Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Pranikah Pada

senggama karena lepas kontrolnya diri. Bagi perempuan, petting dapat menyebabkan robek nya selaput darah. 10. Intercouse Senggama Intercouse atau senggama adalah aktivitas dengan memasukkan alat kelamin laki- laki kedalam alat kelamin perempuan. Menurut Kinsey 1965 yang dikutip dari Loveria 2012 bahwa perilaku seksual melalui empat tahapan yaitu : 1. Bersentuhan touching mulai dari berpegangan tangan sampai berpelukan. 2. Berciuman kissing mulai dari ciuman singkat hingga berciuman bibir dengan mempermainkan lidah. 3. Bercumbuan petting menyentuh bagian yang sensitif dari tubuh pasangan dan mengarah kepada pembangkitan gairah seksual. 4. Berhubungan kelamin. Selain itu, Kinsey juga mengkategorikan tingkatan perilaku seksual dibagi menjadi dua, yaitu perilaku seksual ringan jika seseorang pernah melakukan berpegangan tangan, berpelukan, sampai berciuman bibir dan perilaku seksual berat jika seseorang pernah melakukan perilaku seksual meraba dadaalat kelamin pasangan, saling menggesekkan alat kelamin dengan pasangan, oral seks, dan melakukan hubungan seksual intercouse.

2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Pranikah Pada

Remaja Menurut Kusmiran 2012, faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual pada remaja adalah : Universitas Sumatera Utara 1. Perubahan biologis yang terjadi pada masa pubertas dan pengaktifan hormonal dapat menimbulkkan perilaku seksual. 2. Kurangnya pengaruh orang tua melalui komunikasi antara orang tua dan remaja seputar masalah seksual yang dapat memperkuat munculnya penyimpangan perilaku seksual. 3. Pengaruh teman sebaya yang kuat sehingga munculnya penyimpangan perilaku seksual dikaitkan dengan norma kelompok sebaya. 4. Remaja dengan prestasi rendah lebih sering memunculkan aktivitas seksual dibandingkan remaja dengan prestasi yang baik disekolah. Menurut Sarwono 2011, faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual adalah : a. Perubahan hormonal Yaitu terjadinya perubahan seperti peningkatan hormone testosterone pada laki- laki dan estrogen pada perempuan, dapat menimbulkan hasrat libido seksualitas remaja. Peningkatan hasrat seksual ini membutuhkan penyaluran dalam tingkah laku seksual tertentu. b. Penundaan usia perkawinan Merupakan penyaluran hasrat seksual yang tidak dapat segera dilakukan karena adanya penundaan usia perkawinan, baik secara hukum oleh karena adanya undang-undang perkawinan yang menetapkan batas usia minimal paling sedikit 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk laki-laki. Universitas Sumatera Utara c. Norma-norma di masyarakat Yaitu norma-norma agama yang berlaku dimana seseorang dilarang untuk melakukan hubungan seks sebelum menikah. Bahkan larangannya berkembang lebih jauh kepada tingkah laku yang lain seperti berciuman, dan masturbasi. Remaja yang tidak dapat menahan diri akan terdapat kecenderungan untuk melanggar saja larangan-larangan tersebut. Norma budaya dalam perilaku seksual pranikah adalah tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah. d. Penyebaran informasi melalui media massa Merupakan kecenderungan pelanggaran yang semakin meningkat oleh karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui media massa dengan adanya teknologi canggih video, cassette, foto copy, satelit palapa, dan lain-lain menjadi tidak terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa yang dilihat atau didengarnya dari media massa. Khususnya karena mereka pada umumnya belum pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orang tuanya. e. Tabu larangan Yaitu orang tua sendiri, baik karena ketidaktahuannya maupun sikapnya yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak tidak terbuka terhadap anak, malah cenderung membuat jarak dengan anak dalam masalah seksual. Universitas Sumatera Utara f. Pergaulan dan akses yang semakin mudah Adanya kecenderungan pergaulan yang makin bebas antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, sebagai akibat berkembangnya peran dan pendidikan wanita sehingga kedudukan wanita makin sejajar dengan pria. Hasil penelitian Seotjiningsih 2008, menunjukkan bahwa faktor faktor yang mempengaruhi perilaku seks pranikah pada remaja selain pengetahuan adalah hubungan orang tua-remaja, tekanan negatif teman sebaya, pemahaman aspek agama religiusitas, dan eksposur media pornografi memiliki pengaruh yang signifikan, baik langsung maupun tidak langsung terhadap perilaku seksual pranikah pada remaja. Pengetahuan remaja tentang hubungan seksual pranikah merupakan keyakinan atau opini setiap individu terhadap hubungan seksual, pengetahuan ini dapat bersifat positif atau negatif yang tergantung pada luasnya wawasan dan nilai moral setiap individu. Apabila seorang individu menyadari bahwa hubungan seksual pranikah adalah tindakan yang tidak dapat diterima oleh keluarga dan lingkungan komunitas, maka potensi remaja tersebut untuk melakukan seksual pranikah akan semakin kecil Jawiah dalam Loveria 2012. Berikut adalah penjabaran penjelasan mengenai faktor- faktor yang mempengaruhi perilaku seksual pranikah yaitu :

1. Pengetahuan terhadap perilaku seksual pranikah

Kebanyakan remaja tidak memiliki pengetahuan yang akurat tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas. Selain itu remaja juga tidak memiliki akses terhadap pelayanan dan informasi biasanya hanya dari teman atau media, yang biasanya sering tidak akurat. Hal inilah yang menyebabkan remaja perempuan rentan terhadap Universitas Sumatera Utara kematian maternal. Kematian anak dan bayi, aborsi tidak aman, IMS, kekerasan atau pelecehan seksual dan lain-lain. Kurangnya pemahaman tentang perilaku seksual pada masa remaja amat merugikan bagi remaja itu sendiri termasuk keluarganya, sebab pada masa ini remaja mengalami perkembangan yang penting yaitu kognitif, emosi, sosial dan seksual. Kurangnya pemahaman ini disebabkan berbagai faktor antara lain adat istiadat, budaya, agama, dan kurangnya informasi dari sumber yang benar Pangkahila dalam Soetjiningsih, 2010. Menurut Astuti dalam Susilawaty 2012, pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi sangat mempengaruhi perilaku remaja untuk hidup sehat, khusunya yang terkait dengan kesehatan reproduksi.

2. Sikap terhadap perilaku seksual pranikah

Menurut Bungin 2001 dalam Fadhila 2010, Sikap seksual adalah respon seksual yang diberikan oleh seseorang setelah melihat, mendengar atau membaca informasi serta pemberitaan, gambar-gambar yang berbau porno dalam wujud suatu orientasi atau kecenderungan dalam bertindak. Sikap yang dimaksud adalah sikap remaja terhadap perilaku seksual pranikah. Pengetahuan seksual pranikah dapat mempengaruhi sikap individu tersebut terhadap seksual pranikah. Remaja yang mendapat informasi yang benar tentang seksual pranikah maka mereka akan cenderung mempunyai sikap negatif. Sebaliknya remaja yang kurang pengetahuannya tentang seksual pranikah cenderung mempunyai sikap positif sikap menerima adanya perilaku seksual pranikah sebagai kenyataan sosiologis. Universitas Sumatera Utara

3. Pelaksanaan keagamaan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama merupakan suatu sistem yang mengatur tata keimanan kepercayaan dan peribadatan kepada Tuhan yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Menurut penelitian yang dilakukan Audisti dan Ritandiyono 2008 dalam Susilawaty 2012, terdapat hubungan yang signifikan antara religiusitas terhadap perilaku seks pranikah. Hal ini berarti semakin tinggi religiusitas maka semakin rendah perilaku seks bebasnya, dan sebaliknya semakin rendah religiusitasnya maka semakin tinggi perilaku seks bebasnya. Seseorang yang memilki tingkat religiusitas yang rendah yang tidak menghayati agamanya dengan baik sehingga dapat saja perilakunya tidak sesuai dengan ajaran agamanya. Orang seperti ini memiliki religiusitas yang rapuh sehingga dengan mudah dapat ditembus oleh daya atau kekuatan yang ada pada wilayah seksual. Maka demikian, seseorang akan mudah melanggar ajaran agamanya misal dengan melakukan perilaku seks bebas sebelum menikah.

4. Paparan media pornografi

Menurut Boyke dalam Evina 2006, pornografi adalah tulisan, gambar, televisi, atau bentuk komunikasi lain yang melukiskan orang,hampir sebagian besar perempuan tetapi terkadang laki-laki dan anak-anak, dalam pose yang erotis menggairahkan secara seksual atau aktivitas seksual yang menentang , menyimpang dari apa yang disebut sehat dan normal. Universitas Sumatera Utara Menurut Kusmiran 2012, kondisi hormonal remaja dapat menyebabkan remaja semakin peka terhadap stimulus seksual berupa visual, sentuhan, audiovisual dan lainnya sehingga mendorong munculnya perilaku seksual. Dengan meningkatnya dorongan seksual, remaja akan mudah sekali terangsang secara seksual. Membaca bacaan romantis, melihat gambar romantis, melihat alat kelamin lawan jenis, atau menyentuh alat kelaminnya akan dapat menimbulkan rangsangan seksual. Banyak sekali informasi melalui media massa, cetak, elektronik yang ditayangkan secara vulgar dan bersifat tidak mendidik, tetapi lebih cenderung mempengaruhi dan mendorong perilaku seksual yang tidak bertanggung jawab. Keterpaparan remaja terhadap pornografi dalam bentuk bacaan berupa buku porno, melalui film porno semakin meningkat. Konsultasi seks yang diberikan melalui media elektronik yang disebut sebagai pendidikan seks, penayangan film tertentu di televisi dapat menyebabkan salah persepsi atau pemahaman yang kurang tepat terhadap kesehatan reproduksi Pinem, 2009. Dampak negatif dari media terutama pornografi merupakan hal yang serius untuk ditangani. Makin meningkatnya jumlah remaja yang terpapar pornografi merupakan suatu masalah besar yang dapat berkontribusi terhadap meningkatnya jumlah remaja yang berperilaku seksual aktif. Semakin meningkatnya prevalensi penyakit yang diakibatkan oleh perilaku seksual aktif pada remaja juga berpengaruh terhadap meningkatnya permasalahan pada kesehatan reproduksi remaja.

5. Peran Orang Tua

Keluarga mempunyai pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan remaja karena keluarga merupakan lingkungan social pertama, yang meletakkan dasar-dasar Universitas Sumatera Utara kepribadian remaja. Selain orang tua, saudara kandung dan posisi anak dalam keluarga juga berpengaruh bagi remaja. Pola asuh orang tua sangat besar pengaruhnya terhadap remaja. Pola asuh otoriter, demokratik, ataupun permisif memberikan dampak yang berbeda bagi remaja. Orang tua yang menerapkan pola asuh yang otoriter dimana orang tua menerapkan disiplin yang kaku dan menuntut anak untuk mematuhi aturan-aturannya, membuat remaja menjadi frustasi. Sebaliknya pola asuh yang permisif diaman orang tua memberikan kebebasan kepada anak namun kurang disertai adanya batasan-batasan dalam berperilaku, akan membuat anak kesuliatan dalam mengendalikan keinginan-keinginannya maupun dalam perilaku untuk menunda pemuasan. Pola asuh demokratik yang mengutamakan adanya dialog antara remaja dan orang tua akan lebih menguntungkan bagi remaja, karena selain memberikan kebebasan kepada anak, tetapi juga disertai dengan adanya kontrol dari orang tua sehingga apabila terjadi konflik atau perbedaan pendapat diantara mereka dapat dibicarakan dan diselesaikan bersama-sama Marheni dalam Soetjiningsih, 2010. Kebanyakan orang tua yakin bahwa menjauhkan pengetahuan seks dari remaja akan menyelamatkan mereka dari seks bebas yang sudah menjadi trend hidup modern saat ini. ini merupakan cara pandang yang kurang benar. Bagaimanapun juga perkembangan biologis, fisiologis, dan psikologis remaja memang mendorong mereka untuk mencari informasi tentang seks dengan sendirinya. Tanpa pengetahuan yang benar mereka akan mencari informasi dengan cara mereka sendiri. Dan cara tersebut sebagian besar tidak informatif serta menjerumuskan. Pengetahuan yang benar tentang seks akan mendorong remaja untuk berpikir tentang risiko-risiko yang Universitas Sumatera Utara akan mereka hadapi ketika mereka melakukan seks bebas. Sayangnya, kini sebagian besar orang tua kehilangan skill untuk berkomunikasi dengan anak mengenai pengetahuan seks Riandini, 2011. Menurut Irmayani 2008, perilaku yang tidak sesuai dengan tugas perkembangan remaja pada umumnya dapat dipengaruhi oleh orang tua. Bilamana orang tua mampu memberikan pemahaman mengenai perilaku seks kepada anak- anaknya, maka anak-anaknya cenderung mengontrol perilaku seksnya itu sesuai dengan pemahaman yang diberikan orang tuanya.

6. Peran teman sebaya

Teman sebaya adalah anak- anak atau remaja dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama Santrock, 2003. Salah satu fungsi teman sebaya adalah untuk memberikan berbagai informasi dan perbandingan tentang dunia di luar keluarga. Menurut Andayani dalam Susilawaty 2012, mengatakan bahwa dukungan teman sebaya menjadi salah satu motivasi dalam pembentukan identitas diri seorang remaja dalam melakukan sosialisasi, terutama ketika ia mulai menjalin asmara dengan lawan jenis. Selanjutnya kadang kala teman sebaya menjadi slah satu sumber informasi yang cukup berpengaruh dalam pembentukan pengetahuan seksual dikalangan remaja, akan tetapi informasi teman sebaya bisa menimbulkan dampak negatif karena informasi yang mereka peroleh hanya melalui tayangan media atau berdasarkan pengalaman sendiri. Kuatnya pengaruh teman sebaya karena remaja lebih banyak berada diluar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti Universitas Sumatera Utara bahwa pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga.

2.5. Alasan Remaja Melakukan Perilaku Seksual Pranikah