Analisa Pengaruh Ukuran Overlapping Win-sets terhadap Penolakan Ratifikasi oleh Indonesia

5.4 Analisa Pengaruh Ukuran Overlapping Win-sets terhadap Penolakan Ratifikasi oleh Indonesia

Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura merupakan perpaduan antara win-sets Indonesia dan win-sets Singapura. Di dalamnya terjadi perpaduan antara Undang-undang Ekstradisi Indonesia dan Extradition Act Singapura serta Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura merupakan perpaduan antara win-sets Indonesia dan win-sets Singapura. Di dalamnya terjadi perpaduan antara Undang-undang Ekstradisi Indonesia dan Extradition Act Singapura serta

Dalam hal perpaduan naskah undang-undang ekstradisi, undang-undang ekstradisi Indonesia di dalam naskah perjanjian ekstradisi mengalami overlapping yang besar karena sebagian besar dari undang-undang ekstradisinya tercantum di dalamnya. Sedangkan Singapura yang undang-undang ekstradisinya terlihat lebih sederhana harus menerima kerelaan dalam batas tertentu berupa beberapa bagian undang-undang ekstradisi Indonesia yang harus disepakati di dalam naskah perjanjian. Hal tersebut tidak mengecilkan win-sets Singapura di dalam naskah perjanjian ekstradisi. Pada bagian kejahatan yang dapat diekstradisikan, UU Ekstradisi Indonesia memang lebih mendominasi tetapi di dalam naskah perjanjian ekstradisi tercantum bahwa undang-undang ekstradisi Indonesia dan Singapura pun dapat menjadi acuan daftar kejahatan yang dapat diekstradisikan. Pada bagian prosedur, naskah perjanjian ekstradisi tidak terlalu membahasnya dan lebih menyerahkan pada prosedur dalam negri dari negara diminta. Sedangkan pada bagian asas Indonesia dan Singapura memiliki ukuran yang sama besarnya.

Walaupun overlapping undang-undang ekstradisi di dalam naskah perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura terjadi dengan baik, penulis menemukan Walaupun overlapping undang-undang ekstradisi di dalam naskah perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura terjadi dengan baik, penulis menemukan

Kejanggalan yang pertama perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura tidak sepenuhnya menjamin pemulangan aset yang dibawa lari koruptor. Di dalam mekanisme penangkapan dan penahanan buronan yang tercantum di dalam naskah perjanjian ekstradisi ternyata memberatkan urusan pengembalian asset negara yang dibawa lari koruptor ke Singapura. Jika buronan merupakan tersangka, maka surat permintaan penahanan dari negara peminta harus disertai dengan beberapa berkas yang salah satunya adalah keterangan bukti-bukti bahwa orang tersebut telah bersalah. Dalam hal ini, Singapura yang menjadi negara diminta akan mengumpulkan bukti-bukti yang dapat menguatkan bahwa buronan yang diminta Indonesia bersalah dan dapat diekstradisikan. Sedangkan jika buronan tersebut merupakan terdakwa namun belum menjalankan masa hukuman maka surat permintaan ekstradisi tidak disertakan dengan bukti-bukti yang menyatakan bahwa buronan tersebut adalah telah bersalah karena memang sudah ditetapkan dan dilakukan penyelidikan sebelumnya. Permasalahannya adalah, sebagian besar buronan Indonesia yang melarikan diri ke Singapura merupakan terdakwa dan telah diputuskan pidananya oleh pengadilan Indonesia. Hal tersebut melahirkan kondisi di mana Singapura tidak perlu mencari barang bukti lagi seperti asset yang dibawa lari ke sana untuk dikembalikan ke Indonesia.

Di dalam naskah perjanjian memang dibahas tentang pengembalian barang bukti yang menguatkan bahwa buronan yang dimintakan ekstradisinya memang bersalah dan dapat diekstradisikan ke negara peminta. Namun hal tersebut tidak dapat menjamin apakah Singapura wajib memberikan barang bukti kepada Indonesia selaku negara peminta. Seperti yang tertuang di dalam pasal 14 perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura tentang bukti poin 1 sampai 4 dikatakan bahwa pihak diminta dapat memberikan barang bukti yang didapat pada saat penangkapan (bukti yang sebelumnya telah dikonfirmasikan kepada negara diminta oleh negara peminta sebagai dasar untuk melakukan penangkapan dan penahanan) kepada negara peminta. Kata “dapat” di dalam mekanisme tersebut mengindikasikan bahwa negara diminta tidak wajib memberikan barang bukti kepada negara peminta. Selain itu, negara diminta dapat menunda pemberian barang bukti kepada negara peminta jika bukti tersebut berhubungan dengan proses peradilan di dalam wilayah yuridiksinya. Jika perjanjian ekstradisi tidak dapat mengembalikan asset yang dibawa lari koruptor, maka perjanjian tersebut tidak ada bedanya dengan Mutual Legal Assistance yang melibatkan negara-negara ASEAN termasuk Singapura.

Kejanggalan yang kedua adalah asas yang disepakati antara Indonesia dan Singapura di mana negara diminta tidak akan mengekstradisikan warga negaranya ke negara peminta. Hal ini kemudian menjadi celah bagi koruptor yang melarikan diri ke Singapura untuk menghindari dan bermanuver dari perjanjian ekstradisi jika kelak telah diratifikasi. Para buronan di Singapura dapat segera bertindak dengan merubah kewarganegaraannya. Di sisi lain, ada beberapa buronan Indonesia di Singapura yang Kejanggalan yang kedua adalah asas yang disepakati antara Indonesia dan Singapura di mana negara diminta tidak akan mengekstradisikan warga negaranya ke negara peminta. Hal ini kemudian menjadi celah bagi koruptor yang melarikan diri ke Singapura untuk menghindari dan bermanuver dari perjanjian ekstradisi jika kelak telah diratifikasi. Para buronan di Singapura dapat segera bertindak dengan merubah kewarganegaraannya. Di sisi lain, ada beberapa buronan Indonesia di Singapura yang

Di sisi lain, perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura belum memiliki Implementing Agreement. 208 Implementing Agreement merupakan naskah

yang disepakati bersama oleh kedua negara tentang mekanisme-mekanisme di lapangan

sehingga ketika mengimplementasikannya tidak terdapat kerancuan dan kesalahan prosedur. 209

yang mengacu

pada naskah perjanjian

Implementing Agreement dalam perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura merupakan hal yang sangat penting. Masalah prosedural tentang cara pengimplementasian perjanjian ekstradisi termasuk prosedur lebih lanjut tentang penangkapan, pemulangan, serta pengembalian barang bukti akan dibahas di sana. Ketiadaan Implementing Agreement kemudian akan menimbulkan ketidakpastian akan bahasa hukum yang rancu di dalam naskah perjanjian. Implementing Agreement juga dapat mencegah salah satu pihak yang ingin bermanuver di dalam pengimplementasian perjanjian yang bisa berdapak merugikan pihak lainnya.

Walaupun Singapore Extradition Act win-sets mengalami overlapping yang lebih kecil di dalam naskah perjanjian ekstradisi, hal tersebut tidak berdampak negatif terhadap negaranya karena naskah perjanjian ekstradisi tidak ada yang bertentangan dengan Singapore Extradition Act dan pada dasarnya membantu memperjelas

208 Hadi, M. S. (2011, 06 07). Perjanjian Ekstradisi dengan Singapura Bisa Dilanjutkan. Diakses pada 12 12, 2014, dari Tempo: http://www.tempo.co/read/news/2011/06/07/063339275/Perjanjian-

Ekstradisi-dengan-Singapura-Bisa-Dilanjutkan 209 Ibid

prosedur dan asas dari Singapore Extradition Act. Di sisi lain, Singapura memiliki overlapping yang jauh lebih besar daripada Indonesia yaitu Perjanjian Pertahanan atau Defense Cooperation Agreement (DCA). Perjanjian tersebut diminta oleh Singapura sebagai syarat perjanjian ekstradisi yang sangat diinginkan oleh Indonesia. Singapura juga meminta kepada Indonesia agar kedua perjanjian tersebut diratifikasi secara tandem yang berarti perjanjian pertahanan tersebut menjadi satu bagian win- sets dalam framework perjanjian ekstradisi. Hal tersebut dilakukan oleh Singapura karena cost of no agreement miliknya di dalam perjanjian ekstradisi dapat dikatakan kecil sehingga memperkecil win-sets miliknya namun di saat yang bersamaan negosiator Singapura memiliki posisi tawar menawar yang lebih besar dari negosiator Indonesia.

Indonesia yang sangat membutuhkan perjanjian ekstradisi mau tidak mau harus menyepakati syarat tersebut walaupun sebenarnya Indonesia tidak membutuhkan dan bahkan pernah memutus perjanjian serupa yang telah berjalan dengan Singapura karena sering melanggar kesepakatan dengan mengikutsertakan pihak ketiga dalam latihan. Untuk tetap mempertahankan win-setsnya supaya tidak terus mengecil, negosiator Indonesia mengajukan syarat agar di dalam perjanjian pertahanan Singapura boleh mengundang pihak ketiga dengan ijin dari Indonesia.

Tindakan tersebut merupakan upaya prefentif yang dilakukan oleh negosiator Indonesia agar kedua perjanjian tersebut dapat diratifikasi oleh konstituen domestiknya mengingat perjanjian pertahanan tersebut merupakan syarat mutlak yang diberikan negosiator Singapura jika Indonesia ingin memiliki perjanjian ekstradisi. Di Tindakan tersebut merupakan upaya prefentif yang dilakukan oleh negosiator Indonesia agar kedua perjanjian tersebut dapat diratifikasi oleh konstituen domestiknya mengingat perjanjian pertahanan tersebut merupakan syarat mutlak yang diberikan negosiator Singapura jika Indonesia ingin memiliki perjanjian ekstradisi. Di

Gambar 5: Gambaran Overlapping Win-sets Indonesia dan Singapura

Jika melihat figur di atas kita dapat melihat bahwa Singapura mengalami overlapping win-sets yang besar secara keseluruhan sedangkan Indonesia hanya mengalami overlapping win-sets yang besar di bagian ekstradisi dan mengalami kerelaan terhadap perjanjian pertahanan yang tidak ada urgensinya. Menurut Teori Two Level Game, negara dengan win-sets yang kecil memiliki resiko tidak diratifikasi di mana kemungkinan gagal mencapai ratifikasi di level 2 besar walaupun telah mencapai kesepakatan di level 1.

Singapura pada dasarnya tidak membutuhkan perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Oleh karena itu, perjanjian pertahanan atau DCA yang diajukan Singapura sebagai syarat perjanjian ekstradisi yang harus diratifikasi secara tandem merupakan

strategi manuver negosiator Singapura yang sangat strategis untuk memperbesar win- sets negaranya. Di saat yang bersamaan, perjanjian pertahanan atau DCA tersebut juga memperkecil win-sets Indonesia. Pada awal perumusan perjanjian pertahanan, DPR RI sudah memberikan respon negatif yang mengatakan bahwa perjanjian pertahanan dan ekstradisi harus dipisah. Ada dua kemungkinan yang penulis temukan yaitu: Singapura tidak mengetahui respon DPR RI yang menolak DCA untuk dijadikan satu dengan perjanjian ekstradisi atau Singapura sengaja mengabaikan respon DPR RI dan terus mempertahankan DCA dan ekstradisi di dalam satu framework karena Singapura memang tidak menginginkan perjanjian ekstradisi dengan Indonesia.

Di dalam teori two level game. Para negosiator dari masing-masing negara akan berusaha untuk memperbesar win-sets negaranya namun di saat yang bersamaan tetap berupaya untuk mempertahankan win-sets lawan negosiator agar dapat diratifikasi oleh konstituen domestiknya. Hal tersebut dilakukan karena jika konstituen domestik lawan negosiator tidak dapat meratifikasi perjanjian, maka proses negosiasi di level 1 menjadi sia-sia karena kesepakatan yang telah dicapai para negosiator tidak dapat diterapkan. Strategi negosiator Singapura memang strategis, tapi tidak efektif mengingat beban kerelaan yang harus diterima Indonesia sangat besar sehingga memperkecil win-setsnya dan mengancam win-sets miliknya sendiri.

Di sisi lain, negosiator Indonesia sepertinya tidak mengetahui win-sets domestiknya sendiri karena win-sets yang diperkirakan dengan terus melanjutkan negosiasi perjanjian pertahanan dan melakukan manuver agar kasus perjanjian Di sisi lain, negosiator Indonesia sepertinya tidak mengetahui win-sets domestiknya sendiri karena win-sets yang diperkirakan dengan terus melanjutkan negosiasi perjanjian pertahanan dan melakukan manuver agar kasus perjanjian

Hal ini terbukti benar, karena ketika memasuki tahap proses evaluasi perjanjian pertahanan, Komisi I DPR RI menolak dengan tegas perjanjian pertahanan karena merugikan Indonesia. Alasan utama yang diutarakan adalah perjanjian pertahanan tersebut akan kembali mengulang kesalahan yang sama seperti kerja sama MTA antara Indonesia dan Singapura. Selain itu, latihan militer yang akan dilaksanakan dapat mengancam ekosistem dan keanekaragaman hayati di Indonesia.

Di sini penulis menemukan bahwa win-sets Indonesia lebih kecil dari pada win-sets Singapura. Hal tersebut menyebabkan Indonesia mengalami voluntary dan involuntary defection sekaligus. Indonesia mengalami voluntary defection ketika perjanjian pertahanan mulai masuk ke dalam framework perjanjian ekstradisi dan harus diratifikasi secara tandem. Sedangkan Indonesia mengalami involuntary defection disebabkan karena perjanjian ekstradisi masih dapat dikatakan mandul dan tidak dapat memulangkan semua koruptor yang ada di Singapura beserta asetnya.

Bab VI