Toleransi Beragama sebagai Budaya dalam Pembelajaran

E. Toleransi Beragama sebagai Budaya dalam Pembelajaran

Pendidikan baik secara teoritik maupun secara praktis tidak terlepas dari kebudayaan. 95 Pendidikan tidak terjadi di dalam

ruangan yang vakum tetapi terjadi di dalam interaksi antara manusia di dalam suatu masyarakat yang berbudaya. 96 Oleh sebab

itu, pendidikan dan kebudayaan merupakan suatu kesatuan. Kebudayaan itu dinamis dan terus berkembang karena adanya

93 Muhammad Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional (Jakarta: Depag, 2005),41.

94 Q.S. Adh-Dha<riya<t (51) : 56. Ayat tersebut adalah:

       95 Parsudi

kebudayaan sebagai keseluruhan pengetahuan yang dimiliki manusia yang terdiri dari seperangkat model pengetahuan yang secara selektif digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan yang dihadapinya. Selain itu, kebudayaan juga sebagai pemenuhan kebutuhan, pendorong serta pencipta tindakan-tindakan yang diperlukan. Lihat Parsudi Suparlan “Kebudayaan dan Pembangunan”, dalam Chryshnanda DL dan Yulizar Syafri, eds. Dari Masyarakat Majemuk Menuju Masyarakat Multikultural (Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian, 2008), 807. Sedangkan bagi Will Kymlicka kebudayaan mengacu kepada sebuah komunitas antar generasi bangsa, menempati wilayah atau tanah air tertentu yang terdiri dari berbagai bahasa dan sejarah yang berbeda. Lihat Will Kimlicka, Multicultural Citizenship: A Liberal Theory Of Minority Right (New York: Oxpord University Press, 1995), 18. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan diciptakan oleh dan untuk masyarakat sekaligus milik individu sebagai proses pengalaman manusia untuk dijadikan pedoman dalam kehidupannya.

Suparlan

menginterpretasikan

96 H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), 49.

Zoemulder yang dikutip Koentjaraningrat, kebudayaan diambil dari bahasa Sangsekerta, bhudayah , yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Sedangkan ilmuwan lain mengatakan bahwa, kata budaya merupakan pengembangan dari kata majemuk budi-daya, yang berarti daya dan budi. Sehingga, menurut pendapat ini, budaya berbeda dengan kebudayaan. Jadi, budaya adalah daya dan budi yang berupa cipta, karsa, dan rasa. Dalam istilah antropologi budaya, menurut Koentjaraningrat perbedaan itu ditiadakan. Kata budaya dipakai sebagai suatu singkatan dari kebudayaan dengan

Dalam pandangan

PJ.

arti yang sama. 98 Sebagai sebuah pranata sosial, lembaga pendidikan adalah

tempat yang tepat dan layak untuk mewujudkan tumbuhnya suatu sistem norma dengan mengembangkan interaksi antara pendidik dan peserta yang harmonis. Di sinilah pentingnya lembaga pendidikan mengembangkan budaya yang sesuai dengan tatanan moral yang ideal dalam proses pelaksanaannya, yang pada akhirnya dapat dikembangkan dan diterapkan dalam lingkungan masyarakat yang sesungguhnya.

Untuk bisa dikatakan sebagai budaya, maka pendidikan harus memenuhi karakteristik tertentu sebagaimana Conrad P. Kottak dalam M. Ainul Yaqin jelaskan. Pertama, budaya adalah sesuatu yang general sekaligus spesifik. Kedua, budaya adalah sesuatu yang dipelajari. Ketiga, budaya adalah sebuah simbol. Keempat, budaya dapat membentuk dan melengkapi sesuatu yang alami. Kelima, budaya adalah sesuatu yang dilakukan secara bersama- sama yang menjadi atribut bagi individu sebagai anggota dari kelompok masyarakat. Keenam, budaya adalah sebuah model.

Ketujuh, budaya adalah sesuatu yang bersifat adaftif. 99 Terpenuhinya ketujuh kriteria tersebut, diharapkan pendidikan

menjadi sesuatu yang dibutuhkan.

97 H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, 50. 98 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: PT. Rineka

Cipta, 2009), 146. 99 M. Ainul

Multikultural, Cross-Cultural Understanding Untuk Demokrasi dan keadilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), 6-9.

Yaqin,

Pendidikan

Untuk mewujudkan tujuan tersebut, pendidikan yang baik menurut Fuad Hassan harus dilakukan melalui tiga upaya utama, 100

yaitu pembiasaan, pembelajaran, dan peneladanan. Melalui pembiasaan diharapkan peserta didik menjadi tidak terbebani dalam melakukan suatu kebaikan, bahkan menjadikannya suatu kebutuhan. Sedangkan upaya pembelajaran membutuhkan keseriusan peserta didik untuk mengambil manfaat dari apa yang dipelajarinya. Adapun upaya peneladanan bertujuan agar peserta didik menjadikan contoh yang baik sebagai pegangannya dalam melakukan segala tindakan.

Pengembangan nilai-nilai toleransi beragama sehingga terbentuk menjadi budaya melalui pembelajaran di sekolah tidaklah mudah untuk diraih. Ia harus direncanakan dan menjadi bagian penting dari kebijakan institusi, sehingga diperlukan pendekatan secara sistematis dengan menggunakan strategi yang tepat. Pengembangan budaya toleransi beragama bertujuan untuk membangun keyakinan dan sikap menerima keanekaragaman ajaran agama selain dari agama yang dianutnya dengan mengembangkan nilai-nilai seperti pluralisme, inklusifisme dan

dialog antaragama, 101 sehingga tumbuh dalam kepribadian peserta didik sikap saling menghormati keyakinan religius masing-masing

dan penghormatan terhadap martabat manusia dan hak-hak asasinya.

Dengan demikian, supaya pembelajaran dapat membentuk karakter dan menjelma menjadi budaya positif dalam diri setiap peserta didiknya dibutuhkan tiga pilar utama yang harus dikerjakan oleh pelaku pendidikan, yaitu; pertama, pembelajar harus mengembangkan sikap toleran, empati, dan simpati yang merupakan prasyarat esensial bagi keberhasilan koeksistensial dan proeksistensial dalam keragaman agama. Pembelajaran agama harus dirancang (didesain) untuk menanamkan: 1) Sikap toleransi dari tahap yang minimalis hingga tahap maksimalis, dari yang sekadar dekoratif hingga yang solid. 2). Klasifikasi nilai-nilai

100 Fuad Hassan, “Pendidikan adalah Pembudayaan,” dalam Pendidikan Manusia Indonesia , editor Tonny D. Widiastono (Jakarta: PT. Kompas Media

Nusantara, 2004), 52. 101 M. Sastrapratedja, “Apa dan Siapakah Manusia?”, dalam Pendidikan

Manusia Indonesia , Editor Tonny D. Widiastono, 21.

sosial baru dan aturan main kehidupan bersama antar agama. Kedua, membangun saling percaya ( mutual trust ). Rasa saling percaya adalah salah satu modal sosial ( social capital ) terpenting dalam penguatan masyarakat. Ketiga, memelihara rasa saling pengertian ( mutual understanding ). Memahami bukan serta merta juga bermakna menyetujui. Keempat, menjunjung sikap saling

menghargai. 102 Sebagai lembaga yang dipercaya mampu mengembangkan

kecerdasan, memberikan pengetahuan, dan membentuk kepribadian peserta didik, sekolah juga diharapkan dapat mentransformasikan nilai-nilai budaya. Untuk itu, sekolah dituntut supaya bisa mengembangkan dua prinsif proses pertransformasian nilai-nilai budaya, yaitu: pertama, pengakuan adanya kenyataan keragaman budaya yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Kedua, nilai-nilai budaya yang ada di masyarakat Indonesia dengan ke-bhinekaannya perlu dipilah-pilah untuk memilih nilai-nilai luhur yang perlu dipertahankan, serta meninggalkan nilai-nilai yang tidak berfungsi

lagi dalam menghadapi perubahan. 103 Demikian pula halnya dalam proses pembelajaran, konsep-

konsep tersebut di atas harus bisa diterapkan dan dilaksanakan oleh guru. Perubahan paradigma belajar yang semula teacher centris ke student centris harus dibarengi dengan kemampuan berkreasi menciptakan berbagai gagasan, prakarsa, serta cara-cara memberikan pelajaran yang bersifat menantang dan menggairahkan belajar peserta didik dengan menerapkan model-model

pembelajaran yang bersifat partisipatif, kooperatif dan kreatif. 104 Dengan penerapan konsep-konsep tersebut, diharapkan

pembelajaran yang berlangsung tidak hanya sebagai proses pemindahan informasi dari guru ke peserta didik (siswa), namun mampu membentuk suatu perubahan sikap ke arah yang lebih dewasa, lebih arif, dan lebih bijaksana. Dan itu dimulai dari pembelajaran yang demoktaris.

102 Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan multicultural konsep dan aplikasi (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008),214.

103 H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, 211. 104 Abuddin Nata, Modernisasi P endidikan Islam di Indonesia , 119.

53