Tabel 12 Ringkasan Hasil Uji Hipotesis
Uji Hipotesis Kelompok
Homogen Heterogen
N 179
179 Rerata
72,53 71,22
Perbedaan Rerata 1,31
Derajat Kebebasan df 345,377
Nilai t 0,745
Signifikansi 0,457
Keterangan p 0.05 tidak signifikan
C. Analisis Data Tambahan
Data penelitian dianalisis untuk melihat perbedaan sikap terhadap homoseksualitas antara murid laki-laki dan perempuan pada masing-masing
jenis sekolah. Data dianalisis menggunakan analisis varians dengan uji post hoc untuk membandingkan rerata dari empat kelompok bandingkan Santoso,
2010, yaitu murid laki-laki sekolah homogen, murid perempuan sekolah heterogen, murid laki-laki sekolah heterogen, dan murid perempuan sekolah
heterogen. Berdasarkan hasil analisis varians, ditemukan bahwa ada perbedaan rerata pada masing-masing kelompok F3, 417 = 13,077; p 0,05.
Secara umum, sikap murid perempuan M = 79,39; SD = 16,184 terhadap homoseksualitas cenderung lebih positif dibandingkan dengan murid
laki-laki M = 67,83; SD = 15,454, baik pada sekolah homogen maupun sekolah heterogen t353 = -6,631; p 0,05. Secara terinci, sikap murid
sekolah homogen perempuan M = 81,86; SD = 15,930 terhadap homo- seksualitas lebih positif dibandingkan murid sekolah homogen laki-laki M =
67,47; SD = 17,074 dan murid laki-laki sekolah heterogen M = 71,22; SD = 15,083. Sikap murid perempuan sekolah heterogen M = 76,92; SD = 16,185
terhadap homoseksualitas lebih positif dibandingkan murid sekolah homogen laki-laki. Selain itu, sikap murid laki-laki sekolah heterogen terhadap
homoseksualitas lebih positif daripada murid sekolah homogen laki-laki. Hasil analisis varians secara terinci dapat dilihat pada lampiran.
D. Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rerata sikap terhadap homoseksualitas pada murid sekolah homogen adalah senilai 72,53.
Sementara itu, pada murid sekolah heterogen, nilai rerata sikap terhadap homoseksualitas yang didapatkan adalah senilai 71,22. Hasil analisis data
penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan sikap terhadap homoseksualitas yang signifikan antara murid sekolah homogen dengan murid
sekolah heterogen t345,377 = 0,745; p 0.05. Hipotesis dalam penelitian ini, yaitu ada perbedaan sikap terhadap
homoseksualitas antara murid sekolah homogen dan heterogen, tidak terbukti. Hipotesis terarah yang menyatakan bahwa sikap murid sekolah heterogen
terhadap homoseksualitas lebih positif dibandingkan dengan murid sekolah
heterogen juga tidak terbukti. Sebaliknya, sikap murid sekolah heterogen M = 71,22 sekilas lebih negatif daripada sikap murid sekolah homogen M =
72,53, meskipun tidak signifikan berbeda. Hal ini mungkin disebabkan karena interaksi sosial murid-murid sekolah homogen dan heterogen.
Sikap murid sekolah heterogen terhadap homoseksualitas yang sekilas tampak lebih negatif dimungkinkan terjadi karena murid-murid sekolah
heterogen justru mengembangkan keyakinan terhadap peran gender tradisional dan ketidaksetaraan gender dalam interaksi sosial mereka bandingkan Lee et
al., 1994. Sekalipun sistem sekolah heterogen mem-promosikan kesetaraan gender, yang membuat keyakinan terhadap peran gender tradisional semakin
rendah, interaksi sosial antara murid dari kedua jenis kelamin dapat mengembangkan keyakinan bahwa ada ketidaksetaraan gender. Murid-murid
sekolah heterogen dapat mengembangkan pengelompokkan tugas berdasarkan jenis kelamin ketika murid dari kedua jenis kelamin berinteraksi. Hal ini
misalnya tampak pada pemahaman bahwa laki-laki lebih pintar di bidang sains daripada perempuan lihat Lee et al., 1994. Hal ini dapat menimbulkan
perasaan superior laki-laki terhadap perempuan. Selain itu, murid-murid sekolah heterogen dapat mengembangkan keyakinan bahwa masing-masing
gender memiliki tugas masing-masing. Hal ini misalnya tampak ketika ada pembagian tugas di kelas. Murid laki-laki biasanya mendapatkan tugas
memindah-mindahkan benda berat seperti meja dan kursi sementara murid perempuan mendapatkan tugas administratif seperti mencatat absen atau
membersihkan kelas. Hal-hal ini dapat mengembangkan keyakinan terhadap peran gender tradisional yang kuat diantara murid-murid sekolah heterogen.
Sikap murid sekolah homogen terhadap homoseksualitas sekilas tampak lebih positif daripada murid sekolah heterogen. Berdasarkan analisis
statistik deskriptif yang dilakukan, tampak bahwa sikap murid sekolah homogen terhadap homoseksualitas yang tampak lebih positif banyak
disumbang oleh sikap murid sekolah homogen perempuan. Hal ini mungkin menyatakan bahwa murid-murid sekolah homogen perempuan memiliki
keyakinan terhadap peran gender tradisional yang lebih rendah dan keyakinan akan kesetaraan gender yang lebih tinggi. Keyakinan terhadap kesetaraan
gender yang lebih tinggi dapat mempengaruhi sikap terhadap homoseksualitas yang lebih positif lihat Adamczyk Pitt, 2009, disamping penjelasan
teoritis sebelumnya yang menyatakan bahwa keyakinan terhadap peran gender tradisional yang lebih rendah juga mempengaruhi sikap terhadap homo-
seksualitas yang lebih positif bandingkan Herek, 1988; Horn, 2012; Whitley Kite, 2010.
Pada murid sekolah homogen perempuan, keyakinan akan kesetaraan gender yang lebih kuat mungkin disebabkan karena interaksi sosial para
muridnya. Sejalan dengan penjelasan mengenai pengaruh interaksi sosial terhadap kesetaraan gender dan keyakinan akan peran gender tradisional pada
murid sekolah heterogen, murid-murid sekolah homogen perempuan dapat mengembangkan
independensi. Sekalipun
sistem sekolah
homogen perempuan mempromosikan femininitas pada murid-muridnya, sekolah
homogen perempuan dapat mengembangkan perasaan independensi pada murid-muridnya. Hal ini misalnya tampak pada pembagian pekerjaan di kelas.
Ketiadaan murid laki-laki pada jenis sekolah ini membuat murid-murid sekolah homogen perempuan harus melakukan pekerjaan-pekerjaan di kelas
dan sekolah sendiri tanpa tergantung oleh figur laki-laki. Hal ini dapat membuat murid-murid sekolah homogen merasa mampu untuk melakukan
pekerjaan sendiri. Dengan demikian, mereka akan memiliki sikap terhadap peran gender stereotipikal yang lebih rendah Lee et al., 1994 dan merasa
mampu untuk terjun ke dunia profesional dan politik lihat Lee et al., 1994, suatu dunia yang secara tradisional ditugaskan kepada laki-laki. Hal tersebut
dapat membuat murid-murid sekolah homogen perempuan memiliki tingkat keyakinan terhadap peran gender tradisional yang lebih rendah dan keyakinan
terhadap kesetaraan gender yang lebih kuat. Berdasarkan hasil analisis statistik deskriptif, sikap murid sekolah
homogen laki-laki terhadap homoseksualitas tampak lebih negatif dibandingkan dengan murid sekolah homogen perempuan dan murid sekolah
heterogen. Hal ini dapat menyatakan bahwa murid sekolah homogen laki-laki memiliki keyakinan terhadap peran gender tradisional yang lebih kuat,
sehingga mereka meyakini adanya ketidaksetaraan gender. Lee dan kawan- kawannya 1994 menemukan bahwa seksisme diskriminasi berdasarkan jenis
kelamin yang didasarkan pada keyakinan bahwa laki-laki lebih superior daripada perempuan dipromosikan pada sekolah homogen laki-laki. Sekolah
homogen khusus laki-laki juga dapat mengembangkan keyakinan bahwa
perempuan dan femininitas lebih inferior daripada laki-laki. Murid-murid yang melakukan tugas-tugas yang biasa dilakukan oleh perempuan misalnya
pekerjaan administratif seperti mencatat absen atau membersihkan ruang kelas mungkin merasa inferior. Hal ini dapat memicu perasaan negatif
terhadap tugas-tugas yang identik dengan femininitas sehingga memperkuat keyakinan murid-murid sekolah homogen laki-laki bahwa peran perempuan
lebih inferior daripada laki-laki bandingkan Lee et al., 1994. Dengan demikian, murid-murid sekolah homogen laki-laki memiliki keyakinan
terhadap peran gender tradisional dan ketidaksetaraan gender yang lebih kuat. Berdasarkan uraian di atas, hipotesis penelitian ini ditolak karena
murid-murid sekolah homogen dan heterogen mengembangkan keyakinan terhadap peran gender tradisional dan kesetaraanketidaksetaraan gender dari
interaksi sosial mereka, terlepas dari promosi peran gender tradisional oleh sistem sekolah terhadap murid-muridnya. Murid-murid sekolah heterogen
yang diperkirakan memiliki keyakinan terhadap peran gender tradisional yang lebih rendah dan keyakinan terhadap kesetaraan gender yang lebih kuat justru
dapat mengembangkan keyakinan terhadap ketidaksetaraan gender yang lebih kuat. Sementara itu, murid-murid sekolah homogen perempuan dapat
mengembangkan independensi sehingga mereka memiliki keyakinan terhadap peran gender tradisional yang lebih rendah. Keyakinan terhadap peran gender
tradisional dan keyakinan akan kesetaraan gender berpengaruh terhadap sikap seseorang terhadap homoseksualitas Adamczyk Pitt, 2009; Herek, 1988;
Horn, 2012; Whitley Kite, 2010. Dengan demikian, murid-murid sekolah
heterogen dapat memiliki sikap yang cenderung negatif terhadap homoseksualitas dan murid-murid sekolah homogen perempuan dapat
memiliki sikap yang cenderung positif terhadap homoseksualitas sebagai hasil dari interaksi sosial antar murid di sekolah.
Berdasarkan hasil analisis tambahan, ditemukan bahwa ada perbedaan sikap terhadap homoseksualitas antara murid laki-laki dan perempuan. Selain
itu, ada perbedaan sikap terhadap homoseksualitas pada murid laki-laki dan perempuan sekolah homogen dan heterogen. Sikap murid perempuan lebih
positif daripada sikap murid laki-laki, baik pada sekolah homogen maupun heterogen, atau ketika murid perempuan dan laki-laki dikelompokkan
tersendiri. Hal ini mungkin menyatakan bahwa terlepas dari jenis sekolahnya, ada variabel lain yang mempengaruhi sikap terhadap homoseksualitas, yaitu
jenis kelamin.
49
BAB V PENUTUP