BUDAYA TOLERANSI DALAM PEMBELAJARAN PEND

BUDAYA TOLERANSI DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Oleh: ABDUL FATAH SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2012 M/1433 H

ABSTRAK

Kesimpulan besar tesis ini adalah bahwa pembelajaran pendidikan agama yang kontekstual dan humanistik mampu

menciptakan budaya toleransi beragama di lingkungan sekolah yang plural.

Tesis ini memiliki persamaan akademis dengan: pertama, Thorsten Knauth yang menyatakan bahwa untuk menanamkan nilai-nilai toleransi yang sebenarnya maka diperlukan pendekatan yang kontekstual sehingga siswa dapat terlibat langsung dengan materi pelajaran yang telah mereka dapatkan. (Thorsten Knauth ,

“ Tolerance – a Key concept for dealing with cultural and religious diversity in education ”, 2010). Kedua, M. Arfah Shiddiq yang menyimpulkan bahwa dalam perspektif Islam, dasar-dasar untuk hidup bersama dalam masyarakat yang pluralistik secara relijius, sejak semula, memang telah dibangun di atas landasan normatif dan historis sekaligus. (M. Arfah Shiddiq, “Konflik dan Konformitas antara Islam dan Kristen, ” Disertasi, 2000). Ketiga, Nur Enlaila yang menyatakan bahwa nilai-nilai toleransi yang tercantum dalam kurikulum KTSP SMU dapat diimplementasikan dalam pengajaran dan pembelajaran PAI dengan pendekatan kontekstual. (Nur Enlaila, “Kurikulum Pendidikan Agama Berbasis

Multikultural, ” Tesis, 2010). Tesis ini berbeda dengan kesimpulan akademis lain, yaitu: pertama, hasil survey PPIM yang menyatakan bahwa guru-guru agama pada SMU di Jawa konservatif dalam pembelajaran, jauh di atas masyarakat Jawa pada umumnya. (PPIM, “Sikap dan Prilaku Sosial Keagamaan Guru-guru Agama di Jawa, ” 2008). Kedua, Siti Musdah Mulia yang menyatakan bahwa pendidikan agama saat ini masih minim mengajarkan toleransi beragama sehingga harus dirubah. (Musdah Mulia, “Kurikulum Pendidikan Agama Masih Mengerikan, ” 2012).

Tesis ini menunjukkan bahwa budaya toleransi beragama di SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan telah dikembangkan melalui proses pembelajaran pendidikan agama Islam (PAI) yang kontekstual dan humanistik, evaluasi pembelajaran yang holistik, dan kegiatan ekstrakurikuler yang berbasis toleransi.

Sumber utama tesis ini adalah data-data lapangan yang terkait dengan eksistensi SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan.

Data primer diperoleh dari sumber utama yaitu kepala sekolah, Guru Pendidikan Agama Islam, Wakil kepala sekolah bidang Hubungan Masyarakat, ketua Rohis dan beberapa siswa di SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan. Sedangkan data skunder diperoleh melalui kajian-kajian dari berbagai sumber tertulis baik berupa tesis, disertasi, jurnal-jurnal, buku-buku, artikel, dan internet.

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan ( field research ), karena data-data utama penelitian ini sepenuhnya bertumpu pada data lapangan. Adapun paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kualitatif, karena penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan makna ( meaning ) dan untuk mendeskripsikan fenomena, latar belakang, dan potensi positif dari pengembangan pembelajaran PAI di tempat tersebut.

Adapun metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumentasi dan wawancara mendalam ( indepth interview ) serta observasi. Dokumentasi akan digunakan dengan cara membaca dan menggali informasi dari dokumen- dokumen, agenda kegiatan keagamaan guru dan siswa, silabus dan kurikulum yang terkait dengan penelitian ini. Wawancara mendalam digunakan untuk menggali informasi yang utuh dari komunitas tersebut, yang berasal dari kepala sekolah, guru PAI, ketua Rohis dan siswa. Sedangkan observasi yang dipilih adalah pengamatan langsung pada objek penelitian, yakni siswa dan Guru Pendidikan Agama Islam di lokasi tersebut.

ii

KATA PENGANTAR

Mengawali tulisan ini, penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, karena atas ridha dan inayah-Nya, buku yang

berjudul “Budaya Toleransi dalam Pembelajaran Pendidikan

Agama Islam” ini dapat diselesaikan. Melalui kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada semua pihak yang ikut berperan dalam proses penyelesaian buku ini, terkhususkan kepada: Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA (Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta), Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA (Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta) beserta staf dan jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu dan mengasah pengetahuan di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Suwito, MA., Prof. Dr. Amany Lubis, Prof. Dr. Abuddin Nata, MA., Dr. Nurlena Rifa’i, MA.,Ph.D, MA, Dr. Fuad Jabali, Dr. Yusuf Rahman, MA., dan Suparto, M.Ed, Ph.D yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam melakukan penulisan sebuah karya ilmiah.

Ayahanda H. Duduh Abdul Kohar dan bunda Ny. Suwaebah yang telah meletakkan dasar-dasar ilmu, iman dan rasa cinta kepada penulis. Ikhtiar dan doanya mampu memberikan semangat dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada program Magister.

Nurmillah (isteri tercinta), dan anak-anak tersayang (Nurlaila Balqis, Muhammad Muslim Az-zakki, Faeyza Putra Alfath), ayahanda Baden dan ibunda Fatim (mertua) yang senantiasa memberikan dorongan semangat kepada penulis untuk terus menimba ilmu. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh keluarga yang tidak dapat penulis cantumkan secara keseluruhan.

Rekan-rekan sesama mahasiswa PAIS program Magister Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang selalu mengingatkan kepada penulis

iii iii

Semoga seluruh dukungan moral dan material yang diberikan kepada penulis menjadi amal saleh yang bermanfaat. Amin.

Jakarta, 6 September 2012 M.

19 Syawal 1433 H.

Penulis

iv

DAFTAR ISI

ABSTRAK_i KATA PENGANTAR_iii DAFTAR ISI_v PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN_vii DAFTAR SINGKATAN_ix DAFTAR TABEL_xi

BAB I PENDAHULUAN_1

A. Latar Belakang Masalah_1

B. Permasalahan_8

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan_10

D. Tujuan Penelitian_13

E. Signifikansi Penelitian_13

F. Metodologi Penelitian_ 14

G. Lokasi dan Waktu Penelitian_16

H. Sistematika Penulisan_17

BAB II TOLERANSI DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM_ 19

A. Konsep dan Indikator Toleransi Beragama_19

B. Toleransi Beragama dalam Pandangan Agama

Islam_35

C. Toleransi Beragama dalam Dunia Sekolah_39

D. Tujuan Pendidikan Agama Islam di Sekolah_46

E. Toleransi Beragama sebagai Budaya dalam

Pembelajaran_50

BAB III DESAIN PEMBELAJARAN PAI BERBASIS TOLERANSI DI SMA NEGERI 1 KOTA TANGERANG SELATAN_55

A. Sejarah Singkat SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan_55

B. Belajar dan Pembelajaran_58

C. Pendekatan

Pembelajaran PAI dalam Mengembangkan Budaya Toleransi_66

D. Metode Pembelajaran PAI dalam Membangun Budaya Toleransi_80

BAB IV IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN PAI DI SMA NEGERI 1 KOTA TANGERANG SELATAN_89

A. Pembelajaran PAI yang Humanistik dan Kontekstual_89

B. Evaluasi Pembelajaran yang Holistik_98

C. Ekstrakurikuler Keagamaan Berbasis Toleransi_110

D. Realitas Toleransi Beragama dalam Kehidupan Sekolah_120

E. Kendala dan Solusi Pembelajaran PAI Berbasis Toleransi_123

BAB V PENUTUP_125

A. Kesimpulan_125

B. Saran-saran_126 Daftar Pustaka_129

Indeks_ 147 Glossary_151 Indeks_163 Lampiran_159 Biodata Penulis_177

vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN Konsonan

Vokal Pendek

u= Vokal Panjang

: a=´

i=

: a< = ا

i> = ي ū=و

Diftong

: ay = يا

aw = وا

vii

viii

DAFTAR SINGKATAN

AMBAK : Apa Manfaat BagiKu CBSA

: Cara Belajara Siswa Aktif CTL

: Contextual Teaching Learning

DI/TII : Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia FPI

: Front Pembela Islam HAM

: Hak Azasi Manusia ICT

: Information and Communication Technology IT

: Information Technology KBM

: Kegiatan Belajar Mengajar MMI

: Majelis Mujahidin Indonesia

PAIKEM : Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan TIK

: Teknologi Informasi dan Komunikasi

ix

DAFTAR TABEL

3.1. Jumlah siswa berdasarkan agama yang dianut_ 57

3.2. Perbedaan antara pembelajaran CTL dengan Konvensional_ 72

4.1. Contoh format penilaian praktek sholat_ 103

4.2. Contoh format penilaian portofolio hasil karya siswa_ 106

4.3. Contoh penilaian portofolio proses belajar peserta didik_ 107

4.4. Contoh penilaian portofolio kerja kelompok_ 108

xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di dalam masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, interaksi antar umat beragama tentu menjadi sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Upaya membangun interaksi yang kondusif dan harmonis harus terus diupayakan. Dinamika di masyarakat terkadang menunjukkan realitas yang berbeda. Masyarakat Indonesia yang dikenal religius dan memiliki keramahan, tidak immune dari potensi konflik bermotifkan agama. Gesekan antar anggota atau kelompok masyarakat yang memicu konflik bermotifkan agama sudah sering terjadi, baik antar umat

seagama maupun antar agama. 1 Potensi konflik bermotifkan agama ini bisa dikatakan sangat laten.

Konflik-konflik bermotifkan agama dapat dipicu oleh beraneka macam. Menurut Nunu pemicu agama bisa disebabkan oleh penistaan terhadap simbol-simbol agama, diantaranya kasus pembuatan karikatur Nabi Muhammad yang dirilis oleh sebuah tabloid di Denmark dan film Fitna yang dibuat Geert Wilders dari Belanda dianggap sebagai propaganda anti Islam yang dimaksudkan untuk membangun kebencian dan sikap-sikap

permusuhan dalam skala luas antar kelompok agama. 2 Berbeda dengan di atas, menurut Murni Djamal, selain

peristiwa 11 September 2001 dan perang di Afganistan dan Irak, faktor lain yang mempengaruhi terjadinya konflik antar agama karena disebabkan oleh trauma historis dari mulai peperangan antara Islam dan Bizantium abad ke-7, Perang Salib abad 11-13, kolonialisme Barat terhadap negara Islam abad 18-20 dengan gerakan misionarismenya yang kemudian diikuti pendudukan Palestina oleh Zionisme yang didukung Barat, dan belakangan sikap Barat yang ambigius dalam penerapan HAM dan demokrasi, di mana demokrasi dan HAM tidak berlaku bagi dunia Islam

1 Nunu Ahmad An-Nahidl, dkk. Pendidikan Agama di Indonesia: Gagasan dan Realitas (Jakarta: Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan

Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010), 259-260. 2 Nunu Ahmad An-Nahidl, dkk. Pendidikan Agama di Indonesia:

Gagasan dan Realitas , 260.

tertentu, tetapi hanya berlaku untuk dunia Barat, dan Barat pun

malah menyokong Negara anti demokrasi di negara-negara Islam. Sedangkan untuk kasus di Indonesia, konflik dengan

mengatasnamakan agama bisa disebabkan oleh beberapa faktor. Diantaranya, pertama , keinginan untuk menjadikan syari’ah sebagai dasar Negara Indonesia, seperti gerakan Darul Islam atau

Negara Islam Indonesia (DI/TII). Kedua, karena adanya tekanan dari penguasa yang otoriter, seperti gerakan FPI, Laskar Jihad, dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Ketiga, solidaritas

internasional. 4 Isu Palestina yang dijajah Israel adalah salah satu faktor yang sangat penting yang disuarakan oleh kelompok Islam.

Keempat, sentimen anti Barat (Amerika dan sekutunya) 5 yang telah menyerang dan menganeksasi negara-negara muslim di Timur

Tengah khususnya. Dan hal lain yang menjadi penyebab terjadinya konflik adalah penafsiran yang sempit dan kering terhadap ajaran

agama. 6 Kelima , adanya balapan untuk mengembangkan agama masing-masing antara Islam dan Kristiani. 7 Dalam kebanyakan

kasus, menurut Azra agama dijadikan rallyingpoint dan titik solidaritas, ketika konflik dan kekerasan terus berkelanjutan, agama didorong tampil ke depan, sehingga menimbulkan kesan bahwa agama menjadi faktor dan motif terpenting bagi tindakan-tindakan

kekerasan yang terjadi, 8 sementara pemerintah, tokoh agama dan ormas keagamaan, terutama NU dan Muhammadiyah dianggap

gagal mengatasinya karena tidak memiliki early warning system (sistem peringatan dini) untuk mengetahui problem mendasar dari

3 Murni Djamal, dalam Karlina Helmanita, Pluralisme dan Inklusivisme (Jakarta: Konrad Adenauer Stiftung (KAS), 2003), v.

4 Djamhari Makruf, “Radikalisme Islam di Indonesia: Fenomena Sesaat?”, dalam Agama dan Radikalisme di Indonesia, Editor Bahtiar Effendi

dan Soetrisno Hadi (Jakarta: Nuqtah, 2007), 8. 5 Djamhari Makruf, “Radikalisme Islam di Indonesia: Fenomena

Sesaat?”, dalam Agama dan Radikalisme di Indonesia, 8-10. 6 Imam

http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/4/33734/Kolom/Mendesaknya_Pendi dikan_Toleransi.html (diakses tanggal 19 Nopember 2011).

7 Azyumardi Azra, dalam Usman Ks., Wahyu Iwa Sumantri, dkk., Merajut Damai di Maluku: Telaah Konflik Antarumat Beragama (Jakarta: PT.

Intermasa, 2000), xi. 8 Azyumardi Azra, dalam Usman Ks., Wahyu Iwa Sumantri, dkk.,

Merajut Damai di Maluku: Telaah Konflik Antarumat Beragama , xiv.

berbagai kasus intoleransi, 9 sehingga tidak bisa memberi jawaban dan terapi pemecahan yang cepat dan benar.

Timbulnya konflik sebenarnya merupakan sesuatu yang wajar, positif, dan bahkan “harus” terjadi dalam alam demokrasi. 10

Dengan adanya konflik, manusia akan belajar bagaimana mengatasi konflik tersebut agar tidak terulang kembali. Namun, konflik menjadi tidak wajar manakala ia harus mengorbankan harta benda bahkan nyawa dengan melanggar hukum, etika, dan tata susila yang telah dibangun dan disepakati bersama selama bertahun- tahun.

Dalam pandangan Masykuri Abdillah, pada masyarakat multikultural, pemenuhan semua aspirasi dan kepentingan bukanlah hal yang mudah. Ini berarti bahwa beberapa di antaranya mungkin tidak dapat dipenuhi dan hal ini dapat menyebabkan kondisi yang tidak memuaskan, yang kemudian dapat mengarah pada protes atau bahkan konflik dan kekerasan antara anggota kelompok sosial dan politik. Benar bahwa proses politik dalam sistem demokrasi seperti pemilu dan kebijakan publik yang dilaksanakan secara bebas dan terbuka dimaksudkan untuk membuat konflik seperti itu dapat dikelola dan dibudayakan melalui badan legislatif dan yudikatif. Namun tidak semua konflik dapat diatasi melalui badan-badan ini, khususnya apabila kasus- kasus yang terjadi menyangkut isu etnis dan agama. Realisasi dari konflik yang dikelola di antara kelompok sosial yang anggotanya sebagian besar berpendidikan rendah tidaklah mudah, sebab

masing-masing kelompok bisa saja menampakkan egoismenya. 11 Hal ini menunjukkan sebuah kondisi di mana proses demokratisasi

tidak berjalan dengan lancar.

9 Moderate Muslim Society (MMS), “Laporan Toleransi dan Intoleransi Tahun

Intoleransi,” Lihat http://www.moderatemuslim.net/mms/images/stories/pdf/Laporan%20Toleransi %20dan%20Intoleransi%20Tahun%202010.pdf. (Diakses tanggal 26 Maret 2012).

10 Sjahrir, Transisi Menuju Indonesia Baru (Jakarta: Yayasan Obor, 2004), 168.

11 Masykuri Abdillah, “Toleransi Beragama dalam Masyarakat Demokrasi dan Multikultural”, dalam Konflik Komunal di Indonesia Saat ini

(Jakarta: INIS, 2003), 174.

Hal lain yang menyebabkan demokratisasi di Indonesia tidak berjalan sesuai harapan sebagaimana Azyumardi Azra tegaskan

yang dikutip Dede Rosyada adalah karena politik mono-kulturnya di zaman Soekarno dan Soeharto. Falsafat Bhineka Tunggal Ika hanya menjadi slogan tapi tidak pernah mewujud dalam kenyataan empirik hubungan sosial maupun pranata sosial lainnya. Penghormatan dan penghargaan terhadap keragaman etnik, budaya dan agama tidak sama dan seimbang. Sehingga muncul kesenjangan antara mayoritas dengan minoritas. Ketika simpul- simpul yang mengikat demokratisasi itu dibuka dan dilepas zaman reformasi, maka gagasan multikulturalisme kini mengemuka, dan langsung memasuki wilayah pendidikan, yang seharusnya teori- teori multikulturalismenya itu dirumuskan terlebih dahulu oleh para

ahli bidang ilmu-ilmu sosial politik. 12 Konflik yang bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan

(SARA) akan senantiasa membayangi bangsa Indonesia sebagai konsekuensi logis dari sebuah negara yang majemuk dan heterogen. Hanya saja, saat ini konflik telah merasuk ke sekolah- sekolah dan perguruan tinggi. Tawuran dan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh siswa/mahasiswa sudah menjurus kepada tindak kriminal dan tidak lagi mencerminkan seorang terpelajar. Siswa/mahasiswa yang sejatinya tugasnya hanya belajar, kini mulai

disibukkan dengan “kegiatan” tambahan, yaitu tawuran. Sekolah, sebagai lembaga yang diamanahkan untuk mendidik anak-anak bangsa seolah-olah telah kehilangan wibawanya. Fenomena seperti ini bisa kita lihat setiap hari melalui layar televisi. Mulai dari kasus kekerasan antara kakak kelas terhadap adik kelasya, hingga penyerangan terhadap sekolah lain. Sikap intoleransi para siswa ini disinyalir karena guru masih rendah

mengajarkan semangat kebangsaan dan bersifat konservatif, 13 dan masih adanya kecenderungan sikap ekslusivisme baik dalam

memahami ayat maupun dalam mengaktualisasikan hubungan antar

12 Dede Rosyada, Pendidikan Multicultural Melalui Pendidikan Agama (Sebuah Gagasan Konsepsional)

13 Ta’dib Volume 11, No. 1 Juni 2008 , hal. 2-3 Pusat Pengakajian Islam dan Masyarakat (PPIM) “Sikap dan Perilaku

Sosial-Keagamaan Guru- guru agama di Jawa,” Lihat http://www.ppim.or.id (diakses tanggal 31 Maret 2011).

umat beragama yang cenderung anti toleransi. 14 Hal tersebut juga diperkuat oleh Atho ’ Mudzhar, menurutnya moral dan akhlak

peserta didik menjadi merosot karena disebabkan oleh kurikulum pendidikan agama yang terlampau padat materi, pembelajaran yang lebih berorientasi pada pemikiran ketimbang membangun kesadaran beragama yang utuh, nilai-nilai keagamaan yang tidak menjiwai metodologi pendidikan agama, dan minimnya sumber

bacaan agama di sekolah. 15 Akibatnya, peserta didik menjadi rapuh dan mudah diprovokasi.

Ada juga yang berpendapat bahwa ketidakberhasilan pendidikan agama dalam menanamkan sikap inklusif kepada peserta didiknya dikarenakan isi pendidikan agama di sekolah terlalu akademis, terlalu banyak topik, banyak pengulangan yang

tidak perlu, serta jumlah jam pelajaran yang terbatas, 16 sehingga proses pendidikan agama saat ini masih sebatas mentransfer materi

pelajaran ke otak berupa hapalan-hapalan tanpa disertai pemberian pemahaman yang baik. 17 Peserta didik dipaksa untuk mendapat

nilai tinggi ketika ujian, namun dalam praktiknya tidak disertai dengan moral yang baik.

Tentunya hal tersebut bertolak belakang dengan pesan dan cita-cita luhur pendidikan nasional. Sebagaimana Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa

Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,

14 M. Zulfa, Islam dan Pluralisme Agama dalam AlQur’an Implikasinya terhadap Toleransi Umat Islam (Jakarta: Perpustakaan SPs UIN Syarif

Hidayatullah, 2000), 135. 15 Atho Mudzhar, Hasil Studi Litbang Agama dan Diklat Kegamaan

(Tempo: 24 November 2004). 16 Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia ( Ciputat:

Logos Wacana Ilmu, 2001), 12. 17 A. Syafi’i, Implementasi Teori Konstruksivisme dalam Pembelajaran

Pendidikan Agama Islam (PAI): Suatu Kajian Awal, Seminar Pendidikan, FTIK UIN Jakarta, 2007, 7.

kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta

bertanggungjawab. Lembaga pendidikan dianggap belum bisa mengembangkan

nilai-nilai moral dan spiritual peserta didik, sehingga melahirkan generasi yang pragmatik dan oportunistik. Nilai manfaat dan keuntungan ekonomis menjadi yang utama dan mengalahkan nilai- nilai lain yang penting untuk kemanusiaan seperti: kasih-sayang, kesetiaan, kebenaran, keadilan, kejujuran, hormat terhadap martabat dan kehidupan manusia, kesetiakawanan, dan penguasaan

diri. 19 Dunia pendidikan dinilai gagal melahirkan anak bangsa yang berhati mulia dan toleran kepada yang beda.

Sudah menjadi komitmen bersama bahwa pendidikan mempunyai peran yang mulia dan agung. Sifat yang agung ini ditunjukkan dari peran pendidikan yang dipahami sebagai pemberian bekal peserta didik untuk menghadapi masa depannya, juga peran pendidikan dipahami sebagai sarana untuk pencerdasan seseorang, negara dan bangsa. Sehingga, dengan semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin baik perilaku dan kehidupannya. Dan semakin baik perikehidupan suatu bangsa, maka semakin kokohlah peradaban suatu negara.

Dari sinilah diperlukan sebuah pendidikan yang dapat memanusiakan manusia, yaitu pendidikan yang mampu mengembangkan seluruh potensi peserta didik dalam lingkup manusia seutuhnya, dengan melestarikan dan mengembangkan secara terus menerus nilai-nilai kehidupan sesuai dengan kodratnya, dan senantiasa menjaga keharmonisan untuk meraih kehidupan yang abadi dalam hubungannya dengan sesama manusia

maupun dengan khalik-Nya, 20 karena -hakikatnya- pendidikan tidak dapat dilepaskan dari perhatian adanya keberadaan orang lain

18 Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003,Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: CV. Eko Jaya, 2003), 7.

19 F. Winarni, “Reorientasi Pendidikan Nilai Dalam Menyiapkan Kepemimpinan Masa Depan,” lihat www.journal.uny.ac.id/index.php/cp/article,

(Diakses tanggal 28 Oktober 2011) 20 Muhadjir Effendy, “Tantangan Pendidikan Masa Kini dalam

Perspektif Islam:

Peran Pendidikan,” http://rektor.umm.ac.id/files/file/Kumpulan%20Naskah/tantangan-pendidikan- masa-kini-dalam-perpektif-islam.pdf , (Diakses tanggal 30 Juni 2011).

Revitalisasi Revitalisasi

change ) kehidupan bermasyarakat turut bertanggungjawab terhadap merosotnya nilai-nilai toleransi dan sikap inklusivisme yang kembali marak terjadi akhir-akhir ini.

Sudah saatnya pendidikan berperan dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di masyarakat. Minimal pendidikan harus mampu memberikan penyadaran kepada masyarakat bahwa konflik bukan suatu hal yang baik untuk dibudayakan. Sudah saatnya pendidikan memberikan jalan keluar yang mencerdaskan melalui desain metode dan materi pembelajaran, serta kurikulum yang dapat menyadarkan masyarakat akan pentingya memiliki sikap saling toleran sebagai aplikasi dari nilai-nilai dasar pendidikan yang menanamkan sikap hormat terhadap perbedaan suku, agama, ras, etnis dan budaya bangsa Indonesia yang majemuk. Sebab nilai- nilai dasar dari pendidikan ini adalah penanaman dan pembumian

nilai toleransi, empati, simpati dan solidaritas sosial. 22 Pendidikan seharusnya berperan sebagai media transformasi sosial budaya dan

multikulturalisme, dan sebagai proses humanisasi seseorang yang berlangsung di dalam lingkungan hidup keluarga dan masyarakat

yang berbudaya, kini dan masa depan. 23 Sehingga tercipta kerukunan yang sebenarnya.

Berdasarkan hasil Kongres Pendidikan Islam Sedunia II di Islamabad yang diselenggarakan 15-20 Maret 1980 sebagaimana dikutip Abuddin Nata menetapkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk menciptakan keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia secara menyeluruh, dengan cara melatih jiwa, akal pikiran,

perasaan, dan fisik manusia. 24 Dengan demikian, pendidikan harus mengupayakan tumbuhnya seluruh potensi manusia, baik yang

bersifat spiritual, intelektual, daya khayal, fisik, ilmu pengetahuan, maupun bahasa, baik secara perorangan maupun kelompok, dan

21 Doni Koesoema A., Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global (Jakarta: PT Grasindo, 2007), 62.

22 A. Fuad Fanani, Islam Mazhab Kritis: Menggagas Keberagamaan Liberati, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2004), hlm. 16

23 H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), 20.

24 Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, Cet. I, 2010), 62.

mendorong tumbuhnya seluruh aspek tersebut agar mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan terletak pada

terlaksananya pengabdian yang penuh kepada Allah, baik pada tingkat perseorangan, kelompok maupun kemanusiaan dalam arti

yang seluas-luasnya. 25 Pendidikan Agama Islam sebagai sebuah mata pelajaran yang

wajib diselenggarakan di sekolah-sekolah umum mulai dari tingkat SD hingga tingkat SMA dituntut untuk bisa memberikan kontribusi konkrit terhadap pengembangan sikap toleransi keagamaan peserta didik sehingga menjadi sebuah budaya di sekolah. Hal tersebut karena mata pelajaran PAI dan pelajaran agama lainnya memiliki peranan yang sangat penting karena di dalamnya selain mengajarkan tentang norma/aturan, moral, akhlak, etika dan kesantunan juga bertujuan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional dengan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi insan yang demokratis serta bertanggungjawab.

Pengembangan pendidikan agama Islam sebagai budaya sekolah berarti mengembangkan PAI di sekolah, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, sehingga pijakan nilai, semangat, sikap dan perilaku bagi para aktor sekolah seperti kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan lainnya, orang tua, murid dan peserta

didiknya. 26 Nilai-nilai tersebut harus ditanamkan pada diri setiap siswa sejak dini sehingga menjadi budaya dalam pembelajaran di

sekolah yang berurat dan berakar untuk kemudian diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.

B. Permasalahan

Supaya penulisan tesis ini menjadi fokus, maka langkah- langkah menentukan permasalahan adalah sebagai berikut:

1. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka masalah penelitian ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut: pertama, bagaimana nilai-nilai toleransi dapat ditanamkan pada diri siswa. Kedua, bagaimana metode pembelajaran PAI

25 Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, 62. 26 Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam: Mengurai Benang Kusut

Dunia Pendidikan (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2006), 133.

dalam menanamkan nilai-nilai toleransi kepada siswa. Ketiga, bagaimana pendekatan yang digunakan oleh guru PAI dalam

mengajarkan nilai-nilai toleransi pada siswa. Keempat, faktor- faktor apakah yang menjadi penghambat dalam usaha meningkatkan sikap toleransi keberagamaan siswa dan faktor- faktor apakah yang dirasakan dapat mendukung keberhasilan usaha mereka dalam meningkatkan sikap toleransi. Kelima, bagaimana kegiatan ekstrakurikuler keagamaan menanamkan nilai-nilai toleransi pada siswa. Keenam, apakah materi ajar PAI telah mengandung nilai-nilai toleransi.

2. Batasan Masalah Untuk menghindari penafsiran yang menyimpang, maka perlu diberi batasan mengenai permasalahan dalam penelitian ini. Budaya toleransi yang penulis maksudkan adalah sikap atau perilaku dan tindakan yang mengakui, menghargai dan menghormati adanya perbedaan dalam beragama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya yang diwujudkan melalui kehidupan yang kondusif dan telah berlangsung dalam jangka waktu yang lama dalam pergaulan di sekolah. Sedangkan pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam tulisan ini adalah segala aktivitas yang ditujukan untuk menambah pemahaman dan pengetahuan siswa di SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan baik melalui kegiatan intrakurikuler/mata pelajaran maupun melalui kegiatan ekstrakurikuler.

Mengingat banyaknya permasalahan seperti tersebut di atas, penelitian dibatasi pada: bagaimana proses pembelajaran PAI dalam menanamkan nilai-nilai toleransi di sekolah.

3. Rumusan Masalah Sudah seharusnya masalah yang akan dipecahkan dalam penelitian ini bersifat reasearchable , artinya masalah tersebut dapat diselidiki. Untuk menentukan kearah tersebut melalui prosedur penelitian yang ada maka masalah tersebut harus dirumuskan secara jelas. Adapun bentuk pertanyaan seperti dijelaskan oleh Fraenkel dan Wallen bahwa salah satu karakteristik formulasi 3. Rumusan Masalah Sudah seharusnya masalah yang akan dipecahkan dalam penelitian ini bersifat reasearchable , artinya masalah tersebut dapat diselidiki. Untuk menentukan kearah tersebut melalui prosedur penelitian yang ada maka masalah tersebut harus dirumuskan secara jelas. Adapun bentuk pertanyaan seperti dijelaskan oleh Fraenkel dan Wallen bahwa salah satu karakteristik formulasi

terdapat dalam pertanyaan peneliti, sehingga mudah didefinisikan, ditafsirkan, dan dijelaskan secara baik.

Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah di atas, maka rumusan penelitian terfokus pada: bagaimana sekolah menanamkan nilai-nilai toleransi melalui pembelajaran PAI sehingga menjadi suatu budaya?

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Berdasarkan hasil penelusuran penulis, kajian mengenai konsep pendidikan agama dan toleransi dengan berbagai variannya telah banyak dilakukan. Sebagian besar tema kajian terfokus pada multikulturalisme dan pluralisme di Indonesia. Sedangkan penelitian tentang budaya toleransi dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) belum banyak yang mengkaji.

Penelitian yang terkait dengan guru-guru mata pelajaran PAI pada sekolah umum, PPIM-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyebutkan bahwa 62,4% guru agama Islam masih bersifat konservatif dan sangat rendah mengajarkan semangat

kebangsaan. 28 Penelitian tersebut di lakukan di beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Solo dan

Cirebon dengan jumlah responden 500 guru agama SMA/SMK di Jawa selama kurun Oktober 2008 dan melakukan wawancara terstruktur terhadap 200 siswa.

Penelitian ini setidaknya dapat dijadikan satu pijakan bagi pemerintah untuk mempersiapkan guru PAI yang lebih profesional. Namun demikian, penelitian ini dianggap tidak mewakili pendapat guru-guru pendidikan agama Islam secara nasional karena hanya dilakukan di pulau Jawa yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Moderate Muslim Society (MMS) dalam “Laporan Toleransi dan Intoleransi Tahun 2010: Ketika Negara Membiarkan

Intoleransi” menyimpulkan bahwa telah terjadi peningkatan

27 Jack R. Fraenkel dan Norman E. Wallen dalam Yatim Rianto, Metode Penelitian Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), 33.

28 „Sikap dan Perilaku Sosial-Keagamaan Guru-Guru Agama di Jawa’, Lihat kembali http://www.ppim.or.id (diakses tanggal 31 Maret 2011).

kasus, sebesar 30%. Hasil kajian MMS tersebut dengan gamblang menjelaskan siapa dan organisasi apa saja yang terlibat dalam tindakan intoleransi tersebut disertai dengan data-data jumlah korban jiwa, harta benda dan sarana ibadah lainnya. Meski demikian, MMS tidak secara tegas menjelaskan apa yang menjadi penyebab timbulnya sikap intoleran di kalangan umat Islam tersebut.

M. Zulfa menyimpulkan dalam tesisnya bahwa kecenderungan sikap eksklusivisme, baik dalam memahami ayat maupun dalam mengaktualisasikan hubungan antar umat beragama yang cenderung anti toleransi, merupakan akar psikologis yang menjadi

kendala untuk terwujudnya dialog antar agama. 30 Berdasarkan hasil kajiannya beliau merekomendasikan untuk diadakannya kajian

ulang terhadap ayat-ayat Al- Qur’an yang lebih komprehensif dan intensif agar makna “rahmatan lil‘a<lami>n” sebagai identitas ajaran agama yang dibawa Nabi Muhammad saw. dapat terwujud dalam kehidupan global.

M. Arfah Shiddiq dalam disertasinya menyimpulkan bahwa dalam perspektif Islam, dasar-dasar untuk hidup bersama dalam masyarakat yang pluralistik, secara relijius, sejak semula memang telah dibangun di atas landasan normatif dan historis sekaligus. Jika ada hambatan atau anomali-anomali di sana-sini, penyebab utama bukan karena inti ajaran Islam itu sendiri yang bersifat intoleran dan eksklusif, tetapi lebih banyak ditentukan dan dikondisikan oleh situasi historis-ekonomis-politis yang melingkari komunitas umat

Islam di berbagai tempat. 31

29 Moderate Muslim Society (MMS), “Laporan Toleransi dan Intoleransi Tahun

Intoleransi ,” Lihat http://www.moderatemuslim.net/mms/images/stories/pdf/Laporan%20Toleransi

%20dan%20Intoleransi%20Tahun%202010.pdf. (Diakses tanggal 26 Maret 2012).

30 M. Zulfa, Islam dan Pluralitas Agama dalam AlQur’an Implikasinya terhadap toleransi Umat Islam , 135.

31 M. Arfah Shiddiq, “Konflik dan Konformitas Antara Islam dan Kristen”, disertasi SPs UIN Syarif Hidayatullah, 2000), 184.

Disertasi M. Arfah Shiddiq tersebut sekaligus menepis dugaan yang selama ini menyebutkan bahwa Islam adalah agama yang

intoleran dan mengajarkan kekerasan. Rusmin Tumanggor dan kawan-kawan yang melakukan penelitian di lima wilayah konflik, yaitu: Sambas (Kalimantan Barat), Sampit (Kalimantan Tengah), Poso (Sulawesi Tengah), Ambon (Maluku Selatan), dan Ternate (Maluku Selatan). Kesimpulan dari hasil penelitiannya adalah bahwa konflik diakibatkan oleh distribusi baik ekonomi, sosial, dan politik yang

dipandang tidak adil dan bertepatan dengan perbedaan identitas. 32 Hasil penelitian Rusmin Tumanggor dan kawan-kawan,

tersebut memperkuat pendapat M. Arfah Shiddiq di dalam disertasinya bahwa konflik dan kerusuhan yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia tidak murni karena faktor agama sebagai pemicu utamanya.

Terkait dengan kurikulum, tesis Nur Enlaila menyimpulkan bahwa nilai-nilai multikultural sudah terimplementasi dalam KTSP Pendidikan Agama Islam tingkat SMU, baik secara implisit

maupun eksplisit. 33 Namun demikian, Nur Enlaila tidak menjelaskan apakah proses pembelajaran PAI selama ini

mengajarkan intoleransi atau sebaliknya. Muhammad Fauzi, 34 dalam penelitiannya yang berjudul:

“Telaah Filosofis Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum: Studi Kritis Kurikulum PAI SMU 1994 ,” menyatakan

bahwa dilihat dari asas dan prinsip pengembangannya, kurikulum PAI SMU 1994 kurang mempertimbangkan asas dinamika masyarakat. Hal ini terlihat dari materi aqidah, ibadah dan akhlak, kurang menyentuh tataran realitas masyarakat yang hidup di era global. Dan bila dilihat dari asas sosiologis, kurikulum PAI SMU 1994 secara representatif sebagiannya sudah sesuai dengan realitas sosial masyarakat Indonesia yang berbhineka, terutama dalam hal pluralisme.

32 Rusmin Tumanggor, Jaenal Arifin dan Imam Soeyoeti, “Dinamika Konflik Etnis dan Agama di Lima Wilayah Konflik Indonesia”. 33

Nur Enlaila, “Pendidikan Islam Berbasis Multikultural”, tesis SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.

34 Muhammad Fauzi, “Telaah Filosofis Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum: Studi Kritis K urikulum PAI SMU 1994”, tesis SPs UIN

Syarif Hidaatullah Jakarta 2010.

Tesis Syarif Abdurahmanul Hakim menyimpulkan bahwa kurikulum PAI di SMU tidak mengandung unsur-usur radikalisme.

Fanatisme dan militansi tumbuh bukan karena pendidikan agama di sekolah-sekolah melainkan adanya pengaruh dari luar. 35 Tesis ini

sekaligus menjelaskan bahwa pembelajaran PAI sama sekali jauh dari budaya intoleran.

Zakiyuddin Baidhawy, 36 dalam bukunya yang berjudul “Pendidikan Agama Berwawasan Multikultur,” menulis tentang

suatu konsep pendidikan yang dirancang khusus untuk menciptakan struktur dan proses yang membuka kesempatan yang sama pada semua ekspresi kultur, komunitas peradaban maupun individu semata. Dan untuk menanamkan toleransi beragama diperlukan metode dan pendekatan yang pas dan tepat dalam menyampaikan materi pembelajaran agama di dunia pendidikan.

D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa hal, yaitu pertama, untuk membuktikan bahwa nilai-nilai toleransi telah diajarkan di sekolah melalui pembelajaran PAI. Kedua, untuk menganalisa sejauh mana nilai-nilai toleransi beragama diterapkan di SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan. Ketiga, untuk menganalisa metode dan pendekatan yang diterapkan oleh guru PAI SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan dalam menanamkan nilai-nilai toleransi beragama sehingga menjadi suatu budaya.

E. Manfaat/Signifikansi Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat terhadap pengembangan khazanah keilmuan terutama mengenai kajian pembelajaran PAI dalam menanamkan nilai-nilai toleransi kepada peserta didik baik secara teoritis maupun praktis. Sehingga seluruh stakeholder pendidikan dapat lebih memahami dan dapat mengembangkan pendidikan yang sudah ada menjadi lebih bermakna bagi peserta didik. Sehingga kegiatan peembelajaran PAI

35 Syarif Abdurahmanul Hakim, “Unsur Radikalisme dalam Kurikulum SMU”, Tesis SPs UIN Syarif hidayatullah Jakarta, 2010.

36 Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultur (Jakarta: Erlangga, 2005).

F. Metodologi Penelitian Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, metodologi penelitian meliputi:

1. Jenis Penelitian. Berdasarkan pada tujuan penelitian, jenis penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, maka cara yang dilakukan adalah

penelitian lapangan ( 37 field research ), yaitu upaya untuk mengungkapkan secara faktual tentang budaya toleransi dalam

pembelajaran PAI. Penelitian ini bermula dari kenyataan yang ada di lapangan dan sudah diketahui banyak pihak, yang nantinya akan menghasilkan sebuah konsep baru tentang pembelajaran PAI berbasis toleransi.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yaitu suatu pendekatan atau penelusuran untuk mengeksplorasi dan memahami data sentral, dengan mengajukan pertanyaan yang umum dan agak

luas. 38 Paradigma penelitian kualitatif dilaksanakan melalui proses induktif yaitu berangkat dari konsep khusus ke umum,

konseptualisasi, kategorisasi dan deskripsi dikembangkan atas dasar masalah yang terjadi di lapangan. 39 Penelitian kualitatif

mengeksplorasi sikap, prilaku dan pengalaman melalui wawancara. Metode ini mencoba untuk mendapatkan pendapat yang

mendalam ( 40 in-depth opinion ) para partisipan. Adapun pendekatan yang digunakan adalah studi kasus ( case study ) dengan maksud

untuk menggali secara mendalam opini, interpretasi, sikap serta tindakan responden terhadap potensi positif atau negatif dari hubungan yang telah terjalin di kawasan tersebut.

37 Carol A. Bailey, A Guide to Qualitative Field Research (Thousand Oaks, CA: Pine Forge Press, 2006), 1.

38 Conny R. Semiawan, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta: Grasindo, 2010), 7.

39 Iskandar, Metodologi Penelitian Pendidikan dan sosial, Kuantitatif dan Kualitatif (Jakarta: GP Pers 2008), 187.

A Practical Guide to Research Methods: A User-Friendly Manual for Mastering Research Techniques and Projects. (Oxford: How To Books, 2005 ), 15.

40 Catherine Dawson,

2. Jenis dan Sumber Data Adapun jenis dan sumber data yang dikumpulkan dalam

penelitian ini adalah: pertama, sumber data primer, adalah data-data dan informasi hasil dari wawancara, observasi dan studi dokumentasi yang ditemukan di SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan. Kedua, sumber data skunder penelitian ini adalah buku- buku atau literatur-literatur yang membahas tentang tradisi keagamaan dan kependidikan.

3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui:

a. Wawancara Dalam penelitian ini wawancara yang dilakukan adalah wawancara yang terstruktur dan dilakukan secara mendalam ( in- depth interview ) dengan menggunakan pedoman wawancara yang

ditulis secara sistematis. 41 Selain itu penulis juga menggunakan lembar catatan dan alat perekam 42 untuk meminimalisir

kemungkinan kekeliruan penulis dalam mencatat hasil wawancara yang sudah dilakukan.

Sebelum wawancara dilakukan terlebih dahulu menyiapkan instrumen-instrumen pertanyaan yang berkaitan langsung dengan permasalahan terhadap implementasi toleransi beragama dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Untuk memudahkan penulis dalam mendapatkan informasi, maka wawancara akan dilakukan dengan kepala SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan 1 orang, Wakil Kepala Sekolah Bidang Hubungan Masyarakat 1 orang, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum 1 orang, Guru PAI 2 orang, siswa Muslim kelas X 3 orang, kelas XI 2 orang, kelas XII 2 orang, serta siswa Kristen, Katholik dan Hindu masing- masing 1 orang.

41 Pedoman wawancara digunakan agar dapat mengarahkan dan memudahkan

permasalahan yang diwawancarakan dengan interview. Lihat Louis Cohen dkk, Research Methods in Education (London: Lontletge, 2003), 122.

42 Martin Terre Blancle & Kevi Durheim, dkk, Research and Practice: Applied Methods for The Social Sciences (Cape Town: Cape Town University

Press, 2008), 325.

langsung pada objek penelitian, yakni siswa dan Guru Pendidikan Agama Islam di SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan. Untuk menjaga validitas data, penulis juga menggunakan buku catatan

lapangan. 43 Pengamatan yang dilakukan difokuskan pada berbagai peristiwa yang relevan dengan penelitian yang sedang dilakukan.

c. Dokumentasi Dokumentasi dilakukan dalam rangka mencari data mengenai hal-hal berupa catatan keagamaan siswa, transkip nilai agama, dan agenda kegiatan keagamaan guru dan siswa di sekolah baik yang bersifat intrakurikuler maupun ekstrakurikuler.

4. Pendekatan dan Analisa Data Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif ( qualitative ) yang merupakan sebuah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata atau tulisan dari orang-orang dan

perilaku yang diamati. 44 Pendekatan ini untuk mengungkap budaya toleransi dalam pembelajaran PAI di SMA Negeri 1 Kota

Tangerang Selatan secara mendalam sehingga diperoleh model pengembangan pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah umum, baik konsep maupun penerapannya dalam sistem pendidikan.

Kemudian untuk mendeskripsikan tentang budaya toleransi dalam pembelajaran PAI di sekolah dan pola-pola pengembangannya dalam mewujudkan sikap toleran digunakan teknik descriptif analysis , yaitu mendeskripsikan temuan-temuan di lapangan, melakukan pengamatan ( observing ), menafsirkan ( interpretating ), dan selanjutnya melakukan analisis akhir.

G. Lokasi dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian ini adalah SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan yang beralamat di Jl. Pendidikan 49, Ciputat Tangerang

43 Norman K. Denzim & Yvonna S. Lincoln, The SAGE Handbook of Qualitative Research (Thousan Oaks: SAGE, 2005), 742.

44 Fuadz al- Gharututy, “Studi Dokumen dalam Penelitian Kualitatif,” http://adzelgar.wordpress.com/2009/02/02/studi-dokumen-dalam-penelitian-

kualitatif/ (Diakses tanggal 10 Nopember 2011).

Selatan Banten, dengan nomor telephone 021-7401602 dan E-mail: www.sman1kotatangsel.com.

Penelitian ini dimulai dengan studi pendahuluan 45 pada bulan Desember 2011- Januari 2012, dan memasuki tahap lapangan

dengan mengumpulkan data siswa berdasarkan jenis kelamin, suku, agama dan informasi penting lainnya yang berkenaan dengan fokus penelitian dimulai pada bulan Februari 2012 dan berakhir pada April 2012.

Alasan mengapa penulis memilih SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan adalah karena, pertama, keberadaan SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan terletak di pusat Kota Ciputat, berdekatan dengan Kantor Kecamatan Ciputat, Koramil, Kantor Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Ciputat, Mesjid Agung Ciputat, Stadion Mini Ciputat, Pasar dan Pusat Pembelanjaan Ciputat, sehingga menjadikannya sebagai sekolah multikultur dan pluralis yang didambakan setiap orang tua dari berbagai suku, ras, dan agama yang berada di kota Tangerang Selatan untuk menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut.

Kedua, kondisi pergaulan para siswa yang harmonis dan dinamis di tengah-tengah keberagaman budaya dan agama tentu tidak terbentuk dengan sendirinya, melainkan sebagai hasil dari proses pembelajaran yang panjang dan berkesinambungan yang diajarkan oleh segenap guru tak terkecuali guru PAI.

H. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan laporan penyajian hasil penelitian ini, penulis akan menyusunnya dalam lima bab, sehingga menghasilkan gambaran yang jelas, terarah, logis dan saling berhubungan antara satu bab dengan bab yang lain. Penulisan ini terdiri dari satu bab pendahuluan, tiga bab pembahasan, dan satu bab kesimpulan dengan sistematika sebagai berikut:

Bab kesatu, merupakan landasan umum dari penulisan ini, terdiri dari pendahuluan yang memuat latar belakang masalah,

45 Setidaknya ada tiga manfaat yang didapat dari studi pendahuluan, yaitu: pertama, memperjelas masalah. Kedua, menjajagi kemungkinan

dilanjutkannya penelitian, dan ketiga, mengetahui apa yang sudah dihasilkan orang lain bagi penelitian serupa dan bagian mana dari permaslahan yang belum terpecahkan. Lihat Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), 42.

penelitian, tempat dan waktu penelitian, dan sistematika penulisan. Bab kedua penulis akan memaparkan tentang toleransi dalam pendidikan agama Islam, terdiri dari: konsep dan indikator toleransi beragama, toleransi beragama dalam pandangan Islam, toleransi beragama dalam dunia sekolah, tujuan pendidikan agama Islam di sekolah, toleransi beragama sebagai budaya dalam pembelajaran.

Bab ketiga, penulis akan membahas tentang desain pengembangan toleransi di SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan yang memuat: sejarah singkat SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan, belajar dan pembelajaran, pendekatan pembelajaran PAI dalam mengembangkan budaya

toleransi, dan metode pembelajaran PAI dalam membangun budaya toleransi. Bab keempat, menjabarkan hasil penelitian di sekolah yang diteliti dengan pokok bahasan implementasi pembelajaran PAI di SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan dengan memuat: pembelajaran PAI yang humanistik dan kontekstual, evaluasi pembelajaran yang holistik, ekstrakurikuler keagamaan berbasis toleransi, realitas toleransi beragama dalam kehidupan sekolah, dan, kendala dan solusi pembelajaran PAI berbasis toleransi.

Bab kelima, merupakan penutup yang di dalamnya mencakup kesimpulan dan saran dari fokus masalah yang diajukan pada bab pendahuluan sekaligus merupakan akhir dari keseluruhan tulisan ini.

BAB II TOLERANSI DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius, bukti-bukti sejarah sangat kaya tentang itu. Sebelum masuknya Hindu, Budha, Islam dan Kristen ke Indonesia, masyarakat Indonesia telah memiliki keyakinan terhadap kekuatan ghaib yang ada di sekitar mereka. Setidaknya mereka mempercayai adanya kekuatan yang berasal dari roh-roh nenek moyang dan kekuatan yang tersimpan dan bersemayam di benda-benda pusaka dan patung-patung yang mereka buat sendiri. Pandangan hidup religius ini menjadi mental dan pribadi bagi seluruh rakyat Indonesia yang demikian dijadikan

falsafah kehidupan bangsa. 1 Karena itulah salah satu asas dan ditempatkan pada urutan yang paling atas dari Pancasila adalah

Ketuhan Yang Maha Esa. Untuk itu, pada bagian ini akan dipaparkan konsep dan indikator toleransi, toleransi dalam pandangan agama Islam, toleransi beragama dalam dunia sekolah, tujuan Pendidikan Agama Islam, dan toleransi agama sebagai budaya dalam pembelajaran menurut beberapa ahli muslim maupun non muslim.

A. Konsep dan Indikator Toleransi Beragama

Untuk memperjelas pembahasan pada sub bab ini, penulis membaginya menjadi dua bagian, yaitu konsep dan indikator toleransi beragama.

1. Konsep Toleransi Beragama Manusia adalah makhluk sosial yang diciptakan Allah dalam beraneka macam suku, bangsa dan bahasa dengan tujuan untuk

saling mengenal satu sama lain. 2 Dalam proses pengenalannya tersebut tidak jarang terjadi gesekan dan benturan antara satu