2. Untuk mengetahui peraturan Undang-undang yang terkait terhadap
penelantaran anak 3.
Untuk melihat bagaimana penerapan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga terhadap tindak pidana penelantaran anak terutama terhadap Putusan
No: 2632 Pid.B2013PN-Mdn dan Putusan No: 498 Pid.B2014PN-Rap.
2. Manfaat Penulisan a. Secara Teoritis
Secara teoritis, penulisan skripsi ini diharapkan akan menambah kepastian hukum pada khususnya dan menjadi bahan untuk penelitian lebih lanjut dalam
bidang hukum pidana pada umumnya dan tentang penerapan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga terhadap tindak pidana penelantaran anak terutama
terhadap Putusan No: 2632 Pid.B2013PN-Mdn dan Putusan No: 498 Pid.B2014PN-Rap sehingga diharapkan skripsi ini dapat menjadi bahan
masukan bagi mahasiswa serta dapat memperluas dan menambah pengetahuan mengenai hukum pidana.
b. Secara Praktis
Secara praktis, pembahasan mengenai permasalahan penulisan skripsi ini diharapakan dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat dan aparat penegak
hukum yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran hukum dan perannya dalam menerapkan sanksi pidana pada kasus penelantaran anak di Indonesia.
D. Keaslian Penulisan Skripsi ini dengan judul “Penerapan Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Tindak Pidana Penelantaran
Universitas Sumatera Utara
Anak Studi Putusan No: 2632 Pid.B2013PN-Mdn dan Putusan No: 498 Pid.B2014PN-Rap” belum pernah ditulis oleh siapapun sebelumnya di
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Pada prinsipnya karya ilmiah ini penulisan memperolehnya berdasarkan literatur yang ada, baik dari perpustakaan,
media masa cetak maupun elektronik, ditambahkan pemikiran penulis. Oleh karena itu skripsi ini adalah asli merupakan karya ilmiah milik penulisan dan
dapat dipertanggungjawabkan secara moral maupun akademik.
E. Tinjauan kepustakaan
1. Tindak Pidana Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana
Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Strafbaar feit, terdiri dari 3 kata, yakni
straf, baar, dan feit. Adami Chazawi telah menginventarisir sejumlah istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perandang-undangan yang ada maupun dalam
berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit, yaitu sebagai berikut:
13
1. Tindak pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-
undangan pidana kita. Dalam beberapa peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No. 20 Tahun 2001, dan perundang-undangan lainnya.
2. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya:
R. Tresna dalam bukunya Azas-azas Hukum Pidana H.J van Schravendijk
13
Adami chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Jakarta : Raja Grafindo Persada 2002, Hal 67 – 68
Universitas Sumatera Utara
dalam buku Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia, A. Zainal Abidin, dalam bukunya Hukum Pidana. Pembentuk UU juga pernah
menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu dalam UUDS 1950 [baca Pasal 14 ayat 1].
3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin delictum juga
digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur, misalnya E.
Utrecht, walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni peristiwa pidana dalam buku Hukum Pidana I. A. Zainal Abidin dalam buku beliau
Hukum Pidana I. Moeljatno pernah juga menggunakan istilah ini seperti pada judul buku Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan, walaupun
menurutnya lebih tepat dipergunakan istilah perbuatan pidana. 4.
Pelanggaran pidana, dapat dijumpai dalam buku M.H. Tirtaamidjaja yang berjudul Pokok-pokok Hukum Pidana.
5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh M. Karni dalam
buku beliau Ringkasan tentang Hukum Pidana Begitu juga Schravendijk dalam bukunya Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia.
6. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk Undang-undang
di dalam UU No. 12Drt1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak Pasal 3. 7.
Perbuatan pidana, digunakan oleh Moeljatno dalam: berbagai tulisan beliau, misalnya dalam buku Azas-azas Hukurn Pidana.
Dari istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari Strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar
Universitas Sumatera Utara
diterjemahkan dengan dapat dan boleh, sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.
14
Para ahli hukum mengemukakan istilah yang berbeda-beda dalam upayanya memberikan arti dari strafbaar feit. Berikut ini dikemukakan beberapa pengertian
dari tindak pidana strafbaar feit, menurut para ahli yang dapat digolongkan menganut pandangan aliran dualisme:
15
1. Menurut W.P.J. Pompe, suatu strafbaar feit definisi menurut hukum
positif itu sebenarnya adalah tidak lain dari pada suatu “tindakan yang menurut suatu rumusan Undang-undang telah dinyatakan yang dapat
dihukum”.
16
Pompe mangatakan, bahwa “strafbaar feit” itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma gangguan terhadap
tertib hukum yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut
adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”.
17
Pompe mengadakan pembagian eleman Strafbaar feit atas:
18
a. Wederrechtelijkheid unsur melawan hukum
b. Schuld Unsur kesalahan
c. SubsocialeI unsur bahayagangguanmerugikan
14
Adami Chazawi, Ibid , Hal. 69.
15
Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi ke-2, Medan:USU-Press, 2010 , Hal. 73.
16
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung:PT. Citra Aditya Bakti,1997 ,Hal. 174
17
Ibid, Hal. 182.
18
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana ,Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985, Hal. 104
Universitas Sumatera Utara
2. Menurut Van Hamel, telah merumuskan “strafbaar feit” itu sebagai “suatu
serangan atau ancaman terhadap hak-hak orang lain”.
19
3. H.B. Vos, Strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam
pidana oleh Undang-undang.
20
4. Menurut R. Tresna, Peristiwa Pidana itu adalah suatu perbuatan atau
rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan Undang-Undang atau peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan
tindakan penghukuman.
21
Tidak ada persamaan pendapat di kalangan para ahli tentang syarat-syarat yang menjadikan perbuatan manusia itu sebagai
peristiwa pidana, oleh karena itu sebagai peristiwa pidana R. Tresna menyatakan, dapat diambil sebagai patokan bahwa peristiwa pidana itu
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
22
a. Harus ada suatu perbuatan manusia.
b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam ketentuan
hukum c.
Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan.
d. Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum.
e. Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya dalam undang–
undang.
19
Ibid., hlm. 182.
20
Mohammad Eka Putra, Op.Cit., hlm. 81
21
R. Tresna, Azas–Azas Hukum Pidana, Jakarta: Tiara Limited, 1959, Hal. 27
22
Ibid, Hal. 28
Universitas Sumatera Utara
Jika di atas diterangkan tentang pandangan dualisme yang memisahkan antara unsur yang mengenai perbuatan dengan unsur yang melekat pada diri
orangnya tentang tindak pidana. Ada pandangan lain yakni pandangan monisme yang tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatan dengan unsur-
unsur mengenai diri orangnya. Beberapa pendapat para ahli yang berpandangan monisme berdasarkan dari rumusan yang mereka buat tentang tindak pidana
seperti berikut:
23
1. J.E.Jonkers dalam Bambang Poernomo, telah memberikan defenisi
strafbaar feit menjadi dua pengertian:
24
a. Defenisi pendek memberikan pengertian strafbaar feit adalah suatu
kejadian Feit yang dapat diancam pidana oleh undang-undang. b.
Defenisi panjang pengertian strafbaar feit adalah suatu kelakuan yang melawan hukum wederrechttelijk berhubung dilakukan dengan sengaja
atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Jonkers,
25
23
Adami Chazawi, Op.Cit, Hal. 75
24
Bambang Poernimo, Op, Cit, Hal. 91
25
Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda,Jakarta:Bina Aksara, 1987, Hal.136
sifat melawan hukum dipandang sebagai unsur yang tersembunyi dari tiap peristiwa pidana, namun tidak adanya kemampuan
untuk dapat dipertanggungjawabkan merupakan alasan umum untuk dibebaskan dari pidana. Kesengajaan atau kesalahan selalu merupakan
unsur dari kejahatan. Berdasarkan hal ini ternyata defenisi tindak pidana yang panjang itu terlalu luas dan selain menyebutkan mengenai peristiwa
pidana juga menyebutkan tentang pribadi si pembuat. Menurut Jonkers
Universitas Sumatera Utara
hal ini tidaklah merupakan keberatan yang terlampau besar, karena kita selalu meninjau peristiwa pidana dalam hubungan dengan si pembuat.
2. Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah suatu
perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. 3.
H.J.Van Schravendijk, merumuskan perbuatan yang boleh di hukum adalah kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum
sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal dilakukan oleh seseorang yang karena itu dapat dipersalahkan.
4. Simons dalam P.A.F. Lamintang merumuskan strafbaar feit adalah suatu
tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oeh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang
dinyatakan sebagai dapat dihukum. Alasan dari simons apa sebabnya “ Strafbaar Feit” itu harus dirumuskan seperti di atas adalah karena:
a. Untuk adanya suatu strafbaar feit itu disyaratkan bahwa di situ harus
terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh Undang–undang, dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban
semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum
b. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus
memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan di dalam Undang–undang, dan
Universitas Sumatera Utara
c. Setiap Strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan merupakan
suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu onrechmatige handeling.
26
5. Menurut Jan Remmelink,
27
6. J. Baumann dalam sudarto merumuskan, bahwa tindak pidana merupakan
perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.
bahwa sekilas tampak bahwa membatasi pengertian “bahaya” ini tidak perlu, karena makna istilah bahaya kiranya
dapat dirasakan oleh setiap orang secara alamiah. Namun seorang juris tidak dapat menghindari keharusan untuk mencari batasan yang lebih tegas. Di
sini istilah bahaya dimengerti sebagai kemungkinan nyata timbulnya kerusakan terhadap benda hukum atau kepentingan hukum rechtsgoederen
yang dilindungi oleh hukum.
28
Dari beberapa pendapat para sarjana diatas, maka dapat dikemukakan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang baik disengaja atau tidak
disengaja, yang apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan suatu peraturan yang ada maka akibat dari perbuatannya diberikan sanksi sesuai hukuman yang
ada dalam peraturan tersebut. Syarat utama penjatuhan pidana terhadap penelantaran anak adalah adanya
perbuatan manusia yang memenuhi rumusan delik dalam Undang-Undang, hal ini adalah konsekuensi dari asas legalitas. Rumusan delik ini penting, artinya
sebagai prinsip kepastian, Undang-undang pidana sifatnya harus pasti, di
26
P.A.F. Lamintang, Op.Cit, Hal. 176
27
Jan Remmelink, Hukum Pidana, Jakarta:Gramedia Pustaka Utama ,2003, Hal. 64 - 65
28
Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, 1990 Hal. 42
Universitas Sumatera Utara
dalamnya harus dapat diketahui yang dilarang atau apa yang diperintahkan. Pada prinsipnya tiap perbuatan pidana harus terdiri atas unsur-unsur lahir oleh karena
perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya adalah suatu kejadian dalam alam lahir. Namun unsur-unsur tindak pidana secara
keseluruhan pada umumnya dapat dibagi atas:
29
Penelantaran rumah tangga sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga maka dapat dijabarkan
bahwa unsur-unsur tindak pidana menelantarkan anak adalah: a. Kelakuan dan akibat perbuatan
b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
d. Unsur melawan hukum yang obyektif e. Unsur melawan hukum yang subyektif
Dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 disebutkan: 1 Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau
pemeliharaan pada orang tersebut.
2 Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat 1 juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi
danatau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut.
30
a. Unsur kelakuan yang disebut dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 adalah perbuatan menelantarkan dalam rumah tangga dimana kedudukan suami sebagai kepala rumah tangga seharusnya memberikan
29
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2002, Hal. 59
30
Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, Jakarta:Citra Aditya, 2009, Hal. 29
Universitas Sumatera Utara
kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan pada orang tersebut. Sedangkan unsur akibat yang ditimbulkan adalah terlantarnya rumah tangga yang telah
dibangun atas dasar kesepakatan dalam ikatan pernikahan. b.
Unsur hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan menurut beberapa penulis Belanda berpendapat bahwa keadaan tadi merupakan strafbaar feit,
sekalipun tambahan. Sehingga unsur ini lebih condong untuk memandangnya sebagai elemen perbuatan pidana tetapi sebagai syarat penuntutan. Untuk hal
ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan penelantaran istri adalah suami tidak memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada
istri maupun anak. c.
Untuk unsur keadaan tambahan yang memberatkan pidana dalam Pasal 9 dan Pasal 49 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tidak mengatur hal-
hal yang dapat memberatkan pidana terhadap pelaku tindak pidana penelantaran istri maupun anak.
d. Tindakan penelantaran dalam rumah tangga setelah keluarnya Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2004 sudah menjadi perbuatan melawan hukum pidana dimana ada sanksi pidana yang mengaturnya secara khusus dalam
Undang-Undang tersebut. Unsur perbuatan melawan hukum obyektif yang terdapat dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 adalah:
1 Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan,
atau pemeliharaan pada orang tersebut.
2 Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat 1 juga berlaku bagi setiap
orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi danatau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau
di luar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut.
Universitas Sumatera Utara
e. Unsur melawan hukum yang subyektif merupakan sifat melawan hukumnya
perbuatan tergantung pada bagaimana sikap batinnya terdakwa.Pengetahuan tentang sifat melawan hukum yang subyektif ini relatif belum lama, dapat
disimpulkan dalam tindak pidana penelantaran dalam rumah tangga yang menjadi unsur melawan hukum yang subyektifnya adalah niat suami.
2. Anak dan Penelantaran Anak