yang berusaha melihat evaluasi seseorang mengenai harustidaknya seorang homoseksual dihukumditerima.
c. Kontak dengan orang-orang homoseksual Kontak dengan orang-orang homoseksual adalah komponen
sikap terhadap homoseksualitas yang berusaha melihat evaluasi seseorang mengenai kenyamanan dirinya ketika harus menjalin kontak
dengan orang-orang homoseksual. d. Stereotip terhadap orang-orang homoseksual
Stereotip terhadap orang-orang homoseksual merupakan komponen sikap terhadap homoseksualitas yang berusaha melihat
stereotip yang dimiliki seseorang terhadap orang-orang homoseksual. Pada penelitian ini, komponen kognitif, afektif, dan konatif sikap
Aronson, Wilson, Akert, 2005 digabungkan dengan komponen sikap terhadap homoseksualitas menurut LaMar Kite 1998. Masing-masing
komponen kognitif, afektif, dan konatif sikap mencakup komponen sikap terhadap homoseksualitas menurut LaMar Kite 1998.
D. Sekolah Homogen dan Heterogen
1. Definisi Sekolah Homogen dan Heterogen Sekolah homogen secara umum merujuk pada pendidikan di
tingkat dasar, menengah, dan lanjut yang mana laki-laki dan perempuan mengenyam masa sekolah dengan anggota sesama jenis kelaminnya U.S.
Department of Education, 2005. Berdasarkan definisi tersebut, sekolah homogen laki-laki adalah sebuah sekolah yang terdiri dari murid yang
seluruhnya berjenis kelamin laki-laki. Sementara itu, sekolah homogen perempuan adalah sebuah sekolah yang terdiri dari murid yang seluruhnya
berjenis kelamin perempuan. Sejalan dengan penjelasan sekolah homogen oleh U.S. Department of Education 2005 tersebut, sekolah heterogen
merupakan sebuah sistem pendidikan dimana laki-laki dan perempuan mengenyam masa sekolah dengan anggota sesama maupun berbeda dari
jenis kelaminnya. Dengan kata lain, sekolah heterogen merupakan sebuah sekolah yang terdiri dari murid laki-laki dan perempuan.
2. Promosi Peran Gender Tradisional pada Murid Sekolah Homogen Martino dan Frank 2006 melakukan penelitian pada sebuah
sekolah homogen laki-laki dan menemukan sistem pendidikan untuk mempromosikan maskulinitas. Guru-guru pada sekolah khusus laki-laki
tersebut mengajarkan dan membina hubungan dengan para siswanya untuk menumbuhkan maskulinitas Martino Frank, 2006. Selain itu, guru-
guru juga dituntut untuk menjadi contoh maskulinitas Martino Frank, 2006. Guru-guru di sekolah khusus laki-laki tersebut harus menunjukkan
maskulinitasnya, seperti menjadi pelatih tim olahraga sepakbola Martino Frank, 2006. Selain itu, ketidaksetaraan gender juga dipromosikan pada
sekolah khusus laki-laki Lee et al., 1994. Hal ini tampak dari sistem pengajaran yang mensosialisasikan kontrol dan kekuasaan atas perempuan
dan penempatan perempuan sebagai objek seksual Lee et al., 1994. Femininitas juga dipromosikan pada sekolah khusus perempuan
Charles, 2004. Lee, Marks, dan Byrd 1994 menemukan guru-guru
sekolah homogen khusus perempuan juga mendorong murid-muridnya untuk menjadi dependen dan kekanak-kanakan, suatu perilaku yang
merupakan stereotip peran gender perempuan. Dengan demikian, murid- murid sekolah homogen akan memiliki keyakinan yang kuat terhadap
peran gender tradisional karena sistem sekolah yang mempromosikan maskulinitas pada sekolah homogen laki-laki dan femininitas pada
sekolah homogen perempuan. 3. Promosi Peran Gender Tradisional pada Sekolah Heterogen
Sekolah heterogen membuka kesempatan bagi para murid- muridnya untuk saling berinteraksi dengan lawan jenisnya sehingga
anggota kedua jenis kelamin dapat saling mengerti satu sama lain Ogden, 2011. Murid-murid sekolah heterogen dapat belajar bagaimana lawan
jenisnya berpikir, merasa, merespon, dan bereaksi Ogden, 2011. Hal ini dapat membuat murid-murid sekolah heterogen cenderung memiliki
persepsi peran gender tradisional yang rendah karena adanya proses saling memahami antara satu gender dengan yang lainnya. Selain itu, sekolah
heterogen cenderung tidak mempromosikan pembentukan stereotip berdasarkan peran gender Lee et al., 1994. Dengan kata lain, sekolah
heterogen cenderung tidak mempromosikan peran gender tradisional. Lee, Marks, dan Byrd 1994 juga menemukan tingkat seksisme diskriminasi
berdasarkan jenis kelamin yang didasarkan pada pemahaman bahwa laki- laki lebih superior dari perempuan yang lebih rendah dan kesetaraan antar
gender yang lebih tinggi pada sekolah heterogen. Dengan demikian,
murid-murid sekolah heterogen akan cenderung menerima kehadiran orang-orang yang tidak mengikuti peran gender tradisional, sehingga
murid-murid sekolah heterogen akan cenderung lebih menerima homoseksualitas.
4. Gambaran Sikap terhadap Homoseksualitas pada Murid Sekolah Homogen dan Heterogen
Sekolah homogen
memiliki sistem
pendidikan untuk
mempromosikan maskulinitas pada sekolah homogen laki-laki dan femininitas pada sekolah homogen perempuan. Hal ini disebabkan tidak
hanya melalui proses di kelas lihat Lee et al., 1994 tetapi juga melalui proses meniru dari para guru Lee et al., 1994; Martino Frank, 2006.
Pada sekolah homogen, peran gender tradisional juga dikuatkan melalui penyampaian materi pelajaran Lee et al., 1994. Sebagai contoh, pada
sekolah khusus perempuan, rumus kimia dianalogikan dengan resep masakan Lee et al., 1994. Sementara itu, di sekolah khusus laki-laki,
kelas bahasa Inggris menggunakan literatur yang menempatkan perempuan sebagai objek seksual Lee et al., 1994. Dengan demikian,
murid-murid sekolah homogen akan memiliki keyakinan akan peran gender tradisional yang kuat. Oleh karena keyakinan terhadap peran
gender tradisional yang kuat dapat membentuk sikap yang negatif terhadap homoseksualitas, murid-murid sekolah homogen akan memiliki sikap yang
lebih negatif terhadap homoseksualitas.
Sekolah heterogen
memiliki sistem
pengajaran untuk
mempromosikan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan Lee et al., 1994 melalui interaksi yang terbuka antara kedua jenis kelamin Ogden,
2011. Hal ini dapat membuat murid-murid sekolah heterogen dapat saling memahami kedua jenis kelamin Ogden, 2011 yang berdampak pada
meningkatnya pemahaman para murid akan kesetaraan gender. Selain itu, karena ketidaksetaraan gender tidak diperkuat di sekolah heterogen,
murid-murid sekolah heterogen akan saling menganggap bahwa murid lainnya juga merasa pembedaan gender bukanlah suatu hal yang positif.
Berdasarkan teori pembentukan sikap berdasarkan perbandingan sosial, murid-murid sekolah heterogen akan memiliki sikap yang cenderung
negatif terhadap ketidaksetaraan gender. Dengan demikian, murid-murid sekolah heterogen akan memiliki keyakinan terhadap peran gender
tradisional yang cenderung rendah, sehingga sikap murid-murid sekolah heterogen terhadap homoseksualitas akan cenderung lebih positif.
E. Hipotesis