diberi CMC-Na, kelompok II diberi CCl4, Kelompok III diberi FHEMM dosis 137,14 mg/kgBB. Kelompok IV-VI

secara berututan diberi dosis 34,28 mg/kgBB+CCl4; 68,57 mg/kgBB+CCl4; dan

137,14 mg/kgBB+CCl4. Data penelitian ini diuji normalitasnya menggunakan uji

Shapiro-Wilk dan terbukti memiliki distribusi normal sehingga data ini dianalisis dengan uji One-Way ANOVA dengan taraf kepercayaan 95% diikuti dengan uji post hoc. Uji post hoc yang digunakan untuk data yang diasumsikan memiliki vasiansi sama adalah uji Tuckey’s HSD, sedangkan uji Games-Howell digunakan untuk data yang tidak diasumsikan memiliki variansi sama. Variansi data dianalisis menggunakan uji Levene.

Hasil menunjukkan kelompok kontrol hepatotoksin mengalami peningkatan aktivitas serum ALT dan AST dibandingkan dengan kontrol negatif dan secara statistik berbeda bermakna. Peningkatan aktivitas serum ALT dan AST dapat dicegah dengan pemberian FHEMM dosis 68,57 mg/kgBB dan dosis 137,14 mg/kgBB. Hasil juga menunjukkan tidak adanya kekerabatan antara dosis pemberian terhadap aktivitas serum ALT dan AST. Chebulagic acid, macatannin A, dan macatannin B diduga sebagai senyawa yang bertanggung jawab terhadap aktivitas ini, namun penelitian lebih lanjut diperlukan.


(22)

xx ABSTRACT

The aim of this study were to prove that administration of hexane-ethanol fraction from methanol-water extract of Macaranga tanarius L. leaves (FHEMM) in 6 days long termed decreased the activity of serum ALT and AST and to determine whether there was a relation between FHEMM doses and serum activity of ALT and AST, in female Wistar rats induced by CCl4.

This study was a pure experimental with single factor completely randomized design. Thirty rats were selected and divided randomly into 6 groups. Group I was given CMC-Na, group II was given CCl4, group III was given FHEMM

of 137.14 mg/kgBW. Group IV-VI were given FHEMM of 34.28 mg/kgBW+CCl4;

68.57 mg/kgBW+CCl4; and 137.14 mg/kgBW+CCl4 respectively. Data normality

was analyzed by Shapiro-Wilk test and proved to have normal distribution, so this data was analyzed by One-Way ANOVA with confident interval 95% followed by post hoc test. Post hoc test that was used for data that equal variances assumed was

Tuckey’s HSD test, on the other hand Games-Howell was used for data that was not assumed to be equal variances. Data variances was analyzed by Levene test.

The results showed that hepatotoxin control group increased in serum activity of ALT and AST significantly compared to the negative control. Elevation serum activity of ALT and AST can be prevented by administering FHEMM of 68.57 mg/kgBW and 137.14 mg/kgBW. The results also showed that there were no relation between FHEMM doses and serum activity of ALT and AST. Chebulagic acid, macatannins A and macatannins B suspected as the compounds that responsible for these activities, however further study needs to be done.


(23)

1

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

Hati merupakan organ yang penting bagi kelangsungan hidup manusia. Hati terlibat dalam proses pencernaan, regulasi metabolik, dan regulasi hematologik (Martini, Nath, and Bartholomew, 2015). Hati memiliki kemampuan untuk memperbaiki diri yang sangat baik, namun tidak menutup kemungkinan untuk mengalami kerusakan yang dapat disebabkan oleh banyak hal. Kerusakan dan gangguan pada hati dapat mengakibatkan penurunan kualitas hidup penderitanya. Salah satu gangguan hati yang saat ini masih menjadi masalah yang belum terselesaikan adalah perlemakan hati (Burt, Portmann, and Ferrell, 2012).

Perlemakan hati memiliki karakteristik utama berupa adanya akumulasi lipid di hati. Perlemakan hati secara garis besar dapat dibedakan menjadi perlemakan hati alkoholik dan perlemakan hati non alkoholik atau non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD). Non-alcoholic fatty liver disease merupakan penyakit hati yang paling sering menyebabkan peningkatan enzim hati. Prevalensi NAFLD diperkirakan mencapai 20-30% dari keseluruhan populasi (Vernon, Baranova, and Younossi, 2011). Non-alcoholic fatty liver disease yang tidak teratasi dengan baik dapat berkembang menjadi suatu kondisi yang lebih parah yaitu non-alcoholic steatohepatitis (NASH). Sekitar 2-3% dari keseluruhan populasi diperkirakan memiliki NASH dan dapat berkembang menjadi sirosis hati dan hepatokarsinoma (Bellentani, Scaglioni, Marino, and Bedogni, 2010). Menurut World Health


(24)

Organization atau WHO (2014) sirosis hati dan hepatokarsinoma merupakan salah satu penyebab mortalitas terbanyak di dunia.

Sebagian besar penelitian di Amerika Serikat melaporkan prevalensi NAFLD berkisar antara 10-35% (Vernon et al., 2011). Prevalensi NAFLD memiliki kemiripan di beberapa kawasan lain, namun banyak juga yang berbeda. Di Amerika Latin prevalensi NAFLD berkisar antara 17-33%, di Eropa dan Timur Tengah prevalensi berkisar antara 20-30%, begitupula dengan Australia dan Jepang, sementara itu di Cina berkisar antara 15-30%. Di perkotaan negara-negara kawasan samudra Hindia prevalensi berkisar antara 16% sampai 32% sedangkan di daerah pedesaan lebih rendah yaitu sekitar 9% mirip dengan di Nigeria. Di Indonesia sendiri, prevalensi NAFLD cukup tinggi yaitu sekitar 30%. Dari data-data yang ada, prevalensi NAFLD dikaitkan dengan gaya hidup, obesitas dan resistensi insulin, diabetes, dislipidemia, serta genetik (Loomba and Sanyal, 2013).

Metabolik sindrom merupakan faktor resiko yang kuat untuk NAFLD (Hamaguchi et al., 2005). Kalra et al. (2013) melakukan uji kadar aminotransferase pada pasien Diabetes Mellitus (DM) tipe 2 dan menemukan 56,5% pasien memiliki NAFLD, dengan prevalensi pada wanita sebesar 60% sedangkan pria 54,3%. Penelitian pada pasien penderita DM yang dievaluasi di laboratorium dan melalui ultrasonografi ditemukan NAFLD dengan prevalensi 69% (Leite, Salles, Araujo, Villela-Nogueira, and Cardoso, 2008). Prashanth et al. (2009) melakukan biopsi pada 90 pasien DM tipe 2 dari 127 pasien yang melalui sonografi diketahui memiliki perlemakan hati dan ditemukan 87% memiliki bukti histologi NAFLD dengan 62,6% steatohepatitis dan 37,3% fibrosis.


(25)

Tingginya prevalensi NAFLD di dunia, masih belum diimbangi dengan terapi farmakologis yang memadai. Saat ini terapi utama untuk pengobatan NAFLD adalah modifikasi gaya hidup dan terapi farmakologis untuk mengontrol sindrom metabolik yang biasanya menyertai NAFLD. Terapi farmakologis untuk NAFLD sendiri masih terbatas pada pemberian Vitamin E, sedangkan kebanyakan senyawa lain yang berpotensi memberikan manfaat bagi penderita NAFLD masih memerlukan penelitian lebih lanjut dan masih merupakan subjek eksplorasi yang menarik (Watt, 2015). Macaranga tanarius L. merupakan salah satu bahan alam yang berpotensi memberikan manfaat bagi penderita NAFLD dan memerlukan penelitian lebih lanjut.

Macaranga tanarius L. merupakan tanaman pionir yang tumbuh dengan sangat cepat yang tersebar luas di negara-negara tropis dan dikenal oleh penduduk lokal Indonesia dengan nama mara, tutup ancur, hanuwa, atau mapu (Orwa, Mutua, Kindt, Jamnadass, dan Anthony, 2009). Daun dari tanaman ini merupakan bahan alam yang berpotensi mampu memberikan efek proteksi pada hati namun masih jarang pemanfaatannya di masyarakat. Windrawati (2013) melaporkan bahwa pemberian ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius L. jangka panjang 6 hari memiliki efek pencegahan kenaikan aktivitas Alanin aminotransferase (ALT) dan aspartat aminotransferase (AST) yang merupakan penanda perlemakan hati pada tikus terinduksi karbon tetraklorida (CCl4). Hasil penelitian tersebut juga

menunjukkan adanya kekerabatan antara dosis pemberian dengan besarnya efek pecegahan kenaikan aktivitas ALT dan AST.


(26)

CCl4 merupakan agen hepatotoksik yang biasa digunakan untuk

menginduksi perlemakan hati pada hewan uji (Riordan and Nadeau, 2014). CCl4

menginduksi perlemakan hati melalui jalur peroksidasi lipid yang menyebabkan stres oksidatif serta melalui jalur haloalkalasi protein dan lipid (Weber Boll, and Stampfl, 2003). Perlemakan hati ditandai dengan peningkatan ringan dari aminotransferase, sehingga pengujian ALT dan AST dapat digunakan sebagai parameter perlemakan hati tikus (Thapa and Walia, 2007). Janakat dan Al-Merie (2002) serta Dongare, Dhande, dan Kadam (2013), melaporkan terjadinya peningkatan ringan aktivitas serum ALT dan AST tikus yang diinduksi CCl4.

Di dalam tubuh, CCl4 membentuk radikal triklorometil (CCl3•). Radikal

ini dapat berikatan dengan molekul seluler (asam nukleat, protein, lemak) sehingga merusak proses seluler krusial seperti metabolisme lipid, dan berpotensi menghasilkan perlemakan hati. Radikal CCl3• dapat bereaksi dengan oksigen untuk membentuk radikal triklorometilperoksi (CCl3OO•), suatu radikal yang sangat reaktif. Radikal CCl3OO• memulai rantai reaksi yang menyebabkan peroksidasi lipid dan menyebabkan stres oksidatif. (Weber et al., 2003). Stres oksidatif berperan dalam mekanisme terjadinya NAFLD (Pacana and Sanyal, 2015).

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui lebih lanjut fitokimia dalam daun Macaranga tanarius L. yang bertanggung jawab terhadap penurunan aktivitas serum ALT dan AST pada penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius L. jangka panjang 6 hari pada tikus terinduksi CCl4

yang dilakukan oleh Windrawati (2013). Pemilihan pelarut fraksi heksan etanol dilakukan berdasarkan kemiripan koefisien partisinya (2,97) dengan senyawa


(27)

ellagitannin yang ditemukan oleh Gunawan-Puteri dan Kawabata (2010) yaitu chebulagic acid (2,64), macatannin A (2,76), dan macatannin B (2,94), yang dihitung menggunakan perangkat lunak Marvin Sketch. Senyawa ellagitannin ini menarik untuk disari karena selain senyawa tanin dikenal sebagai antioksidan yang mampu mencegah perlemakan hati dengan menangkap radikal bebas (Gil, Tomás-Barberán, Hess-Pierce, Holcroft, and Kader, 2000; Anderson et al., 2001; Mullen et al., 2002; Reddy, Gupta, Jacob, Khan, and Ferreira, 2007), ketiga senyawa yang dituju ini diketahui memiliki aktivitas α-glucosidase inhibitor (AGI) yang poten (Gunawan-Puteri dan Kawabata, 2010).

Menurut Gunawan-Puteri dan Kawabata (2010), chebulagic acid, macatannin A, dan macatannin B, terdapat didalam daun Macaranga tanarius L. dan memiliki aktivitas AGI. Macatannin B, macatannin A, dan chebulagic acid memiliki aktivitas AGI paling poten dari lima senyawa yang ditemukan oleh Gunawan-Puteri dan Kawabata (2010). Macatannin B, macatannin A, dan chebulagic acid secara berurutan mampu menghambat 50% aktivitas α-glucosidase hanya dengan konsentrasi 0,55 mM, 0,80 mM, dan 1,00 mM, sementara itu dua senyawa lainnya adalah corilagin dan mallotinic acid secara berurutan butuh konsentrasi sebesar 2,63 mM dan lebih dari 5,00 mM untuk menghambat 50% aktivitas α-glucosidase. Senyawa dengan aktivitas AGI yang poten menarik untuk diekstraksi karena senyawa tersebut diduga juga dapat memberikan manfaat bagi penderita DM tipe 2 dan resistensi insulin yang merupakan faktor resiko NAFLD sehingga akan memberikan manfaat tambahan untuk mencegah perlemakan hati.


(28)

Secara tidak langsung, AGI juga dapat mencegah perlemakan hati dengan menekan lipolisis periferal yang akan mencegah peningkatan asam lemak disirkulasi.

Berdasarkan potensi khasiat yang dimiliki oleh fraksi heksan-etanol dari ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius L. (FHEMM), penelitian tentang pengaruh pemberian fraksi heksan-etanol dari ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius L. (FHEMM) jangka panjang 6 hari terhadap aktivitas serum ALT dan AST tikus betina galur Wistar terinduksi CCl4 menarik untuk dilakukan.

1. Rumusan masalah

a. Apakah pemberian FHEMM jangka panjang 6 hari memberikan pengaruh terhadap aktivitas serum ALT dan AST tikus betina galur Wistar terinduksi CCl4?

b. Apakah ada kekerabatan antara dosis FHEMM dengan aktivitas serum ALT dan AST tikus betina galur Wistar terinduksi CCl4?

2. Keaslian penilitian

Penelitian dengan hewan uji mengenai efek pencegahan kenaikan aktivitas ALT dan AST pemberian ekstrak metanol-air Macaranga tanarius L. jangka panjang 6 hari sudah pernah dilakukan oleh Windrawati (2013) menggunakan agen hepatotoksin CCl4 dan oleh Adrianto (2011) dengan agen

penginduksi parasetamol. Penelitian mengenai kandungan fraksi etil asetat ekstrak metanol daun Macaranga tanarius L. telah dilakukan oleh


(29)

Gunawan-Puteri dan Kawabata (2010) dan berhasil mengisolasi 5 senyawa ellagitannin yang memiliki kemampuan aktivitas AGI.

Berdasarkan penulusuran pustaka yang dilakukan penulis, diketahui bahwa penelitian mengenai pengaruh pemberian FHEMM jangka panjang 6 hari terhadap aktivitas serum ALT dan AST tikus betina galur Wistar terinduksi CCl4 belum pernah dilakukan sebelumnya.

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai pengaruh pemberian FHEMM jangka panjang 6 hari terhadap aktivitas serum ALT dan AST tikus betina galur Wistar terinduksi CCl4.

b. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ataupun meningkatkan pengembangan dan penggunaan daun Macaranga tanarius L. sebagai agen alternatif atau komplementer untuk pencegahan perlemakan hati.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Menguji FHEMM sebagai agen hepatoprotektif.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui pengaruh pemberian FHEMM jangka panjang 6 hari terhadap kadar ALT dan AST tikus betina galur Wistar terinduksi CCl4.


(30)

b. Mengetahui ada tidaknya kekerabatan antara dosis FHEMM dengan aktivitas serum ALT dan AST tikus betina galur Wistar terinduksi CCl4.


(31)

9 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA A. Anatomi Hati

Hati merupakan kelenjar terberat pada tubuh manusia dengan bobot sekitar 1,4 kg pada orang dewasa. Ukuran hati adalah yang terbesar kedua setelah kulit dari keseluruhan organ yang dimiliki manusia. Hati terletak di bagian atas rongga abdominal, di bawah diafragma dan menempati hampir seluruh bagian dari hipokondria kanan dan sebagian epigastrium abdomen (Tortora and Derrickson, 2014).

Ukuran hati meningkat seiring dengan pertumbuhan dari bayi menuju dewasa. Periode pertumbuhan ini mencapai puncaknya dan berhenti sekitar usia 18 tahun, kemudian terjadi penurunan bobot hati pada usia paruh baya. Rasio bobot hati dengan berat badan mengalami penurunan seiring dengan pertumbuhan dari bayi menuju dewasa. Pada bayi, hati memiliki bobot sekitar 5% dari berat badan sedangkan pada saat dewasa, bobot hati mengalami penurunan menjadi 2% dari berat badan. Selain dipengaruhi usia, ukuran hati juga dipengaruhi oleh jenis kelamin dan ukuran tubuh (Standring et al., 2008).

Pada umumnya hati berwarna coklat kemerahan, namun dapat bervariasi tergantung dengan kandungan lemak. Peningkatan kandungan lemak di hati menyebabkan hati menjadi lebih berwarna kekuningan. Tekstur hati dapat lembut ataupun keras, beberapa hal yang mempengaruhi hal ini adalah volume darah di hati dan kandungan lemak (Standring et al., 2008).


(32)

Hati memiliki permukaan diafragmatik yang konveks (pada daerah anterior, superior, dan beberapa daerah posterior) dan permukaan diafragmatik yang cenderung rata, serta permukaan viseral yang konkaf (pada daerah postero-inferior) yang terpisah dengan anterior oleh batas inferior tajam (Gambar 1). Permukaan diafragmatik dilapisi oleh peritoneum, kecuali pada bagian posterior di daerah yang disebut dengan istilah daerah telanjang (bare area) dari hati, yang letaknya menempel langsung dengan diafragma. Permukaan viseral hati juga dilapisi oleh peritoneum, kecuali di tempat terletaknya kandung empedu dan porta hepatis. Porta hepatis adalah celah melintang di tengah permukaan viseral yang memberikan jalur untuk vena portal hepatik, arteri hepatik, saraf pleksus hepatik, duktus hepatik, dan pembuluh limfatik (Moore et al., 2015).


(33)

Berdasarkan anatominya, dilihat dari fitur eksternal, hati dideskripsikan memiliki dua lobus utama, yakni lobus kanan yang lebih besar serta lobus kiri, yang dipisahkan oleh ligamen falsiformis (Gambar 1). Ligamen falsiformis merupakan suatu lipatan mesenterium yang membujur dari permukaan bawah diafragma di antara lobus kanan dan lobus kiri hingga ke bagian atas hati, membantu menahan hati di dalam rongga abdominal. Ligamen koroner kanan dan kiri juga membantu menangguhkan posisi hati pada diafragma (Tortora and Derrickson, 2014).

Pada lobus kanan terdapat dua lobus yang lebih kecil yaitu lobus kaudata yang terletak di bagian belakang atas dan lobus kuadrate yang terletak dibagian depan bawah. Pada permukaan viseral, sagital fisura kanan dan kiri serta porta hepatis membatasi kedua lobus ini (Gambar 2). Sagital fisura kanan merupakan suatu galur memanjang yang terbentuk oleh lekukan untuk kandung empedu di bagian depan dan galur untuk vena cava inferior di bagian belakang. Sagital fisura kiri merupakan galur memanjang yang terbentuk oleh celah untuk ligamen bulat di bagian depan dan celah untuk ligamen venosum di bagian belakang. Ligamen bulat


(34)

hati merupakan sisa dari penghilangan vena umbikalis, yang membawa darah teroksigenasi dari plasenta ke fetus. Ligamen venosum merupakan sisa fibrosa dari duktus venosus janin, yang mendorong darah dari vena umbikalis ke vena cava inferior (Moore et al., 2015).

Berdasarkan fungsionalnya, khususnya dilihat dari suplai darah dan sekresi kelenjar, hati dibagi menjadi dua lobus portal yaitu hati kanan dan hati kiri. Pemisah antara hati kanan dan hati kiri adalah bidang vena hepatik tengah atau fisura portal utama. Batas ini berada dekat bidang sagital melalui lekuk kandung empedu dan lekuk vena cava inferior pada permukaan viseral dan garis imajiner dari fundus kandung empedu hingga vena inferior pada permukaan diafragmatik (Gambar 1). Pada pembagian ini, lobus kaudata dan sebagian besar lobus kuadrate masuk kedalam bagian hati kiri. Hati kanan dan hati kiri memiliki massa yang tidak berbeda jauh, namun hati kanan tetaplah yang lebih besar. Tiap lobus portal memiliki suplai darah dari arteri hepatik dan vena portal hepatik tersendiri, serta vena yang membawa darah keluar dari hati dan drainase empedu tersendiri juga (Moore et al., 2015).

Lobus portal hati lebih lanjut terbagi lagi menjadi delapan segmen hepatik (Gambar 3). Segmentasi ini didasarkan pada cabang tersier dari arteri hepatik kanan dan kiri, vena portal hepatik, dan duktus hepatik. Tiap segmen disuplai oleh cabang tersier dari arteri hepatik dan vena portal hepatik kanan atau kiri, dan didrainase oleh cabang duktus hepatik kanan atau kiri. Vena hepatik intersegmental mengalir


(35)

diantara segmen untuk menuju ke vena cava inferior sehingga semakin memperjelas batas antar segmen (Moore et al., 2015).

Hati menerima darah dari dua sumber yaitu arteri dari hepatik yang mengandung darah teroksigenasi dan dari vena portal yang membawa darah terdeoksigenasi dan mengandung nutrient yang baru diserap, obat, dan mungkin juga mikroba serta toksin dari saluran pencernaan. Cabang arteri hepatik dan cabang vena portal membawa darah masuk ke sinusoid hepatik, tempat oksigen, kebanyakan nutrient, dan senyawa toksik tertentu diterima oleh hepatosit. Produk yang dihasilkan oleh hepatosit dan nutrient yang dibutuhkan oleh sel lain


(36)

disekresikan kembali ke darah, yang mengalir ke vena sentral dan pada akhirnya akan ke vena hepatik. Adanya sirkulasi portal hepatik, yaitu aliran darah dari saluran pencernaan ke hati, mengakibatkan hati sering menjadi tempat metastasis kanker yang berasal dari saluran pencernaan (Tortora and Derrickson, 2014).

B. Histologi Hati

Secara histologi, hati tersusun oleh beberapa komponen (Gambar 4), diantaranya adalah hepatosit, kanalikuli empedu, dan sinusoid hepatik (Tortora and Derrickson, 2014). Selain itu sel lain yang terdapat di hati adalah sel stelata hepatik (yang juga dikenal dengan nama liposit perisinusoidal, atau sel Ito), makrofag (sel Kupffer), dan sel jaringan penghubung kapsul dan saluran portal (Stranding et al., 2008).


(37)

Hepatosit (sel hati) merupakan sel fungsional utama dalam hati dan memiliki peran yang luas dalam proses metabolisme, sekresi dan endokrin. Hepatosit merupakan sel epitel terspesialisasi berbentuk polyhedral dengan 5 sampai 12 sisi yang membentuk 80% volume hati. Hepatosit membentuk susunan kompleks 3 dimensi yang disebut lamina hepatik. Hepatik lamina merupakan pelat dari hepatosit yang dibatasi saluran vaskular endotelia yang disebut sinusoid hepatik. Lamina hepatik memiliki struktur tidak beraturan yang bercabang-cabang. Saluran di membran sel diantara hepatosit yang bersebelahan, memberikan ruang untuk kanalikuli dimana hepatosit mensekresikan empedu. Empedu merupakan cairan berwarna kuning, kecoklat-coklatan, atau hijau-kekuningan yang disekresikan oleh hepatosit dan berperan sebagai produk ekskretoris dan sekresi pencernaan (Tortora and Derrickson, 2014).

Sel stelata hepatik memiliki jumlah yang jauh lebih sedikit dari pada hepatosit. Sel ini diduga berasal dari mesenkimal dan dicirikan dengan sejumlah droplet lipid sitoplasmik. Sel ini mensekresikan sebagian besar komponen matriks intralobular. Sel ini menyimpan vitamin A pada droplet lipidnya dan merupakan sumber signifikan dari faktor pertumbuhan pada homeostasis dan regenerasi hati. Sel stelata hepatik juga memiliki peranan penting dalam proses patofisiologi. Sebagai respon atas kerusakan hati, sel ini menjadi aktif dan bertanggungjawab terhadap mengubah hepatosit rusak yang bersifat toksik menjadi jaringan luka, suatu proses yang disebut sebagai fibrosis hepatik disekitar vena sentral (Standring et al., 2008).


(38)

Kanalikuli empedu (kanal kecil empedu) merupakan saluran kecil diantara hepatosit yang menampung empedu hasil produksi hepatosit. Empedu dari kanalikuli empedu akan dibawa ke duktuli empedu kemudian menuju ke duktus empedu (saluran empedu). Duktus hepatik kanan dan duktus hepatik kiri, bergabung membentuk saluran yang lebih besar dan keluar dari hati, saluran ini disebut duktus hepatik umum. Duktus hepatik umum bertemu dengan duktus sistikus dari kandung empedu membentuk saluran yang disebut duktus empedu umum. Empedu kemudian akan masuk kedalam usus dua belas jari untuk menjalankan perannya dalam pencernaan (Tortora and Derrickson, 2014).

Sinusoid hepatik merupakan kapiler darah yang memiliki permeabilitas tinggi yang terletak diantara jejeran hepatosit yang memperoleh darah teroksigenasi dari cabang arteri hepatik dan darah terdeoksigenasi yang kaya nutrien dari cabang vena portal hepatik (yang membawa darah dari organ-organ gastrointestinal dan limpa ke hati). Sinusoid hepatik mengirimkan darah ke vena sentral, kemudian darah dari vena sentral mengalir ke vena hepatik, yang mengalir ke vena cava inferior. Dalam sinusoid hepatik juga terdapat fagosit yang disebut stelat retikuloendotelia atau sel kupffer atau makrofag hepatik (Tortora and Derrickson, 2014).

Sel Kupffer merupakan makrofag hepatik yang terderivasi dari monosit yang tersirkulasi di darah dan berasal dari sumsum tulang. Sel Kupffer menetap dalam waktu yang lama di hati dan terletak di lumen sinusoid menempel pada permukaan endotelial. Sel tersebut memiliki peranan penting dalam sistem fagosit mononuklear yang bertanggung jawab terhadap pemusnahan debris seluler dan


(39)

mikrobial dari sirkulasi, dan untuk sekresi sitokin yang terlibat dalam sistem pertahanan. Sel ini bersama dengan limpa, dalam keadaan normal berfungsi dalam memusnahkan sel darah merah yang sudah tua atau rusak dari sirkulasi hepatik (Standring et al., 2008).

Hepatosit, sistem duktus empedu, dan sinusoid hepatik dapat disusun menjadi unit anatomis dan fungsional dalam 3 bentuk berbeda (Gambar 5), yaitu lobulus hepatik, lobulus portal, dan asinus hepatik. Lobulus hepatik telah bertahun-tahun dideskripsikan oleh ahli anatomi sebagai unit fungsional hati. Menurut model ini, tiap lobulus hepatik berbentuk heksagon (struktur segi enam). Pada bagian tengah lobulus hepatik adalah vena sentral yang dikelilingi oleh barisan hepatosit

Gambar 5. Perbandingan Tiga Unit Struktural dan Fungsional Hati (Tortora and Derrickson,


(40)

dan sinusoid hepatik. Pada tiga sudut heksagon terletak triad portal (gabungan duktus empedu, cabang arteri hepatik, dan cabang vena hepatik). Model ini didasarkan pada deskripsi dari hati babi dewasa. Pada hati manusia, sulit untuk mendefinisikan lobulus hepatik denga baik karena diselubungi oleh lapisan jaringan penghubung yang tebal (Tortora and Derrickson, 2014).

Model lobulus portal menekankan fungsi eksokrin dari hati, yaitu sekresi empedu. Oleh karena itu, triad portal duktus empedu menjadi pusat dari lobulus portal. Lobulus portal berbentuk segitiga yang ditentukan dengan garis lurus imajiner yang menghubungkan tiga vena sentral dekat triad portal (Gambar 5). Model ini tidak digunakan secara luas (Tortora and Derrickson, 2014).

Pada beberapa tahun terakhir, unit struktural dan fungsional hati yang lebih disukai adalah model asinus hepatik karena memberikan deskripsi dan interpretasi logis mengenai pola dari penyimpanan dan pemecahan glikogen, serta hubungan efek toksik, degenerasi, dan regenerasi terhadap kedekatan zona asinar ke cabang triad portal. Setiap asinus hepatik merupakan (kurang lebih) massa oval yang mencakup bagian-bagian dari dua lobulus hepatik yang bersebelahan. Poros pendek asinus hepatik ditentukan oleh cabang portal triad yang terdapat disepenjang perbatasan lobulus hepatik. Poros panjang dari asinus hepatik ditentukan oleh dua garis lengkung imajiner yang menghubungkan dua vena sentral yang paling dekat dengan sumbu pendek (Gambar 5) (Tortora and Derrickson, 2014).

Hepatosit pada asinus hepatik tersusun dalam 3 zona (Gambar 6) diseputaran poros pendek, tanpa batasan yang presisi diantara zona-zona ini. Sel


(41)

pada zona 1 adalah yang paling dekat dengan cabang triad portal dan yang pertama menerima oksigen, nutrien, dan toksin dari darah yang datang. Sel ini adalah yang pertama menerima glukosa dan menyimpannya dalam bentuk glikogen setelah makan dan yang pertama memecah glikogen menjadi glukosa ketika puasa. Sel ini juga yang pertama mengalami perubahan morfologi setelah terjadi obstruksi duktus empedu atau eksposur senyawa toksin. Sel zona 1 adalah yang pertama mati ketika terdapat gangguan sirkulasi dan yang pertama beregenerisasi. Sel pada zona 3 adalah yang terjauh dari cabang triad portal dan yang terakhir menerima efek dari gangguan sirkulasi, dan yang terakhir beregenerisasi. Sel zona 3 juga merupakan yang pertama menunjukkan bukti dari adanya akumulasi lemak. Sel pada zona 2 memiliki karakteristik struktural dan fungsional pertengahan antara sel zona 1 dan 3 (Tortora and Derrickson, 2014).


(42)

C. Fisiologi Hati

Hati memiliki lebih dari 200 fungsi dan hanya otak yang mampu menjalankan fungsi yang lebih banyak dari ini. Hepatosit memproduksi banyak enzim yang mengkatalis berbagai reaksi kimia. Reaksi ini merupakan fungsi dari hati. Ketika darah mengalir melalui sinusoid hati, materi dari darah dimetabolisme oleh sel hati, dan produknya disekresikan kedalam darah. Secara umum fungsi hati terbagi menjadi tiga kategori yaitu regulasi metabolik, regulasi hematologi, dan fungsi pencernaan (Martini et al., 2015; Scanlon and Sanders, 2011).

Hati merupakan organ utama yang terlibat dalam meregulasi komposisi darah. Seluruh darah yang meninggalkan permukaan absorpsi saluran pencernaan masuk ke sistem portal hepatik dan mengalir ke hati. Sel hati mengekstrak nutrient dan toksin dari darah sebelum mereka mencapai sirkulasi sistemik melalui vena hepatik. Hati menyingkirkan dan menyimpan nutrient yang berlebih. Hati juga memperbaiki defisiensi nutrient dengan mengeluarkan cadangan yang disimpan atau melakukan aktivitaas sintesis. Aktivitas regulasi metabolik hati mempengaruhi metabolisme karbohidrat, metabolisme lipid, metabolisme asam amino, pembuangan produk limbah, penyimpanan vitamin, penyimpanan mineral, dan metabolisme obat (Martini et al., 2015).

Hati menjaga kadar gula darah agar tetap 90mg/dL. Jika terjadi penurunan kadar gula darah (hipoglikemia) atau dalam kondisi stres, hepatosit memecah cadangan glikogen dan melepaskan glukosa ke aliran darah. Proses ini disebut glikogenolisis. Proses ini difasilitasi oleh hormone efinefrin dan glukagon. Hati


(43)

juga dapat mensintesis glukosa dari asam laktat dan asam amino tertentu, ataupun dari monosakarida lainnya seperti fruktosa dan galaktosa, karena bentuk glukosa lebih mudah digunakan oleh sebagian besar sel. Sintesis glukosa dari senyawa lain disebut dengan glukogenesis. Pada saat kadar glukosa didalam darah meningkat, kelebihan glukosa disimpan dalam bentuk glikogen. Proses ini disebut glikogenesis dan difasilitasi oleh hormone insulin dan kortisol. Kelebihan glukosa juga dapat digunakan untuk mensintesis lipid yang dapat disimpan di hati atau dijaringan lainnya (Martini et al., 2015; Scanlon and Sanders, 2011; Tortora and Derrickson, 2014).

Hati mensintesis lipoprotein yang merupakan gabungan molekul lipid dan protein, untuk mengangkut asam lemak, trigliserida, dan kolesterol didarah ke jaringan lainnya. Hati juga mensintesis kolesterol dan mengekskresikan kelebihan kolesterol dalam bentuk empedu untuk dieliminasi melalui feses. Selain itu hati juga berfungsi memecah asam lemak menjadi sumber energi. Dalam proses beta-oksidasi, karbon rantai panjang asam lemak dipisah menjadi dua molekul karbon yang disebut grup asetil, sebuah karbohidrat. Grup asetil dapat digunakan oleh sel hati untuk menghasilkan ATP (adenosin trifosfat) atau dapat bergabung membentuk keton untuk dibawa ke darah menuju sel lain. Sel lain tersebut akan menggunakan keton tersebut untuk menghasilkan ATP dalam respirasi sel (Scanlon and Sanders, 2011; Tortora and Derrickson, 2014).

Hati meregulasi kadar asam amino darah berdasarkan kebutuhan jaringan untuk sintesis protein. Dari 20 asam amino yang dibutuhkan untuk memproduksi protein manusia, hati mampu mensintesis 12 diantaranya, yang disebut asam amino


(44)

nen-esensial, proses kimia untuk hal ini disebut transaminase. Dalam proses ini grup amino (NH2) dari asam amino bertemu dengan rantai karbon bebas yang

berlebih untuk membentuk molekul asam amino utuh yang baru. Delapan asam amino lain yang tidak dapat disintesis oleh hati disebut asam amino esensial. Dalam hal ini, esensial berarti asam amino tersebut hanya diperoleh melalui makanan karena hati tidak dapat memproduksinya. Seluruh 20 asam amino ini dibutuhkan untuk membentuk protein tubuh (Scanlon and Sanders, 2011).

Kelebihan asam amino yang tidak sedang dibutuhkan untuk sintesis protein tidak dapat disimpan, akan tetapi asam amino ini berguna untuk kepentingan lainnya. Melalui proses deaminasi yang terjadi di hati, grup NH2

dilepas dari asam amino, lalu sisa rantai karbon dapat dirubah menjadi molekul karbohidrat atau menjadi lemak. Oleh karena itu, asam amino yang berlebih digunakan untuk produksi energi, baik untuk segera dipecah menjadi energi atau disimpan sebagai cadangan energi dalam bentuk lemak di jaringan adiposa (Scanlon and Sanders, 2011).

Pada saat proses deaminasi, terbentuk amonia yang merupakan produk limbah toksik yang dapat merusak organ lain terutama otak. Amonia juga diproduksi oleh bakteri kolon dan masuk kedalam sirkulasi darah, namun akan langsung dibawa ke hati melalui sirkulasi portal. Hati menetralisir amonia dengan mengubahnya menjadi urea yang jauh lebih tidak toksik dan akan diekskresikan oleh ginjal melalui urin. Hati juga membuang produk limbah lainnya dan toksin yang beredar di darah (Martini et al., 2015).


(45)

Hati tidak hanya berperan dalam penyimpanan karbohidrat dan lemak, namun juga berperan dalam penyimpanan vitamin dan mineral. Vitamin yang larut lemak (A, D, E, dan K) serta vitamin B12 diserap di darah dan disimpan didalam

hati. Cadangan ini digunakan ketika tubuh kekurangan vitamin. Hati memiliki peranan dalam mensintesis vitamin D. Hati juga berperan merubah zat besi menjadi ferritin untuk disimpan (Martini et al., 2015).

Hati memetabolisme obat dari darah dan merubah obat menjadi bentuk metabolitnya sehingga mempengaruhi efek dan durasi obat (Martini et al., 2015). Reaksi kimia yang terlibat dalam metabolisme obat dapat dibagi menjadi empat kategori yaitu reaksi hidrolisis, reduksi, oksidasi, konjugasi. Proses metabolisme obat dibagi menjadi fase I dan fase II. Fase I melibatkan reaksi hidrolisis, reduksi, dan oksidasi, yang dibantu oleh enzim fase I, seperti sitokrom P450 (CYP450), flavin containing monooxygenase (FMO), aldehid dehidrogenase, dan alkohol dehidrogenase. Fase II melibatkan reaksi konjugasi seperti glukuronidase, dan konjugasi glutation (GSH), sulfation, metilation, asetilation, serta asam amino. Pada umumnya suatu obat atau senyawa kimia akan mengalami reaksi fase I kemudian produk metabolisme fase I menjadi substrat reaksi konjugasi fase II, namun banyak juga senyawa kimia yang langsung dikonjugasikan serta ada juga yang setelah itu produknya menjadi substrat CYP450. Reaksi konjugasi pada mulanya diperkirakan menghasilkan senyawa yang tidak toksik, namun ada juga senyawa yang justru menjadi aktif atau menjadi toksik (Apte and Krishnamurthy, 2012).


(46)

Hati menerima sekitar 25 persen dari curah jantung. Hati juga merupakan organ yang dapat menampung darah paling banyak. Ketika darah melalui hati, hati menjalankan beberapa fungsi, diantaranya adalah sintesis protein plasma, memproses hormon dari darah, memproses antibodi, detoksifikasi, fagositosit dan penghadir antigen, pembentukan bilirubin serta sintesis dan sekresi empedu (Martini et al., 2015).

Hepatosit mensintesis dan melepaskan banyak protein plasama. Protein ini termasuk albumin yang berkontribusi dalam konsentrasi osmotik darah dengan cara menarik cairan jaringan kedalam kapiler. Faktor pembekuan darah juga diproduksi oleh hati, termasuk prothrombin, fibrinogen, dan faktor 8, yang bersirkulasi dalam darah sampai saat dibutuhkan dalam mekanisme kimiawi pembekuan darah (Martini et al., 2015; Scanlon and Sanders, 2011).

Hati merupakan tempat utama untuk penyerapan dan daur ulang efinefrin, nonefinefrin, insulin, hormon tiroid, hormon steroid, esterogen, androgen, dan kortikosteroid. Hati juga mengambil kolekalsiferol (vitamin D3) dari darah. Sel hati

kemudian mengubah kolekalsiferol menjadi produk intermediet 25-hidroksi-D3,

yang dilepaskan kembali ke darah untuk kemudian digunakan oleh ginjal untuk membentuk kalsitriol, hormon yang penting untuk metabolisme kalsium. Selain mendaur ulang hormon, hati juga memecah antibodi dan melepaskan asam amino untuk daur ulang (Martini et al., 2015).

Hati mampu menyerap toksin larut lipid dalam makanan misalnya insektida DDT dan menyimpannya dalam penyimpanan lipid agar tidak merusak


(47)

fungsi seluler. Hati juga mampu mensintesis enzim yang dapat mendetoksifikasi bahan berbahaya menjadi lebih tidak berbahaya. Misalnya alkohol, dirubah oleh hati menjadi asetat yang dapat digunakan untuk respirasi sel. Selain dengan memecah suatu senyawa hati juga dapat menghilangkan suatu senyawa berbahaya dengan mensekresikannya dalam empedu. Kemampuan detoksifikasi hati memiliki batasan tertentu sehingga suatu senyawa yang sangat toksin dalam jumlah besar dalam suatu waktu akan tetap dapat membahaakan tubuh (Martini et al., 2015; Scanlon and Sanders, 2011).

Sel kupffer dalam sinusoid hati merupakan sel penghadir antigen yang dapat menstimulasi respon imun, yang juga berfungsi untuk memfagosit sel darah merah yang tua dan rusak, sel debris, dan patogen dari dalam aliran darah. Fagosit sel darah merah menghasilkan zat besi, globin, dan bilirubin yang dibentuk dari bagian heme hemoglobin. Hati juga mengambil bilirubin di darah yang dibentuk di limpa dan sumsum tulang merah. Bilirubin kemudian disekresikan dalam bentuk empedu ke dalam usus halus, yang kemudian diusus besar dirubah menjadi urobilinogen yang sebagian diserap kembali dan dieliminasi dalam bentuk pigmen warna kuning yang disebut urobilin melalui urin. Sebagian besar urobilinogen yang tidak diserap dieliminasi dalam bentuk pigmen coklat yang disebut sterkobilin melalui feses (Martini et al., 2015; Scanlon and Sanders, 2011; Tortora and Derrickson, 2014).

Hati mensintesis empedu dan mensekresikannya kedalaman lumen duodenum. Mekanisme hormonal dan neural meregulasi sekresi empedu. Empedu mengandung sebagian besar air, dengan sedikit ion, bilirubin, kolesterol, dan garam


(48)

empedu. Air dan ion membantu mendilusi dan sebagai penyangga asam bagi kim ketika masuk kedalam usus halus. Garam empedu disintesis dari kolesterol didalam hati. Beberapa komponen lain juga terlibat seperti derivat steroid kolat dan kenodeokskolat (Martini et al., 2015).

Fungsi pencernaan hati adalah membantu proses pencernaan lipid. Lipid dari makanan sebagian besar tidak larut air. Proses mekanik didalam lambung menciptakan droplet-droplet besar yang mengandung bervariasi lipid. Lipase pankreas tidak larut lipid, sehingga enzim hanya dapat berinteraksi dengan bagian permukaan droplet lipid tersebut. Semakin besar droplet tersebut, maka semakin banyak lipid yang berada didalam, terisolasi, dan tidak berinteraksi dengan enzim. Garam empedu memecah droplet lipid yang besar tersebut dalam proses yang disebut emulsifikasi. Emulsifikasi dapat jauh meningkatkan luas permukaan yang dapat diakses oleh enzim (Martini et al., 2015).

Emulsifikasi membentuk droplet emulsi yang kecil dengan lapisan superfisial garam empedu. Formasi dari droplet kecil ini meningkatkan luas permukaan yang tersedia untuk berinteraksi dengan enzim. Sebagai tambahan, lapisan garam empedu memfasilitasi interaksi antara lipid dan enzim pencerna lipid dari pankreas (Martini et al., 2015).

Pada saat pencernaan lipid telah selesai, garam empedu meningkatkan absorpsi lipid oleh epitelium intestinal. Lebih dari 90 persen garam empedu akan direabsorpsi, terutama di ileum, begitu pencernaan lipid selesai. Garam empedu yang direabsorpsi masuk kedalam sirkulasi hepatik portal. Hati kemudian akan


(49)

mendaur ulang garam empedu tersebut. Siklus garam empedu dari hati ke usus halus lalu kembali lagi disebut dengan sirkulasi enterohepatik empedu (Martini et al., 2015).

D. Patologi Hati

Penyakit hati merupakan proses tersembunyi serta membahayakan yang deteksi dan gejala klinis kegagalan fungsi hepatiknya dapat terjadi berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun setelah terjadinya kerusakan, kecuali pada kasus gagal ginjal akut yang gejalanya dapat dirasakan diawal terjadinya penyakit. Naik turunnya tingkat keparahan kerusakan hati dapat saja tidak dirasakan oleh penderitanya dan hanya terdeteksi dengan adanya hasil tes laboratorium yang tidak normal (Kumar, Abbas, and Aster, 2015).

Hati rentan terhadap berbagai macam gangguan metabolit, toksin, mikroba, sirkulatorik, dan neoplastik. Walaupun begitu, hati memiliki kemampuan besar untuk melakukan perbaikan sendiri, termasuk restitusi lengkap massa hati. Morfologi dari kelainan hati mencerminkan pengaruh dari kerusakan hati dan penyembuhan hati. Penyebab kerusakan hati dapat dikelompokkan menjadi kerusakan hati akibat infeksi, termediasi imun, hepatotoksisitas terinduksi obat atau toksin, metabolik, mekanis, dan lingkungan. Manifestasi dari kerusakan hati secara histologi dapat dibedakan menjadi inflamasi (saluran portal, lobulus parenkim, antarmuka keduanya), kerusakan hepatoseluler (degenerasi penggelembungan, perlemakan hati, kolestasis, inklusi), nekrosis dan apoptosis, perubahan vaskuler, regenerasi, fibrosis (sirosis), dan neoplasia (kanker) (Burt et al., 2012).


(50)

Inflamasi secara umum merupakan respon jaringan vaskuler terhadap jaringan yang terinfeksi dan rusak, yang membawa sel dan molekul pertahanan tubuh dari sirkulasi ke situs yang membutuhkan, untuk mengeliminasi agen perusak. Reaksi perlindungan inflamasi terhadap infeksi sering disertai dengan kerusakan jaringan lokal serta gejala dan tanda yang berkaitan dengan hal tersebut, walaupun biasanya konsekuensi yang berbahaya ini sifatnya dapat sembuh sendiri dengan meredanya inflamasi, meninggalkan sedikit atau tidak ada sama sekali kerusakan permanen (Kumar et al., 2015).

Respon inflamasi yang cepat di awal terjadinya infeksi dan kerusakan jaringan disebut dengan inflamasi akut. Respon ini biasanya terjadi dalam hitungan menit atau jam dan memiliki durasi singkat selama beberapa jam atau hari. Karakteristik utamanya adalah eksudasi cairan dan plasma protein (edema) dan pergerakan leukosit, didominasi oleh neutrofil. Ketika reaksi inflamasi akut mampu mengeliminasi agen perusak maka reaksi tersebut akan mereda, jika stimulus gagal dihilangkan maka akan terjadi fase panjang yang disebut inflamasi kronis. Inflamasi kronis berdurasi lebih lama dan dihubungkan dengan kerusakan jaringan yang lebih banyak, penghadiran limfosit dan makrofag, proliferasi pembuluh darah, serta deposisi jaringan ikat. Inflamasi akut merupakan salah satu tipe reaksi pertahanan tubuh yang disebut sistem imun alamiah, sedangkan inflamasi kronis lebih digolongkan dalam sistem imun adaptif (Kumar et al., 2015).

Sistem imun alamiah dan adaptif, terlibat dalam seluruh aktivitas kerusakan dan perbaikan hati (Gambar 7). Adanya antigen di hati akan direspon


(51)

oleh sel penghadir antigen (APC), melalui protein histokompatibilitas utama yang diekspresikan ke permukaan sel. Sel dendritik (DC) adalah APC yang berperan dalam infeksi hepatitis B dan C, contoh APC lainnya adalah sel kupffer. Toll-like receptors (TLR) dapat mendeteksi molekul inang dan juga derivat yang berasal dari materi asing seperti bakteri dan virus sehingga sel dendritik dapat menyerang HCV secara langsung. Dendritik sel mengaktifkan beberapa limfosit yaitu sel T naive CD4+, sel T CD8+, sel natural killer (NK), dan sel T natural killer (NKT) (Burt et al., 2012).

Sel naive CD4+ distimulasi oleh sitokin interleukin-4 (IL-4) untuk berdiferensiasi menjadi sel T Th-2 CD4+. Sel T tersebut mensekresikan sitokin


(52)

yang menstimulus sel B menjadi matang dan mensekresikan antibodi clonotypic. Stimulasi dari interleukin-12 (IL-12) mengaktifkan sel T naive CD4+ untuk berdiferensiasi menjadi sel T Th-2 CD4+. Sel tersebut mensekresikan

interferon-(IFN ) dan interleukin-2 (IL-2), yang menstimulasi pengaktifan sel T CD8+ menjadi limfosit sitotoksik (CTL) (Burt et al., 2012).

NK, NKT dan CTL yang telah teraktifasi mensekresikan IFN , yang

memiliki efek antiviral pada hepatosit. Sel-sel tersebut juga dapat berinteraksi langsung dengan hepatosit untuk mempengaruhi sitolisis. Tumor necrosis factor-α (TNFα) yang disekresikan oleh CTL juga dapat menginduksi apoptosis hepatoseluler melalui jalur sinyal kematian. Melalui cara ini, infeksi HBV biasanya dapat dibersihkan kecuali pada kondisi sistem imun yang tidak adekuat. Pada kasus infeksi HCV biasanya tidak dapat terbesihkan secara sempurna, karena ketidakstabilan gen dari HCV dan pengembangan mutasi HCV, serta keadaan inadekuat imun alami untuk membersihkan virus dari hepatosit yang terinfeksi (Burt et al., 2012).

Beberapa proses degeneratif pada hepatosit dapat berpotensi kebali pulih misalnya seperti pada akumulasi lemak (steatosis) dan bilirubin (kolestasis), namun beberapa kondisi atau dalam keadaan yang parah dan ketika kerusakan tidak dapat pulih kembali akan terjadi kematian sel. Hepatosit mati melalui dua mekanisme utama, yaitu nekrosis dan apoptosis. Dalam nekrosis hepatosit, sel mengalami pembengkakan karena regulasi osmotik yang cacat pada membran sel mengakibatkan cairan masuk kedalam sel, yang kemudian membengkak dan pecah. Bahkan saat sebelum pecah, konten sitoplasma (selain organela) akan terbawa ke


(53)

bagian luar sel. Makrofag mendatangi situs kerusakan tersebut dan menandai situs nekrosis hepatosit karena sel-sel yang mati pada dasarnya pecah dan menghilang. Bentuk kerusakan ini merupakan bentuk kematian sel yang paling banyak terjadi pada kerusakan iskemik/hipoksia dan merupakan bagian signifikan dari respon stres oksidatif (Kumar et al., 2015).

Apoptosis merupakan peristiwa yang dapat terjadi pada keadaan normal ataupun pada keadaan patologis ketika sel menjadi rusak dan tidak dapat pulih kembali. Apoptosis hepatosit merupakan bentuk aktif dari kematian sel terprogram yang menghasilkan penyusutan hepatosit, kondensasi kromatin inti sel (piknosis), fragmentasi kromatin inti sel (karioreksis), dan fragmentasi seluler menjadi beberapa bagian yang disebut badan apoptosis yang bersifat asidofili (Kumar et al., 2015).

Ketika terjadi kerusakan parenkim yang meluas, sering terdapat bukti adanya confluent necrosis atau nekrosis konfluen yang berarti kerusakan hepatosit yang parah pada suatu zona. Kondisi ini dapat terlihat pada kasus kerusakan iskemik atau toksik akut ataupun pada infeksi virus yang parah atau hepatitis autoimun. Nekrosis konfluen dapat terjadi ketika terdapat sebuah zona hepatosit disekitar vena sentral mengalami kerusakan. Rongga yang dihasilkan akan diisi oleh sel debris, makrofag, dan sisa dari jaringan retikulin. Dalam bridging necrosis atau nekrosis penghubung, zona ini dapat menghubungkan vena sentral ke saluran portal, atau menghubungkan portal-portal yang berdekatan. Meskipun pada penyakit seperti hepatitis viral yang hepatositnya menjadi target utama serangan, adanya kerusakan vaskuler melalui inflamasi atau trombosis juga menyebabkan


(54)

kematian parenkim akibat luasnya kematian hepatosit dalam suatu zona (Kumar et al., 2015).

Regenerasi dari kematian hepatosit terjadi utamanya melalui replikasi mitosis hepatosis yang berdekatan dengan sel yang telah mati, walaupun ketika terdapat nekrosis konfluen yang signifikan. Hepatosit hampir menyerupai sel punca atau stem cell dalam kemampuannya untuk melanjutkan replikasi walaupun dalam keadaan kerusakan kronis selama bertahun-tahun, sehingga pembaruan oleh sel punca biasanya bukan bagian yang signifikan dalam perbaikan parenkim. Dalam keadaan gagal hati akut yang parah, terdapat aktivasi dari relung sel punca intrahepatik, yang dinamakan kanal Hering, namun kontribusi dari sel punca dalam pembaruan hepatosit dalam keadaan ini masih belum jelas. Walaupun begitu, pada kebanyakan penderita penyakit kronis yang hepatositnya telah mencapai kondisi penurunan fungsi replikatif, terdapat bukti jelas dari aktivitas sel punca yang terlihat dalam pembentukan reaksi duktular (Kumar et al., 2015).

Sel utama yang terlibat dalam pembentukan jaringan parut adalah sel stelata hepatik (Gambar 8). Dalam keadaan tidak aktif, sel tersebut adalah sel penyimpanan vitamin A. Dalam keadaan kerusakan akut dan kronis, sel stelata dapat menjadi aktif dan menjadi miofibroblas yang sangat fibrogenik. Proliferasi sel stelata hepatik dan pengaktifan sel ini menjadi miofibroblas dimulai oleh serangkaian perubahan termasuk peningkatan produksi platelet-derived growth factor receptor β (PDGFR- β) dalam sel stelata. Pada waktu yang sama, sel kupffer dan limfosit mengeluarkan sitokin dan kemokin yang memodulasi pengeluaran gen di sel stelata yang terlibat dalam fibrogenesis. Hal ini, termasuk perubahan


(55)

transforming growth factor β (TGF- ) dan reseptornya yaitu metalloproteinasse 2 (MMP-2), serta penginhibisi jaringan MMP-1 dan MMP-2 atau tissue inhibitors of metalloproteinase 1 dan 2 (TIMP-1 dan TIMP-2) (Kumar et al., 2015).

Ketika sel-sel stelata dirubah menjadi miofibroblas, sel-sel tersebut melepaskan faktor komotaksis dan vasoaktif, sitokin, serta faktor pertumbuhan. Miofibroblas merupakan sel kontraktil, kontraktilitas tersebut di stimulasi oleh endhothelin-1 (ET-1). Stimulus untuk pengaktifan sel stelata dapat berasal dari beberapa sumber. Pada inflamasi kronis, stimulus melalui tumor necrosis factor (TNF), limfotoksin, dan interleukin-1β (IL-1 ), dan produk perioksidasi lipid. Stimulus juga dapat berasal dari sitokin dan kemokin yang diproduksi oleh sel kupffer, sel endotelial, hepatosit dan sel epitelial duktus empedu. Selain itu stimulus juga dapat berasal dari respon terhadap gangguan pada matriks ekstraseluler, serta stimulasi langsung oleh toksin dari sel stelata. Jika kerusakan persisten, proses pembentukan jaringan parut dimulai, sering kali terjadi pada ruang Disse. Kondisi


(56)

ini lebih sering terdapat pada penyakit perlemakan hati alkoholik dan non alkoholik, namun juga merupakan mekanisme umum pada pembentukan jaringan parut pada bentuk kerusakan hati kronis lainnya (Kumar et al., 2015).

Zona kematian parenkim berubah menjadi septum fibrosa padat melalui kombinasi retikulin yang telah kolaps, pada zona luas yang hepatositnya mati dan tidak dapat pulih serta sel stelata telah teraktifkan. Pada stadium akhir penyakit hati kronis, septum fibrosa ini mengelilingi sel yang masih bertahan hidup, serta meregenerasi hepatosit sehingga menimbulkan jaringan parut menyebar yang dideskripsikan sebagai sirosis (Kumar et al., 2015).

Sel lain yang mungkin berkontribusi signifikan pada pembentukan jaringan parut pada situasi berbeda, termasuk diantaranya dalah fibroblas portal. Reaksi duktular juga memiliki peranan, melalui aktivasi dan perekrutan semua sel fibrogenik, serta mungkin juga melalui transisi epitelial-mesenkimal. Peran dari sel-sel lain ini dan prosesnya masih belum diketahui secara pasti (Kumar et al., 2015).

Apabila suatu kerusakan kronis berujung pada pembentukan jaringan parut diinterupsi (misalnya pembersihan infeksi virus hepatitis, penghentian penggunaan alkohol), maka aktivasi sel stelata akan berhenti, jaringan parut berkondensasi, menjadi lebih padat dan tipis, kemudian, karena adanya produksi MMP oleh hepatosit, jaringan parut akan hilang. Melalui cara ini, jaringan parut dapat kembali pulih. Perlu diingat bahwa pada penyakit hati kronis kemungkinan terdapat area dari progresi dan regresi fibrosis, pada saat penyakit aktif maka akan terjadi


(57)

progresi fibrosis sedangkan pada saat penyembuhan penyakit akan menghasilkan regresi dari fibrosis (Kumar et al., 2015).

E. Perlemakan Hati 1. Spektrum perlemakan hati

Penyakit perlemakan hati mencakup spektrum yang luas dari cedera hati, dimulai dari steatosis hingga steatohepatitis, yang dapat menghasilkan fibrosis, dan sirosis. Resistensi insulin, gangguan metobolisme asam lemak, disfungsi mitokondria, stres oksidatif, dan disregulasi jaringan adipositokin diduga sebagai faktor penting pengembangan steatohepatitis dari steatosis. Dalam steatohepatitis, akumulasi lemak dikaitkan dengan inflamasi sel hati dan beberapa tingkat kondisi kerusakan yang berbeda. Steatohepatitis merupakan kondisi serius yang dapat berujung pada sirosis hati parah. Karakter dari sirosis adalah terdapat pergantian jaringan hati dengan fibrosis, jaringan parut, dan pembentukan nodul yang dapat menyebabkan disfungsi hati. Pada kondisi serius, penderita sirosis dapat membutuhkan transplatasi hati (Dhital and Tirosh, 2015).

Perlemakan hati secara umum dapat dikategorikan menjadi perlemakan hati alkoholik dan perlemakan hati non alkoholik berdasarkan konsumsi alkohol penderitanya. Pada penderita penyakit perlemakan hati alkoholik, penyebab utamanya adalah konumsi alkohol berlebih. Perlemakan hati berkembang setelah terjadi gangguan kronis metabolisme lipid akibat konsumsi alkohol berlebih yang berkepanjangan. Gangguan metabolisme tersebut bertanggung jawab terhadap akumulasi triasilgliserol di hepatosit (Dhital and Tirosh, 2015).


(58)

Perlemakan hati nonalkoholik atau nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) memiliki kondisi patologi yang mirip dengan perlemakan hati alkoholik namun terjadi pada orang yang bukan pecandu alkohol. Nonalcoholic steatohepatitis (NASH) adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan steatohepatitis pada penderita yang bukan pecandu alkohol. Non-alcoholic fatty liver disease dan NASH secara umum sering dikaitkan dengan dislipidemia dan penurunan sensitivitas insulin (Dhital and Tirosh, 2015).

2. Karakteristik perlemakan hati

Karakteristik dari steatosis adalah adanya akumulasi lipid terutama trigliserida, pada sitoplasma hepatosit. Akumulasi lipid sering ditemukan dalam spesimen biopsi hati. Penemuan dalam jumlah kecil bersifat nonspesifik dan dapat terdapat pada hati yang telah menua. Akumulasi lemak yang lebih ekstensif terjadi pada sejumlah besar kelainan hepatik utama dan berbagai kondisi sistemik (Burt et al., 2012).

Pada hati normal, lipid terhitung memiliki bobot basah sekitar 5% dari total. Bobot ini dapat meningkat sampai 50% pada steatosis, menghasilkan hepatomegali (mencapai 5 kg). Pada otopsi atau spesimen eksplan, hati memiliki tampilan kuning pucat utamanya akibat karoten dan memiliki konsistensi berminyak (Burt et al., 2012).

Dua pola utama dari steatosis yang dapat dikenali melalui mikroskopik cahaya adalah makrovesikular dan mikrovesikular. Makrovesikular tanpa komplikasi secara umum dianggap suatu kondisi jinak dan bersifat dapat kembali


(59)

pulih sepenuhnya meskipun ada pendapat lain yang menunjukkan bukti adanya aktivas sinergis dengan toksin lain yang menginduksi cedera hati. Sebaliknya, steatosis mikrovesikular secara umum merupakan kondisi yang serius dengan disfungsi hepatik dan koma serta yang sering dikaitkan dengan gangguan -oksidasi lipid (Burt et al., 2012).

Steatohepatitis didefinisikan sebagai adanya steatosis hepatik dengan bervariasi tingkat inflamasi bersama dengan adanya bukti cedera hatim biasanya dalam bentuk penggelembungan (ballooning) sitologis. Pada keadaan ini, dapat disertai dengan fibrosis ataupun tanpa fibrosis. Perubahan ini biasanya lebih terlihat pada daerah centrilobular. Inflamasi yang berkaitan dengan steatohepatitis pada umumnya keparahannya sedang dan distribusinya terutama sedang. Inflamasi portal yang terdapat pada tiap individu beragam (Puri and Sanyal, 2012).

Penggelebungan (ballooned) hepatosit merupakan suatu keadaan yang umum dalam steatohepatitis dan beberapa meyakini bahwa kondisi ini esensial untuk diagnosis. Sel ini mengalami peningkatan ukuran, memiliki garis sudut yang lemah, edema sitoplasma, dan dapat juga memiliki nukleus hiperkromatik. Hepatosit yang lebih kecil tetapi memiliki kecacatan yang sama tetap dapat dianggap mengalami penggelembungan. Kondisi ini tidak spesifik terjadi pada perlemakan hati, namun bisa juga terjadi pada hepatitis viral dan kolestasis kronis. Penggelembungan dapat berkontribusi terhadap pengembangan hepatomegali dan memiliki efek fungsional langsung, beberapa penelitian melaporkan kolerasi antara


(60)

pembesaran hepatosit dan tekanan intrahepatik pada penyakit perlemakan hati alkoholik, walaupun hal ini masih diperdebatkan (Burt et al., 2012).

Penggelembungan hepatosit menggelembung dapat dikenali dengan mudah terutama ketika terdapat badan Mallory-Denk, yang sebelumnya disebut

Mallory’s hyalin atau alcoholic hyalin. Walaupun demikian, tidak semua penggelembungan hepatosit mengandung agregat sitoskeletal intrasitoplasmik ini, dan beberapa dapat saja mengandung droplet lemak. Pada akhirnya, penggelembungan dapat menjadi sebuah manifestasi struktural dari gangguan mikrotubular (Burt et al., 2012).

Badan Mallory-Denk merupakan kondisi yang terdapat dalam steatohepatitis alkoholik dan non alkoholik, namun juga terlihat memiliki kaitan dengan kolestatis yang terjadi pada penyakit seperti sirosis bilier primer, pada Wilson disease, sirosis Indian childhood, hiperplasia nodular fokal, dan karsinoma hepatoseluler. Mereka telah diproduksi secara eksperimental menggunakan bervariasi agen, termasuk griseofulvin, dietilnitrosamin, dan 3,5-dietoksi carbonil-1,4 dihidrokolidin (DDC). Struktur ultra dengan bentuk berbeda dari badan Mallory-Denk dideskripsikan menjadi tiga tipe. Tipe I terdiri dari bundel filamen dalam susunan paralel, tipe II dianggap sebagai kelompok fibril berorientasi secara acak, tipe III diidentifikasi berbentuk granular atau bahan amorf yang hanya mengandung fibril tersebar (Burt et al., 2012).

Hepatosit menggelembung pada steatoheoatitis dapat menjadi menifestasi cedera progresif yang dapat berujung pada nekrosis litik. Sel-sel tersebut (termasuk


(61)

yang mengandung badan Mallory-Denk) tidak akan mengalami kematian sel secara langsung dan dapat bertahan untuk waktu yang lama hingga bulanan. Kematian sel dalam steatohepatitis juga terjadi melalui apoptosis dan terdapat hubungan antara jumlah sel apoptosis dengan tingkat keparahan penyakit. Nekrosis konfluen dan penghubung jarang terlihat dalam perlemakan hati namun dapat diamati pada penyakit hati alkoholik yang parah, yang disebut nekrosis hialin sklerosing pusat, dan terlihat pada beberapa kasus steatohepatitis yang terjadi setelah operasi jejunoileal bypass. Inflamasi yang menyertai cedera sel bervariasi intensitasnya dan sifat selularnya. Pada kebanyakan penyakit perlemakan hati, inflamasi lobular bercampur, dan terdapat polimorfi neutrofil, limfosit, dan makrofag. Jumlah netrofil pada umumnya lebih banyak pada steatohepatitis alkoholik dari pada NASH, namun pada keduanya terlihat mengitari hepatosit menggelembung yang mengandung badan Mallory-Denk, yang disebut satellitosis. Inflamasi saluran portal dapat terjadi pada semua bentuk steatohepatitis. Kondisi ini utamanya limfositik pada NASH, sedangkan pada penyakit hati alkoholik dapat bercampur (Burt et al., 2012).

Mirip dengan bentuk penyakit hati kronis lainnya, nekroinflamasi dari steatohepatitis biasanya disertai dengan fibrosis hepatik. Fibrosis hepatik mencerminkan ketidakseimbangan antara produksi dan degradasi maktriks ektraseluler. Penyakit perlemakan hati dikaitkan dengan beberapa karakter khusus dari pola fibrosis, walaupun tidak sepenuhnya spesifik (Burt et al., 2012).


(62)

3. Patogenesis perlemakan hati

Mekanisme patogenesis dari perlemakan hati akibat konsumsi alkohol berlebih masih banyak diperdebatkan. Terdapat beberapa mekanisme yang didukung oleh bukti dari penelitian-penelitian pada hewan dan manusia. Mekanisme yang pertama dan paling langsung adalah metabolisme biokimia hati (Gambar 9) yang menghasilkan steatosis dan stres oksidatif. Yang kedua adalah adanya pelepasan sitokin sebagai akibat peningkatan endotoksin derivat-usus sebagai yang diantarkan ke hati melalui vena portal. Yang ketiga adalah respon


(63)

imun adaptif yang dihasilkan sebagai pengembangan antigen baru dengan intermediet reaktif yang dihasilkan dua mekanisme pertama (Stewart and Day, 2012).

Alkohol mudah diabsorpsi dari saluran gastrointestinal dan didistribusikan ketubuh, proposional dengan jumlah cairan didalam jaringan. Kurang dari 10% dieliminasi melalui melalui paru-paru dan ginjal, sisanya mengalami oksidasi didalam tubuh, terutama di hati. Hal inilah yang diduga menyebabkan gangguan metabolik dalam hati. Metabolisme alkohol didalam hati dibagi menjadi tiga jalur yaitu jalur dehidrogenase alkohol, jalur katalase, dan sistem oksidasi etanol mikroma (Gambar 9) (Burt et al., 2012).

Pada NAFLD, penderita mengalami kondisi patologis yang mirip dengan perlemakan hati alkoholik namun penderita bukan seorang alkoholik. Steatosis mikrovesikular dan makrovesikular hepatosit menunjukkan akumulasi trigliserida dalam bentuk droplet yang dikelilingi oleh membran fosfolipid monolayer. Hepatosit memiliki kapasitas tangguh untuk mensintesis trigliserida dari asam lemak bebas atau free fatty acid (FFA), dengan hanya dibantu oleh enterosit usus kecil dan epitel kelenjar susu. Asam lemak yang digunakan untuk membuat trigliserida sebagian besar merupakan derivat dari penyerapan asam lemak di sirkulasi darah yang diproduksi oleh adiposit lipolisis. Sebagian kecil asam lemak di hepatosit disintesis melalui proses lipogenesis de novo (DNL) menggunakan kelebihan karbohidrat dan asam amino sebagai prekusor asetil koenzim-A. Suatu penilitian menunjukkan bahwa sintesis asam lemak baru hanya berkontribusi 5%


(64)

dari asam lemak yang digunakan hepatosit untuk memproduksi trigliserida, namun bagian ini meningkat menjadi 25% pada penderita NASH (Burt et al., 2012).

NAFLD dikaitkan dengan adanya gangguan homeostasis energi. Jaringan adiposa memiliki peranan penting dalam homeostasis energi. Jaringan adiposa bertindak sebagai tempat penyimpanan energi. Energi yang disimpan akan dilepaskan saat tubuh membutuhkan energi. Selama periode kelebihan kalori, energi yang berlebih disimpan sebagai trigliserida yang merupakan bentuk penyimpanan yang paling efisien karena FFA menghasilkan lebih banyak energi daripada oksidasi protein dan karbohidrat. Ketika tubuh membutuhkan energi, trigliserida jaringan adiposa akan mengalami lipolisis untuk melepaskan FFA dan gliserol yang dapat diambil oleh hati. Hal ini diregulasi oleh profil adipokin pada jaringan adiposa dan beberapa hormon, termasuk insulin (Puri and Sanyal, 2012).

Trigliserida yang baru disintesis secara normal bergabung menjadi partikel lipoprotein berdensitas sangat rendah atau very low density lipoprotein (VLDL) didalam hati yang kemudian disekresikan kedalam sirkulasi darah. Proses ini kompleks dan membutuhkan gen apo B100 yang normal, asam amino yang memadai untuk mensintesis apo B100, lipidasi normal apo B100 oleh microsomal triglyceride transfer protein (MTP), kolin fosfatidil kolin dan kolesterol ester yang memadai, seta mekanisme sekresi yang utuh. Karena lengkapnya faktor yang mempengaruhi sekresi lemak hati, kelainan genetik dan defisiensi nutrisi dapat memberikan fenotip umum steatosis. Dua penyakit genetik yang disebabkan kegagalan MTP untuk melipidase apo B100 yaitu hypobetalipoproteinaemia dan


(65)

abetalipoproteinaemia, merupakan penyakit monogenik sederhana dengan variasi tingkat keparahan dan ditandai dengan NAFLD karena ketidakmampuan hepatosit untuk mensekresikan VLDL (Burt et al., 2012).

Pada NASH, kriteria untuk menetapkan diagnosis steatohepatitis didasarkan pada ada tidaknya abnormalitas yang berkaitan dengan cedera hepatoseluler yang signifikan pada kondisi steatosis. Berdasarkan penelitian terbaru pada hewan, menunjukkan bahwa NASH lebih disebabkan oleh metabolit asam lemak dari pada trigliserida dan akumulasi trigliserida hanya menunjukkan tanda bahwa hati menangani asam lemak berlebih, yang berasal dari lipolisis perifer atau DNL berlebih. Diversi asam lemak menjadi kolam droplet lipid trigliserida mungkin sebenarnya menunjukkan adanya jalur protektif adaptif untuk mencegah digunakan dalam jalur metabolik yang menghasilkan intermediet lipotoksik (Burt et al., 2012).

Penetapan spesies molekular yang bertanggung jawab untuk cedera lipotoksik hati masih diteliti sampai sekarang. Salah satu kandidatnya yang mungkin adalah lisofosfatidilkolin, sebuah produk dari pelepasan grup asil asam lemak dari fosfatidilkolin (lesitin). Kandidat-kandidat lain diantaranya adalah FFA, seramid, asam fosfatidik, diasilgliserol dan lain-lain. Jumlah ikatan rangkap dua di asam lemak, posisi relatifnya serta konfigurasinya cis alami ataukah terkonfigurasi trans secara sintetis juga penting. Asam lemak tersaturasi penuh (yaitu yang tanpa ikatan rangkap dua) merupakan lipotoksik dalam sistem kultur sel dan lemak trans telah ditunjukkan menyebabkan steatohepatitis pada tikus, sedangkan asam lemak


(1)

156

1 hari tikus = 1,2 bulan manusia 6 hari tikus = 6 x 1 hari tikus

= 6 x 1,2 bulan manusia = 7,2 bulan manusia

Lampiran 12. Perhitungan konversi waktu tikus ke manusia

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(2)

157

Replikasi I

Kadar air = −

%

= , �− , �

, �

% = , %

Replikasi II

Kadar air = −

%

= , �− , �

, �

% = , %

Replikasi III

Kadar air = −

%

= , �− , �

, �

% = , %

Rata-rata = � � � +� � � +� � �

= , %+ , %+ , %

= 8,76%

Lampiran 13. Perhitungan kadar air serbuk daun Macaranga tanarius L.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(3)

158

 Bobot total FHEMM

= ��� + ⋯ + ���

= (2,0589g + 1,3414g + 0,5518g + 2,401g +2,1897g + 0,7377g + 0,3938g + 1,4510g + 0,1592g + 4,4791g + 2,1923g + 1,7528g + 5,3613g + 1,8711g) : 14

= 30,2727 g

 Bobot total serbuk daun

=��� + ⋯ + ���

= (40,01g + 40,16g + 40,3423g + 40,2263g + 40,3297g +40,10g + 40,25g + 20,39g + 40,00g + 40,03g +40,03g + 40,02g +40,09g + 40,03g + 40,03g + 40,50g + 40,05g + 40,03g + 40,04g +40,02g +40,00g + 40,02g) : 18 = 862,6983 g

Persen rendemen = ��

%

= , �

,

%

= 3,51%

Lampiran 14. Perhitungan persen rendemen FHEMM

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(4)

159

ALT dan AST

Rumus perhitungan persen hepatoprotektif :

[ − purata ALT kontrol hepatotoksin − purata ALT kontrol negatif ] x purata ALT perlakuan − purata ALT kontrol negatif % [ − purata AST kontrol hepatotoksin − purata AST kontrol negatif ] x purata AST perlakuan − purata AST kontrol negatif % Perhitungan persen hepatoprotektif ALT :

Dosis 34,28 mg/kgBB

[ − , − ,, − , ] x % = , %

Dosis 68,57 mg/kgBB

[ − , − ,

, − , ] x % = , %

Dosis 137,14 mg/kgBB

[ − , − ,, − , ] x % = , %

Perhitungan persen hepatoprotektif AST : Dosis 34,28 mg/kgBB

[ − , − ,

, − , ] x % = , %

Dosis 68,57 mg/kgBB

[ − , −, − ,, ] x % = , %

Lampiran 15. Perhitungan persen efek pencegahan kenaikan aktivitas ALT dan AST


(5)

160

Dosis 137,14 mg/kgBB

[ − , −, − ,, ] x % = , %

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(6)

161

BIOGRAFI PENULIS

Penulis Skripsi berjudul “Pengaruh Pemberian

Fraksi Heksan-Etanol dari Ekstrak Metanol-Air Daun Macaranga tanarius L. Jangka Panjang 6 Hari terhadap Aktivitas Serum ALT dan AST Tikus Betina Galur Wistar

Terinduksi Karbon Tetraklorida” dengan nama lengkap Sona Karisnata Inriano, lahir di Bengkulu pada tanggal 24 Desember 1993. Penulis merupakan anak dari Ir. Trismartono Patwanto dan Rony Indas Bawin Siam, adik dari Adian Putra Sayogya, S.Kom., dan kakak dari Phileo Nanda Wicaksana.

Penulis telah menempuh pendidikan formal di TK Sint Carolus Bengkulu (1999-2000), SD Sint Carolus Bengkulu (2000-2006), SMP Negeri 4 Bengkulu (2006-2009) dan SMA Kolese De Britto Sleman (2009-2012). Pada tahun 2012, penulis melanjutkan pendidikan sarjana di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Semasa menempuh pendidikan sarjana, penulis aktif dalam kegiatan kepanitiaan sebagai anggota divisi acara dalam kegiatan Kampanye Informasi Obat (2012) dan Komisi Pemilihan Umum (2012), sebagai anggota divisi P3K dalam kegiatan TITRASI (2014), sebagai anggota divisi Publikasi Dekorasi dan Dokumentasi dalam kegiatan Desa Mitra (2013), Pharmacy Performance (2014), dan Pharmacy Road to School (2014), serta sebagai koordinator divisi Publikasi Dekorasi dan Dokumentasi dalam kegiatan Donor Darah JMKI (2013). Penulis juga aktif berperan sebagai asisten praktikum di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada praktikum Kimia Dasar (2014), Kimia Organik (2015), Komunikasi Farmasi (2015), dan Farmakologi-Toksikologi (2015).

Penulis merupakan peraih medali emas kompetisi Patient Counselling Event (PCE) dan peraih medali perunggu Lomba Karya Tulis Ilmiah dalam ajang Olimpiade Farmasi Klinik 2015. Dalam Olimpiade Farmasi Klinik 2015, tim penulis dinobatkan sebagai Tim Terbaik dan bersama delegasi Universitas Sanata Dharma lainnya membantu mengantarkan Universitas Sanata Dharma untuk meraih juara umum dalam ajang tersebut. Selain itu, penulis juga merupakan semifinalis dalam Kompetisi Kefarmasian Mahasiswa Tingkat Nasional Pharmadays 2015. Penulis juga pernah menjadi delegasi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma untuk kejuaraan PCE di Forum Tobacco Control Ismafarsi (2014), PCE di Pharmacy Festival (2014), dan PCE di Phase 80 (2015).


Dokumen yang terkait

Pengaruh pemberian fraksi heksan-etanol dari ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius L. jangka panjang 6 hari terhadap aktivitas alkaline phosphatase pada tikus betina galur wistar terinduksi karbon tetraklorida.

0 2 118

Pengaruh pemberian jangka panjang fraksi heksan-etanol dari ekstrak metanol-air daun macaranga tanarius (L) Müll. Arg. terhadap kadar albumin pada tikus betina galur wistar terinduksi karbon tetraklorida.

0 4 125

Efek hepatoprotektif pemberian jangka pendek 6 jam fraksi heksan-etanol dari ekstrak metanol-air Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. terhadap kadar alt-ast pada tikus terinduksi karbon tetraklorida.

0 4 139

Pengaruh pemberian jangka pendek 6 jam fraksi heksan etanol dari ekstrak metanol Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. terhadap kadar albumin pada tikus terinduksi karbon tetraklorida.

0 2 123

Pengaruh pemberian jangka pendek fraksi heksan-etanol dari ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. terhadap aktivitas alkaline phosphatase pada tikus terinduksi karbon tetraklorida.

0 7 136

Pengaruh pemberian jangka pendek fraksi heksan-etanol dari ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. terhadap aktivitas alkaline phosphatase pada tikus terinduksi karbon tetraklorida.

0 4 135

Pengaruh pemberian jangka panjang fraksi heksan-etanol dari ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. terhadap kadar bilirubin pada tikus terinduksi karbon tetraklorida.

0 1 133

Efek hepatoprotektif jangka panjang fraksi heksan-etanol ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius L. terhadap aktivitas laktat dehidrogenase pada tikus betina galur wistar terinduksi karbon tetraklorida.

0 2 132

Efek hepatoprotektif ekstrak metanol:air (50:50) daun macaranga tanarius L. terhadap kadar ALT-AST serum pada tikus terinduksi karbon tetraklorida.

0 1 123

Efek hepatoprotektif ekstrak metanol:air (50:50) daun macaranga tanarius L. terhadap kadar ALT-AST serum pada tikus terinduksi karbon tetraklorida - USD Repository

0 0 121