Efek hepatoprotektif jangka panjang fraksi heksan-etanol ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius L. terhadap aktivitas laktat dehidrogenase pada tikus betina galur wistar terinduksi karbon tetraklorida.

(1)

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian jangka panjang fraksi heksan-etanol ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius L. (FHEMM) pada tikus betina galur Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida berdasarkan penurunan aktivitas laktat dehidrogenase (LDH) serta untuk mengetahui kekerabatan antar dosis pemberian FHEMM terhadap penurunan aktivitas LDH pada tikus betina galur Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida.

Penelitian ini bersifat eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Hewan uji yang digunakan adalah tikus putih betina galur Wistar umur 2-3 bulan dengan berat 130-180 gram. Tiga puluh ekor tikus dibagi acak dalam 6 kelompok perlakuan. Kelompok I merupakan kontrol negatif CMC-Na 1% yang diberikan selama 6 hari berturut-turut. Kelompok II merupakan kontrol hepatotoksin karbon tetraklorida 2 ml/kgBB. Kelompok III diberikan FHEMM dosis tertinggi tanpa induksi karbon tetraklorida selama 6 hari berturut-turut. Kelompok IV-VI merupakan perlakuan FHEMM dengan 3 peringkat dosis (34,28; 68,57; dan 137,14 mg/kgBB) yang diberikan selama 6 hari berturutan, pada hari ke-7 diberikan karbon tetraklorida. Pengambilan darah dilakukan pada jam ke-24 untuk pengukuran kadar LDH. Kadar LDH dianalisis dengan metode Shapiro-Wilk dan diperoleh distribusi data tiap kelompok normal maka dilanjutkan dengan analisis pola searah (One Way Anova) dengan taraf kepercayaan 95%. Uji Scheffe dilakukan untuk melihat perbedaan antar kelompok bermakna (signifikan) (p<0,05) atau tidak bermakna (tidak signifikan) (p>0,05).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa FHEMM terbukti berpengaruh dalam menurunkan aktivitas serum LDH tikus betina galur Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida 2 ml/kgBB. Tidak terdapat kekerabatan antar dosis FHEMM dengan aktivitas serum LDH yang muncul, yang terlihat dari semakin besar dosis praperlakuan FHEMM, kadar LDH relatif sama.

Kata kunci: Macaranga tanarius L., fraksi ekstrak metanol, karbon tetraklorida, laktat dehidrogenase.


(2)

Abstract

The purposes of this research were to find out the long-term effect of hexane-ethanol fraction, derived from methanol-water extract Macaranga tanarius L. leaves (FHEMM), toward Wistar female rats that were induced by carbon tetrachloride based on the decreased lactate dehydrogenase (LDH) activity; and to perceive the correlation of FHEMM doses toward the decreased in LDH activity on Wistar female rats induced by carbon tetrachloride.

This research was done in a pure experimental method by using completely randomized design in one direction. Animal tested for this research was Wistar female rats at the age of 2 to 3 months and with a weight of 130-180 grams. Thirty rats were divided randomly into 6 groups. The first group was the negative control of 1% CMC-Na which was given for 6 days in a row. The second group was the control of 2 ml/kgBW carbon tetrachloride as a hepatotoxin. The third group was given the highest dose of FHEMM without being induced by carbon tetrachloride for six days in a row. The fourth to sixth group were provided with FHEMM with three rankings of dose (34.28; 68.57; and 137.14 mg/kgBW) for six days in a row, and on the 7th day carbon tetrachloride was granted. The blood sampling was accomplished on the 24th hour to carry out the measurement of LDH level. LDH level was analyzed by refering to Shapiro-Wilk, and since the data distribution of each group was normal, One Way Anova design with 95% confidence interval continued. Scheffe test was performed to witness the difference between significant groups (p<0.05) and insignificant groups (p>0.05)

The result showed that the FHEMM had an effect in lowering the serum LDH activity of Wistar female rats induced by 2 ml/kgBW carbon tetrachloride. There’s no correlation found between FHEMM doses and the emergence of serum LDH activity, which was seen from the more the dose of FHEMM pre-treatment given, the more LDH levels looked relatively the same.

Keywords: Macaranga tanarius L., fraction, methanol extract, carbon tetrachloride, lactate dehydrogenase


(3)

EFEK HEPATOPROTEKTIF JANGKA PANJANG FRAKSI HEKSAN-ETANOL EKSTRAK MHEKSAN-ETANOL-AIR DAUN Macaranga tanarius L. TERHADAP AKTIVITAS LAKTAT DEHIDROGENASE PADA TIKUS BETINA GALUR WISTAR TERINDUKSI KARBON TETRAKLORIDA

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Farmasi

oleh : Penina Kurnia Uly

NIM : 128114142

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

i

EFEK HEPATOPROTEKTIF JANGKA PANJANG FRAKSI HEKSAN-ETANOL EKSTRAK MHEKSAN-ETANOL-AIR DAUN Macaranga tanarius L. TERHADAP AKTIVITAS LAKTAT DEHIDROGENASE PADA TIKUS BETINA GALUR WISTAR TERINDUKSI KARBON TETRAKLORIDA

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Farmasi

oleh : Penina Kurnia Uly

NIM : 128114142

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(5)

ii PERSETUJUAN PEMBIMBING


(6)

iii PENGESAHAN SKRIPSI


(7)

iv

PERSEMBAHAN

orang yang berhenti belajar akan menjadi pemilik masa lalu. Orang-orang yang masih terus belajar, akan menjadi pemilik masa depan

(Mario Teguh)

I never dreamed about success. I worked for it

(Estee Lauder)

Bukan kemampuan yang memutuskan kesuksesan hidup orang. Namun kesungguhan dan tekad berusaha

(Mario Teguh)

Kupersembahkan skripsi untuk………

Tuhan Yesus Kristus, sumber segala pengharapan, kekuatan, berkat, dan jalan keluar dari setiap persoalan,

Papa, Mama, Kakak Ariata dan Beatrix Sahabat-sahabat dan teman-temanku tersayang,


(8)

v PERNYATAAN KEASLIAN


(9)

vi LEMBAR PERNYATAAN


(10)

vii PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Efek Hepatoprotektif Jangka Panjang Fraksi Heksan-Etanol Ekstrak Metanol-Air Daun Macaranga tanarius L. Terhadap Aktivitas Laktat Dehidrogenase Pada Tikus Betina Galur Wistar Terinduksi Karbon Tetraklorida” ini dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian skripsi tentunya tidak lepas dari bantuan dan campur tangan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis hendak mengucapkan terimakasih kepada :

1. Ibu Aris Widayati, M.Si., Ph.D., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Ibu Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt. selaku Dosen Pembimbing dan Dosen Penguji pada skripsi ini atas segala kesabaran, masukan, bantuan, bimbingan, dan motivasi kepada penulis selama pengerjaan skripsi ini. 3. Ibu Dr. Erna Tri Wulandari, Apt. selaku Dosen Penguji skripsi yang telah

memberi banyak perhatian, masukan, dan saran kepada penulis.

4. Ibu Dita Maria Virginia, S. Farm., M.Sc., Apt. selaku Dosen Penguji skripsi yang telah memberi banyak perhatian, masukan, dan saran kepada penulis.

5. Ibu Agustina Setiawati, M.Sc., Apt. selaku Kepala Penanggungjawab Laboratorium Fakultas Farmasi yang telah memberikan ijin dalam penggunaan semua fasilitas laboratorium untuk kepentingan penelitian skripsi ini.


(11)

viii

6. Pak Heru, Pak Parjiman, Pak Kayat, Pak Wagiran, dan Pak Agung selaku laboran laboratorium Fakultas Farmasi, atas segala bantuan dan kerja sama selama di laboratorium.

7. Rekan-rekan tim skripsi Macaranga 2015, Novita, Cyndi Yulanda P., Cinthya Anggarini, Oktariani Aurelia J., Dian Ayu M., Maria Angelika S., Rahayu Triwanti, dan Sona Karisnata I., atas segala kerja sama, bantuan dan dukungan dalam pengerjaan skripsi.

8. Seluruh dosen dan teman-teman FSM D 012, FKK B 012 serta seluruh angkatan 2012 Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

9. Orang tua penulis yang selalu memotivasi dan mendanai sebagian besar penelitian ini.

10. Kedua kakak penulis yang selalu setia membantu dan mendukung pengerjaan skripsi.

11. Pihak-pihak lain yang ikut membantu selama penyusunan skripsi yang tidak dapat disebutkan satu-persatu

Penulis menyadari bahwa setiap manusia tidak ada yang sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik, saran dan masukan yang berguna bagi kemajuan di masa yang akan datang. Semoga tulisan ini dapat memiliki manfaat sekecil apapun bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kefarmasian, serta semua pihak, baik mahasiswa, lingkungan akademis, maupun masyarakat.

Yogyakarta, 5 November 2015


(12)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

INTISARI ... xviii

ABSTRACT ... xix

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Perumusan masalah ... 4

2. Keaslian penelitian ... 5

3. Manfaat penelitian ... 6

a. Manfaat teoritis ... 6

b. Manfaat praktis ... 6


(13)

x

1. Tujuan umum ... 6

2. Tujuan khusus ... 7

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ... 8

A. Hepar ... 8

1. Anatomi dan Fisiologi hepar ... 8

2. Kerusakan hepar ... 11

B. Laktat Dehidrogenase ... 19

C. Hepatotoksin ... 23

D. Karbon tetraklorida ... 24

E. Macaranga tanarius L. ... 27

1. Sinonim ... 27

2. Nama lain ... 28

3. Taksonomi ... 28

4. Morfologi ... 28

5. Kandungan ……... 29

6. Khasiat dan kegunaan ... 31

F. Ekstraksi ... 32

G. Fraksinasi ... 34

H. Landasan teori ... 35

I. Hipotesis ... 37

BAB III. METODE PENELITIAN ... 38


(14)

xi

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 38

1. Variabel utama... 38

2. Variabel pengacau ... 39

3. Definisi operasional ... 39

C. Bahan Penelitian ... 41

1. Bahan utama ... 41

2. Bahan kimia ... 41

D. Alat Penelitian ... 42

1. Alat pembuatan serbuk kering daun M. tanarius …………. 42

2. Alat pembuatan fraksi daun M. tanarius ……….. 42

3. Alat uji hepatoprotektif ………. 43

E. Tata Cara Penelitian ... 43

1. Determinasi daun M. tanarius ... 43

2. Pengumpulan bahan uji ... 43

3. Pembuatan serbuk daun M. tanarius ... 44

4. Penetapan kadar air serbuk daun M. tanarius ... 44

5. Pembuatan ekstrak metanol-air daun M. tanarius ... 44

6. Pembuatan fraksi daun M. tanarius ... 45

7. Pembuatan larutan CMC-Na 1% ... 46

8. Pembuatan suspensi FHEMM ……… ... 46

9. Pembuatan larutan karbon tetraklorida ………. 46


(15)

xii

11. Pengelompokkan dan perlakuan hewan uji ... 47

12. Pengukuran aktivitas LDH ... 48

F. Tata Cara Analisis Hasil ... 49

G. Ruang Lingkup Penelitian ………. 50

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 51

A. Penyiapan Bahan ... 51

1. Hasil determinasi tanaman ... 51

2. Pembuatan serbuk daun M. tanarius ... 52

3. Penetapan kadar air serbuk daun M. tanarius ... 52

B. Hasil Penimbangan Bobot Pengeringan tetap dan rendemen FHEMM ... 53

C. Uji Pendahuluan ... 56

1. Penetapan dosis FHEMM ... 56

2. Penetapan dosis hepatotoksin CCl4………... 56

3. Penetapan waktu pencuplikan darah ………. 57

4. Penetapan lama pemejanan FHEMM... 64

D. Hasil Uji Efek Hepatoprotektif FHEMM Jangka Panjang Terhadap Tikus Betina Galur Wistar Terinduksi CCl4 berdasarkan Aktivitas Serum LDH ... 64

1. Kontrol Negatif ………... 67

2. Kontrol Hepatotoksin ... 67


(16)

xiii

4. Kelompok perlakuan FHEMM dosis I (34,28 mg/kgBB), dosis II (68,57 mg/kgBB) dan dosis III (137,14 mg/kgBB) pada tikus betina galur Wistar yang terinduksi CCl4 dengan

dosis 2 mL/kgBB………... 71

E. Rangkuman Pembahasan ... 75

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 77

A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 78

LAMPIRAN ... 86


(17)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel I. Nilai purata ± SE aktivitas serum ALT darah tikus setelah pemberian CCl4 dengan dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 0, 24 dan 48 jam

………... 59 Tabel II. Perbedaan kenaikan aktivitas serum ALT

setelah pemberian 2 mL/kgBB CCl4 pada waktu pencuplikan darah jam ke-0, 24 dan 48

……… 61

Tabel III. Nilai purata ± SE aktivitas serum AST darah tikus setelah pemberian CCl4 dengan dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 0, 24 dan 48 jam

………... 61

Tabel IV. Perbedaan kenaikan aktivitas serum AST setelah pemberian 2 mL/kgBB CCl4 pada waktu pencuplikan darah jam ke-0, 24 dan 48

……… 63

Tabel V. Efek hepatoprotektif FHEMM jangka panjang pada dosis 34,28; 68,57; 137,14 mg/kgBB terhadap aktivitas serum LDH darah tikus

terinduksi CCl4 ……….. 65

Tabel VI. Hasil statistik dengan uji Scheffe nilai aktivitas serum LDH tikus setelah pemberian FHEMM jangka panjang dan induksi CCl4 dengan dosis


(18)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi Hepar ... 8

Gambar 2. Lobulus Hepar ... 10

Gambar 3. Mekanisme kerusakan sel hepar karena obat ... 14

Gambar 4. Patogenesis perlemakan hepar ... 16

Gambar 5. Isoenzim LDH ... 20

Gambar 6. Mekanisme produksi dan eliminasi laktat ………... 22

Gambar 7. Struktur Karbon Tetraklorida ………. 24

Gambar 8. Mekanisme CCl4 merusak hepar ………. 25

Gambar 9. Mekanisme CCl4 terhadap akumulasi lemak di hepar …. 27 Gambar 10. Kandungan senyawa ekstrak metanol M. tanarius ……. 29

Gambar 11. Kandungan senyawa ekstrak etanol M. tanarius …... 30

Gambar 12. Tiga senyawa baru dari M. tanarius: tanarifuranolol (1) tanariflavanone C (2) tanariflavanone D (3) …... 30

Gambar 13. Kandungan senyawa ekstrak etil asetat M. tanarius: mallotinic acid (1), corilagin (2), macatannin A (3), chebulagic acid (4) dan macatannin B (5) …... 31

Gambar 14. Flowchart ruang lingkup penelitian ... 50

Gambar 15. Diagram batang rata-rata aktivitas serum ALT tikus setelah pemberian 2 ml/kgBB CCl4 pada waktu pencuplikan 0, 24, dan 48 jam ………... 59


(19)

xvi

Gambar 16. Diagram batang rata-rata aktivitas serum AST tikus setelah pemberian 2 ml/kgBB CCl4 pada waktu

pencuplikan 0, 24, dan 48 jam ………... 62 Gambar 17. Diagram batang purata aktivitas serum LDH setelah

praperlakuan pemberian FHEMM selama 6 hari dan


(20)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Foto daun M. tanarius L. ... 87

Lampiran 2. Foto ekstrak daun M. tanarius L. ... 87

Lampiran 3. Foto fraksi daun M. Tanarius ... 88

Lampiran 4. Surat determinasi tanaman M. tanarius ... 89

Lampiran 5. Surat Ethical Clearance ... 90

Lampiran 6. Hasil analisis statistik data ALT dan AST pada uji pendahuluan waktu pencuplikan darah hewan uji setelah induksi CCl4 2 ml/kgBB ……… 91

Lampiran 7. Hasil analisis statistik data kontrol CMC-Na 1%, kontrol CCl4, kontrol dosis tertinggi, dan perlakuan pemberian FHEMM dosis 34,28; 68,57; 137,14 mg/kgBB ………. 100

Lampiran 8. Perhitungan penetapan peringkat dosis fraksi daun M. tanarius pada kelompok perlakuan ……… 106

Lampiran 9. Perhitungan konversi dosis untuk manusia ……….. 107

Lampiran 10. Penetepan kadar air serbuk daun M. tanarius ... 108


(21)

xviii INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian jangka panjang fraksi heksan-etanol ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius L. (FHEMM) pada tikus betina galur Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida berdasarkan penurunan aktivitas laktat dehidrogenase (LDH) serta untuk mengetahui kekerabatan antar dosis pemberian FHEMM terhadap penurunan aktivitas LDH pada tikus betina galur Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida.

Penelitian ini bersifat eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Hewan uji yang digunakan adalah tikus putih betina galur Wistar umur 2-3 bulan dengan berat 130-180 gram. Tiga puluh ekor tikus dibagi acak dalam 6 kelompok perlakuan. Kelompok I merupakan kontrol negatif CMC-Na 1% yang diberikan selama 6 hari berturut-turut. Kelompok II merupakan kontrol hepatotoksin karbon tetraklorida 2 ml/kgBB. Kelompok III diberikan FHEMM dosis tertinggi tanpa induksi karbon tetraklorida selama 6 hari berturut-turut. Kelompok IV-VI merupakan perlakuan FHEMM dengan 3 peringkat dosis (34,28; 68,57; dan 137,14 mg/kgBB) yang diberikan selama 6 hari berturutan, pada hari ke-7 diberikan karbon tetraklorida. Pengambilan darah dilakukan pada jam ke-24 untuk pengukuran kadar LDH. Kadar LDH dianalisis dengan metode Shapiro-Wilk dan diperoleh distribusi data tiap kelompok normal maka dilanjutkan dengan analisis pola searah (One Way Anova) dengan taraf kepercayaan 95%. Uji Scheffe dilakukan untuk melihat perbedaan antar kelompok bermakna (signifikan) (p<0,05) atau tidak bermakna (tidak signifikan) (p>0,05).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa FHEMM terbukti berpengaruh dalam menurunkan aktivitas serum LDH tikus betina galur Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida 2 ml/kgBB. Tidak terdapat kekerabatan antar dosis FHEMM dengan aktivitas serum LDH yang muncul, yang terlihat dari semakin besar dosis praperlakuan FHEMM, kadar LDH relatif sama.

Kata kunci: Macaranga tanarius L., fraksi ekstrak metanol, karbon tetraklorida, laktat dehidrogenase.


(22)

xix Abstract

The purposes of this research were to find out the long-term effect of hexane-ethanol fraction, derived from methanol-water extract Macaranga tanarius L. leaves (FHEMM), toward Wistar female rats that were induced by carbon tetrachloride based on the decreased lactate dehydrogenase (LDH) activity; and to perceive the correlation of FHEMM doses toward the decreased in LDH activity on Wistar female rats induced by carbon tetrachloride.

This research was done in a pure experimental method by using completely randomized design in one direction. Animal tested for this research was Wistar female rats at the age of 2 to 3 months and with a weight of 130-180 grams. Thirty rats were divided randomly into 6 groups. The first group was the negative control of 1% CMC-Na which was given for 6 days in a row. The second group was the control of 2 ml/kgBW carbon tetrachloride as a hepatotoxin. The third group was given the highest dose of FHEMM without being induced by carbon tetrachloride for six days in a row. The fourth to sixth group were provided with FHEMM with three rankings of dose (34.28; 68.57; and 137.14 mg/kgBW) for six days in a row, and on the 7th day carbon tetrachloride was granted. The blood sampling was accomplished on the 24th hour to carry out the measurement of LDH level. LDH level was analyzed by refering to Shapiro-Wilk, and since the data distribution of each group was normal, One Way Anova design with 95% confidence interval continued. Scheffe test was performed to witness the difference between significant groups (p<0.05) and insignificant groups (p>0.05)

The result showed that the FHEMM had an effect in lowering the serum LDH activity of Wistar female rats induced by 2 ml/kgBW carbon tetrachloride. There’s no correlation found between FHEMM doses and the emergence of serum LDH activity, which was seen from the more the dose of FHEMM pre-treatment given, the more LDH levels looked relatively the same.

Keywords: Macaranga tanarius L., fraction, methanol extract, carbon tetrachloride, lactate dehydrogenase


(23)

1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

Hepar merupakan organ terbesar dalam tubuh manusia. Pada hepar terjadi proses-proses penting bagi kehidupan seperti metabolisme karbohidrat, lemak, protein, dan detoksifikasi racun atau obat yang masuk ke dalam tubuh (Price and Wilson, 2005). Hepar merupakan organ yang paling sering rusak (Lu, 1995). Beberapa penyebab kerusakan hepar yaitu infeksi virus, imunologi, dan obat-obat yang dapat merusak hepar (Williamson, David, and Fred, 1996).

Karbon tetraklorida (CCl4) adalah salah satu dari bahan-bahan kimia beracun yang menyebabkan model kerusakan hepar atau bersifat hepatotoksik. Pada penelitian ini, CCl4 digunakan sebagai induktor kerusakan hepar. Hepatotoksik yang ditimbulkan oleh CCl4 disebabkan oleh senyawa hasil metabolisme yang bersifat radikal bebas. Senyawa radikal bebas tersebut adalah triklorometil yang dapat bereaksi dengan oksigen membentuk triklorometilperoksida (Weber, Boll, and Stampfl, 2003). Triklorometil dengan bantuan katalis enzim sitokrom P-450 dapat menimbulkan peroksidasi lipid. Hasil ini dapat menyebabkan kerusakan sel berupa perlemakan hepar (steatosis) (Timbrell, 2008).


(24)

2

Pada tahun 2001, angka kejadian perlemakan hepar 30,6% dari 1000 orang dengan usia 25 tahun ke atas di kota Depok. Pasien perlemakan hepar umumnya berusia 40-50 tahun. Perlemakan hepar dapat menyebabkan sirosis, tetapi potensinya lebih kecil dibandingkan akibat virus. Dari 100 orang penderita perlemakan hepar, 10-15 orang dapat mengalami sirosis (Sey, 2003). Prevalensi kejadian steatosis dan steatohepatitis pada obesitas tipe 1 (BMI 30-39,9 kg/m2) adalah 65% dan 20%, sedangkan pada obesitas tipe 2 (BMI ≥ 40 kg/m2) adalah 85% dan 40% (Petersen, Dufour, Feng, Befroy, Dziura, and Dalla Man, 2006).

Sel-sel hepar yang mengalami kerusakan akan mengakibatkan enzim-enzim yang terdapat di dalam hepatosit tersebut terlepas ke dalam sirkulasi sistemik sehingga kadar enzim-enzim tersebut akan meningkat dalam darah. Enzim-enzim tersebut antara lain alkaline phosphatase (ALP), laktat dehidrogenase (LDH), aspartat aminotransferase (AST), alanin aminotransferase (ALT), dan gamma glutamil transferase (GGT) (Weber, Boll, and Stampfl, 2003). Pada penelitian ini digunakan enzim LDH sebagai parameter kerusakan hepar.

Laktat dehidrogenase (LDH) merupakan enzim intraseluler yang terdapat pada hampir semua sel yang bermetabolisme. LDH memfasilitasi proses glukosa menjadi energi di dalam sel. LDH terdapat pada banyak organ dan jaringan di dalam tubuh seperti hepar, jantung, pankreas, ginjal, otot rangka, otak, dan sel darah. Aktivitas LDH total dalam serum dapat meningkat pada hampir semua keadaan kerusakan organ atau jaringan atau bila terjadi destruksi sel. Ada 5 tipe LDH yang biasa disebut sebagai isoenzim, yaitu isoenzim LDH 1, LDH 2, LDH


(25)

3, LDH 4, dan LDH 5. Isoenzim LDH-5 mempunyai konsentrasi yang tertinggi pada organ hepar (Vincent and Muhopadhyay, 2008).

Radikal bebas dari CCl4 dapat diredam oleh suatu antioksidan. Dalam kondisi normal radikal bebas jumlahnya seimbang dengan antioksidan sebagai suatu mekanisme pertahanan. Hepar berfungsi sebagai sistem pertahanan tubuh tentunya juga memiliki sistem antioksidan yang cukup baik. Tetapi bila hepar telah rusak karena bahan toksik, maka perlu diberi tambahan antioksidan dari luar (Zimmerman, 1999). Salah satu tanaman yang mempunyai aktivitas antioksidan yaitu Macaranga tanarius L. Macaranga tanarius L. (M. tanarius, Euphorbiaceae) merupakan tanaman tropis yang tersebar secara merata di Asia Selatan dan biasanya disebut sebagai tanaman bersemut (Kumazawa, Murase, Momose, and Fukumoto, 2013). Akan tetapi, M. tanarius juga dapat ditemukan di Indonesia dan merupakan tanaman asli Indonesia (World Agroforestry Centre, 2002). Pada penelitian Kumazawa et al. (2013) melaporkan bahwa ekstrak etanol M. tanarius mempunyai aktivitas antioksidan dan antimikroba. Phommart, Sutthivaiyakit, Chimnoi, Ruchirawat, and Sutthivaiyakit (2005) melaporkan bahwa M. tanarius mempunyai aktivitas antiinflamasi. Pada penelitian Matsunami, Otsuka, Kondo, Shinzato, Kawahata, Yamaguchi, and Takeda (2009) melaporkan bahwa ekstrak metanol M. tanarius mempunyai aktivitas antioksidan karena mempunyai macarangiosida A-C dan malofenol B yang dapat menangkap radikal terhadap DPPH. Berdasarkan penelitian Adrianto (2010) melaporkan bahwa ekstrak metanol-air daun M. tanarius mempunyai efek hepatoprotektif. Nurcahyanti (2013) melaporkan bahwa infusa air daun M. tanarius mempunyai


(26)

efek hepatoprotektif. Fraksi heksan-diklorometan ekstrak metanol daun Macaranga denticulate dan Macaranga pruinosa memiliki kandungan aktivitas antioksidan tertinggi dibandingkan fraksi pelarut lainnya (Mazlan, Mediani, Abas, Ahmad, Shaari, Khamis, dan Lajis, 2013). Belum ada penelitian mengenai fraksi heksan-etanol ekstrak metanol-air M. tanarius (FHEMM). Oleh karena itu, dilakukan penelitian mengenai efek hepatoprotektif pemberian jangka panjang FHEMM terhadap aktivitas LDH pada tikus yang terinduksi CCl4. Selain itu, pemilihan pelarut fraksi heksan dan etanol didasarkan pada kepolaran senyawa M. tanarius. Kepolaran heksan dan etanol diketahui dengan menggunakan aplikasi Marvin sketch yaitu sebesar 2,97 yang memiliki kepolaran yang hampir sama dengan senyawa ellagitannin pada M. tanarius yang berhasil diteliti oleh Puteri dan Kawabata (2010) yaitu Chebulagic acid (2,64), Macatanin A (2,76) dan Macatanin B (2,94) sehingga diharapkan ketiga senyawa tanin tersebut dapat diisolasi dengan pelarut heksan dan etanol karena adanya persamaan kepolaran. Fraksi ekstrak metanol-air M. tanarius dipilih karena pada bentuk ekstrak dan infusa sudah dapat menghasilkan efek hepatoprotektif, sehingga diharapkan pada bentuk fraksi juga dapat menghasilkan efek hepatoprotektif dengan kandungan senyawa yang lebih spesifik yaitu ellagitannin.

1. Perumusan Masalah

Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini berdasarkan uraian latar belakang di atas adalah :


(27)

a. Apakah pemberian jangka panjang FHEMM pada tikus betina galur Wistar yang terinduksi CCl4 mempunyai efek hepatoprotektif berdasarkan aktivitas LDH ?

b. Apakah terdapat kekerabatan antara dosis FHEMM jangka panjang terhadap penurunan kadar serum LDH pada tikus betina galur Wistar yang terinduksi CCl4 ?

2. Keaslian Penelitian

Sebelumnya pernah dilakukan penelitian yang berhubungan dengan daun M. tanarius. Berdasarkan penelitian Phommart et al. (2005) melaporkan bahwa flavonoid dari ekstrak n-heksan dan kloroform daun M. tanarius mempunyai aktivitas antioksidan terhadap 1,1-diphenyl-2-pycrylhydrazyl (DPPH). Macarangioside A, macarangioside B, macarangioside C, dan malofenol B yang diisolasi dari ekstrak metanol daun M. tanarius menunjukkan aktivitas yang poten terhadap DPPH (Matsunami et al., 2009). Pada penelitian invivo menunjukkan bahwa ekstrak metanol-air M. tanarius mempunyai efek analgesik pada mencit betina (Andini, 2010). Windrawati (2013) melaporkan bahwa dosis sebesar 3840 mg/kgBB merupakan dosis efektif untuk memberikan efek hepatoprotektif jangka panjang ekstrak metanol-air daun M. tanarius. Berdasarkan penelitian Tiala (2013) telah dilakukan penelitian efek hepatoprotektif dengan pemberian ekstrak metanol-air daun M. tanarius. Nurcahyanti (2013) melaporkan bahwa infusa air daun M. tanarius mempunyai efek hepatoprotektif. Fraksi heksan dan diklorometan ekstrak


(28)

metanol daun Macaranga denticulate dan Macaranga pruinosa memiliki kandungan aktivitas antioksidan tertinggi (Mazlan dkk., 2013). Sejauh penelurusan pustaka yang dilakukan, penelitian mengenai efek hepatoprotektif jangka panjang FHEMM pada tikus betina galur Wistar yang terinduksi CCl4 berdasarkan aktivitas LDH belum pernah dilakukan. 3. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian dapat memberikan informasi dalam bidang kefarmasian yang berhubungan dengan efek hepatoprotektif jangka panjang FHEMM

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai manfaat penggunaan jangka panjang daun M. tanarius dalam menurunkan kadar LDH.

B. Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum

Untuk mengetahui FHEMM terhadap penurunan aktivitas LDH pada tikus betina galur Wistar yang terinduksi CCl4.


(29)

b. Tujuan Khusus

- Untuk mengetahui pengaruh pemberian jangka panjang FHEMM pada tikus betina galur Wistar yang terinduksi CCl4 berdasarkan aktivitas LDH.

- Untuk mengetahui kekerabatan antar dosis pemberian FHEMM terhadap penurunan kadar serum LDH pada tikus betina galur Wistar yang terinduksi CCl4.


(30)

8 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA A. Hepar

1. Anatomi dan Fisiologi Hepar

Hepar merupakan organ terbesar dalam tubuh manusia dengan berat kurang lebih 1,5 kg, 2,5% dari berat tubuh orang dewasa normal (Jungueira and Carneiro, 2002).Pada kondisi hidup, hepar berwarna merah tua karena kaya akan persediaan darah (Sloane, 2004). Permukaan atas hepar terletak bersentuhan dibawah diafragma, permukaan bawah terletak bersentuhan diatas organ-organ abdomen. Batas atas hepar sejajar dengan ruang interkosta V kanan dan batas bawah menyerong ke atas dari iga IX kanan ke iga VIII kiri. Permukaan posterior hepar berbentuk cekung dan terdapat celah transversal sepanjang 5 cm dari sistem porta hepatis (Gambar 1) (Amirudin, 2009).

Gambar 1: Anatomi Hepar (Toole and Susan, 1999)

Secara anatomis hepar terdiri dari lobus kanan yang besar dan lobus kiri yang lebih kecil. Keduanya dipisahkan di anterosuperior oleh ligamentum


(31)

falsiforme dan postero-inferior oleh fisura untuk ligamentum venosum dan ligamentum teres. Pada klasifikasi anatomis, lobus kanan terdiri dari lobus kaudatus dan kuadratus. Akan tetapi, secara fungsional lobus kaudatus dan sebagian besar lobus kuadratus merupakan bagian dari lobus kiri karena mendapat darah dari arteri hepatika sinistra dan aliran empedunya menuju duktus hepatika sinistra. Oleh karenanya, klasifikasi fungsional hepar menyatakan bahwa batas antara lobus kanan dan kiri terletak pada bidang vertikal yang berjalan ke posterior dari kandung empedu menuju vena kava inferior (Faiz and Moffat, 2003).

Bila permukaan postero-inferior (viseral) hepar dilihat dari belakang terlihat bentuk huruf H yang terdiri dari sulkus dan fosa. Batas-batas huruf H ini adalah :

a. Kaki anterior kanan-fosa kandung empedu.

b. Kaki posterior kanan-sulkus untuk vena kava inferior.

c. Kaki anterior kiri-fisura yang berisi ligamentum teres (sisa vena umbilikalis sinistra fetus yang mengalirkan kembali darah yang mengandung oksigen dari plasenta ke fetus).

d. Kaki posterior kiri-fisura untuk ligamentum venosum (struktur ini merupakan sisa ductus venosus fetus; pada fetus duktus venosus berfungsi sebagai jalan pintas yang mempersingkat aliran darah dari vena umbilikalis sinistra langsung ke vena kava inferior tanpa melalui hepar).

e. Kaki horizontal-porta hepatis. Lobus kaudatus dan kuadratus hepar adalah daerah yang terletak di atas dan di bawah batang horizontal H.


(32)

Hepar terdiri dari banyak unit fungsional (Gambar 2). Hepar disuplai oleh dua pembuluh darah yaitu vena porta hepatika yang berasal dari lambung dan usus yang kaya akan nutrien seperti asam amino, monosakarida, vitamin yang larut dalam air dan mineral; dan arteri hepatika, cabang dari arteri koliaka yang kaya akan oksigen. Cabang-cabang vena porta dan arteri hepatika mentranspor darah melalui kanalis porta menuju vena sentralis melalui sinusoid yang melintasi lobulus. Vena sentralis akhirnya bergabung dengan vena hepatika dekstra, sinistra, dan sentralis yang mengalirkan darah dari daerah hepar di sekitarnya kembali ke vena kava inferior. Kanalis porta juga mendapat percabangan dari duktus hepatika yang mengalirkan empedu dari lobulus ke bawah ke cabang bilier dimana empedu bisa dikonsentrasikan dalam kandung empedu dan akhirnya dikeluarkan ke duodenum. Panjang usus yang darahnya mengalir melalui vena porta menjelaskan predisposisi tumor usus bermetastasis ke hepar (Faiz and Moffat, 2003).

Gambar 2: Lobulus Hepar (Faiz and Moffat, 2003).

Hepar adalah organ metabolik terbesar dan terpenting di tubuh. Organ ini penting bagi sistem pencernaan untuk sekresi empedu. Hepar menghasilkan empedu sekitar satu liter per hari, yang diekskresi melalui duktus hepatikus kanan dan kiri yang kemudian bergabung membentuk duktus hepatikus komunis. Selain


(33)

sekresi empedu, hepar juga melakukan berbagai fungsi lain, mencakup hal-hal berikut:

1. Pengolahan metabolik kategori nutrien utama (karbohidrat, lemak, protein).

2. Detoksifikasi atau degradasi zat-zat sisa dan hormon serta obat dan senyawa asing lainnya.

3. Sintesis berbagai protein plasma, mencakup protein-protein yang penting untuk pembekuan darah serta untuk mengangkut hormon tiroid, steroid dan kolesterol dalam darah.

4. Penyimpanan glikogen, lemak, besi, tembaga dan banyak vitamin.

5. Pengaktifan vitamin D yang dilakukan oleh hepar bersama dengan ginjal.

6. Pengeluaran bakteri dan sel darah merah yang sudah tua atau rusak.

7. Ekskresi kolesterol dan bilirubin yang merupakan produk penguraian yang berasal dari pemecahan sel darah merah yang sudah tua atau rusak (Sherwood, 2001).

2. Kerusakan Hepar

Kondisi toksisitas hepar dipersulit oleh berbagai kerusakan hepar dan mekanisme yang menyebabkan kerusakan tersebut. Hepar sering menjadi organ sasaran zat toksikan karena sebagian besar toksikan memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal dan setelah toksikan diserap lalu dibawa oleh vena porta ke dalam hepar (Lu, 1995).


(34)

Kerusakan hepar karena zat toksik dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti jenis zat kimia, dosis yang diberikan, dan lamanya paparan zat tersebut seperti akut, subkronik atau kronik. Semakin tinggi konsentrasi suatu senyawa yang diberikan maka respon toksik yang ditimbulkan semakin besar. Kerusakan hepar dapat terjadi segera atau setelah beberapa minggu sampai beberapa bulan. Kerusakan dapat berbentuk nekrosis hepatosit, kolestasis, atau timbulnya disfungsi hepar secara perlahan-lahan (Amalina, 2009).

Hepatotoksisitas akibat senyawa kimia merupakan komplikasi potensial yang hampir selalu ada pada setiap senyawa kimia yang diberikan karena hepar merupakan pusat disposisi metabolik dari semua obat dan bahan asing yang masuk. Sebagaimana yang dinyatakan Robins and Kumar (1992) bahwa kerusakan sel hepar jarang disebabkan oleh suatu substansi secara langsung, melainkan seringkali oleh metabolit toksik dari substansi yang bersangkutan.

Hepar merupakan organ paling sering rusak (Lu, 1995). Karena metabolisme obat/ berbagai senyawa terutama terjadi dalam hepar, sehingga kemungkinan terjadinya kerusakan organ ini menjadi sangat besar (Powell and Piper, 1989). Apabila proses metabolisme tidak berjalan dengan normal, maka akan menimbulkan berbagai penyakit, salah satunya adalah penyakit yang terjadi di hepar. Sel-sel yang terdapat di hepar akan terdeposit sehingga akan mengalami perubahan (Sherwood, 2001). Selain itu, hepar juga mempunyai kemampuan untuk mengeluarkan toksikan dengan kapasitasnya yang lebih tinggi dalam proses biotransformasi toksikan. Akan tetapi paparan oleh berbagai bahan toksik secara berlebih dapat menyebabkan kerusakan hepar.


(35)

Kerusakan hepar dapat dibedakan menjadi 2 yaitu kerusakan hepar akut dan kerusakan hepar kronis. Kerusakan hepar akut disebabkan karena virus, obat-obatan, alkohol dan keadaan iskemik. Kerusakan hepar akut ditandai dengan adanya penyakit kuning, hipoglikemia, gangguan elektrolit dan asam-basa, ensefalopati hepar, dan kenaikan serum enzim yang berhubungan dengan kasus nekrosis hepar. Kerusakan hepar akut memiliki angka kematian yang tinggi. Sedangkan kerusakan hepar kronis yaitu hepatitis kronis, sirosis hepar dan hepatoma (Chandrasoma and Taylor, 1995). Mekanisme kerusakan sel hepar karena obat (Gambar 3) :

1. Apabila reaksi energi tinggi melibatkan enzim sitokrom p-450 menyebabkan ikatan kovalen obat dengan protein intrasel, maka akan terjadi disfungsi intraseluler berupa hilangnya gradien ion, penurunan kadar ATP, dan disrupsi aktin pada permukaan hepatosit yang menyebabkan pembengkakan sel.

2. Disrupsi aktin pada membran kanalikuli dapat menghalangi aliran bilier menyebabkan kolestasis. Kolestasis bersama dengan proses kerusakan intrasel akan menyebabkan akumulasi asam empedu sehingga menyebabkan kerusakan hepatosit lebih lanjut.

3. Reaksi hepatoseluler yang melibatkan senyawa besi heme akan menyebabkan timbulnya ikatan kovalen antara enzim dengan obat sehingga reaksi enzimatik tidak bekerja.

4. Obat dengan molekul kecil berfungsi sebagai hapten membentuk kompleks apoprotein yang bermigrasi dalam bentuk vesikel. Vesikel kemudian


(36)

menginduksi sel T untuk membentuk antibodi atau menginduksi respon sitotoksik sel T dan sitokin.

5. Obat yang bersifat imunogenik dapat mengaktifasi Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) sehingga memicu terjadinya apoptosis.

6. Obat yang menghambat proses oksidasi dan sistem respirasi mitokondria, akan menyebabkan penumpukan Reactive Oxygen Species/Reactive Ntrogen Species (ROS/RNS), gangguan sintesis ATP. Selama sel tidak mendapat energi dari proses oksidatif, maka akan terjadi glikolisis anaerob yang memproduksi ATP dan energi. Akibatnya, produksi asam laktat meningkat menyebabkan DNA inti memadat, sehingga sintesis RNA baru dan protein akan terhenti. Selain itu, akumulasi ROS/RNS yang berlebihan dapat memacu proses apopotosis (Lee, 2003).


(37)

Jenis-jenis kerusakan hepar yang dapat timbul dari berbagai jenis senyawa toksik :

1. Steatosis (Perlemakan hepar)

Perlemakan hepar adalah keadaan dimana lemak yang terdapat di hepar melebihi 5% dari berat hepar normal (Soemarto, 1996). Secara teoritis lemak dapat mengalami akumulasi di hepar melalui beberapa mekanisme (Gambar 4) yaitu,

a. Peningkatan transfer lemak atau asam lemak dari usus ke hepar. Makanan berlemak dikirim melalui sirkulasi terutama dalam bentuk kilomikron. Lipolisis pada jaringan adiposa melepaskan asam lemak kemudian bergabung dengan trigliserida di dalam adiposit, tetapi beberapa asam lemak dilepaskan ke dalam sirkulasi dan diambil oleh hepar, sisa kilomikron juga dikirim ke hepar.

b. Peningkatan sintesis asam lemak atau pengurangan oksidasi di mitokondria, keduanya akan meningkatkan sintesis trigliserida melalui proses esterifikasi. c. Gangguan pengeluaran trigliserida keluar dari sel hepar. Pengeluaran trigliserida dari sel hepar tergantung ikatannya dengan apoprotein, fosfolipid dan kolesterol untuk membentuk very low density lipoprotein (VLDL). d. Kelebihan karbohidrat yang dikirim ke hepar dapat dirubah menjadi asam


(38)

Gambar 4 : Patogenesis perlemakan hepar (Zivkovic, German, and Sanyal 2007).

2. Nekrosis Hepar

Nekrosis hepar merupakan kematian hepatosit dan merupakan kerusakan hepar akut. Beberapa zat kimia dapat menyebabkan nekrosis akut (Lu, 1995). Nekrosis ditandai dengan pembengkakan sel, kebocoran, disintegrasi nukleus, dan adanya sel-sel inflamasi. Nekrosis sel hepar fokal adalah nekrosis yang terjadi secara acak pada satu sel atau sekelompok kecil sel pada seluruh daerah lobulus-lobulus hepar. Nekrosis ini dikenali pada biopsi melalui badan asidofilik (councilman) yang merupakan sel hepar nekrotik dengan inti piknotik atau lisis dan sitoplasma terkoagulasi berwarna merah muda. Selain itu dapat dikenali juga pada daerah lisis sel hepar yang dikelilingi oleh kumpulan sel kupffer dan sel radang. Nekrosis zona sel hepar adalah nekrosis sel hepar yang terjadi pada regio-regio yang identik disemua lobulus hepar, sedangkan nekrosis submasif merupakan nekrosis sel hepar yang meluas melewati batas lobulus, sering menjembatani daerah portal dengan vena sentralis (bridging necrosis).


(39)

(Chandrasoma and Taylor, 2005). Nekrosis dapat dideteksi dengan pengujian biokimia plasma (atau serum) untuk enzim yang dihasilkan di sitosol, aktivitas enzim alanin aminotransferase (ALT) yang mendominasi enzim di hepatosit dan aktivitas enzim LDH yang terdapat di berbagai jaringan (Gregus and Klaaseen, 2001).

3. Kolestasis

Kegagalan produksi atau pengeluaran empedu merupakan definisi dari kolestasis. Kolestasis dapat menyebabkan gagalnya penyerapan lemak, vitamin dan juga terjadi penumpukan asam empedu, bilirubin, dan kolesterol di hepar (Depkes RI, 2007).

4. Sirosis Hepar

Sirosis hepar adalah penyakit hepar menahun yang ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hepar yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hepar akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut. Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium terakhir dari penyakit hepar kronis dan terjadinya pengerasan dari hepar yang akan menyebabkan penurunan fungsi hepar dan bentuk hepar yang normal akan berubah disertai terjadinya penekanan pada pembuluh darah dan terganggunya aliran darah vena porta yang akhirnya menyebabkan hipertensi


(40)

portal. Pada sirosis dini biasanya hepar membesar, kenyal, tepi tumpul, dan terasa nyeri bila ditekan.

Secara fungsional sirosis hepar dibagi menjadi:

a. Sirosis hepar kompensata atau sirosis hepar laten, yang berarti belum adanya gejala klinis yang spesifik. Skrining adalah cara untuk mengetahui penyakit ini.

b. Sirosis hepar dekompensata atau Active Liver Cirrhosis, dimana terdapat gejala dan tanda klinis yang jelas. Sirosis hepar kompensata merupakan kelanjutan dari proses hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaanya secara klinis, hanya dapat dibedakan melalui biopsi hepar (Nurdjanah, 2007).

Secara morfologi sirosis hepar bedasarkan besar kecilnya nodul, yaitu: a. Makronodular

Sirosis makronodular ditandai dengan terbentuknya septa tebal, besarnya bervariasi dan terdapat nodul besar di dalamnya sehingga terjadi regenerasi parenkim (Lawrence, 2005).

b. Mikronodular

Sirosis mikronodular ditandai dengan terbentuk septa tebal teratur yang terdapat dalam parenkim hepar, mengandung nodul halus dan kecil tersebar diseluruh lobul

(Lawrence, 2005).

c. Kombinasi antara bentuk makronodular dan mikronodular


(41)

Menurut Gall seorang ahli penyakit hepar, membagi penyakit sirosis hepar atas:

a. Sirosis Postnekrotik, atau sesuai dengan bentuk sirosis makronodular atau subacute yellow, atrophy cirrhosis yang terbentuk karena banyak terjadi jaringan nekrosis.

b. Nutritional cirrhosis , atau sesuai dengan bentuk sirosis mikronodular, sirosis alkoholik, Laennec´s cirrhosis atau fatty cirrhosis. Sirosis terjadi sebagai akibat kekurangan gizi, terutama faktor lipotropik.

c. Sirosis Post hepatic, sirosis yang terbentuk sebagai akibat setelah menderita hepatitis (Nurdjanah, 2007).

5. Kanker Hepar

Kanker pada hepar yang banyak terjadi yaitu Hepatocellular carcinoma (HCC) yang merupakan komplikasi dari hepatis kronis yang serius terutama karena virus hepatitis B, C dan hemochromatosis (Lu, 1995).

B. Laktat Dehidrogenase

LDH adalah enzim intraseluler yang terdapat pada hampir semua sel yang bermetabolisme dan jika sel rusak maka ditemukan peningkatan kadar LDH dalam serum. LDH serum total tidak spesifik terhadap suatu jaringan tertentu, melainkan isoenzimnya yang dikenal sebagai LDH 1 hingga LDH 5 yang spesifik terhadap jaringan tertentu (Gavaghan, 1999).

Ada 5 tipe LDH atau isoenzim dengan konsentrasi yang berbeda pada jaringan atau organ yang berbeda pula, yaitu LDH 1 terdapat pada jantung dan sel


(42)

darah merah, LDH 2 terdapat pada sel darah putih, LDH 3 terdapat pada paru-paru, LDH 4 terdapat pada ginjal, plasenta, dan pankreas, LDH 5 terdapat pada hepar dan otot rangka (Rahaju, 2003) (Gambar 5).

Gambar 5: Isoenzim LDH (Berg, Tymoczko and Stryer, 2002) Nilai normal LDH berdasarkan umur yaitu umur 1-3 hari sebesar 135-750 U/L; 31 hari- 11 bulan sebesar 180-435 U/L; 1-3 tahun sebesar 160-370 U/L; 4-6 tahun sebesar 145-345 U/L; 7-9 tahun sebesar 143-290 U/L; 10-12 tahun sebesar 120-293 U/L; 13-15 tahun sebesar 110-283 U/L; 16-17 tahun sebesar 105-233 U/L; lebih besar sama dengan 18 tahun sebesar 122-222 (Burtis and Ashwood, 2006).

Pengukuran isoenzim dilakukan apabila terjadi peningkatan LDH. Presentasi kadar normal isoenzim pada dewasa yaitu, LDH 1 sebesar 17-27%; LDH 2 sebesar 27-37%; LDH 3 sebesar 18-25%; LDH 4 sebesar 3-8%; LDH 5 sebesar 0-5%. Peningkatan LDH 5 menandakan bahwa terjadi kerusakan pada hepar atau penyakit hepar (Marianne, 2015).

Laktat dehidrogenase mengkatalisis proses reduksi piruvat menjadi laktat menghasilkan NADH. Reaksi ini berlangsung di sitosol. Asam laktat atau laktat merupakan hasil akhir dari proses metabolisme. Diperkirakan 1400 mmol asam


(43)

laktat diproduksi setiap hari. Semua jaringan dapat memproduksi laktat dan asam piruvat dari glukosa (Luft, 2001).

Jalur metabolisme glikolisis merupakan langkah awal metabolisme glukosa dan terjadi pada sitoplasma sel. Produk akhir dari proses ini adalah piruvat, yang selanjutnya berdifusi ke dalam mitokondria dan dimetabolisme menjadi karbon dioksida melalui siklus kreb. Metabolisme glukosa menjadi piruvat juga terjadi sebagai akibat reduksi dari kofaktor enzim yang mengoksigenasi bentuk nicotinic acid dehydrogenase (NAD+) menjadi nicotinic acid dehydrogenase (NADH), bentuk tereduksi (Murray, Granner, and Mayes, 1995).

NADH/NAD+ merupakan kofaktor pertukaran atom hidrogen yang dilepaskan atau yang dipakai. Oleh karena itu, rasio laktat/piruvat selalu sebanding dengan rasio NADH/NAD+ di sitosol. Konsentrasi laktat yang tinggi juga disertai dengan konsentrasi yang tinggi dari piruvat atau NADH di sitosol, atau keduanya. Sintesis laktat meningkat bila pembentukan piruvat di sitosol melebihi penggunaannya oleh mitokondria. Sintesis laktat juga dapat terjadi bila metabolisme glukosa melebihi kapasitas oksidatif mitokondria (Luft, 2001).

Laktat berdifusi keluar dari sel dan dikonversi menjadi piruvat dan selanjutnya dimetabolisme secara aerob menjadi karbondioksida dan ATP. Jantung, hepar, dan ginjal menggunakan laktat dengan cara ini. Sebagai alternatif, jaringan hepar dan ginjal dapat menggunakan laktat untuk menghasilkan glukosa melalui jalur lain yaitu glukoneogenesis. Laktat diproduksi oleh otot, otak, usus


(44)

dan eritrosit. Laktat dimetabolisme oleh hepar, ginjal, dan jantung (Gambar 6) (Duke, 1999).

Glucose Mitochondrial pO2 (mmHg)

Pyruvic acid 10

Oxidation by Krebs cycle 36 molecules of ATP (1270 kJ energy)

Metabolic adaption: Liver glycogen

Recruitment of redox component 4

of electron transport 1 Glucose Cori cycle

changes in phosphorylation state Pyruvic acid ATP

requiring

DYSOXIA 2 molecules of ATP + lactate

(67 kJ energy)

Membrane transport Increased intra-

Cell consumption cellular lactate

Microcirculatory blood flow

Increased blood

ATP production lactate

Unable to match demand

Sepsis Clearance by liver,

Alkalosis Kidney, GI tact,

Regional blood flow Decreased Muscle

Liver function Intracellular pH

Disruption of Transport proteins, Cell membrane synthesis and Specialized cell function


(45)

C. Hepatotoksin

Hepatotoksin adalah senyawa yang dapat menyebabkan gangguan pada jaringan hepar (Robbins and Kumar, 1995). Hepatotoksin juga merupakan zat yang mempunyai efek toksik pada hepar dengan dosis berlebih atau dalam jangka waktu yang lama (Watt and Zimmerman, 1978). Berdasarkan mekanisme kerusakan hepar, hepatotoksin dibagi menjadi dua macam :

a. Hepatotoksin intrinsik

Hepatotoksin intrinsik merupakan hepatotoksin yang dapat diprediksi, tergantung dosis dan melibatkan mayoritas individu yang menggunakan obat dalam jumlah tertentu. Rentang waktu antara mulainya dan timbulnya kerusakan hepar sangat bervariasi (dari beberapa jam sampai beberapa minggu). Contoh obat dari hepatotoksin tipe ini antara lain tetrasiklin, parasetamol, karbon tetraklorida, dan salisilat (Aslam, Tan dan Prayitno, 2003).

b. Hepatotoksin idiosinkratik

Hepatotoksin idiosinkratik merupakan hepatotoksin yang tidak dapat diprediksi. Hepatotoksin ini terkait dengan hipersensitivitas atau kelainan metabolisme. Respon dari hepatotoksin ini tidak dapat diprediksi dan tidak tergantung pada dosis pemberian. Contoh obat dari hepatotoksin tipe ini antara lain isoniazid, halothane dan chlorpromazine (Aslam dkk., 2003).


(46)

D. Karbon Tetraklorida

Gambar 7. Struktur Karbon Tetraklorida (Dirjen POM, 1995).

CCl4 (Gambar 7) merupakan cairan jernih, tak berwarna, tidak larut dalam air, mudah menguap dan mempunyai bau khas. Berat Molekul CCl4 yaitu 153,82 (Dirjen POM, 1995). CCl4 merupakan cairan yang tidak mudah terbakar dan larut dalam etanol, aseton, benzene, dan karbon disulfida. CCl4 digunakan dalam industri sebagai pelarut organik. (Oehha, 2000).

CCl4 merupakan senyawa kimia yang sudah terbukti bersifat karsinogenik. Pada penelitian Haki (2009) telah dilakukan penelitian menggunakan hepatotoksin CCl4. Panjaitan, Handharyani, Chairul, Masriani, Zakiah, dan Manalu (2007) melaporkan bahwa sekelompok tikus galur Sprague Dawley yang diinduksi karbon tetraklorida mengalami steatosis pada sel-sel hepar tikus dan kerusakan yang diakibatkan oleh CCl4 sebanding dengan dosis yang diinduksikan. Rosnalini (1995) melakukan penelitian mengenai hepatotoksin CCl4 dengan menggunakan senyawa hepatoprotektif kurkuminoid. CCl4 dapat melalui membran sel dan CCl4 yang tertelan akan didistribusikan ke semua organ, tetapi efek toksiknya terutama terlihat pada hepar (Gambar 8).


(47)

Gambar 8: Mekanisme CCl4 merusak hepar (Fausto, 2006)

Hepar menjadi target utama karena senyawa ini bergantung pada aktivasi metabolisme sitokrom P-450 (CYP2E1). Dosis rendah karbon tetraklorida dapat menyebabkan perlemakan hepar dan destruksi CYP2E1. Destruksi CYP2E1 terjadi terutama di sentrilobular dan daerah tengah hepar. Senyawa ini selektif untuk isoenzim tertentu, pada tikus diketahui selektif untuk CYP2E1, sedangkan pada isoenzim lain seperti CYP1A1 tidak mempengaruhi (Timbrell, 2008).

CCl4 merupakan xenobiotik yang lazim digunakan untuk menginduksi peroksidasi lipid dan keracunan. Dalam endoplasmik retikulum hepar CCl4 dimetabolisme oleh sitokrom P-450 2E1 (CYP2E1) menjadi radikal bebas triklorometil (CCl3*) (Jeon, Hwang, Park, Shin, Choi, Park, 2003). Triklorometil dengan oksigen akan membentuk radikal triklorometilperoksi yang dapat menyerang lipid membran endoplasmik retikulum dengan kecepatan yang melebihi radikal bebas triklorometil. Selanjutnya triklorometilperoksi menyebabkan peroksidasi lipid sehingga mengganggu homeostasis Ca2+, dan


(48)

akhirnya menyebabkan kematian sel (Shanmugasundaram and Venkataraman, 2006).

Penyusun utama membran sel adalah lipid, protein, dan karbohidrat. Lipid yang menyusun membran adalah fosfolipid. Fosfolipid merupakan molekul yang bersifat amfipatik, artinya memiliki daerah hidrofilik dan hidrofobik. Keberadaan dua lapis fosfolipid mengakibatkan membran memiliki permeabilitas selektif, tetapi protein juga ikut menentukan sebagian besar fungsi spesifik membran. Membran plasma dan membran organel memiliki ragam protein yang spesifik. Molekul lipid dan molekul protein pada membran tidak terikat secara kovalen, melainkan melalui interaksi nonkovalen yang kooperatif (Delgado and Remers, 1991).

Asam lemak penyusun membran sel khususnya asam lemak rantai panjang tak jenuh (PUFAs) amat rentan terhadap radikal bebas. Menurut Jeon et al. (2003) jumlah PUFAs dalam fosfolipid membran endoplasmik retikulum akan berkurang sebanding dengan jumlah CCl4 yang diinduksikan. Pemberian CCl4 dalam dosis tinggi dapat merusak endoplasmik retikulum, mengakumulasi lipid, mengurangi sintesis protein, mengacaukan proses oksidasi, menurunkan bobot badan, menyebabkan pembengkakan hepar sehingga bobot hepar menjadi bertambah, dan pemberian jangka panjang dapat menyebabkan nekrosis sentrilobular serta degenerasi lemak di hepar. (Jeon et al., 2003) (Gambar 9)


(49)

Gambar 9: Mekanisme CCl4 terhadap akumulasi lemak di hepar (Fausto, 2006)

E. Macaranga tanarius L.

Hepatoprotektor merupakan senyawa atau zat berkhasiat yang dapat melindungi sel-sel hepar terhadap pengaruh zat toksik yang dapat merusak sel hepar. Mekanisme senyawa hepatoprotektif antara lain dengan cara detoksifikasi senyawa racun baik yang masuk dari luar (eksogen) maupun yang terbentuk dalam tubuh (endogen) pada proses metabolisme, meningkatkan regenerasi hepar yang rusak, antiradang, dan sebagai imunostimulator (Dalimarta, 2000). Hepar berfungsi sebagai pertahanan tubuh tentunya juga memiliki sistem antioksidan yang cukup baik. Tetapi bila hepar telah rusak karena bahan toksik, maka perlu diberi tambahan antioksidan dari luar. Pada penelitian ini, M. tanarius dipilih sebagai senyawa yang mempunyai fungsi hepatoprotektif terhadap kerusakan yang diinduksi oleh CCl4.

1. Sinonim

Macaranga molliuscula Kurz., Macaranga tomentosa Druce, dan Mappa tanarius Blume (World Agroforestry Centre, 2002).


(50)

2. Nama lain

Inggris : hairy mahang

Filipina : binunga, himindan, kuyonon Indonesia : hanuwa, mapu, mara, tutup ancur Malaysia : ka-lo, kundoh, mahang puteh, tampu Thailand : hu chang lek, ka-lo, lo khao, mek, paang Vietnam : hach dâu-nam

(World Agroforestry Centre, 2002) 3. Taksonomi

Kerajaan : Plantae

Subkerajaan : Tracheobionta Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Subkelas : Rosidae Ordo : Euphorbiales Famili : Euphorbiaceae Genus : Macaranga

Spesies : Macaranga tanarius L. (Mus, 2008). 4. Morfologi

Tinggi pohon tanaman M. tanarius mencapai 20 meter. Daun berwarna hijau, berbentuk jantung dan pangkalnya berbentuk bulat dengan ukuran daun sekitar 8-32 x 5-28 cm. Panjang tangkai daun sekitar 6-27 cm. Cabang pohon


(51)

tebal dan berwarna hijau keabu-abuan. Buah tanaman berbentuk kapsul biccocus dengan panjang 1 cm, berwarna kekuningan. Biji tanaman berbentuk bulat dengan ukuran 5 mm (World Agroforestry Centre, 2002).

5. Kandungan

M. tanarius memiliki berbagai macam kandungan kimia. Daun M. tanarius mempunyai kandungan senyawa lauroside E, metil brevifolin karboksilat, isoquercitrin, hiperin, mallophenol B, macarangioside A, macarangioside B, macarangioside C, macarangioside D yang diisolasi dari ekstrak metanol (Gambar 10) (Matsunami, Ichiko, Takakazu, Mitsunori, Kazunari, Hideaki, et al., 2006).

Gambar 10 : Kandungan senyawa ekstrak metanol M. tanarius (Matsunami et al., 2006)

Kumazawa et al. (2013) menganalisis mengenai kandungan senyawa antioksidan dari ekstrak etanol M. tanarius yaitu nymphaeol A, nymphaeol B, nymphaeol C, isonymphaeol B, dan 3’-geranyl-naringenin (Gambar 11)


(52)

Gambar 11 : Kandungan senyawa ekstrak etanol M. tanarius (Kumazawa et al., 2013)

Berdasarkan penelitian Phommart et al. (2005) terdapat tiga kandungan senyawa baru ekstrak n-heksan dan kloroform daun M. tanarius yaitu tanarifuranonol, tanariflavanone C, dan tanariflavanone D (Gambar 12) beserta tujuh kandungan yang telah diketahui yaitu nymphaeol A, nymphaeol B, nymphaeol C, tanariflavanone B, blumenol A (vomifoliol), blumenol B (7,8 dihydrovomifoliol dan annuionone)

Gambar 12 : Tiga senyawa baru dari M. tanarius: tanarifuranonol (1) tanariflavanone C (2) tanariflavanone D (3) (Phommart et al., 2005)

Puteri dan Kawabata (2010) menganalisis kandungan senyawa antioksidan dari ekstrak etil asetat daun M. tanarius yaitu mallotinic acid, corilagin, macatannin A, chebulagic acid dan macatannin B (Gambar 13)


(53)

Gambar 13: Kandungan senyawa ekstrak etil asetat M. tanarius: mallotinic acid (1), corilagin (2), macatannin A (3), chebulagic acid (4) dan macatannin B (5)

(Puteri dan Kawabata, 2010) 6. Khasiat dan Kegunaan

Daun M. tanarius dapat digunakan sebagai obat diare dan sebagai antiseptik (Lin, Nonaka, and Nishioka, 1990). Akar M. tanarius dapat digunakan sebagai agen emetik dan ekstrak metanol daun M. tanarius mempunyai aktivitas antibakteri (Lim, Lim, and Yule, 2009). Kumazawa et al. (2013) melaporkan bahwa ekstrak etanol M. tanarius mempunyai aktivitas antioksidan dan antimikroba. Ekstrak metanol-air daun M. tanarius memiliki khasiat sebagai hepatoprotektor jangka panjang (Ardianto, 2010). Nugraha (2010) melaporkan bahwa infusa daun M. tanarius juga memiliki khasiat sebagai efek hepatoprotektif. Ekstrak metanol-air daun M. tanarius memiliki khasiat sebagai antiinflamasi (Kurniawaty, 2007). Menurut penelitian Puteri dan Kawabata (2010), pada ekstrak etil asetat daun M. tanarius mempunyai aktivitas menghambat α-glukosidase yang berpotensi sebagai antidiabetik. Khasiat lain yaitu bahwa kombinasi ekstrak metanol-air daun M. tanarius dengan metformin


(54)

dapat digunakan sebagai antidiabetes (Oktavia, 2012). Di Cina, tanaman ini dijadikan sebagai produk minuman kesehatan (Lim, et al., 2009).

F. Ekstraksi

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau hewan menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Dirjen POM, 1995).

Ekstrak dikelompokan atas dasar sifatnya, yaitu :

a. Ekstrak encer adalah sediaan yang memiliki konsistensi semacam madu dan dapat dituang.

b. Ekstrak kental adalah sediaan yang dilihat dalam keadaan dingin dan tidak dapat dituang. Kandungan airnya berjumlah sampai 30%. Tingginya kandungan air menyebabkan ketidakstabilan sediaan obat karena cemaran bakteri.

c. Ekstrak kering adalah sediaan yang memiliki konsistensi kering dan mudah dituang, sebaiknya memiliki kandungan lembab tidak lebih dari 5%.

d. Ekstrak cair adalah ekstrak yang dibuat sedemikian sehingga satu bagian simplisia sesuai dengan dua bagian ekstrak cair (Voight, 1994).

Ekstrak diperoleh dengan cara ekstraksi. Ekstraksi adalah penarikan konstituen yang diinginkan dari simplisia dengan pelarut tertentu, yang dapat melarutkan konstituen yang diinginkan. Secara umum, metode ekstraksi dapat


(55)

dibedakan menjadi infudasi, maserasi, perkolasi, dan penyarian berkesinambungan (Dirjen POM, 1979).

Proses ekstraksi dapat melalui tahap pembuatan serbuk, pembasahan, penyarian, dan pemekatan. Sistem pelarut yang digunakan dalam ekstraksi harus dipilih berdasarkan kemampuannya dalam melarutkan jumlah yang maksimum dari zat aktif dan yang seminimum mungkin bagi unsur yang tidak diinginkan (Depkes RI, 2000).

Ekstraksi dengan metode maserasi merupakan cara penyarian sederhana yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari selama beberapa hari pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya sambal diaduk (Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2010) .

Proses maserasi berakhir artinya bahwa keseimbangan antara bahan yang diekstraksi pada bagian dalam sel dan luar sel telah tercapai maka proses difusi segera berakhir. Selama maserasi atau proses perendaman dilakukan pengocokan berulang-ulang. Upaya ini menjamin keseimbangan konsentrasi bahan ekstraksi yang lebih cepat di dalam cairan. Sedangkan keadaan diam selama maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif. Secara teoritis pada suatu maserasi tidak memungkinkan terjadinya ekstraksi absolut. Semakin besar perbandingan simplisia terhadap cairan pengekstraksi, akan semakin banyak hasil yang diperoleh (Voight, 1994).

Kerugian dari ekstraksi dengan metode maserasi yaitu pengerjaannya lama dan penyarian kurang sempurna. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserasi


(56)

pertama, dan seterusnya. Penyarian diakhiri setelah pelarut tidak berwarna lagi (Depkes RI, 2000).

G. Fraksinasi

Fraksinasi merupakan proses pemisahan antara zat cair dengan zat cair. Fraksinasi dilakukan secara bertingkat berdasarkan tingkat kepolarannya yaitu dari non polar, semi polar, dan polar. Senyawa yang memiliki sifat non polar akan larut dalam pelarut non polar, yang semi polar akan larut dalam pelarut semi polar, dan yang bersifat polar akan larut dalam pelarut polar (Harborne, 1987).

Fraksinasi umumnya dilakukan dengan menggunakan metode corong pisah atau kromatografi kolom. Kromatografi kolom merupakan salah satu metode pemurnian senyawa dengan menggunakan kolom (Sastrohamidjojo, 1985). Corong pisah merupakan peralatan laboratorium yang digunakan untuk memisahkan komponen-komponen dalam campuran antara dua fase pelarut yang memiliki massa jenis berbeda yang tidak tercampur.

Macam-macam proses fraksinasi : a. Proses fraksinasi kering (Winterization)

Fraksinasi kering adalah suatu proses fraksinasi yang didasarkan pada berat molekul dan komposisi dari suatu material. Proses ini lebih murah dibandingkan dengan proses yang lain, namun hasil kemurnian fraksinasinya rendah.

b. Proses fraksinasi basah (Wet fractionation)

Fraksinasi basah adalah suatu proses fraksinasi dengan menggunakan zat pembasah (wetting agent) atau disebut juga proses hydrophilization atau


(57)

proses detergen. Hasil fraksi dari proses ini sama dengan proses fraksinasi kering.

c. Proses fraksinasi dengan menggunakan solvent/pelarut (Solvent fractionation)

Proses fraksinasi ini menggunakan pelarut. Proses fraksinasi ini lebih mahal dibandingkan dengan proses fraksinasi lainnya karena menggunakan bahan pelarut.

d. Proses fraksinasi dengan pengembunan (Fractional condentation)

Proses fraksinasi ini didasarkan pada titik didih dari suatu zat/bahan sehingga dihasilkan suatu produk dengan kemurnian yang tinggi. Fraksinasi pengembunan ini membutuhkan biaya yang cukup tinggi (Stahl, 1985).

H. Landasan Teori

Hepar adalah organ metabolik terbesar dan terpenting di tubuh. Organ ini penting untuk sekresi empedu, metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, serta detoksifikasi atau degradasi zat-zat sisa, hormon, obat dan juga senyawa asing lainnya (Sherwood, 2001).

Senyawa yang bersifat hepatotoksin dapat menyebabkan kerusakan hepar. Salah satu model senyawa hepatotoksin yaitu CCl4. CCl4 merupakan molekul sederhana, yang dapat menyebabkan nekrosis sentrilobular hepatik dan perlemakan di hepar. Target utama dari ketoksikan CCl4 adalah hepar. Toksisitas CCl4 bergantung pada metabolisme aktivasi oleh sitokrom P-450 (CYP2E1) (Timbrell, 2008). CCl4 diaktivasi oleh CYP2E1, CYP2B1 atau CYP2B2 dan


(58)

CYP3A untuk membentuk radikal triklorometil (Naik and Panda, 2007). CCl4 akan bereasi dengan oksigen membentuk radikal triklorometil peroksi (Gregus dan Klaaseen, 2001). Radikal bebas triklorometil dengan katalis enzim sitokrom P-450 dapat menimbulkan peroksidasi lipid serta dapat berikatan secara kovalen dengan protein dan lipid sehingga mengakibatkan steatosis dan penimbunan lipid yang dapat mengganggu integritas membran sel hepar (Timbrell, 2008).

Kadar LDH menjadi tinggi secara abnormal saat serangan jantung dan penyakit hepar, juga beberapa jenis penyakit lain. LDH memegang peranan penting dalam produksi energi dalam sel-sel tubuh (Michael and Roizen, 2007).

Daun M. tanarius memiliki aktivitas antioksidan dengan kandungan senyawa laurosida E, metil brevifolin karboksilat, isokuercitin, hiperin, mallophenol B, macarangioside A, macarangioside B, dan macarangioside C, macarangioside D yang diisolasi dari ekstrak metanol yang dapat menangkap radikal bebas terhadap DPPH (Matsunami et al., 2009). Kumazawa et al. (2013) menganalisis mengenai kandungan senyawa antioksidan dari M. tanarius yaitu nymphaeol A, nymphaeol B, nymphaeol C, isonymphaeol B, dan 3’ -geranyl-naringenin. Berdasarkan penelitian Phommart et al. (2005) terdapat tiga kandungan senyawa baru yaitu tanarifuranonol, tanariflavanon C, dan tanariflavanon D. Berdasarkan penelitian Tiala (2013) telah dilakukan penelitian efek hepatoprotektif dengan pemberian ekstrak metanol-air daun M. tanarius. Nurcahyanti (2013) melaporkan bahwa infusa daun M. tanarius mempunyai efek hepatoprotektif. Fraksi heksan dan diklorometan ekstrak daun Macaranga


(59)

denticulate dan Macaranga pruinosa memiliki kandungan aktivitas antioksidan tertinggi (Mazlan dkk., 2013).

Kandungan senyawa-senyawa ellagitannin M. tanarius yang terlarut dalam pelarut heksan-etanol diharapkan dapat menghambat perlemakan hepar sehingga dapat mengurangi ketoksikan yang disebabkan oleh CCl4.

I. Hipotesis

Pemberian jangka panjang FHEMM dapat menurunkan kadar serum LDH pada tikus betina galur Wistar yang terinduksi CCl4.


(60)

38 BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental murni untuk mengetahui hubungan ada tidaknya akibat setelah perlakuan yaitu penurunan aktivitas serum LDH setelah diberi FHEMM, kemudian terdapat kelompok kontrol sebagai pembanding dan kelompok perlakuan yang diberi perlakuan yang sama. Setiap kelompok diambil darahnya sebelum dan sesudah perlakuan untuk perbandingan. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian acak lengkap pola searah dimana hewan uji diambil secara random dan variabel bebas yang digunakan hanya satu yaitu dosis FHEMM.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

Variabel-variabel yang digunakan adalah sebagai berikut :

1. Variabel utama

a. Variabel bebas. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah variasi dosis pemberian FHEMM. Dosis FHEMM yang digunakan adalah miligram FHEMM tiap kilogram berat badan hewan uji.

b. Variabel tergantung. Variabel tergantung penelitian ini adalah penurunan kadar LDH serum pada sel hepar tikus betina galur Wistar yang terinduksi CCl4 setelah pemberian jangka panjang FHEMM.


(61)

2. Variabel pengacau

a. Variabel pengacau terkendali. Variabel pengacau terkendali dalam penelitian ini adalah kondisi hewan uji, yaitu tikus betina galur Wistar dengan berat badan 130-180 g dan umur 2-3 bulan, frekuensi pemberian FHEMM satu kali sehari selama 6 hari berturut-turut pada waktu pemberian yang sama, cara pemberian senyawa dilakukan secara per oral dan intraperitoneal, dan bahan uji yang digunakan berupa daun M. tanarius yang diperoleh dari daerah Paingan, Yogyakarta.

b. Variabel pengacau tak terkendali. Variabel pengacau tak terkendali dalam penelitian ini adalah kondisi patologis tikus betina galur Wistar.

3. Definisi Operasional

a. Ekstrak metanol-air daun M. tanarius. Didefinisikan sebagai ekstrak kental dari 40 gram serbuk daun M. tanarius yang diekstraksi dengan pelarut 100 ml metanol dan 100 ml air ke dalam labu erlenmyer secara maserasi menggunakan shaker selama 24 jam dengan putaran 140 rpm. Kemudian disaring menggunakan corong Buchner yang dilapisi dengan kertas saring dengan bantuan pompa vakum, dievaporasi, dan diuapkan di oven selama 24 jam pada suhu 45°C, hingga bobot pengeringan tetap.


(62)

b. Fraksi daun M. tanarius. Fraksi dihasilkan dari proses maserasi ekstrak metanol-air daun M. tanarius. Sejumlah ekstrak pekat yang diperoleh, ditimbang dan dilarutkan dengan pelarut heksan etanol 1:1 dimana perbandingan antara pelarut dan ekstrak pekat yaitu 1:5. Setelah dilarutkan dalam labu erlenmeyer, dilakukan penggojogan menggunakan shaker selama 24 jam dengan putaran 140 rpm. Kemudian disaring menggunakan corong buchner yang dilapisi dengan kertas saring dengan bantuan pompa vakum lalu di oven selama 24 jam pada suhu 45°C hingga bobot pengeringan tetap.

c. Pemberian jangka panjang. Pemberian FHEMM satu kali sehari selama enam hari berturut-turut dalam waktu pemberian yang sama.

d. Efek hepatoprotektif. Efek hepatoprotektif adalah kemampuan FHEMM yang diberikan secara jangka panjang pada dosis tertentu dapat menunjukkan potensi penurunan aktivitas LDH pada tikus betina galur Wistar yang terinduksi CCl4.

e. Penurunan aktivitas serum LDH. Didefinisikan sebagai kemampuan FHEMM pada dosis tertentu untuk menurunkan kadar LDH secara signifikan dibandingkan dengan kontrol CCl4 pada tikus betina galur Wistar yang terinduksi CCl4.


(63)

C. Bahan Penelitian 1. Bahan utama

a. Hewan uji yang digunakan berupa tikus betina galur Wistar berumur 2-3 bulan dengan berat badan 130-180 gram yang diperoleh dari Laboratorium Imono Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

b. Bahan uji yang digunakan adalah daun M. tanarius yang diperoleh dari daerah Paingan, Yogyakarta pada bulan Februari 2015. Daun yang dipilih adalah yang berwarna hijau, segar, dan tidak bercacat.

2. Bahan kimia

a. Bahan hepatotoksin yang digunakan adalah CCl4 yang diperoleh dari Laboratorium Kimia Analisis dan Instrumental Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

b. Kontrol negatif yang digunakan adalah CMC-Na 1% yang diperoleh dari Laboratorium Farmakologi-Toksikologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

c. Olive Oil (Bertolli®) sebagai pelarut hepatotoksin CCl4 yang diperoleh dari Laboratorium Farmakologi-Toksikologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.


(64)

d. CMC-Na 1% sebagai pelarut FHEMM yang diperoleh dari Laboratorium Farmakologi-Toksikologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

e. Pelarut ekstrak daun M. tanarius yang digunakan adalah metanol teknis dan aquadest yang diperoleh dari CV General Labora Yogyakarta.

f. Pelarut fraksi daun M. tanarius yang digunakan yaitu heksan dan etanol teknis yang diperoleh dari CV General Labora Yogyakarta.

g. Blanko pengukuran aktivitas LDH menggunakan aquabidestilata yang diperoleh dari Laboratorium Kimia Analisis dan Instrumental Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

h. Reagen LDH yang digunakan adalah reagen serum LDH (Thermo Scientific).

D. Alat Penelitian 1. Alat pembuatan serbuk kering daun M. tanarius

Alat untuk pembuatan serbuk kering daun M. tanarius adalah oven, mesin penyerbuk, ayakan, dan timbangan analitik (Mettler Toledo).

2. Alat pembuatan fraksi daun M. tanarius

Seperangkat alat gelas yaitu erlenmeyer, beaker glass, gelas ukur, labu ukur, batang pengaduk, kertas saring, cawan porselen, labu alas bulat,


(65)

pipet tetes, rotary evaporator (IKAVAC); shaker (Orbital Shaker Optima); timbangan analitik (Mettler Toledo); dan oven.

3. Alat uji hepatoprotektif

Seperangkat alat gelas, yaitu beaker glass, labu ukur, gelas ukur, batang pengaduk, dan tabung reaksi; timbangan analitik; spuit injeksi per oral dan intraperitonial; pipa kapiler, microlab 200 Merck, stopwatch, vortex (Genie Wilten), centrifuge (Centurium Scientific), dan eppendorf.

E. Tata Cara Penelitian

1. Determinasi daun M. tanarius.

Determinasi daun M. tanarius dilakukan dengan mencocokkan ciri-ciri tanaman M. tanarius pada buku acuan determinasi dan disesuaikan dengan kunci determinasinya. Determinasi dilakukan di Unit II Biologi Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada.

2. Pengumpulan bahan uji

Bahan uji yang digunakan adalah daun M. tanarius yang diperoleh dari Paingan, Yogyakarta pada bulan Februari 2015. Daun yang dipilih adalah daun yang masih segar, muda, berwarna hijau dan tidak berlubang.


(66)

3. Pembuatan serbuk daun M. tanarius

Daun M. tanarius dicuci dengan air mengalir hingga bersih. Setelah bersih daun diangin-anginkan hingga kering kemudian dilakukan pengeringan menggunakan oven pada suhu 30°C selama 3 hari. Daun yang telah kering kemudian diserbuk dan diayak dengan ayakan nomer mesh 50 untuk mendapatkan serbuk daun M. tanarius yang lebih halus.

4. Penetapan kadar air serbuk daun M. tanarius

Penetapan kadar air bertujuan mengetahui kadar air dalam serbuk agar memenuhi persyaratan serbuk yang baik, yaitu kurang dari 10% (Dirjen POM, 1995). Serbuk dimasukkan ke dalam alat moisture balance ± 5 g. Bobot serbuk kering ditimbang sebagai bobot sebelum pemanasan. Serbuk kemudian dipanaskan pada suhu 110°C selama 15 menit. Serbuk yang sudah dipanaskan ditimbang kembali dan dihitung sebagai bobot setelah pemanasan. Selisih bobot sebelum pemanasan dan sesudah pemanasan merupakan kadar air serbuk daun M. tanarius.

5. Pembuatan ekstrak metanol-air daun M. tanarius

Serbuk daun M. tanarius diekstraksi secara maserasi. 40 gram serbuk dilarutkan dengan 100 ml pelarut metanoldan 100 ml air di dalam labu erlenmeyer pada suhu kamar 24 jam menggunakan shaker dengan kecepatan 140 rpm. Hasil maserasi disaring menggunakan kertas saring dan corong buchner dengan bantuan pompa vakum . Hasil saringan dipindahkan ke dalam cawan porselen yang telah ditimbang sebelumnya


(67)

kemudian digunakan rotary vaccum evaporator untuk memisahkan cairan penyari. Setelah itu, dimasukkan ke dalam oven selama 24 jam pada suhu 45°C hingga didapatkan ekstrak dengan bobot tetap. Proses remaserasi tetap dilanjutkan hingga ekstrak menjadi bening.

6. Pembuatan fraksi daun M. tanarius

Fraksinasi dilakukan dengan menggunakan pelarut heksan dan etanol 1:1 dengan metode maserasi. Ekstrak pekat ditimbang dan dilarutkan dengan pelarut heksan dan etanol 1:1 ke dalam labu erlenmeyer dimana volume pelarut disesuaikan dengan bobot ekstrak 1:5. Hasil maserasi disaring menggunakan kertas saring dan corong buchner dengan bantuan pompa vakum. Hasil saringan dipindahkan ke dalam cawan porselen yang telah ditimbang sebelumnya kemudian digunakan rotary vaccum evaporator. Setelah itu, dimasukkan ke dalam oven selama 24 jam pada suhu 45°C hingga didapatkan fraksi dengan bobot tetap. Proses remaserasi tetap dilanjutkan hingga fraksi menjadi bening.

Rendemen fraksi merupakan selisih berat cawan berisi fraksi dan berat cawan kosong. Rata-rata rendemen dihitung dari jumlah bobot fraksi dari semua replikasi per jumlah replikasi. Persentase rendemen FHEMM didapatkan dari total jumlah bobot fraksi per total jumlah bobot ekstrak dikalikan 100%. Persentase rendemen FHEMM merupakan banyaknya fraksi yang didapatkan dari ekstrak daun M. tanarius.


(68)

7. Pembuatan larutan CMC-Na 1%

5,0 gram CMC-Na yang telah ditimbang seksama didispersikan ke dalam 250 ml air mendidih dan didiamkan selama 24 jam hingga CMC-Na mengembang di dalam gelas beaker. Larutan CMC-Na 1% yang telah mengembang dipindahkan ke labu takar 500 ml dan di add 250 ml sisa air mendidih hingga tanda batas.

8. Pembuatan suspensi FHEMM

Sejumlah FHEMM ditimbang kemudian diujikan kelarutannya terlebih dahulu di dalam olive oil dan CMC-Na 1%. Berdasarkan hasil pengujian, FHEMM mempunyai kelarutan yang paling besar terhadap CMC-Na 1%. Dari hasil orientasi, didapatkan jumlah FHEMM yang dapat larut dalam CMC-Na 1% adalah 600 mg dalam 25 ml, sehingga diperoleh konsentrasi suspensi FHEMM sebesar 600 mg/25 ml.

9. Pembuatan larutan karbon tetraklorida

Berdasarkan penelitian Janakat dan Al-Merie (2002), larutan karbon tetraklorida dibuat dalam konsentrasi 50% dengan perbandingan volume CCl4 dan pelarut adalah 1:1. Pelarut yang digunakan yaitu olive oil.

10. Uji pendahuluan

a. Penetapan dosis toksin karbon tetraklorida. Berdasarkan penelitian Janakat dan Al-Merie (2002), dosis hepatotoksin CCl4 yang dapat


(69)

menyebabkan kerusakan sel-sel hepar pada tikus yaitu sebesar 2 ml/kgBB yang diberikan secara intraperitonial (i.p).

b. Penetapan konsentrasi fraksi daun M. tanarius. Konsentrasi yang digunakan adalah konsentrasi pekat yang dapat dibuat dimana pada konsentrasi tersebut fraksi dapat terlarut sempurna dalam pelarut CMC-Na 1%. Konsentrasi fraksi yang dapat ditetapkan yaitu 600 mg/25 ml.

c. Penetapan dosis fraksi daun M. tanarius. Penetapan dosis FHEMM diperoleh berdasarkan konsentrasi dan volume FHEMM yang disesuaikan dengan berat badan tertinggi tikus. Dosis tertinggi yang dapat ditetapkan yaitu 137,14 mg/kgBB. Peringkat dosis II ditetapkan dengan menurunkan seperdua dari dosis tertinggi (½ x 137,14 mg/kgBB) = 68,57 mg/kgBB) dan peringkat dosis I ditetapkan dengan menurunkan seperdua dari peringkat dosis II (½ x 68,57 mg/kgBB = 34,28 mg/kgBB)

d. Penetapan waktu pencuplikan darah. Hewan uji terdiri dari 5 ekor tikus yang diambil darahnya pada jam ke-0, 24, dan 48. Pengambilan darah dilakukan melalui sinus orbitalis mata.

11. Pengelompokkan dan perlakuan hewan uji

Hewan uji yang digunakan sebanyak 30 ekor tikus yang dibagi secara acak ke dalam 6 kelompok perlakuan.


(70)

a. Kelompok I merupakan kontrol negatif yaitu CMC-Na 1% yang diberikan secara per oral selama 6 hari beturut-turut dan dilakukan pengukuran darah pada jam ke-24.

b. Kelompok II merupakan kontrol hepatotoksin CCl4 yang dilarutkan dalam olive oil (1:1) dengan dosis 2 ml/kgBB secara intraperitonial (i.p) dan dilakukan pengukuran darah pada jam ke-24.

c. Kelompok III merupakan kontrol FHEMM jangka panjang dimana kontrol diberikan FHEMM dosis tertinggi yaitu 137,14 mg/kgBB selama 6 hari berturut-turut pada waktu yang sama secara per oral dan dilakukan pengukuran darah pada jam ke-24.

d. Kelompok IV-VI merupakan kelompok perlakuan FHEMM dengan 3 peringkat dosis yaitu dosis 1 atau dosis terendah sebesar 34,28 mg/kgBB, dosis II atau dosis tengah sebesar 68,57 mg/kgBB, dan dosis III atau dosis tertinggi sebesar 137,14 mg/kgBB yang diberikan selama 6 hari berturut-turut pada waktu yang sama secara per oral dan pada hari ke-7 diberikan CCl4. Pengukuran darah dilakukan pada jam ke-24 setelah penyuntikan CCl4.

12. Pengukuran aktivitas LDH

Pengukuran aktivitas LDH dilakukan di Laboratorium Bethesda Yogyakarta. Alat yang digunakan yaitu konelab prime 30 dan atau cobas 501 (ROCHE). Reagen yang digunakan yaitu reagen serum LDH (Thermo Scientific). Hasil pengukuran dinyatakan dengan satuan U/L. Pengukuran sampel dimulai dengan pembuatan serum darah tikus terlebih dahulu. Pertama-tama, sampel darah


(1)

Homogeneous Subsets

LDH

Scheffea

Kelompok

N

Subset for alpha = 0.05

1 2

Kontrol CMC-Na 1 % 5 877.8000

Dosis III 5 902.2000

Kontrol dosis III 5 964.4000

Dosis I 5 1064.0000

Dosis II 5 1069.0000

Kontrol hepatotoksin CCl4 5 1848.8000

Sig. .489 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.

Dosis II -166.80000 89.43392 .632 -490.5369 156.9369


(2)

pada kelompok perlakuan  Bobot maksimal tikus = 350 g

 Konsentrasi FHEMM yang digunakan = 600mg/25mL

Dengan dasar tersebut maka ditetapkan dosis pemberian FHEMM D x BB = C x V

Dosis x Berat Badan Tikus = Konsentrasi x Volume Pemberian a. Dosis rendah

V = ½ x 1 mL = 0,5 mL

=

= 0,03428 mg/gBB = 34,28 mg/kgBB

b. Dosis tengah V = 1 mL

=

= 0,06857 mg/gBB = 68,57 mg/kgBB


(3)

c. Dosis tinggi

V = 2 x 1 mL = 2 mL

=

= 0,13714 mg/gBB = 137,14 mg/kgBB

Lampiran 9. Perhitungan konversi dosis untuk manusia Konversi perhitungan dosis tikus 200 g ke manusia 70 kg = 56,0 Dosis untuk manusia 70 kg = dosis untuk tikus 200 g x nilai konversi

Sehingga dapat diketahui dosis FHEMM untuk manusia adalah sebagai berikut : 1. FHEMM dosis 34,28 mg/kgBB tikus

Dosis untuk tikus 200 g = 34,28 mg/kgBB = 6,856 mg Dosis untuk manusia 70 kg = 6,856 mg x 56,0

= 383,94 mg Dosis untuk manusia = 383,94 mg/70 kgBB

= 5,49 mg/kgBB 2. FHEMM dosis 68,57 mg/kgBB tikus

Dosis untuk tikus 200 g = 68,57 mg/kgBB = 13,714 mg Dosis untuk manusia 70 kg = 13,714 mg x 56,0

= 767,984 mg Dosis untuk manusia = 767,984 mg/70kgBB


(4)

Dosis untuk tikus 200 g = 137,14 mg/kgBB = 27,428 mg Dosis untuk manusia 70 kg = 27,428 mg x 56,0

= 1535,97 mg Dosis untuk manusia = 1535,97 mg/70kgBB

= 21,94 mg/kgBB

Lampiran 10. Penetapan kadar air serbuk daun M. tanarius

Penetapan kadar air dilakukan menggunakan alat moisture balance dengan metode Gravimetri. Pemanasan serbuk daun M. tanarius L. dilakukan pada suhu 110ºC dalam waktu 15 menit.

Tabel VII. Hasil penetapan kadar air serbuk daun M. tanarius L. Bobot Replikasi I Replikasi II Replikasi III Sebelum pemanasan 5,014 g 5,027 g 5,022 g

Sesudah pemanasan 4,561 g 4,589 g 4,593 g

Kadar air 0,453 g 0,438 g 0,429 g

Rata-rata kadar air 0,440 g

= 9,03 %

= 8,71% Replikasi III =


(5)

= 8,765

Kadar air serbuk yang dipersyaratkan adalah kurang dari 10%. Kadar air serbuk daun M. tanarius L. sebesar 8,76%, sehingga memenuhi persyaratan.

Lampiran 11. Perhitungan Rendemen FHEMM Berat Serbuk = 862, 6983 gram

Berat Ekstrak Pekat = 155, 5665 gram Berat Fraksi = 30, 2727 gram

= 18, 03%

= 19, 46% % Rendemen Ekstrak =


(6)

Penulis skripsi dengan judul “Efek Hepatoprotektif Jangka Panjang Fraksi Heksan-Etanol Ekstrak Metanol-Air Daun Macaranga Tanarius L. Terhadap Aktivitas Laktat Dehidrogenase Pada Tikus Betina Galur Wistar Terinduksi Karbon Tetraklorida” memiliki nama lengkap Penina Kurnia Uly, merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Julius Uly dan Harjanti Kristiani Uly dilahirkan di Kupang pada tanggal 8 Desember 1993. Pendidikan formal yang telah ditempuh, yaitu TK Pertiwi II Institut Ilmu Pemerintahan Jakarta (1999-2000), kemudian melanjutkan pendidikan tingkat Sekolah Dasar di SD Katolik Santo Yoseph 2 Kupang (2000-2006). Pendidikan Sekolah Menengah Pertama ditempuh oleh penulis di SMP Kristen Mercusuar Kupang (2006-2009), kemudian melanjutkan pendidikan tingkat menengah atas di SMA Negeri 9 Yogyakarta (2009-2012). Penulis kemudian melanjutkan pendidikan S-I Farmasi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada tahun 2012. Selama menjadi mahasiswi, penulis aktif dalam kegiatan kepanitiaan seperti Divisi Usaha Dana Seminar Nasional dan Komisi Pemilihan Umum Universitas Sanata Dharma. Penulis juga pernah menjadi Asisten Praktikum Farmasi Fisika (2015).


Dokumen yang terkait

Pengaruh pemberian fraksi heksan-etanol dari ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius L. jangka panjang 6 hari terhadap aktivitas alkaline phosphatase pada tikus betina galur wistar terinduksi karbon tetraklorida.

0 2 118

Pengaruh pemberian jangka panjang fraksi heksan-etanol dari ekstrak metanol-air daun macaranga tanarius (L) Müll. Arg. terhadap kadar albumin pada tikus betina galur wistar terinduksi karbon tetraklorida.

0 4 125

Pengaruh pemberian fraksi heksan-etanol dari ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius L. jangka panjang 6 hari terhadap aktivitas serum alt dan ast tikus betina galur wistar terinduksi karbon tetraklorida.

2 3 183

Pengaruh pemberian jangka panjang fraksi heksan-etanol dari ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. terhadap kadar bilirubin pada tikus terinduksi karbon tetraklorida.

0 1 133

Efek hepatoprotektif infusa daun macaranga tanarius L. pada tikus jantan galur wistar terinduksi karbon tetraklorida.

0 0 108

Efek hepatoprotektif ekstrak etanol-air daun Macaranga tanarius L. pada tikus terinduksi karbon tetraklorida : kajian terhadap praperlakuan jangka panjang.

0 1 109

Efek hepatoprotektif ekstrak etanol-air daun Macaranga tanarius L. pada tikus terinduksi karbon tetraklorida : kajian terhadap praperlakuan jangka pendek.

0 1 111

Efek hepatoprotektif jangka pendek ekstrak metanol-air daun macaranga tanarius L. terhadap tikus terinduksi karbon tetraklorida.

0 4 106

Efek hepatoprotektif jangka pendek ekstrak metanol-air daun macaranga tanarius L. terhadap tikus terinduksi karbon tetraklorida - USD Repository

0 0 104

Efek hepatoprotektif ekstrak etanol-air daun Macaranga tanarius L. pada tikus terinduksi karbon tetraklorida : kajian terhadap praperlakuan jangka panjang - USD Repository

0 0 107