Pembuatan Edible Film Dari Campuran Tepung Tapioka, Kitosan, Gliserin dan Ekstrak Buah Naga Merah (Hylocereus Costaricencis) Sebagai Pengemasan Sosis Sapi

(1)

Lampiran A. Hasil Karakterisasi Edible Film

Keterangan: σ : Kuat tarik Edible Film (KgF/mm2) ԑ : Kemuluran (%)

No. Variabel Tebal (mm)

Lebar (mm)

Lo

(mm) Ao

(mm2)

Load (KgF)

Stroke (mm/menit)

σ

(KgF/mm2) ԑ (%) 1 I 0,232 31 110 3,41 0,17 16,0 0,0498 14,54 2 II 0,108 31 110 6,2 0,13 11,4 0,0209 10,36 3 III 0,196 31 110 4,96 0,07 10,7 0,0141 9,72 4 IV 0,236 31 110 7,44 0,11 8,7 0,0147 7,91 5 V 0,156 31 110 7,13 0,09 7,2 0,0126 6,54


(2)

Lampiran B. Gambar Penelitian

Lampiran B.1 Edible film dengan komposisi 6 g tepung tapioca, kitosan 2%, 10 g ekstrak buah naga merah, dan 2 g gliserin.

Lampiran B.2 Edible film dengan komposisi 6 g tepung tapioca, kitosan 2%, 20 g ekstrak buah naga merah, dan 2 g gliserin.


(3)

Lampiran B.3 Edible film dengan komposisi 6 g tepung tapioca, kitosan 2%, 30 g ekstrak buah naga merah, dan 2 g gliserin.

Lampiran B.4 Edible film dengan komposisi 6 g tepung tapioca, kitosan 2%, 40 g ekstrak buah naga merah, dan 2 g gliserin.


(4)

Lampiran B.5 Edible film saat dilepas dari plat akrilik

Lampiran C.1.Hasil Analisa Gugus Fungsi FT-IR Edible Film dengan variasi 10 ml ekstrak buah naga merah, 6 g tepung tapioca, 12 ml kitosan 2%, 1 ml gliserin


(5)

Lampiran C.2.Hasil Analisa Gugus Fungsi FT-IR Edible Film dengan variasi 20 ml ekstrak buah naga merah, 6 g tepung tapioca, 12 ml kitosan 2%, 1 ml gliserin

Lampiran C.3.Hasil Analisa Gugus Fungsi FT-IR Edible Film dengan variasi 30 ml ekstrak buah naga merah, 6 g tepung tapioca, 12 ml kitosan 2%, 1 ml gliserin


(6)

Lampiran C.4.Hasil Analisa Gugus Fungsi FT-IR Edible Film dengan variasi 40 ml ekstrak buah naga merah, 6 g tepung tapioca, 12 ml kitosan 2%, 1 ml gliserin

Lampiran C.5.Hasil Analisa Gugus Fungsi FT-IR Edible Film dengan variasi 50 ml ekstrak buah naga merah, 6 g tepung tapioca, 12 ml kitosan 2%, 1 ml gliserin.


(7)

Lampiran D. 1.1 Jumlah pertumbuhan koloni bakteri dalam waktu 1 hari terhadap sampel 1 sosis yang dibungkus dengan Edible

Film

Lampiran D. 2 Jumlah pertumbuhan koloni bakteri dalam waktu 3 hari terhadap sampel 1 sosis yang dibungkus dengan Edible Film


(8)

Lampiran D. 3 Jumlah pertumbuhan koloni bakteri dalam waktu 5 hari terhadap sampel 1 sosis yang dibungkus dengan Edible Film

Lampiran D. 2.1 Jumlah pertumbuhan koloni bakteri dalam waktu 1 hari terhadap sampel 2 sosis yang dibungkus dengan Edible


(9)

Lampiran D. 2.2 Jumlah pertumbuhan koloni bakteri dalam waktu 3 hari terhadap sampel 2 sosis yang dibungkus dengan Edible

Film

Lampiran D. 2.3 Jumlah pertumbuhan koloni bakteri dalam waktu 5 hari terhadap sampel 2 sosis yang dibungkus dengan Edible


(10)

Lampiran D. 3.1 Jumlah pertumbuhan koloni bakteri dalam waktu 1 hari terhadap sampel 3 sosis yang dibungkus dengan Edible

Film

Lampiran D. 3.2 Jumlah pertumbuhan koloni bakteri dalam waktu 3 hari terhadap sampel 3 sosis yang dibungkus dengan Edible


(11)

Lampiran D. 3.3 Jumlah pertumbuhan koloni bakteri dalam waktu 5 hari terhadap sampel 3 sosis yang dibungkus dengan Edible

Film

Lampiran E.1. Grafik Plot Permukaan Ketebalan edible film dari ekstrak buah naga merah dengan campuran tepung tapioca, kitosan, dan gliserin

0 50 100 150 200 250

10 ml buah naga merah

20 ml buah naga merah

30 ml buah naga merah

40 ml buah naga merah

50 ml buah naga merah

Ketebalan Column2


(12)

Lampiran E.2. Grafik Plot Permukaan Kuat Tarik edible film dari ekstrak buah naga merah dengan campuran tepung tapioca, kitosan, dan gliserin

Lampiran E.3. Grafik Plot Permukaan Kemuluran edible film dari ekstrak buah naga merah dengan campuran tepung tapioca, kitosan, dan gliserin

0 100 200 300 400 500 600

10 ml Buah Naga Merah

20 ml Buah Naga Merah

30 ml Buah Naga Merah

40 ml Buah Naga Merah

50 ml Buah Naga Merah Column2 Column1 Kuat Tarik 0 2 4 6 8 10 12 14 16

10 ml Buah Naga Merah

20 ml Buah Naga Merah

30 ml Buah Naga Merah

40 ml Buah Naga Merah

50 ml Buah Naga Merah

Column1 Column2 Kemuluran


(13)

Lampiran F. Hasil Analisa Permukaan dengan SEM pada Edible film dari 10 g ekstrak buah naga merah, 81ml aquadest, 6 g tepung terigu, kitosan 2% dan 1 ml gliserin


(14)

Lampiran F. Struktur Bahan Campuran Dalam Pembuatan Edible Film

Interaksi Kitosan dengan Gliserin


(15)

Interaksi struktur kitosan dengan struktur antioksidan buah naga merah

Interaksi struktur antioksidan buah naga merah dengan struktur gliserin. (Zaidar,emma.2016)


(16)

Lampiran G. 1 Penentuan Ketebalan

Penentuan ketebalan pada edible film dengan penambahan tepung tapioca, kitosan, ekstrak buah naga merah, aquadest dan gliserin dapat dihitung dengan menggunakan jangka sorong. Penetuan dilakukan pada lima sisi yang berbeda.

1.1 Penentuan Ketebalan Edible Film Perbandingan Buah naga merah 10 ml

Adapun perhitungan ketebalan rata-rata edible film: Uji ketebalan (X1) = 0,23 mm

Uji ketebalan (X2) = 0,23 mm

Uji ketebalan (X3) = 0,23 mm

Uji ketebalan (X4) = 0,23 mm

Uji ketebalan (X5) = 0,24 mm

Uji ketebalan rata-rata = 0,23 mm + 0,23 mm + 0,23 mm + 0,23 mm + 0,24 mm 5

= 0, 232 mm

1.2 Penentuan Ketebalan Edible Film Perbandingan Buah naga merah 20 ml

Adapun perhitungan ketebalan rata-rata edible film: Uji ketebalan (X1) = 0,11 mm

Uji ketebalan (X2) = 0,11 mm

Uji ketebalan (X3) = 0,11 mm


(17)

Uji ketebalan (X5) = 0,10 mm

Uji ketebalan rata-rata = 0,11 mm + 0,11 mm + 0,11 mm + 0,11 mm + 0,10 mm 5

= 0, 108 mm

1.3 Penentuan Ketebalan Edible Film Perbandingan Buah naga merah 30 ml

Adapun perhitungan ketebalan rata-rata edible film: Uji ketebalan (X1) = 0,20 mm

Uji ketebalan (X2) = 0,20 mm

Uji ketebalan (X3) = 0,20 mm

Uji ketebalan (X4) = 0,20 mm

Uji ketebalan (X5) = 0,18 mm

Uji ketebalan rata-rata = 0,20 mm + 0,20 mm + 0,20 mm + 0,20 mm + 0,18 mm

Uji ketebalan (X4) = 0,24 mm

5 = 0, 196 mm

1.4 Penentuan Ketebalan Edible Film Perbandingan Buah naga merah 40 ml

Adapun perhitungan ketebalan rata-rata edible film: Uji ketebalan (X1) = 0,24 mm

Uji ketebalan (X2) = 0,24 mm


(18)

Uji ketebalan (X5) = 0,22 mm

Uji ketebalan rata-rata = 0,24 mm + 0,24 mm + 0,24 mm + 0,24 mm + 0,22 mm 5

= 0, 236 mm

1.5 Penentuan Ketebalan Edible Film Perbandingan Buah naga merah 50 ml

Adapun perhitungan ketebalan rata-rata edible film: Uji ketebalan (X1) = 0,16 mm

Uji ketebalan (X2) = 0,16 mm

Uji ketebalan (X3) = 0,16 mm

Uji ketebalan (X4) = 0,16 mm

Uji ketebalan (X5) = 0,15 mm

Uji ketebalan rata-rata = 0,16 mm + 0,16 mm + 0,16 mm + 0,16 mm + 0,15 mm 5

= 0, 158 mm

Lampiran G.2 Perhitungan Kuat Tarik

Perhitungan kuat tarik pada edible film dengan penambahan tepung tapioca, kitosan, gliserin dengan variasi aquadest dan ekstrak buah naga merah dapat dihitung dengan menggunakan alat Torse (Autograph).


(19)

2.1 Perhitungan Kuat Tarik Edible Film Perbandingan buah naga merah 10 ml

Adapun perhitungan kuat tarik edible film :

Load : 0,17 KgF

Lebar specimen : 31 mm Tebal specimen : 0,11 mm

A0 = Lebar specimen x Tebal specimen

= 31 mm x 0,11 mm = 3,41 mm2

Kekuatan Tarik (σ) = ���� �� = 0,17 ���

3,41 ��2 = 0,498 KgF/mm2

2.2 Perhitungan Kuat Tarik Edible Film Perbandingan buah naga merah 20 ml

Adapun perhitungan kuat tarik edible film :

Load : 0,13 KgF

Lebar specimen : 31 mm Tebal specimen : 0,20 mm

A0 = Lebar specimen x Tebal specimen

= 31 mm x 0,20 mm = 6,2 mm2


(20)

Kekuatan Tarik (σ) = ������ = 0,13 ���

6,2 ��2

= 0,209 KgF/mm2

2.3 Perhitungan Kuat Tarik Edible Film Perbandingan buah naga merah 30 ml

Adapun perhitungan kuat tarik edible film :

Load : 0,07 KgF

Lebar specimen : 31 mm Tebal specimen : 0,16 mm

A0 = Lebar specimen x Tebal specimen

= 31 mm x 0,16 mm = 4,96 mm2

Kekuatan Tarik (σ) = ������ = 0,07 ���

4,96 ��2

= 0,141 KgF/mm2

2.4 Perhitungan Kuat Tarik Edible Film Perbandingan buah naga merah 40 ml

Adapun perhitungan kuat tarik edible film :

Load : 0,11 KgF


(21)

Tebal specimen : 0,24 mm

A0 = Lebar specimen x Tebal specimen

= 31 mm x 024 mm = 7,44 mm2

Kekuatan Tarik (σ) = ������ = 0,11 ���

7,44 ��2

= 0,147 KgF/mm2

2.5 Perhitungan Kuat Tarik Edible Film Perbandingan buah naga merah 50 ml

Adapun perhitungan kuat tarik edible film :

Load : 0,09 KgF

Lebar specimen : 31 mm Tebal specimen : 0,23 mm

A0 = Lebar specimen x Tebal specimen

= 31 mm x 0,23 mm = 7,13 mm2

Kekuatan Tarik (σ) = ���� �� = 0,09 ���

7,13 ��2


(22)

Lampiran G.3 Perhitungan Kemuluran

Perhitungan kemuluran pada edible film dengan penambahan tepung tapioca, kitosan, gliserin, dengan variasi ekstrak buah naga merah dan aquadest dapat dihitung dengan menggunakan perhitungan regangan terhadap panjang mula-mula (I0).

3.1 Perhitungan Kemuluran Edible Film Perbandingan ekstrak buah naga merah 10 ml

Adapun perhitungan kemuluran edible film:

Stroke : 16,0 mm/menit

Panjang specimen mula – mula (I0) : 110 mm

Kemuluran (ԑ) =Stroke

I0 x 100%

=��,���

�����x 100% = 14,54 %

3.2 Perhitungan Kemuluran Edible Film Perbandingan ekstrak buah naga merah 20 ml

Adapun perhitungan kemuluran edible film:

Stroke : 11,4 mm/menit

Panjang specimen mula – mula (I0) : 110 mm

Kemuluran (ԑ) =Stroke

I0 x 100%

=��,���

�����x 100% = 10.36 %


(23)

3.3 Perhitungan Kemuluran Edible Film Perbandingan ekstrak buah naga merah 30 ml

Adapun perhitungan kemuluran edible film:

Stroke : 10,7 mm/menit

Panjang specimen mula – mula (I0) : 110 mm

Kemuluran (ԑ) =Stroke

I0 x 100%

=��,���

�����x 100% = 9.72 %

3.4 Perhitungan Kemuluran Edible Film Perbandingan ekstrak buah naga merah 40 ml

Adapun perhitungan kemuluran edible film:

Stroke : 8,7 mm/menit

Panjang specimen mula – mula (I0) : 110 mm

Kemuluran (ԑ) =Stroke

I0 x 100%

=�,���

�����x 100% = 7.91 %


(24)

3.5 Perhitungan Kemuluran Edible Film Perbandingan ekstrak buah naga merah 50 ml

Adapun perhitungan kemuluran edible film:

Stroke : 7,2 mm/menit

Panjang specimen mula – mula (I0) : 110 mm

Kemuluran (ԑ) =Stroke

I0 x 100%

=�,���

�����x 100% = 6.54 %


(25)

DAFTAR PUSTAKA

Abugoch, L. E,. Tapia, C., Villaman, M. C., Pedram, M. Y., Dosque, M. D. 2011. Characterization of quinoa protein-chitosan blend edible films. Food Hydrocolloids. 25, 879-886.

Alves, V. D., Ferreira, A. R., Costa, N., Freitas, F., Reis, M. A. M., Coelhoso, I. M. 2011. Characterization of biodegradable films from the extracellular polysaccharide produced by Pseudomonas oleovorans grown on glycerol by product. Carbohydrate Polymers. 83, 1582-590.

Aulia, A. 2012. PembuatanEdible Film dari Ekstark Buah Pepaya (Carica papaya L.) dengan Campuran Tepung Tapioka, Tepung Terigu dan Gliserin. Skripsi. Medan: Departemen Kimia Universitas Sumatera Utara. Bourtoom, T. 2007. Plasticizer effect on the properties of biodegradable blend

film from rice starch-chitosan. Songklanakarin Journal of Science and Technology. 30, 149-155.

Buckle, K.A. 1985. Ilmu Pangan. Jakarta: UI Press.

Cerqueira, M. A., Souza, B. W. S., Teixeira, J. A., Vicente, A. A. 2012. Effect of interaction between the constituent of Chitosan-Edible Films on Their Physical Properties. Food Bioprocess Technology 5,3181-3192.

Embuscado, M. E. 2009. Edible Films and Coating for Food Application. London: springer.

Fessenden, R. J. 1986. Kimia Organik. Edisi Ketiga.Jilid kedua. Jakarta: Erlangga. Flores, S., Fama, L., Rojas, A. M., Goyannes, S., gerschenson, L. 2006. Physical properties of tapioca-starch films: Influence of filmmaking and potassium sorbate. Food Research Internasional 40,257-265.

Gontard, N., Guilbert,S., dan cuq, J. L. 1993. Water and Glycerol as Plasticizer Affect Mechanical and Water Barrier Properties at an Edible Wheat Gluten Film. USU: J. Food Science.

Gunawan., Budi. dan Azhari, Citra Dewi. 2010. Karakterisasi Spektrofometri IR dan Scanning Electron Microscopy (SEM) Sensor Gas dari Bahan Polimer Poly Ethelyn Glycol (PEG). ISSN : 1979-6870 : 1-17

Hardjadinata,S. 2009. Budi Daya Buah Naga Super Red Secara Organik. Bogor:Penebar Swadaya.


(26)

tanggal 2 januari 2016.

Http://susyanairi.blogspot.com/gliserin/html. Diakses pada tanggal 5 januari 2016. http://www.iptek.net.id/ind/warintek/?mnu=6&ttg=6&doc=6b30. Diakses tanggal

20 desember 2015.

Jawetz, E. Menick, J,L., dan Adelberg, E. A. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Ahli bahasa: Eddy Mudihardi. Jakarta. Penerbit Salemba Medika.

Ketaren, S. Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta. UI-Press. 128-133.

Jimmy. 2013. Karakterisasi Edible Film dari Campuran Tepung tapioca, Kitosan, Gliserin, dan Ekstrak mangga (Mangifera indica L.). Medan: USU.

Julianti,E. dan Nurminah,M.2007. Buku Ajar Teknologi Pengemasan. 2016.

Kristanto,D. 2009. Buah Naga Pembudidayaan di Pot dan Kebun. Bogor: Penebar Swadaya.

Kumar, M.N.V.R. 2000. A Review of Chitin and Chitosan Application. Reactive & functional Polymers 46(1): hal 1-27.

Lehninger, A. L. 1982. Dasar-Dasar Biokimia. Penterjemah: M. Thenawijaya. Jakarta: Erlangga.

Mashithah, Z. 2012. Karakterisasi Edible film dari Campuran Ekstrak Wortel (Daucus carota L.) dengan Tepung Tapioka dan Gliserin. Skripsi. Medan: Departemen Kimia Universitas sumatera Utara.

Mulja, M. 1995. Analisis Intrumental. Airlangga Press. Surabaya.

Poedjiadi, A. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Sadani, M. 2014. Karakterisasi Edible film dari Campuran Tepung Tapioka, Kitosan, dan Ekstrak Jambu Biji (Psidium guajava L.) dengan Pemlastis Gliserin. Skripsi. Medan: Departemen Kimia Universitas Sumatera Utara. Sinaga, L. 2013. Karakterisasi Edible Film Dari Ekstrak Kacang Kedelai Dengan

Penambahan Tepung Tapioka Dan Gliserol Sebagai Bahan Pengemas

Makanan. Jurnal Teknik Kimia: Departemen Teknik Kimia, Fakultas


(27)

Sugita, P., Wukirsari, T., Sjahriza A., Wahyono, D. 2009. Kitosan: Sumber Biomaterial Masa Depan. Bogor: IPB Press.

Sulistiani, E. 2011. Pembuatan Edible Film dari Campuran Kanji, Dengan Ekstrak wortel (Daucus Carota L.) dan Gliserin Sebagai Bahan Pengemas. Skripsi. Medan: Departemen Kimia Universitas Sumatera Utara.

Sudarmadji, S. 1984. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian.Yogyakarta: Liberti. Wafiroh, S., Ardiarto, T., Agustin, E. T. 2010. Pembuatan danKarakterisasi Edible Film dari Komposit Kitosan-Pati garut (Maranta Arundinaceae) Dengan pemlastis Asam Laurat. Surabaya: Universitas Erlangga.

Wahyu, M. K. 2008. Pemanfaatan Pati Singkong Sebagai Bahan Baku Edible Film. Bandung: Indonesia.

Whistler, R. L. 1984. Starch Chemistry and Technology. Second Edition. New York: Academic Press, Inc. Ltd.

Wirjosentono, B. 1996. Analisis dan Karakterisasi Polimer. Medan: USU Press. Zhong, Q. P., Xia, W.S. 2008. Physicochemical properties of edible and

preservative films from chitosan/cassava starch/gelatin blend plasticized with glycerol. Food Technology Biotechnology 46(3), 262-269.


(28)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Alat-Alat - Hotplate - Oven

- Neraca analisis - Gelas beaker - Gelas ukur - Labu takar - Alat torse - Termometer

- Spektrofotometer FT-IR

- SEM (Scanning Electron Microscope) - Jangka Sorong

- Plat Akrilik - Spatula - Pipet Tetes - Blender - Botol Reagen - Botol Aquades - Magnetik Stirer

- Erlenmeyer pyrex

- Saringan - Hotplate - Corong

- Spektrofotometer UV-Visible Spectronic 300 - Jangka Sorong

- Labu Takar Permacolor

- Cawan Petri - Tabung Reaksi - Rak Tabung


(29)

- Pipet volume Pyrex - Plastik

3.2 Bahan

- Buah Naga Merah

- Kitosan % DD 90,2%

- Tepung Tapioka Dua koki anggur

- Gliserin PT.SOCI

- sCH3COOH(aq) 1%

- Akuades

3.3 Prosedur Penelitian 3.3.1 Pengambilan Sampel

Sampel berupa buah naga merah yang diperoleh dari pasar buah medan. Buah naga merah memiliki nama latin

3.3.2 Pembuatan Larutan Pereaksi

3.3.2.1. Pembuatan Larutan CH3COOH 1% (w/v)

Dipipet 1 ml larutan CH3COOH(aq) kemudian dimasukkan kedalam labu takar 100

ml. Diencerkan dengan akuades hingga garis batas.

3.3.2.2. Pembuatan Larutan Kitosan2% (w/v)

Ditimbang 1 g kitosan kemudian dimasukkan ke dalam gelas beaker. Ditambahkan 50 ml larutan CH3COOH 1% (V/V). Didiamkan selama ± 1 jam


(30)

3.3.3 Cara Kerja

3.3.3.1. Preparasi Sampel

Buah naga merah dikupas kemudian dipotong tipis-tipis,kemudian dimasukkan didalam blender. Setelah halus dan didapatkan ekstrak mangga.

3.3.3.2. Pembuatan Edible Film

Sebanyak 6 g tepung tapioca dimasukkan kedalam gelas beaker yang telah diisi dengan 81 ml akuades. Diaduk hingga homogen. Dipanaskan di atas hotplate pada suhu± 650C hingga mengental. Ditambahkan kitosan 2% (w/v). Ditambahkan 10 g

ekstark buah naga merah sambil diaduk hingga homogeny. Kemudian ditambahkan 2 g gliserin. Diaduk hingga homogen dan dibiarkan mengental. Campuran dituang di plat akrilik dan diratakan. Dikeringkan didalam oven pada suhu ± 300C selama ± 2 hari. Dilakukan prosedur yang sama untuk sampel buah naga merah dengan variasi 20 g, 30 g, 40 g, 50 g dan akuades dengan variasi 71 ml, 61 ml, 51 ml, 41 ml.

3.3.4. Pengukuran Ketebalan Edible Film

Edible film yang diperoleh dipotong dengan ukuran 10 cm x 10 cm, kemudian dilakukan pengukuran dengan menggunakan jangka sorong sebanyak dari lima sisi, yaitu sudut sisi kiri atas, sudut sisi kanan atas, sudut sisi kiri bawah, sudut sisi kanan bawah dan tengah. Kemudian, dicari rata-rata dari ketebalan tersebut.

3.3.5. Pengukuran Kuat Tarik dan Kemuluran

Kekuatan tarik adalah salah satu sifat dasar dari bahan polimer yang terpenting dan sering digunakan untuk karakteristik suatu bahan polimer. Kekuatan tarik suatu bahan didefinisikan sebagai besarnya beban maksimum (Fmax) yang

digunakan untuk memutuskan spesimennya bahan dibagi dengan luas penampang awal (A0).


(31)

Perhitungan Uji Kuat Tarik :

Kekuatan tarik(σ) = Fmaks

�� =

���� ��

Keterangan : Load = Tegangan (KgF) Ao = Luas specimen (mm2)

σ = Kekuatan tarik bahan (KgF/mm2)

Bila suatu bahan dikenakan beban tarik yang disebut tegangan, maka bahan akan mengalami regangan. Kurva tegangan terhadap regangan merupakan karakteristik dari sifat mekanik suatu bahan. Untuk bahan polimer bentuk kurva tegangan regangan terlihat pada gambar 3.1

Regangan

Gambar 3.1 Kurva Tegangan dan Regangan Bahan Polimer

Spesimen yang digunakan untuk uji kekuatan tarik berdasarkan ASTM D 638 seperti terlihat pada gambar 3.2. rangkaian alat uji tarik diset sesuai dengan yang diperlukan. Kecepatan tarik 100 mm/menit dan beban maksimum 100 kgf. Sampel yang sudah berbentuk dumbbell dijepitkan pada alat uji tarik, kemudian alat dijalankan dan didata yang dihasilkan diamati pada monitor.

Tegangan putus Perpanjangan Lumer


(32)

115 mm

64 mm 6 mm

25,5 mm 30 mm

Gambar 3.2 Bentuk Spesimen Untuk Analisis Kuat Tarik dan Kemuluran ASTM D-638-72 Tipe IV

Disamping uji sifat mekanik kekuatan tarik (σ), juga diamati kemuluran (ԑ) yang didefinisikan sebagai perubahan panjang specimen (I0) dengan perubahan

panjang specimen setelah diberi beban (It) maupun terhadap regangan (stroke).

Perhitungan Kemuluran :

Kemuluran(ԑ) = �� −�0

�0 x 100%

Kemuluran(ԑ) =������0 x 100%

Keterangan:

ԑ = kemuluran (%)

Stoke = Regangan (mm/menit)

I0= Panjang specimen mula-mula (mm)

It = Panjang specimen setelah diberi beban (mm)


(33)

3.3.6 Analisa SEM ( Scanning Electron Microscope)

Analisa SEM (Scanning Electron Microscope) merupakan pemeriksaan dan analisa permukaan serta mempelajari sifat morfologi sampel. Dalam hal ini, dilihat dari permukaan edible filmhasil campuran tepung tapioca dengan kitosan, ekstrak buah naga merah, dan gliserin berdasarkan sifat mekanik edible film yang optimal.

3.3.7 Analisa FT-IR (Fourier Transform Infra Red)

Analisa FT-IR (Fourier Transform Infra Red) merupakan analisa terhadap interaksi senyawa-senyawa yang terkandung dalam edible film berupa uluran atau lekukan gugus fungsi yang ditampilkan dalam bentuk spectrum gelombang. Dalam hal ini, dilihat dari spectrum interaksi gugus fungsi dari edible film hasil campuran tepung tapioca dengan kitosan, ekstrak buah naga merah, dan gliserin berdasarkan sifat mekanik edible film yang optimal.

3.4 Uji Aktivitas Antibakteri

3.4.1 Uji Aktivitas dengan Metode Kirby Bauer

Dituang media MHA (Mueller Hinton Agar) steril kedalam cawan petri secara aseptis dan biarkan hingga memadat. Dibuat suspensi bakteri uji dengan cara mengambil biakkan bakteri tersebut untuk selanjutnya dihomogenkan kedalam 10 mL garam fisiologis (0,9 %). Konsentrasi bakteri uji selanjutnya disamakan dengan konsentrasi larutan McFarland (108 CFU/mL). Suspensi bakteri uji tersebut selanjutnya diinokulasikan dengan cara menggoresnya menggunakan

cotton bud steril hingga merata pada media MHA yang telah memadat.

Dimasukkan potongan edible film kedalam media uji untuk selanjutnya diinkubasi pada suhu 34 oC. Diamati dan diukur hasil uji antimikroba yang dihasilkan edible film dimulai dari hari pertama, ketiga dan kelima setelah masa inkubasi.


(34)

3.4.2 Uji Aktivitas dengan Metode Total Plate Count

Disiapkan 5 buah tabung reaksi yang masing-masing berisi 9 mL akuades steril. Selanjutnya ditimbang sebanyak 1 g sampel uji untuk dimasukkan kedalam tabung reaksi pertama. Dari hasil homogenisasi antara 9 mL akuadest steril dengan 1 g sampel uji diperoleh faktor pengenceran dengan konsetrasi 10-1. Dari hasil pengenceran 10-1 diambil sebanyak 1 mL untuk dimasukkan kedalam tabung ke 2. Hasill homogenisasi pada tabung ke dua akan memperoleh faktor pengenceran dengan konsentrasi 10-2 begitu seterusnya hingga diperoleh faktor pengenceran 10-5. Diambil masing-masing sebanyak 0,1 mL dari pengenceran 10-4 dan 10-5 untuk diinokulasikan kedalam 2 cawan petri yang berbeda. Dituangkan media PCA (Plate Count Agar) pada kisaran suhu ±36 oC kedalam cawan petri yang telah berisi 0,1 mL larutan dari hasil faktor pengenceran 10-4 dan 10-5. Diinkubasi hasil TPC dengan metode cawan tuang tersebut pada suhu 34 oC selama 1 x 24 jam. Dihitung jumlah koloni yang tumbuh setelah masa inkubasi.

3.5 Bagan Penelitian 3.5.1. Preparasi Sampel

Dikupas

Dibersihkan

Diiris tipis-tipis

Dihaluskan dengan blender

Disaring

Buah Naga Merah

Ekstrak Buah Naga

Merah


(35)

3.5.2. Pembuatan Edible Film

Ditimbang sebanyak 6 g

Dimasukkan ke dalam gelas beaker Ditambahkan 81 ml akuades

Dipanaskan diatas hotplate (± 65oC) Ditambahkan larutan kitosan 2% Ditambahkan 10 gr ekstrak buah naga merah

Ditambahkan 1 ml gliserin

Diaduk hingga homogen dan mengental

Dituang di plat akrilik dan diratakan Dikeringkan didalam oven (± 30oC) selama 2 hari

Dilakukan perlakuan yang sama untuk volume buah naga merah 20 gr, 30 gr, 40 gr, 50 gr.

Tepung Tapioka


(36)

Tabel 3.1 Perbandingan berat sampel dalam pembuatan Edible Film Buah Naga Merah Kitosan Tepung Tapioka Gliserin

10 gr 12 gr 6 gr 1 gr 20 gr 12 gr 6 gr 1 gr 30 gr 12 gr 6 gr 1 gr 40 gr 12 gr 6 gr 1 gr 50 gr 12 gr 6 gr 1 gr

3.5.3 Karakterisasi dan Pengujian Edible Film

Edible Film

Pengukuran

Ketebalan

Kuat Tarik

dan

Kemuluran

Uji

SEM

Uji

FT-IR


(37)

3.5.4. Pengujian Aktivitas Antibakteri Edible Film

3.5.4.1 Uji Aktivitas Edible Film dengan Metode Kirby Bauer

Biakan bakteri Escherichia coli dan Staphyloccus aureus

disuspensi dalam akuades steril dihomogenkan dengan vortex dibandingkan dengan kekeruhan Suspensi bakteri

diencerkan dengan akuades

Steril sampai kekeruhan Media MHA

106 CFU/ml di inkubasi di

Suspensi Bakteri atas media MHA

di inkubasi di atas media MHA

Media MHA Cakram

Edible Film

diletakkan cakram edible film diatas media MHA di inkubasi secara terbaik dalam inkubator pada suhu 32-34ºC selama 24 jam

di ukur diameter zona antibakteri


(38)

3.5.4.2 Uji Aktivitas Edible Film dengan Metode Standart Plate Count (SPC) pada Sosis

Sosis

dibungkus dengan edible film diletakkan pada suhu kamar dipotong seberat 1 g

dihaluskan dan dimasukkan dalam tabung reaksi ditambah akuades steril sebanyak 9 ml

Kultur awal pengenceran 10-1

diencerkan hingga 10-5

dimasukkan 0,1 ml ke dalam media PCA padat didalam cawan petri

diratakan dengan hockey stick Media PCA dan kultur

diinkubasi pada suhu 32-34ºC selama 24 jam dihitung isolate bakteri

Hasil

Dilakukan perlakuan yang sama untuk sosis yang dibungkus dengan plastik biasa dan edible film liquid untuk perbandingan.


(39)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Dari hasil penelitian edible film dari campuran ekstrak buah naga merah dengan tepung tapioca, kitosan, dan gliserin yang telah dilakukan diperoleh karakterisasi edible film sebagai berikut:

Table 4.1 Hasil Karakterisasi Edible film dari 6 g Tepung tapioca, 2% Kitosan, 10 g Ekstrak buah naga merah, 1 ml gliserin.

No. Parameter Hasil 1. Ketebalan 0,232 mm 2. Kuat Tarik 0,498 KgF/mm2 3. Kemuluran 14,54 %

Table 4.2 Hasil Karakterisasi Edible film dari 6 g Tepung tapioca, 2% Kitosan, 20 g Ekstrak buah naga merah, 1 ml gliserin.

No. Parameter Hasil 1. Ketebalan 0,108 mm 2. Kuat Tarik 0,209 KgF/mm2 3. Kemuluran 10,36 %


(40)

Table 4.3 Hasil Karakterisasi Edible film dari 6 g Tepung tapioca, 2% Kitosan, 30 g Ekstrak buah naga merah, 1 ml gliserin.

Table 4.4 Hasil Karakterisasi Edible film dari 6 g Tepung tapioca, 2% Kitosan, 40 g Ekstrak buah naga merah, 1 ml gliserin.

Table 4.5 Hasil Karakterisasi Edible film dari 6 g Tepung tapioca, 2% Kitosan, 50 ml Ekstrak buah naga merah, 1 ml gliserin.

No. Parameter Hasil 1. Ketebalan 0,196 mm 2. Kuat Tarik 0,141 KgF/mm2 3. Kemuluran 9,72 %

No. Parameter Hasil 1. Ketebalan 0,236 mm 2. Kuat Tarik 0,147 KgF/mm2 3. Kemuluran 7,91 %

No. Parameter Hasil 1. Ketebalan 0,158 mm 2. Kuat Tarik 0,126 KgF/mm2 3. Kemuluran 6,54 %


(41)

4.1.2 Hasil Analisis Spectroscopy Fourier Transform Infra Red (FT-IR)

Edible Film

Analisis karakterisasi FT-IR edible film dilakukan dengan mengidentifikasi gugus-gugus fungsi dan analisa kuantitatif derajat deasetilasi dari edible film yang telah dihasilkan dari penelitian ini. Hasil Karakterisasi gugus fungsi berupa spektrogram FTIR yang ditunjukan pada Gambar 4.1

Gambar 4.1 Spektrum Senyawa Hasil Penelitian dengan FT-IR

Table 4.6 Interpretasi Gugus Fungsi Senyawa Hasil Analisis FT-IR

GGugus Fungsi Frekuensi (cm-1) Hasil Frekuensi (cm-1) Teori

CH 2925,59 cm

-1

2841-2967 cm-1 2924,50 cm-1

2925,25 cm-1 2923,08 cm-1

OH

3264,88 cm-1

2500-3333 cm-1 3273,96 cm-1

3274,55 cm-1 3269,17 cm-1 3241,15 cm-1


(42)

4.1.3 Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Edible Film

Pada edible film dilakukan uji aktivitas antibakteri dengan menggunakan Metode Kirby Bauer. Aktivitas antibakteri edible film menunjukkan indeks antimikrobial pada pertumbuhan bakteri patogen yaitu Staphylococcus aureus dan Eschericia coli dengan perhitungan zona hambat.

Tabel 4.7 Hasil perhitungan diameter zona hambat beberapa kultur bakteri oleh edible film

No Sampel Indeks Antimikrobial

E. Coli S. Aureus

1. Sampel 1 0,011 0,013

2. Sampel 2 0,023 0,013

3. Sampel 3 0,012 0,011

4.2 Pembahasan Penelitian 4.2.1 Kuat Tarik

Kuat tarik dan persen elongasi merupakan sifat mekanik yang berhubungan dengan sifat kimia film. Kuat tarik merupakan gaya maksimum yang dapat ditahan oleh sebuah alat hingga terputus. Parameter ini merupakan salah satu sifat mekanis yang penting dari edible film. Kuat tarik yang terlalu kecil mengindikasikan bahwa film tidak dapat dijadikan kemasan, karena karakter fisiknya kurang kuat dan mudah patah (Ulpa,2011).

Dari perbandingan hasil kuat tarik dapat disimpulkan bahwa edible film dari campuran tepung tapioka, kitosan, gliserin dengan perbandingan penambahan ekstrak buah naga merah 10 ml memberikan hasil kuat tarik dan kemuluran yang lebih tinggi dari edible film yang telah dilakukan. Hal ini disebabkan karena proses pencampuran yang lebih stabil sehingga permukaan film yang dihasilkan merata dan tidak akan mudah patah jika ditarik.


(43)

Dari hal ini menunjukkan bahwa data dari kuat tarik dan kemuluran dengan variasi penambahan buah naga merah menjelaskan bahwa semakin sedikit volume buah naga merah yang ditambahkan maka kekuatan tarik dan kemuluran dari Edible Film akan semakin kuat disertai dengan penambahan gliserin karena adanya gugus OH dari gliserin dengan gugus CH dari buah naga merah mengakibatkan terjadinya interaksi sehingga molekul-molekul akan terdispersi dan berinteraksi dengan struktur rantai polimer dan menyebabkan rantai polimer sukar bergerak. Hal ini yang menyebabkan kekuatan tarik meningkat karena adanya gaya intermolekuler diantara rantai struktur. Efek pengaruh penambahan ekstrak buah naga merah terhadap edible film yang dihasilkan adalah memberikan penampilan, warna, aroma, dan tingkat kemanisan pada edible film.

4.2.2 Ketebalan

Pengukuran ketebalaan film dilakukan pada lima titik yang diukur secara acak dengan menggunakan mikrometer sekrup. Hasil dari pengukuran ketebalan edible film pada variasi 40 ml buah naga merah, 6 g tepung tapioka, 12 ml kitosan 2% dan 1 ml gliserin yaitu 0,236 mm lebih tinggi dibandingkan dengan variasi lainnya. Hal ini dikarenakan dengan adanya perbedaan variasi pada penambahan buah naga merah sehingga pencampuran sampel buah naga merah dengan volume 40 ml yang terdapat dalam film mempengaruhi komposisi film sehingga semakin banyak sampel buah naga merah yang ditambahkan sebagai bahan pengisi mempengaruhi ketebalan film.

4.2.3 Kemuluran

Kemuluran film adalah kemampuan bertambah panjang ketika ada beban tarik yang dialami film. Nilai elongasi menggambarkan ukuran kemampuan film untuk merenggang atau memanjang. Kemuluran film dinyatakan dalam kemuluran saat putus dengan satuan % yang menunjukkan pertambahan panjang sebelum putus dibandingkan panjang awal. Sifat keregangan atau kemuluran ini sangat berguna mengingat sifat pembungkus harus mampu melindungi makanan yang ada di


(44)

dalam edible film. Berdasarkan hasil uji kemuluran edible film dengan variasi 10 ml buah naga merah, 6 g tepung tapioka, 12 ml kitosan 2% dan 1 ml gliserin dihasilkan persen keregangan 14,54% sedangkan variasi 20 ml buah naga merah, 6 g tepung tapioka, 12 ml kitosan2% dan 1 ml gliserin dihasilkan persen keregangan 14,90%. Hal ini dapat disimpulkan semakin kuat suatu film maka semakin kuat juga persen keregangan karena film yang kuat tidak mudah putus ketika terjadi tarikan.

4.2.4 Analisa FT-IR

Spektroskopi FT-IR dilakukan untuk interaksi spektrum gugus fungsi karakterisasi secara mikrostruktural diantara kitosan, tepung tapioka dan gliserin. Pada tepung tapioca yang digunakan dalam penelitian, dilakukan analisa secara FT-IR menunjukkan adanya regangan gugus –OH pada panjang gelombang 3241 cm-1 – 3274 cm-1, regangan gugus C-H pada panjang gelombang 2923 cm-1 – 2925 cm-1, regangan gugus amina NH pada panjang gelombang 1630 cm-1 – 1706 cm-1 dan deformasi gugus C-H pada panjang gelombang 851 cm-1 – 858 cm-1 dimana menggambarkan struktur dari tepung tapioka secara keseluruhan.

Pada kitosan yang digunakan dalam penelitian dilakukan analisa secara FT-IR menunjukkan adanya regangan gugus –OH pada panjang gelombang 3241 cm-1 – 3274 cm-1, regangan gugus amina NH pada panjang gelombang 1634 cm-1 1643 cm-1 dan regangan gugus C-H pada panjang gelombang 2923 cm-1 – 2925 cm-1 dan deformasi gugus –CH pada panjang gelombang 890 cm-1 – 927 cm-1 dimana menggambarkan struktur dari kitosan secara keseluruhan.

Pada gliserin yang digunakan dalam penelitian, dilakukan analisa secara FT-IR menunjukkan adanya regangan gugus –OH pada panjang gelombang 3241 cm-1 – 3273 cm-1, regangan gugus C-H pada panjang gelombang 1412 cm-1 – 1415cm-1 dan deformasi gugus –CH pada panjang gelombang 927 cm-1 – 1016 cm-1 dimana menggambarkan struktur gliserin secara keseluruhan.

Pada edible film dengan uji mekanik optimal dilakukan analisa secara FT-IR menunjukkan adanya regangan gugus –OH pada panjang gelombang 3269 cm-1


(45)

– 3273 cm-1 dan vibrasi gugus C-N pada panjang gelombang 1316 cm-1 – 1371 cm-1. Hal ini menunjukkan adanya interaksi antara tepung tapioka, kitosan, dan gliserin pada edible film yang dibuat dengan demikian,edible film yang telah dibuat memiliki karakteristik yang memenuhi syarat umum dalam pembuatan edible film.

4.2.5 Analisa SEM

Analisa ini dilakukan dengan alat yang biasa disebut dengan mikroskopi kamera. Analisa ini bertujuan untuk melihat permukaan penampang, untuk melihat permukaan melintang dan membujur suatu spesimen secara mikroskopis dengan pembesaran tertentu. Analisa ini juga dapat mengevaluasi homogenitas film. Struktur lapisan, halus maupun kasarnya permukaan sehingga topografi, tonjolan, lekukan dan pori-pori pada permukaan dapat terlihat. Pada prinsipnya bila terjadi perubahan pada suatu bahan misalnya patahan, lekukan dan perubahan struktur dari permukaan suatu bahan, maka bahan tersebut cenderung mengalami perubahan energy (Ulpa, 2011).

Hasil SEM pada edible film, akan memperlihatkan permukaan pada edible film tersebut. Bila hasil pada permukaan tersebut rata atau bergelembung, tergantung pada bahan – bahan penyusun edible film tercampur merata atau tidak, tergantung pada matriks, bahan pengisi, dan pemlastis tercampur dengan baik sehingga dihasilkan permukaan edible film yang baik. Dilihat dari hasil uji mekanik tertinggi, dilakukan analisis permukaan edible film yang dihasilkan pada pembesaran 500x yang terdapat pada gambar (f) dapat diketahui bahwa permukaan edible film menunjukkan struktur yang kurang rata, itu disebabkan pencampuran kitosan, gliserin, tepung tapioca dan buah naga merah tidak tercampur merata. Pada perbesaran 1000x yang terdapat pada gambar (g) terlihat tonjolan-tonjolan pada struktur permukaan edible film yang disebabkan pencampuran yang kurang merata.


(46)

4.2.6. Uji Aktivitas Antibakteri Edible Film

4.2.6.1 Uji Aktivitas Antibakteri dengan Metode Kirby Bauer

Pengujian aktivitas antibakteri dari edible film dapat dilihat pada tabel 4.3 terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Eschercia coli menunjukkan hasil yang negatif, ini ditandai dengan tidak adanya terbentuk larutan bening pada sekitar edible film.

Tabel 4.7 Hasil Uji Edible Film Terhadap E. Coli dan S. Aureus

No Sampel Indeks Antimikrobial

E. Coli S. Aureus

1. Sampel 1 0,011 0,013

2. Sampel 2 0,023 0,013

3. Sampel 3 0,012 0,011

Dari hasil uji edible film dengan metode Kirby Bauer yaitu indeks antimikrobial E. Coli (gram negatif) diperoleh zona bening terbesar yaitu sampel 2 sebesar 0,023, sedangkan untuk bakteri S.Aureus (gram positif) diperoleh zona bening terbesar yaitu pada sampel 1 dan sampel 2 sebesar 0,13. Dari data yang diperoleh, sampel 2 dengan uji bakteri E. Coli (gram negatif) memiliki zona hambat yang lebih besar dibandingkan dengan sampel 1 dan sampel 3 yang disebabkan kitosan mempunyai aktivitas antibakteri dimana bakteri memiliki permukaan sel bakteri sehingga mampu menghambat nutrisi masuk ke dalam sel. Hal ini disebabkan oleh adanya gugus amina pada kitosan yang mempunyai muatan kationik yang dapat mengikat sumber makanan bagi bakteri. Dalam penelitian (Dimas,2015) menerangkan bahwa kitosan yang berbentuk film tidak bisa berdifusi sisi aktif yang bersifat sebagai antibakteri karena kitosan dalam bentuk larutan akan mudah terprotonasi lalu berdifusi ke permukaan sel bakteri. Namun uji lain dapat dilihat bahwa film tersebut memiliki sifat sebagai pelindung pada suatu makanan (sosis) yaitu dilihat dari jumlah bakteri yang tumbuh pada


(47)

filmnya. Sehingga film ini walaupun tidak memiliki zona hambat cocok untuk sebagai bahan pembungkus makanan.

4.2.6.2 Pertumbuhan Koloni Bakteri pada Sosis yang di Bungkus Edible

Film, dengan Metode Standart Plate Count

Dengan menggunakan metode Standard Plate Count (SPC) pada media plate count agar (PCA), jumlah koloni yang tumbuh pada sosis yang dibungkus dengan

edible film dapat dihitung. Perhitungan jumlah koloni dilakukan dengan

menggunakan counter pada jangka waktu 5 hari. Sebagai kontrol jumlah koloni juga dilakukan terhadap sosis yang dibungkus dengan plastik biasa. Berikut hasil perhitungan jumlah koloni yang tumbuh pada media PCA.

Tabel 4.8 Hasil Pengamatan Pertumbuhan Koloni pada Sosis yang di Bungkus Edible Film Dengan Perbandingan Waktu Hari 1, Hari 3, Hari 5.

No Sampel Hari Ke-

1 (CFU/ml) 3 (CFU/ml) 5 (CFU/ml) 1. Sampel 1 0 8 x 106 32 x 106 2. Sampel 2 0 12 x 106 38 x 106 3. Sampel 3 0 15 x 106 45 x 106

Perhitungan jumlah koloni bakteri diambil dari potongan sosis yang telah dibuat pengenceran 106 lalu diinokulasikan pada media PCA. Tabel 4.4 menunjukkan hasil perhitungan jumlah koloni dimana terlihat perbedaan pertumbuhan koloni antara sosis yang dibungkus dengan edible film di hitung dari hari 1, hari 3, dan hari 5, perlakuan pada sampel sosis sapi yang dibungkus dengan sampel 1 pada hari 1 tidak ada pertumbuhan koloni, dan pada hari 3 terdapat pertumbuhan coloni sebesar 8 x 106, dan pada hari 5 jumlah pertumbuhan coloni meningkat sebesar 32 x 106. Pada sampel 2 dan sampel 3 pertumbuhan coloni pada hari 1 semakin tinggi dan seterusnya pada hari 3 dan hari 5. Jadi sampel 1 lebih sedikit jumlah


(48)

pertumbuhan coloni dibandingkan dengan sampel 2 dan sampel 3. Ini disebabkan karena komposisi edible film pada sampel 1 dengan penambahan ekstrak buah naga merah 10 ml (Hylocereus Costaricencis), tepung tapioca, kitosan 2%, dan gliserin sebagai plasticizer lebih baik digunakan sebagai pengemasan sosis sapi dibandingkan dengan sampel 2 dengan penambahan ekstrak buah naga merah 20 ml (Hylocereus Costaricencis), tepung tapioca, kitosan 2%, dan gliserin dan sampel 3 dengan penambahan ekstrak buah naga merah 30 ml (Hylocereus Costaricencis), tepung tapioca, kitosan 2%, dan gliserin pertumbuhan jumlah koloni lebih banyak dibandingkan dengan sampel 1. Dari hasil data dapat disimpulkan bahwa semakin sedikit penambahan ekstrak buah naga merah maka pertumbuhan coloni semakin sedikit sehingga dapat digunakan sebagai pengemasan sosis.

Tabel 4.9 Hasil Pengamatan Pertumbuhan Koloni pada Sosis yang di Bungkus Edible Film, diCelup dengan Edible Film Liquid, dan di Bungkus dengan Plastik Biasa

No Sampel Jumlah Koloni

1 Sosis di bungkus dengan edible film 3 x 10 4 2 Sosis di celup dengan edible film liquid 35 x 10 4 3 Sosis di bungkus dengan plastik biasa 28 x 104


(49)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Karakteristik terbaik dari edible film yang dihasilkan, diperoleh edible dengan ketebalan 0,232 mm, kuat tarik sebesar 0,498 KgF/mm2, kemuluran 14,54 %. Dari hasil SEM terlihat permukaan film yang rata, rapat, dan berpori kecil. Dari hasil FT-IR menunjukkan panjang gelombang 3241 cm-1 – 3274 cm-1 menunjukkan adanya regangan gugus – OH, dan pada panjang gelombang 1316 cm-1 – 1371 cm-1 merupakan vibrasi gugus C-N.

2. Hasil uji aktivitas antibakteri edible film dengan metode Kirby Bauer dengan menggunakan bakteri Staphylococcus aureus adalah adanya zona bening terbesar yaitu pada sampel 1 dan sampel 2 dengan variasi 10 ml ekstrak buah naga merah, 6 g tepung tapioca, 12 ml kitosan 2% dan 1 ml gliserin sebesar 0,013 CFU/ml. Dari data yang diperoleh, sampel 2 dengan uji bakteri E.Coli (gram negative) memiliki zona hambat yang lebih besar dibandingkan dengan sampel 1 dan sampel 3 yaitu sebesar 0,023 CFU/ml. Hal ini disebabkan adanya gugus amina dari kitosan mempunyai aktivitas antibakteri yang dapat mengikat sumber makanan bagi bakteri. Namun pada uji aktivitas berdasarkan jumlah pertumbuhan koloni sosis yang dibungkus dengan edible film pada sampel 1 memiliki jumlah koloni yang lebih sedikit dibandingkan sosis yang dibungkus dengan sampel 2 dan sampel 3 edible film. Hal ini disebabkan karena komposisi edible film dengan penambahan ekstrak buah naga dengan volume 10 ml dibandingkan dengan variasi 20 ml, dan 30 ml ekstrak buah naga merah pertumbuhan coloni semakin sedikit sehingga dapat digunakan sebagai pengemasan sosis.


(50)

5.2 Saran

Disarankan kepada peneliti selanjutnya melakukan variasi sampel, pemakaian pemlastis yang lain, serta analisa kimia terhadap Edible Film untuk mengetahui kemampuan yang lebih jauh kemungkinan diaplikasikannya edible film sebagai pengemas bahan pangan.


(51)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Buah Naga Merah

Buah naga merah (Hylocereus costaricencis) adalah tanaman yang buahnya berwarna merah menyala dan bersisik hijau. Buah naga termasuk tanaman kaktus atau famili Cactaceae dan subfamili Hylocereanea. Dalam subfamili ini terdapat beberapa genus, sedangkan buah naga termasuk dalam genus Hylocereus. Genus ini pun tediri dari sekitar 16 spesies. Dua diantaranya memiliki buah yang komersial, yaitu Hylocereus undatus ( berdaging putih) dan Hylocereus costaricensis ( daging merah).

Gambar 2.1 Buah Naga Merah (Hylocereus costaricencis) Adapun klasifikasi buah naga tersebut sebagai berikut:

Divisi :Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Subdivisi :Angiospermae(berbiji tertutup)

Kelas :Dicotyledonae (berkeping dua) Ordo :Cactales

Famili :Cactaceae Subfamili :Hylocereanea Genus :Hylocereus

Spesies :Hylocereus costaricencis (daging merah) (Kristanto,2009)


(52)

Tanaman yang berasal dari meksiko, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan bagian utara ini sudah lama dimanfaatkan buahnya untuk konsumsi segar. Namun, selama itu tidak satu pun media massa dunia yang memberitakannya. Tanamannya merupakan jenis tanaman memanjat. Saat ditemukan di alam aslinya, tanaman ini memanjat batang tanaman lain dihutan yang teduh, walaupun perakarannya di tanah dicabut, tanaman ini masih tetap hidup sebagai tanaman epifit karena kebutuhan makanannya diperoleh melalui akar udara pada batangnya. Secara morfologis, tanaman ini termasuk tanaman tidak lengkap karena tidak memiliki daun.

Buah naga merah (Hylocereus costaricencis) sepintas mirp buah

Hylocereus polyrhizus. Namun, warna daging buahnya lebih merah, itulah

sebabnya tanamn ini disebut buah naga berdaging super merah. Batangnya bersosok lebih besar disbanding Hylocereus polyrhyzus. Batang dan cabangnya akan berwarna loreng saat berumur tua. Berat buahnya sekitar 400-500 g. Rasanya manis dengan kadar kemanisan mencapai 13-15 briks. Tanamannya sangat menyukai daerah yang panas dengan ketinggian rendah sampai sedang.

2.1.1 Khasiat Buah Naga Merah

Dari beberapa media massa disebutkan bahwa buah naga merah memiliki khasiat untuk kesehatan manusia, diantaranya ialah sebagai penyeimbang kadar gula darah, pencegah kanker usus, pelindung kesehatan mulut, serta pengurangan kolesterol, pencegah pendarahan, dan obat keluhan keputihan. Adanya khasiat-khasiat tersebut disebabkan oleh kandungan nutrisi dalam buahnya yang sangat mendukung kesehatan tubuh manusia. Table 1 memberikan gambaran tentang kandungan nutrisi dalam buah naga merah.

Buah naga merah umumnya dikonsumsi dalam bentuk segar sebagai penghilang dahaga. Hal ini disebabkan oleh kandungan airnya sangat tinggi, sekitar 90,20% dari berat buah. Rasanya cukup manis karena didukung oleh kadar gula yang mencapai 13-18 briks.


(53)

TABEL 2.1. KANDUNGAN NUTRISI BUAH NAGA MERAH

Nutrisi Kandungan

Kadar gula 13-18 briks

Air 90,20%

Karbohidrat 11,5 g

Asam 0,139 g

Protein 0,53 g

Serat 0,71 g

Kalsium 134,5 mg

Fosfor 8,7 mg

Magnesium 60,4 mg

Vitamin C 9,4 mg

(Kristanto,2009)

2.1.2 Jenis Buah Naga

Ada empat jenis buah naga yang diusahakan dan memiliki prospek baik. Keempat jenis tersebut sebagai berikut.

2.1.2.1 Hylocereus Undatus

Hylocereus undatus yang lebih popular dengan sebutan white pitaya

adalah buah naga yang kulitnya berwarna merah dan daging berwarna putih. Warna merah buah ini sangat kontras dengan warna daging buah. Pada kulit buah terdapat sisik atau jumbai berwarna hijau. Didalam buah terdapat banyak biji berwarna hitam, berat buah rata-rata 400-500 g bahkan ada yang dapat mencapai 650 g. Rasa buahnya masam bercampur manis dibandingkan jenis lainnya, kadar kemanisannya tergolong rendah, sekitar 10-13 briks. Batang tanamannya berwarna hijau tua. Daerah tumbuh yang ideal pada ketinggian kurang dari 400 m.


(54)

2.1.2.2 Hylocereus polyrhizus

Hylocereus polyrhizus yang lebih banyak dikembangkan di Cina dan

Australia ini memiliki buah dengan kulit berwarna merah dan daging berwarna merah keunguan. Kulitnya terdapat sisik atau jumbai hijau. Rasa buah lebih manis disbanding Hylocereus undatus, kadar kemanisan mencapai 13-15 briks. Tanaman lebih kekar dibanding Hylocereus undatus. Dari pada batang dan cabang berjarak lebih rapat. Tanaman ini tergolong jenis yang sangat rajin bunga, bahkan cenderung berbunga sepanjang tahun.

2.1.2.3 Hylocereus costaricencis

Buah Hylocereus costaricencis adalah buah yang warna dagingnya lebih merah dan tanaman ini disebut dengan buah naga berdaging super merah. Batangnya bersosok lebih besar dibanding jenis buah naga Hylocereus polyrhizus. Batang dan cabangnya akan berwarna loreng saat berumur tua. Berat buah nya sekitar 400-500 g, rasanya manis dengan kadar kemanisan mencapai 13-15 briks.

2.1.2.4 Selenicereus megalanthus

Jenis buah ini berpenampilan berbeda disbanding jenis anggota genus Hylocereus. Kulit buahnya berwarna kuning tanpa sisik sehingga cenderung lebih halus. Walaupun tanpa sisik, kulit buahnya masih menampilkan tonjolan-tonjolan dan rasa buahnya jauh lebih manis dibanding buah naga lainnya karena memiliki kadar kemanisan mencapai 15-18 briks. Sayangnya buah yang dijuluki yellow pitaya ini kurang popular dibanding jenis lainnya. (Hardjadinata.S,2009)

2.2 Edible Film

Edible film didefinisikan sebagai suatu material berbentuk lapisan tipis yang dapat dikonsumsi dan dapat digunakan sebagai penghalang kelembaban, oksigen dan gerakan zat terlarut pada makanan. Edible film dapat digunakan untuk lapisan pembungkus makanan yang atau dapat ditempatkan sebagai lapisan antara komponen makanan (Giulbert, 1986).


(55)

Edible film diaplikasikan pada makanan dengan cara pembungkus, pencelupan, penyikatan atau penyemprotan. Bahan hidrokoloid dan lemak atau campuran keduanya dapat digunakan untuk membuat edible film. Hidrokoloid yang dapat digunakan untuk membuat edible filmadalah protein (gelatin, kasein, protein kedelai, protein jagung dan gluten gandum) dan karbohidrat (pati, alginate, pectin, gum arab, dan modifikasi karbohidrat lainnya), sedangkan lipid yang digunakan adalah lilin/wax, gliserol dan asam lemak. Adapun ketebalan edible film adalah tidak lebih dari 0,3 mm (Embuscado, 2009).

Kelebihan edible film yang dibuat dari hidrokoloid diantaranyamemiliki kemampuan yang baik untuk melindungi produk terhadap oksigen, karbondioksida dan lipid serta memiliki sifat mekanis yang diinginkan dan meningkatkan kesatuan struktural produk. Kelemahannya, film dari karbohidrat kurang bagus digunakan untuk mengatur migrasi uap air sementara film dari protein sangat dipengaruhi oleh pengaruh pH. Kelebihan edible film dari lipid adalah memiliki kemampuan yang baik untuk melindungi produk dari penguapan air atau sebagai bahan pelapis untuk mengoles produk makanan (Krochta, 1997). Metode pembuatan edible film yang sering digunakan yaitu metode casting, yaitudengan mendispersikan bahan baku edible film, pengaturan pH larutan, pemanasan larutan, pencetakan, pengeringan, dan pelepasan dari cetakan. Tidak ada metode standart dalam pembuatan edible film sehingga dapat dihasilkan film dengan fungsi dan karakteristik fisikokimia yang diinginkan akan berbeda. Namun pada umumnya dilakukan penambahan hidrokoloid untuk membentuk struktur film yang tidak mudah hancur dan plasticizer untuk meningkatkan elastisitas (Wahyu, 2008).

2.2.1 Sifat-sifat Edible Film

Sifat fisik edible film meliputi sifat mekanik dan penghambatan. Sifat mekanik menunjukkan kemampuan kekuatan film dalam menahan kerusakan bahan selama pengolahan, sedangkan sifat penghambatan menunjukkan


(56)

kemampuan film melindungi produk yang dikemas dengan menggunakan film tersebut.

Beberapa sifat film meliputi kekuatan renggang putus, ketebalan, pemanjangan, laju tranmisi uap air dan kelarutan film.

1. Ketebalan edible film

Ketebalan film merupakan sifat fisik yang dipengaruhi oleh konsentrasi padatan terlarut dalam larutan film. Ketebalan film akan mempengaruhi laju transmisi uap air, gas dan senyawa volatile.

2. Perpanjangan edible film atau elongasi

Perpanjangan edible film atau elongasi merupakan kemampuan perpanjangan bahan saatdiberikan gaya tarik. Nilai elongasi edible film menunjukkan kemampuan rentangnya.

3. Peregangan edible film atau tensile strength

Peregangan edible film merupakan kemampuan bahan dalam menahan tekanan yang diberikan saat bahan tersebut berada dalam regangan maksimumnya. Kekuatan peregangan menggambarkan tekanan maksimum yang dapat diterima oleh bahan atau sampel.

4. Kelarutan film

Persen kelarutan edible film adalah persen berat kering dari film yang terlarut setelah dicelupkan didalam air selama 24 jam.

5. Laju transmisi uap air

Laju transmisi uap air merupakan jumlah uap air yang hilang per satuan waktu dibagi dengan luas area film. Oleh karena itu salah satu fungsi edible film adalah untuk menahan migrasi uap air maka permeabilitasnya terhadap uap air harus serendah mungkin (Gontard, 1993).


(57)

2.2.2 Aplikasi Edible film

Komponen penyusun edible film mempengaruhi secara langsung bentuk morfologi maupun karakteristik pengemas yang dihasilkan. Komponen penyusun edible film dikelompokkan menjadi tiga, yaitu hidrokoloid, lipida, dan komposit. Bahan-bahan tambahan yang sering dijumpai dalam pembuatan edible film adalah antimikroba, antioksidan, flavor,dan pewarna.

Komponen yang cukup besar dalam pembuatan edible film adalah plasticizer, yang berfungsi untuk meningkatkan fleksibilitas, menghindari film dari keretakan, meningkatkan permeabilitas terhadap gas, uap air, zat terlarut, dan meningkatkan elastisitas film. Beberapa jenis plasticizer yang dapat digunakan dalam pembuatan edible film adalah gliserol, polivinil alcohol, dan sorbitol.

Aplikasi dari edible film dapat dikelompokkan atas :

1. Sebagai kemasan primer dari produk pangan

Contoh dari penggunaan edible film sebagai kemasan primer adalah pada permen, sayur-sayuran, dan buah-buahhan segar, sosis, daging dan produk hasil laut.

2. Sebagai barrier

Penggunaan edible film sebagai barrier dapat dilihat dari contoh-contoh berikut: Gellan gum yang direaksikan dengan garam mono atau bivalen yang membentuk film, diperdagangkan dengan nama dagang Kelcoge, yang merupakan barrier yang baik untuk adsorpsi minyak pada bahan pangan yang digoreng, sehingga menghasilkan bahan dengan kandungan minyak yang rendah.

3. Sebagai pengikat

Edible film juga dapat diaplikasikan pada snack atau crackers yang diberi bumbu, yaitu sebagai pengikat atau adhesive dari bumbu yang diberikan agar dapat lebih


(58)

melekat pada produk. Pelapisan ini berguna untuk mengurangi lemak pada bahan yang digoreng dengan penambahan bumbu.

4. Pelapis

Edible film dapat bersifat sebagai pelapis untuk meningkatkan penampilan dari produk-produk bakery, yaitu untuk menggantikan pelapisan dengan telur. Keuntungan dari pelapisan dengan edible film adalah dapat menghindari masuknya mikroba yang dapat terjadi jika dilapisi dengan telur (Julianti E. dan Nurminah M, 2007).

2.3 Gliserin

Gliserin adalah senyawa netral, dengan rasa yang manis, tidak berwarna, cairan kental dan sangat higroskopis. Gliserin dapat menjadi berbentuk pasta bila berada mendekati titik beku. Gliserin dapat larut sempurna dalam air dan alcohol, tapi tidak larut dengan minyak, sebaliknya banyak zat lebih mudah larut dalam gliserol dibanding dalam air maupun alcohol. Oleh karena itu gliserin merupakan sebuah pelarut yang baik. Gliserin yang merupakan produk samping dari industry oleokimia yang memiliki sifat higroskopis, larut dalam air dan alcohol, tidak berwarna, tidak berbau dan memiliki rasa manis. Gliserin banyak digunakan untuk farmasi, bahan makanan, kosmetik, emulsifier dan minyak pelumas. Adapun kegunaan gliserin adalah sebagai berikut:

1. Bidang Farmasi

Gliserin banyak digunakan sebagai salep, obat batuk, pembuatan multi vitamin, vaksin, obat infeksi, stimulant jantung, antiseptic, pencuci mulut, pasta gigi


(59)

2. Bahan makanan

Gliserin digunakan sebagai pelarut ekstrak buah seperti vanili, kopi, koumarin. Gliserin juga digunakan untuk minuman berkarbonat, pembuatan keju, permen jeli.

3. Kosmetik

Gliserin yang memiliki sifat tidak beracun, tidak iritasi dan tidak berwarna digunakan untuk pelembut dan pelembab kulit, krem kulit, sabun, pembersih wajah. Gliserin juga digunakan sebagai pelarut parfum, pewarna dan pembersih kendaraan (Minner, 1953).

Gliserin dengan rantai HO-CH2-CH-(OH)-CH2-OH adalah produk

samping dari reaksi hidrolisis antara minyak nabati dengan air untuk menghasilkan asam lemak. Senyawa ini bisa menurunkan titik beku pelarutnya dengan mengganggu pembentukan Kristal es pelarut.

Gliserin juga dapat meningkatkan titik didih pelarutnya dengan menghalangi molekul-molekul pelarut saling bertumbukan, dengan demikian mengurangi tekanan uap pelarutnya. Gliserin berbentuk cairan jernih, tidak berbau dan memiliki rasa manis.

CH2 OH

CH OH

CH2 OH

Gambar 2.2 Struktur Gliserin

Gliserin merupakan humektan yang biasa dipakai untuk kosmetik (hand and body lotion, cream pelembab, dll), untuk bahan dasar pembuatan sabun juga merupakan bahan utama untuk pasta gigi. Fungsinya adalah untuk mengikat


(60)

air/pelembab sehingga cream selalu basah dan tidak cepat mongering di udara bebas.

Gliserin mudah dicerna dan tidak beracun dan bermetabolisme bersama karbohidrat, meskipun berada dalam bentuk kombinasi pada sayuran dan lemak binatang. Untuk produk makanan dan pembungkus makanan yang kontak langsung dengan konsumen, syarat utamanya adalah tidak beracun. Kegunaannya didalam produk makanan dan minuman antara lain sebagai:

- Pelarut untuk pemberi rasa - Pengental dalam sirup

- Bahan pengisi dalam makan rendah lemah (biskuit) - Pencegah kristalisasi gula pada permen dan es (http:susyanairi.blogspot.com/gliserin/html)

2.3 Kitosan

Kitosan merupakan padatan amorf yang berwarna putih kekuningan dengan rotasi spesifik [α]D11 -3 hingga -10o (pada konsentrasi asam asetat 2%). Kitosan larut

pada kebanyakan asam organic pada pH sekitar 4,0 tetapi tidak larut pada pH lebih besar dari 6,5 dan juga tidak larut dalam pelarut air, alcohol, dan aseton (Sugita, 2009).

Kitosan diturunkan dari kitin dengan melakukan deasetilasi oleh pengaruh alkali. Kitosan dapat diketahui dari derajat deasetilasi dan berat molecular rata-rata yang terkandung disamping kegunaannya sebagai antimikroba dengan sifat-sifat kationik yang dimiliki.

Kitosan dapat membentuk pelapis yang bersifat semipermeabel yang mana dapat mempengaruhi kondisi internal, termasuk memperlambat pemasakan dan mengurangi laju transpirasi buah dan sayur. Lapisan yang berasal dari larutan kitosan adalah bening, elastis namun sedikit rapuh. Pelapis yang terbuat dari kitosan biasanya digunakan pada produk seperti buah dan sayur (Bourtoom, 2008).


(61)

Gambar 2.3 Struktur polimer kitosan

2.3 Tepung Tapioka

Tepung tapioca yang dibuat dari ubi kayu mempunyai banyak kegunaan, antara lain sebagai bahan pembantu dalam berbagai industry. Dibandingkan dengan tepung jagung, kentang, dan gandum atau terigu, komposisi zat gizi tepung tapioca cukup baik sehingga mengurangi kerusakan tenun, juga digunakan sebagai bahan bantu berwarna putih.

Tepung tapioca diolah menjadi sirup glukosa dan dekstrin sangat diperlukan oleh berbagai industry. Tapioca juga banyak digunakan sebagai bahan pengental, bahan pengisi, bahan pengikat dalam industry makanan. Ampas tapioca banyak dipakai sebagai campuran makanan ternak. Pada umumnya masyarakat kita mengenal dua jenis tapioca, yaitu tapioca kasar dan tapioca halus. Kualitas tepung tapioca ditentukan oleh beberapa factor, misalnya warna, kandungan air, banyak kotoran, dan tingkat kekentalan

Table 2.2 Daftar komposisi nutrisi tepung tapioka

No Kandungan zat Kadar zat

1 Air 9 gram

2 Kalori 363 kal

3 Protein 1,1 gram

4 Lemak 0,5 gram

5 Karbohidrat 88.2 gram

6 Kalsium 84 mg

7 Phospor 125 mg

8 Besi 1.0 mg

9 Vitamin B1 0.4 mg


(62)

a. Pati

Amilum atau dalam kehidupan sehari-hari disebut pati terdapat pada umbi, daun, batang dan biji-bijian. Amilum terdiri atas dua macam polisakarida yang kedua-duanya adalah polimer dari glukosa, yaitu amilosa dan sisanya amilopektin. Amilosa terdiri atas 250-300 unit D-glukosa yang terikat dengan ikatan α 1,4-glikosidik, jadi molekulnya merupakan rantai terbuka. Amilopektin juga terdiri atas molekul D-glukosa yang sebagian besar mempunyai ikatan 1,4-glikosidik dan sebagian lagi ikatan 1,6-1,4-glikosidik. Adanya ikatan 1,6-1,4-glikosidik ini menyebabkan terjadinya cabang, sehingga molekul amilopektin berbentuk rantai terbuka dan bercabang (Poedjiadi, 1994).

Pati dapat dipisahkan menjadi dua fraksi utama berdasarkan kelarutan bila ditambahkan dengan air panas: sekitar 20% pati adalah amilosa (larut) dan 80% sisanya ialah amilopektin (tidak larut). Struktur amilosa merupakan struktur lurus dengan ikatan α- (1,4)-D-glukosa. Amilopektin terdiri dari struktur bercabang dengan ikatan α- (1,4)-D-glukosa dan titik percabangan amilopektin merupakan ikatan α- (1,6). Berat molekul amilosa dari beberapa ribu hingga 500.000, begitu pula dengan amilopektin (Lehninger, 1982).

Hidrolisis lengkap amilosa menghasilkan hanya D-glukosa; hidrolisis parsial menghasilkan maltose sebagai satu-satunya disakarida. Disimpulkan bahwa amilosa adalah polimer linear dari α-D-glukosa yang dihubungkan secara-1,4. Beda antara amilosa dan selulosa ialah ikatan glikosidanya β dalam selulosa, dan α dalam amilosa. Hal ini menyebabkan perbedaan sifat antara kedua polisakarida ini. Terdapat 250 satuan glukosa atau lebih per molekul amilosa, banyaknya satuan bergantung spesi hewan atau tumbuhan itu.


(63)

Gambar 2.4 Struktur amilopektin

Suatu polisakarida yang jauh lebih besar daripada amilosa, mengandung 1000 satuan glukosa atau lebih per molekul. Seperti rantai dalam amilosa, rantai utama dai amilopektin mengandung 1,4-α-D-glukosa. Tidak seperti amilosa, amilopektin bercabang sehingga terdapat satu glukosa ujung kira-kira tiap 25 satuan glukosa. Ikatan pada titik percabangan ialah ikatan 1,6-α-glikosida (Fessenden, 1986).

Gambar 2.5 Struktur Amilosa

Pati untuk aplikasi didalam bahan makanan dikategorikan menjadi tiga, yaitu pati dalam bentuk serbuk, pati modifikasi dan pati pragelatinasi. Pati bahan makanan dalam bentuk serbuk digunakan oleh industry di dalam produksi dan merupakan awal dari diversifikasi pangan. Pati modifikasi merupakan kombinasi terkini dalam bahan pangan sesuai perkembangan. Pati pragelatinasi mengalami pertumbuhan signifikan pada beberapa tahun belakangan dan mengalami peningkatan permintaan (Whistler, 1984).


(64)

b. Karakterisasi Edible Film

2.5.1 Fourier Transform Infrared (FTIR)

Spektroskopi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang interaksi antara materi dengan radiasi elektromagnetik (REM). Interaksi yang terjadi dalam spektroskopi inframerah ini merupakan interaksi dengan REM melalui absorbansi radiasi. Pancaran inframerah pada umumnya mengacu pada bagian spektrum elektromagnetik yang terletak diantara daerah tampak dan gelombang mikro. Molekul menyerap radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang yang khusus. Absorbansi cahaya ultraviolet mengakibatkan pindahnya sebuah elektron ke orbital dengan energi yang lebih tinggi. Radiasi inframerah tidak cukup mengandung energi untuk melakukan eksitasi tersebut, absorbsinya hanya mengakibatkan membesarnya amflitudo getaran atom-atom yang terikat satu sama lain (Sudarmadji, 1989).

Energi dari kebanyakan vibrasi molekul berhubungan dengan daerah vibrasi molekul yang dideteksi dan dapat diukur pada spektrofotometer infra merah. Spektra didaerah infra merah dapat digunakan untuk mempelajari sifat-sifat bahan, perubahan struktur yang sedikit saja dapat memberikan perubahan yang dapat diamati pada spectrogram panjang gelombang versus transmitasi. Menurut Sastrohamidjojo (1992), panjang gelombang yang diserap oleh berbagai tipe ikatan tergantung pada jenis vibrasi ikatan tersebut. Oleh karena itu berbagai jenis ikatan mengabsorbsi radiasi inframerah pada panjang gelombang yang berbeda.Perubahan ini sangat spesifik dan merupakan sidik jari suatu molekul dengan membandingkan spektogram yang dihasilkan oleh bahan yang diuji terhadap bahan yang sudah diketahui secara kualitatif. Penerapan secara kualitatif dapat dilakukan dengan membandingkan fungsi puncak pada panjang gelombang terkait yang dihasilkan oleh zat-zat yang diujikan dan zat standart. Spectra inframerah ditujukan terutama untuk senyawa organik yaitu analisis gugus fungsi yang dimiliki oleh senyawa tersebut (Mulja, M. 1995).

Kebanyakkan spektrum inframerah merekam panjang gelombang atau frekuensi versus %T. Tidak adanya serapan atau suatu senyawa pada suatu panjang gelombang tertentu direkam sebagai 100%T (dalam keadaan ideal). Bila


(65)

suatu senyawa menyerap radiasi pada suatu panjang gelombang tertentu, intensitas radiasi yang diteruskan oleh contoh akan berkurang. Ini menyebabkan suatu penurunan %T dan terlihat didalam spektrum sebagai suatu sumur, yang disebut sebagai puncak absorpsi atau pita absorpsi. Bagian spektrum dimana %T menunjukkan angka 100 (atau hampir 100) disebut garis dasar (baase line), yang didalam spektrum inframerah direkam pada bagian atas (Fessenden, 1992).

2.5.2. Scanning Electron Microscope (SEM)

Scanning Electron Microscope (SEM) dikembangkan untuk mempelajari secara langsung struktur permukaan, mikrostruktur, dan morfologi bahan. Alat SEM yang digunakan pada penelitian ini dilengkapi dengan EDS (Energy Dispersive Spectroscopy). EDS dihasilkan dari Sinar-X karakteristik, yaitu dengan menembakkan sinar-X pada posisi yang ingin kita ketahui komposisinya. Maka setelah ditembakkan pada posisi yang diinginkan maka akan muncul puncak – puncak tertentu yang mewakili suatu unsur yang terkandung.

Scanning Electron Microscope (SEM) merupakan sejenis mikroskop

yangmenggunakan elektron sebagai pengganti cahaya untuk melihat benda dengan resoles itinggi. Analisa SEM bermanfaat untuk mengetahui mikrostruktur (termasuk porositasdan bentuk retakan) benda padat. Berkas sinar elektron dihasilkan dari filamen yang dipanaskan, disebut elektron gun. Cara kerja SEM adalah gelombang elektron yang dipancarkan elektron gun terkondensasi dilensa kondensor dan terfokus sebagai titik yang jelas oleh lensa objekstif. Scanning coil yang diberi energi menyediakan medan magnetik bagi sinar elektron. Berkas sinar elektron yang mengenai cuplikan menghasilkan elektron sekunder dan kemudian dikumpulkan oleh detektor sekunder atau detektor backscatter. Gambar yang dihasilkan terdiri dari ribuan titik berbagai intensitas dipermukaan Cathoda Ray Tube (CRT) sebagai topografi gambar. Pada sistem ini berkas elektron dikonsentrasikan pada spesimen, bayangannya diperbesar dengan lensa objektif dan diproyeksikan pada layar.

Cuplikan yang akan dianalisis dalam kolom SEM perlu dipersiapkan dahulu, walaupun telah ada jenis SEM yang tidak memerlukan pelapisan (coating) cuplikan. Terdapat tiga tahap persiapan cuplikan, antaralain:


(66)

1. Plat dipotong dengan menggunakan gergaji intan. Seluruh kandungan air, larutan dan semua benda yang dapat menguap apabila divakum, dibersihkan.

2. Cuplikan dikeringkan pada suhu 60°C minimal selama 1 jam.Cuplikan non logam harus dilapisi dengan emas tipis atau logam lainnya, seperti Pt. 3. Cuplikan logam dapat langsung dimasukkan dalam ruang cuplikan.

Sistem penyinaran dan lensa pada SEM sama dengan mikroskop cahaya biasa. Pada pengamatan yang menggunakan SEM lapisan cuplikan harus bersifat konduktif agar dapat memantulkan berkas elektron dan mengalirkannya ke ground.

Bila lapisan cuplikan tidak bersifat konduktif maka perlu dilapisi dengan emas atau Pt. Pada pembentukan lapisan konduktif, spesimen yang akan dilapisi diletakkan pada tempat sampel disekeliling anoda. Ruang dalam tabung kaca dibuat memliki suhu rendah dengan memasang tutup kaca rapat dan gas yang ada didalam tabung dipompa keluar. Antara katoda dan anoda dipasang tegangan 1,2 kV sehingga terjadi ionisasi udara yang bertekanan rendah. Elektron bergerak menuju anoda dan ion positif dengan energi yang tinggi bergerak menumbuk katoda emas. Hal ini menyebabkan partikel emas menghambur dan mengendap dipermukaan spesimen. (Gunawan dan Azhari, 2010).

2.5.3 Uji Tarik

Kekuatan tarik adalah salah satu sifat dasar dari bahan polimer yang terpenting dan sering digunakan untuk karakteristik suatu bahan polimer. Kekuatan tarik suatu bahan didefenisikan sebagai besarnya beban maksimum (Emaks) yang

digunakan untuk memutuskan specimen bahan dibagi dengan luas penampang awal (Ao).

Bila suatu bahan dikenakan beban tarik yang disebut tegangan (gaya per satuan luas), maka bahan akan mengalami perpanjangan (regangan). Kurva tegangan terhadap regangan merupakan gambar karakteristik dari sifat mekanik suatu bahan (wirjosentono, 1996).


(67)

2.6 Mikrobiologi Pangan

Sejumlah besar penelitian memperlihatkan bahwa makanan tambahan yang dioalah dalam kondisi yang tidak higenis kerapkali terkontaminasi berat dengan agens patogen dan merupakan faktor resiko utama dalam penularan penyakit, khususnya penyakit diare. Dalam kemasan edible film dapat ditambahkan bahan baku seperti antimikroba. Kemasan antimikroba adalah sistem kemasan yang mampu mengendalikan, mengurangi, menghambat atau memperlambat pertumbuhan mikroorganisme patogen dan mengurangi kontaminasi permukaan makanan. Penelitian yang dilakukan oleh black dkk, di Bangladesh menunjukkan bahwa 41% sampel makanan yang diberikan kepada anak-anak usia penyapihan mengandung kuman. Bakteri pada umumnya adalah heterotrof namun ada bakteri yang autotrof seperti bakteri kemosintetik. Bakteri ini mendapat energi melalui reaksi kombinasi oksigen dengan molekul anorganik, seperti sulfur, nitrit atau amonia.

1. Escherichia Coli

Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif, berbentuk batang dengan panjang sekitar 2 mikrometer dan diameter 0,5 mikrometer, bersifat anaerob fakulatif, biasanya dapat bergerak dan tidak membenruk spora. Bakteri ini umumnya hidup pada rentang 20-40ºC, optimum pada 37ºC. Escherichia coli merupakan bakteri yang secara normal terdapat di dalam usus dan berperan dalam proses pembusukan sisa-sisa makanan. Keberadaan bekteri ini merupakan parameter ada tidaknya materi fekal di dalam suatu habitat khusunya air, Escherichia coli adalah salah satu jenis bakteri yang ada dalam tinja manusia dan dapat mengakibatkan gangguan pencernaan seperti diare.

2. Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif, aerob atau

anaerobfakultatif berbentuk bola atau kokus berkelompok tidak teratur, diameter 0,8 – 1,0 μm, tidak membentuk spora dan tidak bergerak, koloni berwarna kuning.


(68)

Bakteri ini tumbuh cepat pada suhu 37ºC tetapi paling baik membentuk pigmen pada suhu 20-25ºC. koloni pada pembenihan padat berbentuk bulat halus, menonjol dan berkilau membentuk berbagai pigmen. Bakteri ini terdapat pada kulit, selaput lender, bisul dan luka. Dapat menimbulkan penyakit melalui kemampuannya berkembang biak dan menyebar luas dalam jaringan.

Usaha untuk menjaga agar mikroorganisme perusak tidak mencemari bahan makanan dapat mengurangi kerusakan makanan, memudahkan pengawetan pangan dan memperkecil kemungkinan adanya patogen. Pengepakan (kemasan) makanan, pengalengan makanan yang telah diolah dan pelaksanaan metode yang memenuhi syarat kebersihan dalam menangani bahan makanan merupakan contoh penanganan aseptik (Jawetz,2001).

2.7 Sosis

Sosis merupakan suatu makanan yang terbuat dari daging cincang, lemak hewan, ternak dan rempah, serta bahan bahan laut. Sosis umumnya dibungkus dalam suatu pembungkus yang secara tradisional menggunakan usus hewan, tapi sekarang sering kali menggunakakan bahan sintetis, serta diawetkan dengan suatu cara, misalnya dengan pengasapan. Pembuatan sosis merupakan suatu teknik produksi dan pengawetan makanan yang telah dilakukan sejak sangat lama.


(69)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pengemasan merupakan suatu cara dalam memberikan kondisi sekeliling yang tepat bagi bahan pangan dan dengan demikian membutuhkan pemikiran dan perhatian yang lebih besar untuk mengembangkan kemasan yang ramah lingkungan. Semua bahan pangan mudah rusak dan itu berarti bahwa setelah jangka waktu penyimpanan tertentu, ada kemungkinan untuk membedakan antara bahan pangan segar dengan bahan pangan yang telah disimpan dalam jangka waktu tertentu. Perubahan demikian dinamakan sebagai kerusakan bahan pangan. Kerusakan yang terjadi mungkin saja bersifat spontan, namun ini lebih sering disebabkan keadaan di luar dan kebanyakan pengemasan digunakan hanya untuk membatasi antara bahan pangan dan keadaan normal di sekelilingnya untuk menunda terjadinya proses kerusakan dalam jangka waktu yang di inginkan. Ini merupakan waktu dimana bahan pangan harus dikonsumsi atau harus dijual. Ini disebut sebagai daya awet bahan pangan. Penggunaan bahan pengemas yang banyak pada saat ini memiliki banyak kekurangan terhadap bahan pangan (Buckle, 1985).

Edible film, telah digunakan sejak beberapa abad sebelumnya untuk

menghindari terjadinya kehilangan kelembapan pada bahan pangan. Penelitian demi penelitian mengenai hal ini telah dilakukan bahkan hingga sekarang. Edible film sangat berhubungan dengan bidang pangan sejak 50 tahun belakangan. Fungsi dari film ini adalah untuk membungkus bahan pangan dengan menggunakan lapisan tipis dari komposisi tertentu. Pada saat ini, edible film digunakan untuk memperbaiki kualitas dari berbagai jenis bahan pangan. (Embuscado,2009).


(1)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan ii

Pernyataan iii

Penghargaan iv

Abstrak v

Abstract vi

Daftar Isi vii

Daftar Gambar viii

Daftar Tabel x

Daftar Lampiran xi

Bab 1. Pendahuluan 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Perumusan masalah 4

1.3. Pembatasan masalah 4

1.4. Tujuan penelitian 5

1.5. Manfaat penelitian 5

1.6. Metodologi penelitian 5

Bab 2. Tinjauan Pustaka 7

2.1. Klasifikasi buah naga merah 7

2.1.1. Khasiat buah naga merah 8

2.1.2. Jenis buah naga merah 9

2.1.2.1.Hylocereus undatus 9

2.1.2.2. Hylocereus polyrhizus 10

2.1.2.3. Hylocereus costaricencis 10

2.1.2.4. Selenicereus megalanthus 10

2.2. Edible film 10

2.2.1. Sifat edible film 11

2.2.2. Aplikasi edible film 13

2.3. Gliserin 14

2.4. Kitosan 16

2.5. Tepung Tapioka 17

2.6 Karakterisasi Edible Film 20

2.6.1 Fourier Transform Infra Red 20

2.6.2 Scanning Electron Microscope (SEM) 21

2.6.3 Uji Tarik 22

2.7 Mikrobiologi Pangan 23

2.8 Sosis Sapi 24


(2)

Bab 3. Metode Penelitian 25

3.1. Alat-Alat 25

3.2. Bahan 26

3.3. Prosedur Penelitian 26

3.3.1. Pengambilan Sampel 26

3.3.2. Pembuatan Larutan Pereaksi 26

3.3.2.1. Pembuatan Larutan CH3COOH 1% (w/v) 26

3.3.2.2. Pembuatan Larutan Kitosan 2% (w/v) 26

3.3.3. Cara Kerja 27

3.3.3.1. Preparasi Sampel 27

3.3.3.2. Pembuatan Edible Film 27

3.3.4. Pengukuran Ketebalan Edible Film 27

3.3.5. Pengukuran Kuat Tarik Dan Kemuluran 27

3.3.6. Analisa SEM 30

3.3.7. Analisa FTIR (Fourier Transform Infra Red 30

3.4. Uji Aktivitas Anti Bakteri 30

3.4.1. Uji Aktivitas Dengan Metode Kirby Bauer 30

3.4.2. Uji Aktivitas Dengan Metode Total Plate Count 30

3.5. Bagan Penelitian 31

3.5.1. Preparasi Sampel 31

3.5.2. Pembuatan Edible Film 32

3.5.3. Karakterisasi Dan Pengujian Edible Film 33

3.5.4. Pengujian Aktivitas Antibakteri Edible Film 34

3.5.4.1. Uji Aktivitas Edible Film dengan Metode Kirby Bauer 34

3.5.4.2. Uji Aktivitas dengan Metode Standart Plate Count 35

BAB 4 Hasil Dan Pembahasan 4.1 Hasil Penelitian 36

4.1.4. Hasil Analisis Spectroscopy fourier transform infrared (FTIR) 38 4.1.5. Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Edible Film 39

4.2. Pembahasan Penelitian 39

4.2.1. Kuat Tarik 39

4.2.2. Ketebalan 40

4.2.3. Kemuluran 40

4.2.4. Analisa FTIR 41

4.2.5. Analisa SEM 42

4.2.6. Uji Aktivitas Anti Bakteri Edible Film 43

BAB 5 Kesimpulan Dan Saran 46

5.1. Kesimpulan 46

5.2. Saran 47


(3)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Kandungan Nutrisi Buah Naga Merah 9

Tabel 2.2 Daftar Nutrisi Tepung Tapioka 17

Tabel 4.1 Hasil Karakterisasi Edible Film Dari 6 g Tepung Tapioka, 2% Kitosan, 10 g Ekstrak Buah Naga Merah dan 1 g gliserin 36 Tabel 4.2 Hasil Karakterisasi Edible Film Dari 6 g Tepung Tapioka, 2%

Kitosan, 20 g Ekstrak Buah Naga Merah dan 1 g gliserin 36 Tabel 4.3 Hasil Karakterisasi Edible Film Dari 6 g Tepung Tapioka, 2%

Kitosan, 30 g Ekstrak Buah Naga Merah dan 1 g gliserin 37 Tabel 4.4 Hasil Karakterisasi Edible Film Dari 6 g Tepung Tapioka, 2%

Kitosan, 40 g Ekstrak Buah Naga Merah dan 1 g gliserin 37 Tabel 4.5 Hasil Karakterisasi Edible Film Dari 6 g Tepung Tapioka, 2%

Kitosan, 50 g Ekstrak Buah Naga Merah dan 1 g gliserin 37 Tabel 4.6 Interpretasi Gugus Fungsi Senyawa Hasil Analisis 38 Tabel 4.7 Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat Beberapa Kultur

Bakteri Oleh Edibli Film 39

Tabel 4.8 Hasil Pengamatan Pertumbuhan Koloni pada Sosis yang Dibungkus Dengan Edible Film Perbandingan Waktu 1 Hari,

2 Hari, dan 3 Hari 44

Tabel 4.9 Hasil Pengamatan Pertumbuhan Koloni pada Sosis Sapi Yang Dibungkus Dengan Edible Film diCelup dengan Edible Film Liquid, dan di Bungkus dengan Plastik Biasa 45


(4)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Buah Naga Merah (hylocereus Costaricencis) 7

Gambar 2.2 Struktur Gliserin 15

Gambar 2.3 Struktur Polimer Kitosan 17

Gambar 2.4 Struktur Amilosa 19

Gambar 2.5 Struktur Amilopektin 19

Gambar 3.1 Kurva Tegangan Dan Regangan Bahan polimer 28

Gambar 3.2 Bentuk Spesimen Untuk Analisis Kuat Tarik Dan Kemuluran ASTM D-638-72 Tipe IV 29


(5)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran A. Hasil Karakterisasi Edible Film 51

Lampiran B. Gambar Penelitian 52

Lampiran B.1 Edible film Dengan Komposisi 6 g Tepung Tapioca, Kitosan 2% 10 g Ekstrak Buah Naga Merah, 2 g Gliserin 52 Lampiran B.2 Edible film Dengan Komposisi 6 g Tepung Tapioca, Kitosan 2%

20 g Ekstrak Buah Naga Merah, 2 g Gliserin 52 Lampiran B.3 Edible film Dengan Komposisi 6 g Tepung Tapioca, Kitosan 2%

30 g Ekstrak Buah Naga Merah, 2 g Gliserin 53 Lampiran B.4 Edible film Dengan Komposisi 6 g Tepung Tapioca, Kitosan 2%

40 g Ekstrak Buah Naga Merah, 2 g Gliserin 53 Lampiran B.5 Edible Film Saat Dilepaskan Diatas Plat Akrilik 54 Lampiran C Hasil Analisa Gugus Fungsi FT-IR Edible Film Dengan Uji

Mekanik Optimal Yang Terbaik 54

Lampiran D.1 Jumlah Pertumbuhan Koloni Bakteri Dalam Waktu 1 Hari Terhadap Sampel 1 Sosis Sapi Yang dibungkus

Dengan Edible Film 57

Lampiran D.2 Jumlah Pertumbuhan Koloni Bakteri Dalam Waktu 3 Hari Terhadap Sampel 1 Sosis Sapi Yang dibungkus

Dengan Edible Film 57

Lampiran D.3 Jumlah Pertumbuhan Koloni Bakteri Dalam Waktu 5 Hari Terhadap Sampel 1 Sosis Sapi Yang dibungkus

Dengan Edible Film 58

Lampiran D.1 Jumlah Pertumbuhan Koloni Bakteri Dalam Waktu 1 Hari Terhadap Sampel 2 Sosis Sapi Yang dibungkus

Dengan Edible Film 58

Lampiran D.2 Jumlah Pertumbuhan Koloni Bakteri Dalam Waktu 3 Hari Terhadap Sampel 2 Sosis Sapi Yang dibungkus

Dengan Edible Film 59

Lampiran D.3 Jumlah Pertumbuhan Koloni Bakteri Dalam Waktu 5 Hari Terhadap Sampel 2 Sosis Sapi Yang dibungkus

Dengan Edible Film 59

Lampiran D.1 Jumlah Pertumbuhan Koloni Bakteri Dalam Waktu 1 Hari Terhadap Sampel 3 Sosis Sapi Yang dibungkus

Dengan Edible Film 60

Lampiran D.2 Jumlah Pertumbuhan Koloni Bakteri Dalam Waktu 3 Hari Terhadap Sampel 3 Sosis Sapi Yang dibungkus

Dengan Edible Film 60

Lampiran D.3 Jumlah Pertumbuhan Koloni Bakteri Dalam Waktu 5 Hari Terhadap Sampel 3 Sosis Sapi Yang dibungkus


(6)

Lampiran E.1 Grafik Plot Permukaan Ketebalan edible film dari Ekstrak Buah Naga Merah Dengan Campuran Tepung Tapioka, Kitosan, Dan

Gliserin 61

Lampiran E.2 Grafik Plot Permukaan Kuat Tarik edible film dari Ekstrak Buah Naga Merah Dengan Campuran Tepung Tapioka, Kitosan, Dan

Gliserin 62

Lampiran E.3 Grafik Plot Permukaan Kemuluran edible film dari Ekstrak Buah Naga Merah Dengan Campuran Tepung Tapioka, Kitosan, Dan

Gliserin 63

Lampiran F.1 Hasil Analisa Permukaan Dengan SEM Pada Edible Film Dari 10 g Ekstak Buah Naga Merah, 81ml Aquadest, 6 g Tepung

Tapioka, 2% Kitosan, 1 ml Gliserin 64

Lampiran G.1 Penentuan Ketebalan 66

1.1 Penentuan Ketebalan Edible film Perbandingan 10 gr 66 1.2. Penentuan Ketebalan Edible film Perbandingan 20 gr 67 1.3. Penentuan Ketebalan Edible film Perbandingan 30gr 67 1.4. Penentuan Ketebalan Edible film Perbandingan 40 gr 68 1.5. Penentuan Ketebalan Edible film Perbandingan 50 gr 68

2. Perhitungan Kuat Tarik 69

2.1. Penentuan Kuat Tarik Edible film Perbandingan 10 gr 69 2.2. Penentuan Kuat Tarik Edible film Perbandingan 20 gr 69 2.3. Penentuan Kuat Tarik Edible film Perbandingan 30 gr 70 2.4. Penentuan Kuat Tarik Edible film Perbandingan 40 gr 70 2.5. Penentuan Kuat Tarik Edible film Perbandingan 50 gr 70

3. Perhitungan Kemuluran 71

3.1. Penentuan Kemuluran Edible film Perbandingan 10 gr 71 3.2. Penentuan Kemuluran Edible film Perbandingan 20 gr 71 3.3. Penentuan Kemuluran Edible film Perbandingan 30 gr 72 3.4. Penentuan Kemuluran Edible film Perbandingan 40 gr 73 3.5. Penentuan Kemuluran Edible film Perbandingan 50 gr 74


Dokumen yang terkait

Pembuatan Edible Film dari Tepung Tapioka dengan Penambahan Ekstrak Buah Jambu Biji (Psidium guajava L.), Kitosan, dan Gliserin Sebagai Pembungkus Dodol dan Sosis

0 1 13

Pembuatan Edible Film dari Tepung Tapioka dengan Penambahan Ekstrak Buah Jambu Biji (Psidium guajava L.), Kitosan, dan Gliserin Sebagai Pembungkus Dodol dan Sosis

0 0 2

Pembuatan Edible Film dari Tepung Tapioka dengan Penambahan Ekstrak Buah Jambu Biji (Psidium guajava L.), Kitosan, dan Gliserin Sebagai Pembungkus Dodol dan Sosis

1 3 6

Pembuatan Edible Film dari Tepung Tapioka dengan Penambahan Ekstrak Buah Jambu Biji (Psidium guajava L.), Kitosan, dan Gliserin Sebagai Pembungkus Dodol dan Sosis

0 1 18

Pembuatan Edible Film Dari Campuran Tepung Tapioka, Kitosan, Gliserin dan Ekstrak Buah Naga Merah (Hylocereus Costaricencis) Sebagai Pengemasan Sosis Sapi

0 0 13

Pembuatan Edible Film Dari Campuran Tepung Tapioka, Kitosan, Gliserin dan Ekstrak Buah Naga Merah (Hylocereus Costaricencis) Sebagai Pengemasan Sosis Sapi

0 0 2

Pembuatan Edible Film Dari Campuran Tepung Tapioka, Kitosan, Gliserin dan Ekstrak Buah Naga Merah (Hylocereus Costaricencis) Sebagai Pengemasan Sosis Sapi

0 0 6

Pembuatan Edible Film Dari Campuran Tepung Tapioka, Kitosan, Gliserin dan Ekstrak Buah Naga Merah (Hylocereus Costaricencis) Sebagai Pengemasan Sosis Sapi

1 3 18

Pembuatan Edible Film Dari Campuran Tepung Tapioka, Kitosan, Gliserin dan Ekstrak Buah Naga Merah (Hylocereus Costaricencis) Sebagai Pengemasan Sosis Sapi

0 0 3

Pembuatan Edible Film Dari Campuran Tepung Tapioka, Kitosan, Gliserin dan Ekstrak Buah Naga Merah (Hylocereus Costaricencis) Sebagai Pengemasan Sosis Sapi

0 0 24