1 ml gliserin 1 ml gliserin 1 ml gliserin 1 ml gliserin Ketebalan edible film Perpanjangan edible film atau elongasi Peregangan edible film atau tensile strength Kelarutan film Laju transmisi uap air

Lampiran B.5 Edible film saat dilepas dari plat akrilik Lampiran C.1.Hasil Analisa Gugus Fungsi FT-IR Edible Film dengan variasi 10 ml ekstrak buah naga merah, 6 g tepung tapioca, 12 ml kitosan

2, 1 ml gliserin

Universitas Sumatera Utara Lampiran C.2.Hasil Analisa Gugus Fungsi FT-IR Edible Film dengan variasi 20 ml ekstrak buah naga merah, 6 g tepung tapioca, 12 ml kitosan

2, 1 ml gliserin

Lampiran C.3.Hasil Analisa Gugus Fungsi FT-IR Edible Film dengan variasi 30 ml ekstrak buah naga merah, 6 g tepung tapioca, 12 ml kitosan

2, 1 ml gliserin

Universitas Sumatera Utara Lampiran C.4.Hasil Analisa Gugus Fungsi FT-IR Edible Film dengan variasi 40 ml ekstrak buah naga merah, 6 g tepung tapioca, 12 ml kitosan

2, 1 ml gliserin

Lampiran C.5.Hasil Analisa Gugus Fungsi FT-IR Edible Film dengan variasi 50 ml ekstrak buah naga merah, 6 g tepung tapioca, 12 ml kitosan

2, 1 ml gliserin.

Universitas Sumatera Utara Lampiran D. 1.1 Jumlah pertumbuhan koloni bakteri dalam waktu 1 hari terhadap sampel 1 sosis yang dibungkus dengan Edible Film Lampiran D. 2 Jumlah pertumbuhan koloni bakteri dalam waktu 3 hari terhadap sampel 1 sosis yang dibungkus dengan Edible Film Universitas Sumatera Utara Lampiran D. 3 Jumlah pertumbuhan koloni bakteri dalam waktu 5 hari terhadap sampel 1 sosis yang dibungkus dengan Edible Film Lampiran D. 2.1 Jumlah pertumbuhan koloni bakteri dalam waktu 1 hari terhadap sampel 2 sosis yang dibungkus dengan Edible Film Universitas Sumatera Utara Lampiran D. 2.2 Jumlah pertumbuhan koloni bakteri dalam waktu 3 hari terhadap sampel 2 sosis yang dibungkus dengan Edible Film Lampiran D. 2.3 Jumlah pertumbuhan koloni bakteri dalam waktu 5 hari terhadap sampel 2 sosis yang dibungkus dengan Edible Film Universitas Sumatera Utara Lampiran D. 3.1 Jumlah pertumbuhan koloni bakteri dalam waktu 1 hari terhadap sampel 3 sosis yang dibungkus dengan Edible Film Lampiran D. 3.2 Jumlah pertumbuhan koloni bakteri dalam waktu 3 hari terhadap sampel 3 sosis yang dibungkus dengan Edible Film Universitas Sumatera Utara Lampiran D. 3.3 Jumlah pertumbuhan koloni bakteri dalam waktu 5 hari terhadap sampel 3 sosis yang dibungkus dengan Edible Film Lampiran E.1. Grafik Plot Permukaan Ketebalan edible film dari ekstrak buah naga merah dengan campuran tepung tapioca, kitosan, dan gliserin 50 100 150 200 250 10 ml buah naga merah 20 ml buah naga merah 30 ml buah naga merah 40 ml buah naga merah 50 ml buah naga merah Ketebalan Column2 Column1 Universitas Sumatera Utara Lampiran E.2. Grafik Plot Permukaan Kuat Tarik edible film dari ekstrak buah naga merah dengan campuran tepung tapioca, kitosan, dan gliserin Lampiran E.3. Grafik Plot Permukaan Kemuluran edible film dari ekstrak buah naga merah dengan campuran tepung tapioca, kitosan, dan gliserin 100 200 300 400 500 600 10 ml Buah Naga Merah 20 ml Buah Naga Merah 30 ml Buah Naga Merah 40 ml Buah Naga Merah 50 ml Buah Naga Merah Column2 Column1 Kuat Tarik 2 4 6 8 10 12 14 16 10 ml Buah Naga Merah 20 ml Buah Naga Merah 30 ml Buah Naga Merah 40 ml Buah Naga Merah 50 ml Buah Naga Merah Column1 Column2 Kemuluran Universitas Sumatera Utara Lampiran F. Hasil Analisa Permukaan dengan SEM pada Edible film dari 10 g ekstrak buah naga merah, 81ml aquadest, 6 g tepung terigu, kitosan 2 dan 1 ml gliserin Universitas Sumatera Utara Lampiran F. Struktur Bahan Campuran Dalam Pembuatan Edible Film Interaksi Kitosan dengan Gliserin Interaksi struktur antioksidan buah naga merah dengan struktur pati Universitas Sumatera Utara Interaksi struktur kitosan dengan struktur antioksidan buah naga merah Interaksi struktur antioksidan buah naga merah dengan struktur gliserin. Zaidar,emma.2016 Universitas Sumatera Utara Lampiran G. 1 Penentuan Ketebalan Penentuan ketebalan pada edible film dengan penambahan tepung tapioca, kitosan, ekstrak buah naga merah, aquadest dan gliserin dapat dihitung dengan menggunakan jangka sorong. Penetuan dilakukan pada lima sisi yang berbeda.

1.1 Penentuan Ketebalan Edible Film Perbandingan Buah naga merah 10 ml

Adapun perhitungan ketebalan rata-rata edible film: Uji ketebalan X 1 = 0,23 mm Uji ketebalan X 2 = 0,23 mm Uji ketebalan X 3 = 0,23 mm Uji ketebalan X 4 = 0,23 mm Uji ketebalan X 5 = 0,24 mm Uji ketebalan rata-rata = 0,23 mm + 0,23 mm + 0,23 mm + 0,23 mm + 0,24 mm 5 = 0, 232 mm

1.2 Penentuan Ketebalan Edible Film Perbandingan Buah naga merah 20 ml

Adapun perhitungan ketebalan rata-rata edible film: Uji ketebalan X 1 = 0,11 mm Uji ketebalan X 2 = 0,11 mm Uji ketebalan X 3 = 0,11 mm Uji ketebalan X 4 = 0,11 mm Universitas Sumatera Utara Uji ketebalan X 5 = 0,10 mm Uji ketebalan rata-rata = 0,11 mm + 0,11 mm + 0,11 mm + 0,11 mm + 0,10 mm 5 = 0, 108 mm

1.3 Penentuan Ketebalan Edible Film Perbandingan Buah naga merah 30 ml

Adapun perhitungan ketebalan rata-rata edible film: Uji ketebalan X 1 = 0,20 mm Uji ketebalan X 2 = 0,20 mm Uji ketebalan X 3 = 0,20 mm Uji ketebalan X 4 = 0,20 mm Uji ketebalan X 5 = 0,18 mm Uji ketebalan rata-rata = 0,20 mm + 0,20 mm + 0,20 mm + 0,20 mm + 0,18 mm Uji ketebalan X 4 = 0,24 mm 5 = 0, 196 mm

1.4 Penentuan Ketebalan Edible Film Perbandingan Buah naga merah 40 ml

Adapun perhitungan ketebalan rata-rata edible film: Uji ketebalan X 1 = 0,24 mm Uji ketebalan X 2 = 0,24 mm Uji ketebalan X 3 = 0,24 mm Universitas Sumatera Utara Uji ketebalan X 5 = 0,22 mm Uji ketebalan rata-rata = 0,24 mm + 0,24 mm + 0,24 mm + 0,24 mm + 0,22 mm 5 = 0, 236 mm

1.5 Penentuan Ketebalan Edible Film Perbandingan Buah naga merah 50 ml

Adapun perhitungan ketebalan rata-rata edible film: Uji ketebalan X 1 = 0,16 mm Uji ketebalan X 2 = 0,16 mm Uji ketebalan X 3 = 0,16 mm Uji ketebalan X 4 = 0,16 mm Uji ketebalan X 5 = 0,15 mm Uji ketebalan rata-rata = 0,16 mm + 0,16 mm + 0,16 mm + 0,16 mm + 0,15 mm 5 = 0, 158 mm Lampiran G.2 Perhitungan Kuat Tarik Perhitungan kuat tarik pada edible film dengan penambahan tepung tapioca, kitosan, gliserin dengan variasi aquadest dan ekstrak buah naga merah dapat dihitung dengan menggunakan alat Torse Autograph. Universitas Sumatera Utara

2.1 Perhitungan Kuat Tarik Edible Film Perbandingan buah naga merah 10 ml

Adapun perhitungan kuat tarik edible film : Load : 0,17 KgF Lebar specimen : 31 mm Tebal specimen : 0,11 mm A = Lebar specimen x Tebal specimen = 31 mm x 0,11 mm = 3,41 mm 2 Kekuatan Tarik σ = ���� �� = 0,17 ��� 3,41 �� 2 = 0,498 KgFmm 2

2.2 Perhitungan Kuat Tarik Edible Film Perbandingan buah naga merah 20 ml

Adapun perhitungan kuat tarik edible film : Load : 0,13 KgF Lebar specimen : 31 mm Tebal specimen : 0,20 mm A = Lebar specimen x Tebal specimen = 31 mm x 0,20 mm = 6,2 mm 2 Universitas Sumatera Utara Kekuatan Tarik σ = ���� �� = 0,13 ��� 6,2 �� 2 = 0,209 KgFmm 2

2.3 Perhitungan Kuat Tarik Edible Film Perbandingan buah naga merah 30 ml

Adapun perhitungan kuat tarik edible film : Load : 0,07 KgF Lebar specimen : 31 mm Tebal specimen : 0,16 mm A = Lebar specimen x Tebal specimen = 31 mm x 0,16 mm = 4,96 mm 2 Kekuatan Tarik σ = ���� �� = 0,07 ��� 4,96 �� 2 = 0,141 KgFmm 2

2.4 Perhitungan Kuat Tarik Edible Film Perbandingan buah naga merah 40 ml

Adapun perhitungan kuat tarik edible film : Load : 0,11 KgF Lebar specimen : 31 mm Universitas Sumatera Utara Tebal specimen : 0,24 mm A = Lebar specimen x Tebal specimen = 31 mm x 024 mm = 7,44 mm 2 Kekuatan Tarik σ = ���� �� = 0,11 ��� 7,44 �� 2 = 0,147 KgFmm 2

2.5 Perhitungan Kuat Tarik Edible Film Perbandingan buah naga merah 50 ml

Adapun perhitungan kuat tarik edible film : Load : 0,09 KgF Lebar specimen : 31 mm Tebal specimen : 0,23 mm A = Lebar specimen x Tebal specimen = 31 mm x 0,23 mm = 7,13 mm 2 Kekuatan Tarik σ = ���� �� = 0,09 ��� 7,13 �� 2 = 0,126 KgFmm 2 Universitas Sumatera Utara Lampiran G.3 Perhitungan Kemuluran Perhitungan kemuluran pada edible film dengan penambahan tepung tapioca, kitosan, gliserin, dengan variasi ekstrak buah naga merah dan aquadest dapat dihitung dengan menggunakan perhitungan regangan terhadap panjang mula-mula I .

3.1 Perhitungan Kemuluran Edible Film Perbandingan ekstrak buah

naga merah 10 ml Adapun perhitungan kemuluran edible film: Stroke : 16,0 mm menit Panjang specimen mula – mula I : 110 mm Kemuluran ԑ = Stroke I x 100 = ��,� �� ��� �� x 100 = 14,54

3.2 Perhitungan Kemuluran Edible Film Perbandingan ekstrak buah

naga merah 20 ml Adapun perhitungan kemuluran edible film: Stroke : 11,4 mm menit Panjang specimen mula – mula I : 110 mm Kemuluran ԑ = Stroke I x 100 = ��,� �� ��� �� x 100 = 10.36 Universitas Sumatera Utara

3.3 Perhitungan Kemuluran Edible Film Perbandingan ekstrak buah

naga merah 30 ml Adapun perhitungan kemuluran edible film: Stroke : 10,7 mm menit Panjang specimen mula – mula I : 110 mm Kemuluran ԑ = Stroke I x 100 = ��,� �� ��� �� x 100 = 9.72

3.4 Perhitungan Kemuluran Edible Film Perbandingan ekstrak buah

naga merah 40 ml Adapun perhitungan kemuluran edible film: Stroke : 8,7 mm menit Panjang specimen mula – mula I : 110 mm Kemuluran ԑ = Stroke I x 100 = �,� �� ��� �� x 100 = 7.91 Universitas Sumatera Utara

3.5 Perhitungan Kemuluran Edible Film Perbandingan ekstrak buah

naga merah 50 ml Adapun perhitungan kemuluran edible film: Stroke : 7,2 mm menit Panjang specimen mula – mula I : 110 mm Kemuluran ԑ = Stroke I x 100 = �,� �� ��� �� x 100 = 6.54 Universitas Sumatera Utara DAFTAR PUSTAKA Abugoch, L. E,. Tapia, C., Villaman, M. C., Pedram, M. Y., Dosque, M. D. 2011. Characterization of quinoa protein-chitosan blend edible films. Food Hydrocolloids. 25, 879-886. Alves, V. D., Ferreira, A. R., Costa, N., Freitas, F., Reis, M. A. M., Coelhoso, I. M. 2011. Characterization of biodegradable films from the extracellular polysaccharide produced by Pseudomonas oleovorans grown on glycerol by product. Carbohydrate Polymers. 83, 1582-590. Aulia, A. 2012. PembuatanEdible Film dari Ekstark Buah Pepaya Carica papaya L. dengan Campuran Tepung Tapioka, Tepung Terigu dan Gliserin. Skripsi. Medan: Departemen Kimia Universitas Sumatera Utara. Bourtoom, T. 2007. Plasticizer effect on the properties of biodegradable blend film from rice starch-chitosan. Songklanakarin Journal of Science and Technology. 30, 149-155. Buckle, K.A. 1985. Ilmu Pangan. Jakarta: UI Press. Cerqueira, M. A., Souza, B. W. S., Teixeira, J. A., Vicente, A. A. 2012. Effect of interaction between the constituent of Chitosan-Edible Films on Their Physical Properties. Food Bioprocess Technology 5,3181-3192. Embuscado, M. E. 2009. Edible Films and Coating for Food Application. London: springer. Fessenden, R. J. 1986. Kimia Organik. Edisi Ketiga.Jilid kedua. Jakarta: Erlangga. Flores, S., Fama, L., Rojas, A. M., Goyannes, S., gerschenson, L. 2006. Physical properties of tapioca-starch films: Influence of filmmaking and potassium sorbate. Food Research Internasional 40,257-265. Gontard, N., Guilbert,S., dan cuq, J. L. 1993. Water and Glycerol as Plasticizer Affect Mechanical and Water Barrier Properties at an Edible Wheat Gluten Film. USU: J. Food Science. Gunawan., Budi. dan Azhari, Citra Dewi. 2010. Karakterisasi Spektrofometri IR dan Scanning Electron Microscopy SEM Sensor Gas dari Bahan Polimer Poly Ethelyn Glycol PEG. ISSN : 1979-6870 : 1-17 Hardjadinata,S. 2009. Budi Daya Buah Naga Super Red Secara Organik. Bogor:Penebar Swadaya. Universitas Sumatera Utara Http:www.pioneerthinking.comcraftscrafts-soapmakingglycerin.html. Diakses tanggal 2 januari 2016. Http:susyanairi.blogspot.comgliserinhtml. Diakses pada tanggal 5 januari 2016. http:www.iptek.net.idindwarintek?mnu=6ttg=6doc=6b30. Diakses tanggal 20 desember 2015. Jawetz, E. Menick, J,L., dan Adelberg, E. A. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Ahli bahasa: Eddy Mudihardi. Jakarta. Penerbit Salemba Medika. Ketaren, S. Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta. UI-Press. 128-133. Jimmy. 2013. Karakterisasi Edible Film dari Campuran Tepung tapioca, Kitosan, Gliserin, dan Ekstrak mangga Mangifera indica L.. Medan: USU. Julianti,E. dan Nurminah,M.2007. Buku Ajar Teknologi Pengemasan. http:www.e-leraning.com. Diakses pada tanggal 7 januari 2016. Kristanto,D. 2009. Buah Naga Pembudidayaan di Pot dan Kebun. Bogor: Penebar Swadaya. Kumar, M.N.V.R. 2000. A Review of Chitin and Chitosan Application. Reactive functional Polymers 461: hal 1-27. Lehninger, A. L. 1982. Dasar-Dasar Biokimia. Penterjemah: M. Thenawijaya. Jakarta: Erlangga. Mashithah, Z. 2012. Karakterisasi Edible film dari Campuran Ekstrak Wortel Daucus carota L. dengan Tepung Tapioka dan Gliserin. Skripsi. Medan: Departemen Kimia Universitas sumatera Utara. Mulja, M. 1995. Analisis Intrumental. Airlangga Press. Surabaya. Poedjiadi, A. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Sadani, M. 2014. Karakterisasi Edible film dari Campuran Tepung Tapioka, Kitosan, dan Ekstrak Jambu Biji Psidium guajava L. dengan Pemlastis Gliserin. Skripsi. Medan: Departemen Kimia Universitas Sumatera Utara. Sinaga, L. 2013. Karakterisasi Edible Film Dari Ekstrak Kacang Kedelai Dengan Penambahan Tepung Tapioka Dan Gliserol Sebagai Bahan Pengemas Makanan. Jurnal Teknik Kimia: Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara Sugita, P., Wukirsari, T., Sjahriza A., Wahyono, D. 2009. Kitosan: Sumber Biomaterial Masa Depan. Bogor: IPB Press. Sulistiani, E. 2011. Pembuatan Edible Film dari Campuran Kanji, Dengan Ekstrak wortel Daucus Carota L. dan Gliserin Sebagai Bahan Pengemas. Skripsi. Medan: Departemen Kimia Universitas Sumatera Utara. Sudarmadji, S. 1984. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian.Yogyakarta: Liberti. Wafiroh, S., Ardiarto, T., Agustin, E. T. 2010. Pembuatan danKarakterisasi Edible Film dari Komposit Kitosan-Pati garut Maranta Arundinaceae Dengan pemlastis Asam Laurat. Surabaya: Universitas Erlangga. Wahyu, M. K. 2008. Pemanfaatan Pati Singkong Sebagai Bahan Baku Edible Film. Bandung: Indonesia. Whistler, R. L. 1984. Starch Chemistry and Technology. Second Edition. New York: Academic Press, Inc. Ltd. Wirjosentono, B. 1996. Analisis dan Karakterisasi Polimer. Medan: USU Press. Zhong, Q. P., Xia, W.S. 2008. Physicochemical properties of edible and preservative films from chitosancassava starchgelatin blend plasticized with glycerol. Food Technology Biotechnology 463, 262-269. Universitas Sumatera Utara

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1 Alat-Alat - Hotplate - Oven - Neraca analisis - Gelas beaker - Gelas ukur - Labu takar - Alat torse - Termometer - Spektrofotometer FT-IR - SEM Scanning Electron Microscope - Jangka Sorong - Plat Akrilik - Spatula - Pipet Tetes - Blender - Botol Reagen - Botol Aquades - Magnetik Stirer - Erlenmeyer pyrex - Saringan - Hotplate - Corong - Spektrofotometer UV-Visible Spectronic 300 - Jangka Sorong - Labu Takar Permacolor - Cawan Petri - Tabung Reaksi - Rak Tabung Universitas Sumatera Utara - Pipet volume Pyrex - Plastik

3.2 Bahan

- Buah Naga Merah - Kitosan DD 90,2 - Tepung Tapioka Dua koki anggur - Gliserin PT.SOCI - sCH 3 COOH aq 1 - Akuades

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Pengambilan Sampel

Sampel berupa buah naga merah yang diperoleh dari pasar buah medan. Buah naga merah memiliki nama latin 3.3.2 Pembuatan Larutan Pereaksi 3.3.2.1. Pembuatan Larutan CH 3 COOH 1 w v Dipipet 1 ml larutan CH 3 COOH aq kemudian dimasukkan kedalam labu takar 100 ml. Diencerkan dengan akuades hingga garis batas.

3.3.2.2. Pembuatan Larutan Kitosan2

w v Ditimbang 1 g kitosan kemudian dimasukkan ke dalam gelas beaker. Ditambahkan 50 ml larutan CH 3 COOH 1 V V . Didiamkan selama ± 1 jam hingga seluruh kitosan larut. Universitas Sumatera Utara 3.3.3 Cara Kerja 3.3.3.1. Preparasi Sampel Buah naga merah dikupas kemudian dipotong tipis-tipis,kemudian dimasukkan didalam blender. Setelah halus dan didapatkan ekstrak mangga.

3.3.3.2. Pembuatan Edible Film

Sebanyak 6 g tepung tapioca dimasukkan kedalam gelas beaker yang telah diisi dengan 81 ml akuades. Diaduk hingga homogen. Dipanaskan di atas hotplate pada suhu± 65 C hingga mengental. Ditambahkan kitosan 2 w v . Ditambahkan 10 g ekstark buah naga merah sambil diaduk hingga homogeny. Kemudian ditambahkan 2 g gliserin. Diaduk hingga homogen dan dibiarkan mengental. Campuran dituang di plat akrilik dan diratakan. Dikeringkan didalam oven pada suhu ± 30 C selama ± 2 hari. Dilakukan prosedur yang sama untuk sampel buah naga merah dengan variasi 20 g, 30 g, 40 g, 50 g dan akuades dengan variasi 71 ml, 61 ml, 51 ml, 41 ml.

3.3.4. Pengukuran Ketebalan Edible Film

Edible film yang diperoleh dipotong dengan ukuran 10 cm x 10 cm, kemudian dilakukan pengukuran dengan menggunakan jangka sorong sebanyak dari lima sisi, yaitu sudut sisi kiri atas, sudut sisi kanan atas, sudut sisi kiri bawah, sudut sisi kanan bawah dan tengah. Kemudian, dicari rata-rata dari ketebalan tersebut.

3.3.5. Pengukuran Kuat Tarik dan Kemuluran

Kekuatan tarik adalah salah satu sifat dasar dari bahan polimer yang terpenting dan sering digunakan untuk karakteristik suatu bahan polimer. Kekuatan tarik suatu bahan didefinisikan sebagai besarnya beban maksimum F max yang digunakan untuk memutuskan spesimennya bahan dibagi dengan luas penampang awal A . Universitas Sumatera Utara Perhitungan Uji Kuat Tarik : Kekuatan tarik σ = Fmaks �� = ���� �� Keterangan : Load = Tegangan KgF Ao = Luas specimen mm 2 σ = Kekuatan tarik bahan KgFmm 2 Bila suatu bahan dikenakan beban tarik yang disebut tegangan, maka bahan akan mengalami regangan. Kurva tegangan terhadap regangan merupakan karakteristik dari sifat mekanik suatu bahan. Untuk bahan polimer bentuk kurva tegangan regangan terlihat pada gambar 3.1 Regangan Gambar 3.1 Kurva Tegangan dan Regangan Bahan Polimer Spesimen yang digunakan untuk uji kekuatan tarik berdasarkan ASTM D 638 seperti terlihat pada gambar 3.2. rangkaian alat uji tarik diset sesuai dengan yang diperlukan. Kecepatan tarik 100 mmmenit dan beban maksimum 100 kgf. Sampel yang sudah berbentuk dumbbell dijepitkan pada alat uji tarik, kemudian alat dijalankan dan didata yang dihasilkan diamati pada monitor. Tegangan putus Perpanjangan Lumer Tegangan Lumer Kuat tarik Universitas Sumatera Utara 115 mm 64 mm 6 mm 25,5 mm 30 mm Gambar 3.2 Bentuk Spesimen Untuk Analisis Kuat Tarik dan Kemuluran ASTM D-638-72 Tipe IV Disamping uji sifat mekanik kekuatan tarik σ, juga diamati kemuluran ԑ yang didefinisikan sebagai perubahan panjang specimen I dengan perubahan panjang specimen setelah diberi beban I t maupun terhadap regangan stroke. Perhitungan Kemuluran : Kemuluran ԑ = �� − �0 �0 x 100 Kemuluran ԑ = ������ �0 x 100 Keterangan: ԑ = kemuluran Stoke = Regangan mmmenit I = Panjang specimen mula-mula mm I t = Panjang specimen setelah diberi beban mm Wirjosentono, 1996. Universitas Sumatera Utara

3.3.6 Analisa SEM Scanning Electron Microscope

Analisa SEM Scanning Electron Microscope merupakan pemeriksaan dan analisa permukaan serta mempelajari sifat morfologi sampel. Dalam hal ini, dilihat dari permukaan edible filmhasil campuran tepung tapioca dengan kitosan, ekstrak buah naga merah, dan gliserin berdasarkan sifat mekanik edible film yang optimal.

3.3.7 Analisa FT-IR Fourier Transform Infra Red

Analisa FT-IR Fourier Transform Infra Red merupakan analisa terhadap interaksi senyawa-senyawa yang terkandung dalam edible film berupa uluran atau lekukan gugus fungsi yang ditampilkan dalam bentuk spectrum gelombang. Dalam hal ini, dilihat dari spectrum interaksi gugus fungsi dari edible film hasil campuran tepung tapioca dengan kitosan, ekstrak buah naga merah, dan gliserin berdasarkan sifat mekanik edible film yang optimal. 3.4 Uji Aktivitas Antibakteri 3.4.1 Uji Aktivitas dengan Metode Kirby Bauer Dituang media MHA Mueller Hinton Agar steril kedalam cawan petri secara aseptis dan biarkan hingga memadat. Dibuat suspensi bakteri uji dengan cara mengambil biakkan bakteri tersebut untuk selanjutnya dihomogenkan kedalam 10 mL garam fisiologis 0,9 . Konsentrasi bakteri uji selanjutnya disamakan dengan konsentrasi larutan McFarland 10 8 CFUmL. Suspensi bakteri uji tersebut selanjutnya diinokulasikan dengan cara menggoresnya menggunakan cotton bud steril hingga merata pada media MHA yang telah memadat. Dimasukkan potongan edible film kedalam media uji untuk selanjutnya diinkubasi pada suhu 34 o C. Diamati dan diukur hasil uji antimikroba yang dihasilkan edible film dimulai dari hari pertama, ketiga dan kelima setelah masa inkubasi . Universitas Sumatera Utara

3.4.2 Uji Aktivitas dengan Metode Total Plate Count

Disiapkan 5 buah tabung reaksi yang masing-masing berisi 9 mL akuades steril. Selanjutnya ditimbang sebanyak 1 g sampel uji untuk dimasukkan kedalam tabung reaksi pertama. Dari hasil homogenisasi antara 9 mL akuadest steril dengan 1 g sampel uji diperoleh faktor pengenceran dengan konsetrasi 10 -1 . Dari hasil pengenceran 10 -1 diambil sebanyak 1 mL untuk dimasukkan kedalam tabung ke 2. Hasill homogenisasi pada tabung ke dua akan memperoleh faktor pengenceran dengan konsentrasi 10 -2 begitu seterusnya hingga diperoleh faktor pengenceran 10 -5 . Diambil masing-masing sebanyak 0,1 mL dari pengenceran 10 -4 dan 10 -5 untuk diinokulasikan kedalam 2 cawan petri yang berbeda. Dituangkan media PCA Plate Count Agar pada kisaran suhu ±36 o C kedalam cawan petri yang telah berisi 0,1 mL larutan dari hasil faktor pengenceran 10 -4 dan 10 -5 . Diinkubasi hasil TPC dengan metode cawan tuang tersebut pada suhu 34 o C selama 1 x 24 jam. Dihitung jumlah koloni yang tumbuh setelah masa inkubasi.

3.5 Bagan Penelitian

3.5.1. Preparasi Sampel

Dikupas Dibersihkan Diiris tipis-tipis Dihaluskan dengan blender Disaring Buah Naga Merah Ekstrak Buah Naga Merah Universitas Sumatera Utara

3.5.2. Pembuatan Edible Film

Ditimbang sebanyak 6 g Dimasukkan ke dalam gelas beaker Ditambahkan 81 ml akuades Dipanaskan diatas hotplate ± 65 o C Ditambahkan larutan kitosan 2 Ditambahkan 10 gr ekstrak buah naga merah Ditambahkan 1 ml gliserin Diaduk hingga homogen dan mengental Dituang di plat akrilik dan diratakan Dikeringkan didalam oven ± 30 o C selama 2 hari Dilakukan perlakuan yang sama untuk volume buah naga merah 20 gr, 30 gr, 40 gr, 50 gr. Tepung Tapioka Edible Film Universitas Sumatera Utara Tabel 3.1 Perbandingan berat sampel dalam pembuatan Edible Film Buah Naga Merah Kitosan Tepung Tapioka Gliserin 10 gr 12 gr 6 gr 1 gr 20 gr 12 gr 6 gr 1 gr 30 gr 12 gr 6 gr 1 gr 40 gr 12 gr 6 gr 1 gr 50 gr 12 gr 6 gr 1 gr

3.5.3 Karakterisasi dan Pengujian Edible Film

Edible Film Pengukuran Ketebalan Kuat Tarik dan Kemuluran Uji SEM Uji FT-IR Universitas Sumatera Utara

3.5.4. Pengujian Aktivitas Antibakteri Edible Film

3.5.4.1 Uji Aktivitas Edible Film dengan Metode Kirby Bauer

Biakan bakteri Escherichia coli dan Staphyloccus aureus disuspensi dalam akuades steril dihomogenkan dengan vortex dibandingkan dengan kekeruhan Suspensi bakteri diencerkan dengan akuades Steril sampai kekeruhan Media MHA 10 6 CFUml di inkubasi di Suspensi Bakteri atas media MHA di inkubasi di atas media MHA Media MHA Cakram Edible Film diletakkan cakram edible film diatas media MHA di inkubasi secara terbaik dalam inkubator pada suhu 32-34ºC selama 24 jam di ukur diameter zona antibakteri Hasil Universitas Sumatera Utara

3.5.4.2 Uji Aktivitas Edible Film dengan Metode Standart Plate Count

SPC pada Sosis Sosis dibungkus dengan edible film diletakkan pada suhu kamar dipotong seberat 1 g dihaluskan dan dimasukkan dalam tabung reaksi ditambah akuades steril sebanyak 9 ml Kultur awal pengenceran 10 -1 diencerkan hingga 10 -5 dimasukkan 0,1 ml ke dalam media PCA padat didalam cawan petri diratakan dengan hockey stick Media PCA dan kultur diinkubasi pada suhu 32-34ºC selama 24 jam dihitung isolate bakteri Hasil Dilakukan perlakuan yang sama untuk sosis yang dibungkus dengan plastik biasa dan edible film liquid untuk perbandingan. Universitas Sumatera Utara

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Dari hasil penelitian edible film dari campuran ekstrak buah naga merah dengan tepung tapioca, kitosan, dan gliserin yang telah dilakukan diperoleh karakterisasi edible film sebagai berikut: Table 4.1 Hasil Karakterisasi Edible film dari 6 g Tepung tapioca, 2 Kitosan, 10 g Ekstrak buah naga merah, 1 ml gliserin. No. Parameter Hasil 1. Ketebalan 0,232 mm 2. Kuat Tarik 0,498 KgFmm 2 3. Kemuluran 14,54 Table 4.2 Hasil Karakterisasi Edible film dari 6 g Tepung tapioca, 2 Kitosan, 20 g Ekstrak buah naga merah, 1 ml gliserin. No. Parameter Hasil 1. Ketebalan 0,108 mm 2. Kuat Tarik 0,209 KgFmm 2 3. Kemuluran 10,36 Universitas Sumatera Utara Table 4.3 Hasil Karakterisasi Edible film dari 6 g Tepung tapioca, 2 Kitosan, 30 g Ekstrak buah naga merah, 1 ml gliserin. Table 4.4 Hasil Karakterisasi Edible film dari 6 g Tepung tapioca, 2 Kitosan, 40 g Ekstrak buah naga merah, 1 ml gliserin. Table 4.5 Hasil Karakterisasi Edible film dari 6 g Tepung tapioca, 2 Kitosan, 50 ml Ekstrak buah naga merah, 1 ml gliserin. No. Parameter Hasil 1. Ketebalan 0,196 mm 2. Kuat Tarik 0,141 KgFmm 2 3. Kemuluran 9,72 No. Parameter Hasil 1. Ketebalan 0,236 mm 2. Kuat Tarik 0,147 KgFmm 2 3. Kemuluran 7,91 No. Parameter Hasil 1. Ketebalan 0,158 mm 2. Kuat Tarik 0,126 KgFmm 2 3. Kemuluran 6,54 Universitas Sumatera Utara

4.1.2 Hasil Analisis Spectroscopy Fourier Transform Infra Red FT-IR Edible Film

Analisis karakterisasi FT-IR edible film dilakukan dengan mengidentifikasi gugus-gugus fungsi dan analisa kuantitatif derajat deasetilasi dari edible film yang telah dihasilkan dari penelitian ini. Hasil Karakterisasi gugus fungsi berupa spektrogram FTIR yang ditunjukan pada Gambar 4.1 Gambar 4.1 Spektrum Senyawa Hasil Penelitian dengan FT-IR Table 4.6 Interpretasi Gugus Fungsi Senyawa Hasil Analisis FT-IR GGugus Fungsi Frekuensi cm-1 Hasil Frekuensi cm-1 Teori CH 2925,59 cm -1 2841-2967 cm -1 2924,50 cm -1 2925,25 cm -1 2923,08 cm -1 OH 3264,88 cm -1 2500-3333 cm -1 3273,96 cm -1 3274,55 cm -1 3269,17 cm -1 3241,15 cm -1 NH 2923,80 cm -1 3571-3636 cm -1 Universitas Sumatera Utara

4.1.3 Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Edible Film

Pada edible film dilakukan uji aktivitas antibakteri dengan menggunakan Metode Kirby Bauer. Aktivitas antibakteri edible film menunjukkan indeks antimikrobial pada pertumbuhan bakteri patogen yaitu Staphylococcus aureus dan Eschericia coli dengan perhitungan zona hambat. Tabel 4.7 Hasil perhitungan diameter zona hambat beberapa kultur bakteri oleh edible film No Sampel Indeks Antimikrobial E. Coli S. Aureus 1. Sampel 1 0,011 0,013 2. Sampel 2 0,023 0,013 3. Sampel 3 0,012 0,011 4.2 Pembahasan Penelitian 4.2.1 Kuat Tarik Kuat tarik dan persen elongasi merupakan sifat mekanik yang berhubungan dengan sifat kimia film. Kuat tarik merupakan gaya maksimum yang dapat ditahan oleh sebuah alat hingga terputus. Parameter ini merupakan salah satu sifat mekanis yang penting dari edible film. Kuat tarik yang terlalu kecil mengindikasikan bahwa film tidak dapat dijadikan kemasan, karena karakter fisiknya kurang kuat dan mudah patah Ulpa,2011. Dari perbandingan hasil kuat tarik dapat disimpulkan bahwa edible film dari campuran tepung tapioka, kitosan, gliserin dengan perbandingan penambahan ekstrak buah naga merah 10 ml memberikan hasil kuat tarik dan kemuluran yang lebih tinggi dari edible film yang telah dilakukan. Hal ini disebabkan karena proses pencampuran yang lebih stabil sehingga permukaan film yang dihasilkan merata dan tidak akan mudah patah jika ditarik. Universitas Sumatera Utara Dari hal ini menunjukkan bahwa data dari kuat tarik dan kemuluran dengan variasi penambahan buah naga merah menjelaskan bahwa semakin sedikit volume buah naga merah yang ditambahkan maka kekuatan tarik dan kemuluran dari Edible Film akan semakin kuat disertai dengan penambahan gliserin karena adanya gugus OH dari gliserin dengan gugus CH dari buah naga merah mengakibatkan terjadinya interaksi sehingga molekul-molekul akan terdispersi dan berinteraksi dengan struktur rantai polimer dan menyebabkan rantai polimer sukar bergerak. Hal ini yang menyebabkan kekuatan tarik meningkat karena adanya gaya intermolekuler diantara rantai struktur. Efek pengaruh penambahan ekstrak buah naga merah terhadap edible film yang dihasilkan adalah memberikan penampilan, warna, aroma, dan tingkat kemanisan pada edible film.

4.2.2 Ketebalan

Pengukuran ketebalaan film dilakukan pada lima titik yang diukur secara acak dengan menggunakan mikrometer sekrup. Hasil dari pengukuran ketebalan edible film pada variasi 40 ml buah naga merah, 6 g tepung tapioka, 12 ml kitosan 2 dan 1 ml gliserin yaitu 0,236 mm lebih tinggi dibandingkan dengan variasi lainnya. Hal ini dikarenakan dengan adanya perbedaan variasi pada penambahan buah naga merah sehingga pencampuran sampel buah naga merah dengan volume 40 ml yang terdapat dalam film mempengaruhi komposisi film sehingga semakin banyak sampel buah naga merah yang ditambahkan sebagai bahan pengisi mempengaruhi ketebalan film.

4.2.3 Kemuluran

Kemuluran film adalah kemampuan bertambah panjang ketika ada beban tarik yang dialami film. Nilai elongasi menggambarkan ukuran kemampuan film untuk merenggang atau memanjang. Kemuluran film dinyatakan dalam kemuluran saat putus dengan satuan yang menunjukkan pertambahan panjang sebelum putus dibandingkan panjang awal. Sifat keregangan atau kemuluran ini sangat berguna mengingat sifat pembungkus harus mampu melindungi makanan yang ada di Universitas Sumatera Utara dalam edible film. Berdasarkan hasil uji kemuluran edible film dengan variasi 10 ml buah naga merah, 6 g tepung tapioka, 12 ml kitosan 2 dan 1 ml gliserin dihasilkan persen keregangan 14,54 sedangkan variasi 20 ml buah naga merah, 6 g tepung tapioka, 12 ml kitosan2 dan 1 ml gliserin dihasilkan persen keregangan 14,90. Hal ini dapat disimpulkan semakin kuat suatu film maka semakin kuat juga persen keregangan karena film yang kuat tidak mudah putus ketika terjadi tarikan.

4.2.4 Analisa FT-IR

Spektroskopi FT-IR dilakukan untuk interaksi spektrum gugus fungsi karakterisasi secara mikrostruktural diantara kitosan, tepung tapioka dan gliserin. Pada tepung tapioca yang digunakan dalam penelitian, dilakukan analisa secara FT-IR menunjukkan adanya regangan gugus –OH pada panjang gelombang 3241 cm -1 – 3274 cm -1 , regangan gugus C-H pada panjang gelombang 2923 cm -1 – 2925 cm -1 , regangan gugus amina NH pada panjang gelombang 1630 cm -1 – 1706 cm -1 dan deformasi gugus C-H pada panjang gelombang 851 cm -1 – 858 cm -1 dimana menggambarkan struktur dari tepung tapioka secara keseluruhan. Pada kitosan yang digunakan dalam penelitian dilakukan analisa secara FT-IR menunjukkan adanya regangan gugus –OH pada panjang gelombang 3241 cm -1 – 3274 cm -1 , regangan gugus amina NH pada panjang gelombang 1634 cm -1 1643 cm -1 dan regangan gugus C-H pada panjang gelombang 2923 cm -1 – 2925 cm -1 dan deformasi gugus –CH pada panjang gelombang 890 cm -1 – 927 cm -1 dimana menggambarkan struktur dari kitosan secara keseluruhan. Pada gliserin yang digunakan dalam penelitian, dilakukan analisa secara FT-IR menunjukkan adanya regangan gugus –OH pada panjang gelombang 3241 cm -1 – 3273 cm -1 , regangan gugus C-H pada panjang gelombang 1412 cm -1 – 1415cm -1 dan deformasi gugus –CH pada panjang gelombang 927 cm -1 – 1016 cm -1 dimana menggambarkan struktur gliserin secara keseluruhan. Pada edible film dengan uji mekanik optimal dilakukan analisa secara FT- IR menunjukkan adanya regangan gugus –OH pada panjang gelombang 3269 cm -1 Universitas Sumatera Utara – 3273 cm -1 dan vibrasi gugus C-N pada panjang gelombang 1316 cm -1 – 1371 cm -1 . Hal ini menunjukkan adanya interaksi antara tepung tapioka, kitosan, dan gliserin pada edible film yang dibuat dengan demikian,edible film yang telah dibuat memiliki karakteristik yang memenuhi syarat umum dalam pembuatan edible film.

4.2.5 Analisa SEM

Analisa ini dilakukan dengan alat yang biasa disebut dengan mikroskopi kamera. Analisa ini bertujuan untuk melihat permukaan penampang, untuk melihat permukaan melintang dan membujur suatu spesimen secara mikroskopis dengan pembesaran tertentu. Analisa ini juga dapat mengevaluasi homogenitas film. Struktur lapisan, halus maupun kasarnya permukaan sehingga topografi, tonjolan, lekukan dan pori-pori pada permukaan dapat terlihat. Pada prinsipnya bila terjadi perubahan pada suatu bahan misalnya patahan, lekukan dan perubahan struktur dari permukaan suatu bahan, maka bahan tersebut cenderung mengalami perubahan energy Ulpa, 2011. Hasil SEM pada edible film, akan memperlihatkan permukaan pada edible film tersebut. Bila hasil pada permukaan tersebut rata atau bergelembung, tergantung pada bahan – bahan penyusun edible film tercampur merata atau tidak, tergantung pada matriks, bahan pengisi, dan pemlastis tercampur dengan baik sehingga dihasilkan permukaan edible film yang baik. Dilihat dari hasil uji mekanik tertinggi, dilakukan analisis permukaan edible film yang dihasilkan pada pembesaran 500x yang terdapat pada gambar f dapat diketahui bahwa permukaan edible film menunjukkan struktur yang kurang rata, itu disebabkan pencampuran kitosan, gliserin, tepung tapioca dan buah naga merah tidak tercampur merata. Pada perbesaran 1000x yang terdapat pada gambar g terlihat tonjolan-tonjolan pada struktur permukaan edible film yang disebabkan pencampuran yang kurang merata. Universitas Sumatera Utara 4.2.6. Uji Aktivitas Antibakteri Edible Film 4.2.6.1 Uji Aktivitas Antibakteri dengan Metode Kirby Bauer Pengujian aktivitas antibakteri dari edible film dapat dilihat pada tabel 4.3 terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Eschercia coli menunjukkan hasil yang negatif, ini ditandai dengan tidak adanya terbentuk larutan bening pada sekitar edible film. Tabel 4.7 Hasil Uji Edible Film Terhadap E. Coli dan S. Aureus No Sampel Indeks Antimikrobial E. Coli S. Aureus 1. Sampel 1 0,011 0,013 2. Sampel 2 0,023 0,013 3. Sampel 3 0,012 0,011 Dari hasil uji edible film dengan metode Kirby Bauer yaitu indeks antimikrobial E. Coli gram negatif diperoleh zona bening terbesar yaitu sampel 2 sebesar 0,023, sedangkan untuk bakteri S.Aureus gram positif diperoleh zona bening terbesar yaitu pada sampel 1 dan sampel 2 sebesar 0,13. Dari data yang diperoleh, sampel 2 dengan uji bakteri E. Coli gram negatif memiliki zona hambat yang lebih besar dibandingkan dengan sampel 1 dan sampel 3 yang disebabkan kitosan mempunyai aktivitas antibakteri dimana bakteri memiliki permukaan sel bakteri sehingga mampu menghambat nutrisi masuk ke dalam sel. Hal ini disebabkan oleh adanya gugus amina pada kitosan yang mempunyai muatan kationik yang dapat mengikat sumber makanan bagi bakteri. Dalam penelitian Dimas,2015 menerangkan bahwa kitosan yang berbentuk film tidak bisa berdifusi sisi aktif yang bersifat sebagai antibakteri karena kitosan dalam bentuk larutan akan mudah terprotonasi lalu berdifusi ke permukaan sel bakteri. Namun uji lain dapat dilihat bahwa film tersebut memiliki sifat sebagai pelindung pada suatu makanan sosis yaitu dilihat dari jumlah bakteri yang tumbuh pada Universitas Sumatera Utara filmnya. Sehingga film ini walaupun tidak memiliki zona hambat cocok untuk sebagai bahan pembungkus makanan. 4.2.6.2 Pertumbuhan Koloni Bakteri pada Sosis yang di Bungkus Edible Film, dengan Metode Standart Plate Count Dengan menggunakan metode Standard Plate Count SPC pada media plate count agar PCA, jumlah koloni yang tumbuh pada sosis yang dibungkus dengan edible film dapat dihitung. Perhitungan jumlah koloni dilakukan dengan menggunakan counter pada jangka waktu 5 hari. Sebagai kontrol jumlah koloni juga dilakukan terhadap sosis yang dibungkus dengan plastik biasa. Berikut hasil perhitungan jumlah koloni yang tumbuh pada media PCA. Tabel 4.8 Hasil Pengamatan Pertumbuhan Koloni pada Sosis yang di Bungkus Edible Film Dengan Perbandingan Waktu Hari 1, Hari 3, Hari 5. No Sampel Hari Ke- 1 CFUml 3 CFUml 5 CFUml 1. Sampel 1 8 x 10 6 32 x 10 6 2. Sampel 2 12 x 10 6 38 x 10 6 3. Sampel 3 15 x 10 6 45 x 10 6 Perhitungan jumlah koloni bakteri diambil dari potongan sosis yang telah dibuat pengenceran 10 6 lalu diinokulasikan pada media PCA. Tabel 4.4 menunjukkan hasil perhitungan jumlah koloni dimana terlihat perbedaan pertumbuhan koloni antara sosis yang dibungkus dengan edible film di hitung dari hari 1, hari 3, dan hari 5, perlakuan pada sampel sosis sapi yang dibungkus dengan sampel 1 pada hari 1 tidak ada pertumbuhan koloni, dan pada hari 3 terdapat pertumbuhan coloni sebesar 8 x 10 6 , dan pada hari 5 jumlah pertumbuhan coloni meningkat sebesar 32 x 10 6 . Pada sampel 2 dan sampel 3 pertumbuhan coloni pada hari 1 semakin tinggi dan seterusnya pada hari 3 dan hari 5. Jadi sampel 1 lebih sedikit jumlah Universitas Sumatera Utara pertumbuhan coloni dibandingkan dengan sampel 2 dan sampel 3. Ini disebabkan karena komposisi edible film pada sampel 1 dengan penambahan ekstrak buah naga merah 10 ml Hylocereus Costaricencis, tepung tapioca, kitosan 2, dan gliserin sebagai plasticizer lebih baik digunakan sebagai pengemasan sosis sapi dibandingkan dengan sampel 2 dengan penambahan ekstrak buah naga merah 20 ml Hylocereus Costaricencis, tepung tapioca, kitosan 2, dan gliserin dan sampel 3 dengan penambahan ekstrak buah naga merah 30 ml Hylocereus Costaricencis, tepung tapioca, kitosan 2, dan gliserin pertumbuhan jumlah koloni lebih banyak dibandingkan dengan sampel 1. Dari hasil data dapat disimpulkan bahwa semakin sedikit penambahan ekstrak buah naga merah maka pertumbuhan coloni semakin sedikit sehingga dapat digunakan sebagai pengemasan sosis. Tabel 4.9 Hasil Pengamatan Pertumbuhan Koloni pada Sosis yang di Bungkus Edible Film, diCelup dengan Edible Film Liquid, dan di Bungkus dengan Plastik Biasa No Sampel Jumlah Koloni 1 Sosis di bungkus dengan edible film 3 x 10 4 2 Sosis di celup dengan edible film liquid 35 x 10 4 3 Sosis di bungkus dengan plastik biasa 28 x 10 4 Universitas Sumatera Utara

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Karakteristik terbaik dari edible film yang dihasilkan, diperoleh edible

dengan ketebalan 0,232 mm, kuat tarik sebesar 0,498 KgFmm 2 , kemuluran 14,54 . Dari hasil SEM terlihat permukaan film yang rata, rapat, dan berpori kecil. Dari hasil FT-IR menunjukkan panjang gelombang 3241 cm -1 – 3274 cm -1 menunjukkan adanya regangan gugus – OH, dan pada panjang gelombang 1316 cm -1 – 1371 cm -1 merupakan vibrasi gugus C-N. 2. Hasil uji aktivitas antibakteri edible film dengan metode Kirby Bauer dengan menggunakan bakteri Staphylococcus aureus adalah adanya zona bening terbesar yaitu pada sampel 1 dan sampel 2 dengan variasi 10 ml ekstrak buah naga merah, 6 g tepung tapioca, 12 ml kitosan 2 dan 1 ml gliserin sebesar 0,013 CFUml. Dari data yang diperoleh, sampel 2 dengan uji bakteri E.Coli gram negative memiliki zona hambat yang lebih besar dibandingkan dengan sampel 1 dan sampel 3 yaitu sebesar 0,023 CFUml. Hal ini disebabkan adanya gugus amina dari kitosan mempunyai aktivitas antibakteri yang dapat mengikat sumber makanan bagi bakteri. Namun pada uji aktivitas berdasarkan jumlah pertumbuhan koloni sosis yang dibungkus dengan edible film pada sampel 1 memiliki jumlah koloni yang lebih sedikit dibandingkan sosis yang dibungkus dengan sampel 2 dan sampel 3 edible film. Hal ini disebabkan karena komposisi edible film dengan penambahan ekstrak buah naga dengan volume 10 ml dibandingkan dengan variasi 20 ml, dan 30 ml ekstrak buah naga merah pertumbuhan coloni semakin sedikit sehingga dapat digunakan sebagai pengemasan sosis. Universitas Sumatera Utara

5.2 Saran

Disarankan kepada peneliti selanjutnya melakukan variasi sampel, pemakaian pemlastis yang lain, serta analisa kimia terhadap Edible Film untuk mengetahui kemampuan yang lebih jauh kemungkinan diaplikasikannya edible film sebagai pengemas bahan pangan. Universitas Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Buah Naga Merah

Buah naga merah Hylocereus costaricencis adalah tanaman yang buahnya berwarna merah menyala dan bersisik hijau. Buah naga termasuk tanaman kaktus atau famili Cactaceae dan subfamili Hylocereanea. Dalam subfamili ini terdapat beberapa genus, sedangkan buah naga termasuk dalam genus Hylocereus. Genus ini pun tediri dari sekitar 16 spesies. Dua diantaranya memiliki buah yang komersial, yaitu Hylocereus undatus berdaging putih dan Hylocereus costaricensis daging merah. Gambar 2.1 Buah Naga Merah Hylocereus costaricencis Adapun klasifikasi buah naga tersebut sebagai berikut: Divisi :Spermatophyta tumbuhan berbiji Subdivisi :Angiospermaeberbiji tertutup Kelas :Dicotyledonae berkeping dua Ordo :Cactales Famili :Cactaceae Subfamili :Hylocereanea Genus :Hylocereus Spesies :Hylocereus costaricencis daging merah Kristanto,2009 Universitas Sumatera Utara Tanaman yang berasal dari meksiko, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan bagian utara ini sudah lama dimanfaatkan buahnya untuk konsumsi segar. Namun, selama itu tidak satu pun media massa dunia yang memberitakannya. Tanamannya merupakan jenis tanaman memanjat. Saat ditemukan di alam aslinya, tanaman ini memanjat batang tanaman lain dihutan yang teduh, walaupun perakarannya di tanah dicabut, tanaman ini masih tetap hidup sebagai tanaman epifit karena kebutuhan makanannya diperoleh melalui akar udara pada batangnya. Secara morfologis, tanaman ini termasuk tanaman tidak lengkap karena tidak memiliki daun. Buah naga merah Hylocereus costaricencis sepintas mirp buah Hylocereus polyrhizus. Namun, warna daging buahnya lebih merah, itulah sebabnya tanamn ini disebut buah naga berdaging super merah. Batangnya bersosok lebih besar disbanding Hylocereus polyrhyzus. Batang dan cabangnya akan berwarna loreng saat berumur tua. Berat buahnya sekitar 400-500 g. Rasanya manis dengan kadar kemanisan mencapai 13-15 briks. Tanamannya sangat menyukai daerah yang panas dengan ketinggian rendah sampai sedang.

2.1.1 Khasiat Buah Naga Merah

Dari beberapa media massa disebutkan bahwa buah naga merah memiliki khasiat untuk kesehatan manusia, diantaranya ialah sebagai penyeimbang kadar gula darah, pencegah kanker usus, pelindung kesehatan mulut, serta pengurangan kolesterol, pencegah pendarahan, dan obat keluhan keputihan. Adanya khasiat- khasiat tersebut disebabkan oleh kandungan nutrisi dalam buahnya yang sangat mendukung kesehatan tubuh manusia. Table 1 memberikan gambaran tentang kandungan nutrisi dalam buah naga merah. Buah naga merah umumnya dikonsumsi dalam bentuk segar sebagai penghilang dahaga. Hal ini disebabkan oleh kandungan airnya sangat tinggi, sekitar 90,20 dari berat buah. Rasanya cukup manis karena didukung oleh kadar gula yang mencapai 13-18 briks. Universitas Sumatera Utara TABEL 2.1. KANDUNGAN NUTRISI BUAH NAGA MERAH Nutrisi Kandungan Kadar gula 13-18 briks Air 90,20 Karbohidrat 11,5 g Asam 0,139 g Protein 0,53 g Serat 0,71 g Kalsium 134,5 mg Fosfor 8,7 mg Magnesium 60,4 mg Vitamin C 9,4 mg Kristanto,2009

2.1.2 Jenis Buah Naga

Ada empat jenis buah naga yang diusahakan dan memiliki prospek baik. Keempat jenis tersebut sebagai berikut.

2.1.2.1 Hylocereus Undatus

Hylocereus undatus yang lebih popular dengan sebutan white pitaya adalah buah naga yang kulitnya berwarna merah dan daging berwarna putih. Warna merah buah ini sangat kontras dengan warna daging buah. Pada kulit buah terdapat sisik atau jumbai berwarna hijau. Didalam buah terdapat banyak biji berwarna hitam, berat buah rata-rata 400-500 g bahkan ada yang dapat mencapai 650 g. Rasa buahnya masam bercampur manis dibandingkan jenis lainnya, kadar kemanisannya tergolong rendah, sekitar 10-13 briks. Batang tanamannya berwarna hijau tua. Daerah tumbuh yang ideal pada ketinggian kurang dari 400 m. Universitas Sumatera Utara

2.1.2.2 Hylocereus polyrhizus

Hylocereus polyrhizus yang lebih banyak dikembangkan di Cina dan Australia ini memiliki buah dengan kulit berwarna merah dan daging berwarna merah keunguan. Kulitnya terdapat sisik atau jumbai hijau. Rasa buah lebih manis disbanding Hylocereus undatus, kadar kemanisan mencapai 13-15 briks. Tanaman lebih kekar dibanding Hylocereus undatus. Dari pada batang dan cabang berjarak lebih rapat. Tanaman ini tergolong jenis yang sangat rajin bunga, bahkan cenderung berbunga sepanjang tahun.

2.1.2.3 Hylocereus costaricencis

Buah Hylocereus costaricencis adalah buah yang warna dagingnya lebih merah dan tanaman ini disebut dengan buah naga berdaging super merah. Batangnya bersosok lebih besar dibanding jenis buah naga Hylocereus polyrhizus. Batang dan cabangnya akan berwarna loreng saat berumur tua. Berat buah nya sekitar 400-500 g, rasanya manis dengan kadar kemanisan mencapai 13-15 briks.

2.1.2.4 Selenicereus megalanthus

Jenis buah ini berpenampilan berbeda disbanding jenis anggota genus Hylocereus. Kulit buahnya berwarna kuning tanpa sisik sehingga cenderung lebih halus. Walaupun tanpa sisik, kulit buahnya masih menampilkan tonjolan-tonjolan dan rasa buahnya jauh lebih manis dibanding buah naga lainnya karena memiliki kadar kemanisan mencapai 15-18 briks. Sayangnya buah yang dijuluki yellow pitaya ini kurang popular dibanding jenis lainnya. Hardjadinata.S,2009

2.2 Edible Film

Edible film didefinisikan sebagai suatu material berbentuk lapisan tipis yang dapat dikonsumsi dan dapat digunakan sebagai penghalang kelembaban, oksigen dan gerakan zat terlarut pada makanan. Edible film dapat digunakan untuk lapisan pembungkus makanan yang atau dapat ditempatkan sebagai lapisan antara komponen makanan Giulbert, 1986. Universitas Sumatera Utara Edible film diaplikasikan pada makanan dengan cara pembungkus, pencelupan, penyikatan atau penyemprotan. Bahan hidrokoloid dan lemak atau campuran keduanya dapat digunakan untuk membuat edible film. Hidrokoloid yang dapat digunakan untuk membuat edible filmadalah protein gelatin, kasein, protein kedelai, protein jagung dan gluten gandum dan karbohidrat pati, alginate, pectin, gum arab, dan modifikasi karbohidrat lainnya, sedangkan lipid yang digunakan adalah lilinwax, gliserol dan asam lemak. Adapun ketebalan edible film adalah tidak lebih dari 0,3 mm Embuscado, 2009. Kelebihan edible film yang dibuat dari hidrokoloid diantaranyamemiliki kemampuan yang baik untuk melindungi produk terhadap oksigen, karbondioksida dan lipid serta memiliki sifat mekanis yang diinginkan dan meningkatkan kesatuan struktural produk. Kelemahannya, film dari karbohidrat kurang bagus digunakan untuk mengatur migrasi uap air sementara film dari protein sangat dipengaruhi oleh pengaruh pH. Kelebihan edible film dari lipid adalah memiliki kemampuan yang baik untuk melindungi produk dari penguapan air atau sebagai bahan pelapis untuk mengoles produk makanan Krochta, 1997. Metode pembuatan edible film yang sering digunakan yaitu metode casting, yaitudengan mendispersikan bahan baku edible film, pengaturan pH larutan, pemanasan larutan, pencetakan, pengeringan, dan pelepasan dari cetakan. Tidak ada metode standart dalam pembuatan edible film sehingga dapat dihasilkan film dengan fungsi dan karakteristik fisikokimia yang diinginkan akan berbeda. Namun pada umumnya dilakukan penambahan hidrokoloid untuk membentuk struktur film yang tidak mudah hancur dan plasticizer untuk meningkatkan elastisitas Wahyu, 2008.

2.2.1 Sifat-sifat Edible Film

Sifat fisik edible film meliputi sifat mekanik dan penghambatan. Sifat mekanik menunjukkan kemampuan kekuatan film dalam menahan kerusakan bahan selama pengolahan, sedangkan sifat penghambatan menunjukkan Universitas Sumatera Utara kemampuan film melindungi produk yang dikemas dengan menggunakan film tersebut. Beberapa sifat film meliputi kekuatan renggang putus, ketebalan, pemanjangan, laju tranmisi uap air dan kelarutan film.

1. Ketebalan edible film

Ketebalan film merupakan sifat fisik yang dipengaruhi oleh konsentrasi padatan terlarut dalam larutan film. Ketebalan film akan mempengaruhi laju transmisi uap air, gas dan senyawa volatile.

2. Perpanjangan edible film atau elongasi

Perpanjangan edible film atau elongasi merupakan kemampuan perpanjangan bahan saatdiberikan gaya tarik. Nilai elongasi edible film menunjukkan kemampuan rentangnya.

3. Peregangan edible film atau tensile strength

Peregangan edible film merupakan kemampuan bahan dalam menahan tekanan yang diberikan saat bahan tersebut berada dalam regangan maksimumnya. Kekuatan peregangan menggambarkan tekanan maksimum yang dapat diterima oleh bahan atau sampel.

4. Kelarutan film

Persen kelarutan edible film adalah persen berat kering dari film yang terlarut setelah dicelupkan didalam air selama 24 jam.

5. Laju transmisi uap air

Laju transmisi uap air merupakan jumlah uap air yang hilang per satuan waktu dibagi dengan luas area film. Oleh karena itu salah satu fungsi edible film adalah untuk menahan migrasi uap air maka permeabilitasnya terhadap uap air harus serendah mungkin Gontard, 1993. Universitas Sumatera Utara

2.2.2 Aplikasi Edible film

Komponen penyusun edible film mempengaruhi secara langsung bentuk morfologi maupun karakteristik pengemas yang dihasilkan. Komponen penyusun edible film dikelompokkan menjadi tiga, yaitu hidrokoloid, lipida, dan komposit. Bahan-bahan tambahan yang sering dijumpai dalam pembuatan edible film adalah antimikroba, antioksidan, flavor,dan pewarna. Komponen yang cukup besar dalam pembuatan edible film adalah plasticizer, yang berfungsi untuk meningkatkan fleksibilitas, menghindari film dari keretakan, meningkatkan permeabilitas terhadap gas, uap air, zat terlarut, dan meningkatkan elastisitas film. Beberapa jenis plasticizer yang dapat digunakan dalam pembuatan edible film adalah gliserol, polivinil alcohol, dan sorbitol. Aplikasi dari edible film dapat dikelompokkan atas :

1. Sebagai kemasan primer dari produk pangan

Dokumen yang terkait

Pembuatan Edible Film dari Tepung Tapioka dengan Penambahan Ekstrak Buah Jambu Biji (Psidium guajava L.), Kitosan, dan Gliserin Sebagai Pembungkus Dodol dan Sosis

0 1 13

Pembuatan Edible Film dari Tepung Tapioka dengan Penambahan Ekstrak Buah Jambu Biji (Psidium guajava L.), Kitosan, dan Gliserin Sebagai Pembungkus Dodol dan Sosis

0 0 2

Pembuatan Edible Film dari Tepung Tapioka dengan Penambahan Ekstrak Buah Jambu Biji (Psidium guajava L.), Kitosan, dan Gliserin Sebagai Pembungkus Dodol dan Sosis

1 3 6

Pembuatan Edible Film dari Tepung Tapioka dengan Penambahan Ekstrak Buah Jambu Biji (Psidium guajava L.), Kitosan, dan Gliserin Sebagai Pembungkus Dodol dan Sosis

0 1 18

Pembuatan Edible Film Dari Campuran Tepung Tapioka, Kitosan, Gliserin dan Ekstrak Buah Naga Merah (Hylocereus Costaricencis) Sebagai Pengemasan Sosis Sapi

0 0 13

Pembuatan Edible Film Dari Campuran Tepung Tapioka, Kitosan, Gliserin dan Ekstrak Buah Naga Merah (Hylocereus Costaricencis) Sebagai Pengemasan Sosis Sapi

0 0 2

Pembuatan Edible Film Dari Campuran Tepung Tapioka, Kitosan, Gliserin dan Ekstrak Buah Naga Merah (Hylocereus Costaricencis) Sebagai Pengemasan Sosis Sapi

0 0 6

Pembuatan Edible Film Dari Campuran Tepung Tapioka, Kitosan, Gliserin dan Ekstrak Buah Naga Merah (Hylocereus Costaricencis) Sebagai Pengemasan Sosis Sapi

1 3 18

Pembuatan Edible Film Dari Campuran Tepung Tapioka, Kitosan, Gliserin dan Ekstrak Buah Naga Merah (Hylocereus Costaricencis) Sebagai Pengemasan Sosis Sapi

0 0 3

Pembuatan Edible Film Dari Campuran Tepung Tapioka, Kitosan, Gliserin dan Ekstrak Buah Naga Merah (Hylocereus Costaricencis) Sebagai Pengemasan Sosis Sapi

0 0 24