BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk di indonesia, maka kebutuhan masyarakat akan rumah semakin meningkat. Pembangunan perumahan
merupakan salah satu upaya untuk memenuhi salah satu kebutuhan dasar manusia, sekaligus untuk meningkatkan mutu lingkungan kehidupan, memberi arah pada
pertumbuhan wilayah, memperluas lapangan pekerjaan serta menggerakkan kegiatan ekonomi dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahterahan
masyarakat.Sehubungan dengan itu upaya pembangunan perumahan terus ditingkatkan, untuk menyediakan perumahan dengan jumlah yang makin
meningkat, dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat terutama golongan yang berpenghasilan rendah dan dengan tetap memperhatikan persyaratan,
minimum bagi perumahan yang layak, sehat, aman dan serasi. Dalam pembangunan perumahan, perlu diperhatikan kondisi dan
pengembangan nilai- nilai sosial budaya masyarakat, laju pertumbuhan penduduk dan penyebarannya, pusat- pusat produksi dan tata guna tanah dalam rangka
membina kehidupan masyarakat yang maju. Pembangunan perumahan harus sebagai perwujudan pengamalan penataan ruang.
1
Pemilikan rumah oleh masyarakat dapat terdiri dari berbagai cara, diantaranya dapat diperoleh melalui pemberian subsidi rumah oleh pemerintah bagi pegawai
1
Herman Hermit. 2009. Komentar Atas Undang – Undang Perumahan dan Permukiman,
Mandar Maju, Bandung, h. 45, “ Dalam UU No. 4 Tahun 1992 , ditetapkan bahwa pembangunan perumahan harus sebagai perwujudan manfaat ruang dan bertujuan untuk
meningkatkan kesejahterahan masyarakat.
negeri, dan secara umumnya adalah melalui peralihan hak dan atau jual beli. Dan yang paling berkembang pada saat ini ialah kepemilikan rumah melalui properti
yang dilakukan secara cash maupun kredit. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pada umumnya semua masyarakat adalah konsumen pengarumahan, dimana
sudah sewajarnya untuk dilindungi oleh peraturan hukum yang berkaitan dengan jual beli rumah, untuk menghindari sengketa maupun kerugian yang dapat dialami
oleh setiap konsumen serta menciptakan suatu kepastian hukum. Peranan konsumen diarasakan sangat berpengaruh dalam menjaga
keerlangsungan perekonomian , namun pada kenyataannya konsumen sebagai salah satu pelaku ekonomi posisinya sangat lemah terutama dalam hal
perlindungan hukum. Hal ini dapat kita lihat dengan dibuatnya formulir- formulir standar yang mengikat atau lebih dikenal dengan perjanjian baku.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa perjanjian baku ini adalah perjanjian atau persetujuan yang dibuat para pihak mengenai sesuatu hal yang telah
ditentukan secara baku standar serta dituangkan secara tertulis. Di dalam perjanjian baku ini sering dimuat klausula- klausula pengecualian exemption
clause , misalkan: meniadakan tanggung jawab pengembang dalam hal terlambat menyerahkan bangunan, sebaliknya bila konsumen terlambat membayar angsuran
uang muka, akan dikenakan penalti atau denda, membebaskan pengembang dari klaim atau kondisi maupun kualitas bangunan yang melampaui batas waktu 100
seratus hari sejak serah terima bangunan fisik rumah.
Hondius menyebut pembuat kontrak standar itu sebagai “ pembuat undang- undang swasta “ atau “ hakim swasta “.
2
Dari jenis pengaduan konsumen perumahan yang sampai pada YLKI, secara umum ada dua yakni :
Lebih lanjut dikatakannya adanya penyalahgunaan keadaaan misbruik van omstandigheiden , karena pihak lain
berada keseluruhannya di bawah kemurahan hati pengusaha yang muncul sebagai “ hakim swasta “.
Pertama, pengaduan konsumen perumahan sebagai akibat telah terjadinya
pelanggaran hak- hak individual konsumen perumahan, seperti mutu bangunan dibawah standar, ukuran luas tanah tidak sesuai dan lain- lain.
Kedua, pengaduan konsumen perumahan sebagai akibat pelanggaran hak-
hak kolektif konsumen perumahan, seperti tidak dibangunnya fasilitas sosial umum, sertifikasi, rumah fiktif, banjir dan soal kebenaran klaim
informasi dalam iklan, brosur, dan pameran perumahan. Bahkan tidak jarang harga jual yang sudah disepakatai ternyata tidak
diikuti dengan pelayanan yang baik kepada konsumen perumahan baik pelayanan prajual maupun purnajual. Keadaan ini sering membuat konsumen menjadi
kecewa dan mengadukan permasalahn- permasalahan yang dialaminya, baik di media massa maupun lewat lembaga- lembaga perlindungan konsumen. Sering
kali penyelesaian keluhan atau komplain konsumen itu tidak wajar bagi
2
E.H. Hondius, “ Syarat- syarat Baku dalam Hukum Kontrak “, dalam Kompendium Hukum Belanda
Leiden : Yayasan Kerja Sama Ilmu Hukum Indonesia – Negeri Belanda di ‘ s- Gravenhage, 1978 , hal. 139-158
konsumen, bahkan sangat mengecewakan sehingga tentunya menambah kekecewaannya.
Melihat banyak sekali penyimpangan- penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan penjual rumah properti ini, khususnya terhadap konsumen
perumahan, maka penulis menganggap penting pembahasan mengenai perjanjian jual beli rumah yang berbentuk perjanjian baku , dengan membandingkannya
dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
B. Permasalahan