Analisa Pengaruh DCA terhadap Keputusan

ABSTRAK

Globalisasi memberikan banyak dampak positif terhadap peradaban manusia seperti kemudahan dalam hal transportasi, komunikasi dan teknologi. Hal tersebut berperan dalam mempermudah pekerjaan sehari-hari manusia. Tetapi di saat yang bersamaan kemudahan tersebut juga memberikan tantangan baru seperti lahirnya kejahatan transnasional dan kaburnya buronan ke luar negeri. Salah satu upaya yang paling ampuh di dalam menghadapi tantangan globalisasi tersebut adalah membentuk kerja sama internasional. Bentuk kerja sama internasional yang dapat dibentuk adalah perjanjian ekstradisi. Indonesia merupakan negara yang mengalami tantangan globalisasi tersebut. Banyak kejahatan transnasional korupsi yang melarikan diri ke Singapura. Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan Singapura sudah diinisiasi sejak tahun 1972 namun baru terealisasi pada tahun 2007 bersamaan dengan Defense Cooperation Agreement yang harus diratifikasi secara tandem. Namun, ketika memasuki tahap ratifikasi, Komisi I DPR RI justru menolak meratifikasi perjanjian tersebut dan menghasilkan kesepakatan untuk merenegosiasi perjanjian tersebut dengan pihak Singapura. Alasan penolakan yang berujung pada renegosiasi perjanjian tersebut dikupas menggunakan perangkat Two Level Game Theory yang melihat dinamika negosiator Indonesia dan Singapura di dalam proses negosiasi yang memperhitungkan urgensi dan kondisi perpolitikan dalam negeri terhadap perjanjian yang akan dibentuk. Perjanjian pertahanan tersebut ternyata menjadi alasan utama tidak diratifiaksinya perjanjian ekstradisi.

Kata Kunci: Perjanjian Ekstradisi, Defense Cooperation Agreement, Ratifikasi, Negosiasi, Kejahatan

Transnasional, Two Level Game Theory, Kepentingan Nasional, Win-sets.

Indonesia-Singapura …………………………………………………………………….……88 Gambar 5: Gambaran Overlapping Win- sets Indonesia dan Singapura …………………...109

Daftar Lampiran

Lampiran 1. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI

Lampiran 2. Singapore Extradition Act Lampiran 3. Naskah Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura

Bab I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Perkembangan peradaban manusia saat ini telah sampai pada sebuah era yang bernama globalisasi. Sebuah era di mana batas-batas kedaulatan antar negara menjadi semakin tipis dan aktor internasional baik itu negara, kelompok,

organisasi maupun individu dapat saling berinteraksi dengan mudah. 1 Globalisasi didukung oleh kemajuan dalam bidang teknologi dan informasi. 2 Teknologi

menyajikan infrastruktur-infrastruktur yang memudahkan pekerjaan dan interaksi manusia, sedangkan informasi menyediakan pengetahuan yang dapat digunakan manusia untuk berinteraksi dan melakukan pekerjaan mereka. Hal ini

memberikan banyak sekali keuntungan bagi kehidupan manusia sehari-hari. 3

Salah satu contoh dari peranan globalisasi dalam kehidupan sehari-hari adalah semakin mudahnya terjadi perpindahan manusia beserta asetnya dari satu negara ke negara lain. Di sisi lain kemudahan perpindahan tersebut melahirkan tantangan baru di dalam era globalisasi. Sarana transportasi dan teknologi yang semakin cepat dam mudah memberikan keleluasaan bagi para kriminal dari suatu negara yang melarikan diri ke negara lain untuk menghindar dan bersembunyi dari incaran aparat keamanan. Hal ini akan mempersulit aparat keamanan dan badan

1 Artikelsiana. (n.d.). Pengertian, Penyebab, Dampak Globalisasi|. Diakses pada 12 12, 2014, dari Artikelsiana: http://www.artikelsiana.com/2015/01/pengertian-globalisasi-penyebab-dampak-

globalisasi.html#_ 2 Ibid

3 Invonesia. (2013, 12 17). Dampak Positif dan Negatif Globalisasi Terhadap Bangsa Indonesia. Diakses pada 12 02, 2014, dari Invonesia Mengenal Indonesia: http://www.invonesia.com/dampak-positif-

dan-negatif-globalisasi-terhadap-bangsa-indonesia.html dan-negatif-globalisasi-terhadap-bangsa-indonesia.html

pencucian uang serta penjualan obat-obatan terlarang untuk tumbuh. 4 Kejahatan transnasional merupakan kejahatan pada umumnya yang dilakukan oleh

seseorang atau kelompok di luar batas wilayah yuridiksi negara asalnya dan biasanya dilakukan secara terorganisir. 5

Globalisasi juga menjadi sebuah tantangan besar bagi Indonesia. Lebih dari

20 juta masyarakatnya hidup di bawah garis kemiskinan. 6 Tingginya praktek korupsi di Indonesia semakin memperburuk kondisi kemiskinan di sana. 7 Selain

itu tingkat korupsi di Indonesia juga menjadi faktor yang meningkatkan resiko ancaman dari kejahatan transnasional. Hal tersebut dikarenakan perdagangan

illegal, imigran illegal, terorisme 8 dan penyeludupan obat-obatan terlarang dari negara lain ke Indonesia dapat terjadi karena si pelaku berhasil menyuap bagian

imigrasi, pemerintah dan administrasi Indonesia. 9 Para pelaku korupsi di

4 Vientiane. (n.d.). Pertemuan ke-3 ASEANPol Rekomendasikan Tindak Lanjut Penanganan Transnational Crime. Dari DNA Berita: http://www.dnaberita.com/berita-34606--pertemuan-ke-3-

aseanpol-rekomendasikan-tindak-lanjut-penanganan-transnational-crime.html.html. Diakses pada 5 10, 2014,

5 Tjissen. (n.d.). Diakses pada 11 8, 2014, dari Peace Palace Library: http://www.peacepalacelibrary.nl/research-guides/international-criminal-law/transnational-crime/

6 Jamsos Indonesia. (n.d.). KEMISKINAN DAN SJSN. Diakses pada 12 12, 2014, dari Jamsos Indonesia: http://www.jamsosindonesia.com/cetak/printout/356

7 Anti-Corruption Clearing House. (n.d.). Rekapitulasi Penindakan Pidana Korupsi. Diakses pada 06 13, 2014, dari Anti-Corruption Clearing House: http://acch.kpk.go.id/statistik-penanganan-tindak-pidana-

korupsi-berdasarkan-tahun 8 UNODC. (2010). Digest of Terrorist Cases. New York: United Nations. Hal. 47

9 DEN. (2010, 4 28). Korupsi Menyuburkan Kejahatan Transnasional. Diakses pada 11 8, 2014, dari Kompas:http://nasional.kompas.com/read/2010/04/28/17120329/.Korupsi.Menyuburkan.Kejahatan.

Transnasional

Indonesia juga dapat dengan mudah melindungi aset (hasil korupsi) mereka dengan melakukan pencucian uang di negara lain. 10 Oleh karena itu permasalahan

korupsi dan pencucian uang serta ditambah dengan kaburnya buronan ke luar negri menjadi tantangan yang harus diselesaikan oleh Indonesia karena sangat merugikan.

Tidak sedikit pelaku tindak kejahatan korupsi melarikan diri ke luar negri demi menghindari aparat dan proses hukum. 11 Hal ini jelas sangat menghambat

proses pemberantasan korupsi di Indonesia. Ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk menghadapi ancaman kejahatan transnasional. Sebuah negara harus bisa mengerti jangkauan dan bentuk ancaman yang dapat dilahirkan oleh sebuah kejahatan transnasional. Setelah mengetahui bentuk ancaman yang dapat dilahirkan oleh kejatan transnasional, diperlukan norma internasional yang dapat dijadikan acuan tiap negara di dalam memandang dan menindaklanjuti kejahatan transnasional. Dalam hal ini norma tersebut tercantum di dalam Convention against Transnational Organized Crime dan Convention against Corruption. Sebuah negara juga perlu meningkatkan kapabilitas dalam negrinya dalam hal mempersiapkan diri untuk menghadapi ancaman kejahatan transnasional. Dan

10 Ibid 11 Natalia, M. (2011, 7 4). Daftar 45 Pelarian Indonesia ke Luar Negri. Diakses pada 5 7, 2014, dari

Kompas:http://nasional.kompas.com/read/2011/07/04/09464965/Daftar.45.Pelarian.Indonesia.ke.L uar.Negeri Kompas:http://nasional.kompas.com/read/2011/07/04/09464965/Daftar.45.Pelarian.Indonesia.ke.L uar.Negeri

Kerja sama internasional merupakan interaksi antar aktor internasional yang melakukan pertukaran tindakan atau sumber daya untuk mencapai tujuan pribadi

dan/atau tujuan bersama. 13 Banyak hal yang bisa dilakukan negara di dalam kerja sama internasional dalam menghadapi ancaman di atas seperti melakukan kerja

sama di dalam peningkatan kapabilitas aparat keamanan, mengadakan pertemuan yang membahas tentang evaluasi kinerja di dalam menangani ancaman keamanan

dan lain sebagainya. 14 Salah satu contoh dari kerja sama internasional adalah perjanjian internasional. Menurut konvensi wina, perjanjian internasional

merupakan kesepakatan yang dilakukan oleh dua negara (bilateral) atau lebih (multilateral) untuk mengadakan hubungan yang sesuai dengan hukum

internasional. 15 Beberapa bentuk konkret kerja sama internasional yang dilakukan oleh

Indonesia dalam menangani kasus kejahatan transnasional dan kaburnya buronan ke negara lain adalah dengan membuat MLA (mutal legal assistance) dan perjanjian internasional dalam hal ekstradisi. MLA atau mutal legal assistance adalah perjanjian tentang pemberian bantuan hukum yang berdasar pada hukum

12 UNODC. (2013). Transnational Organized Crime in East Asia and the Pacific. United Nations Office on Drugs and Crime. Hal. 3-4

13 Vázquez, H. R. (2011, 06 29). INTERNATIONAL COOPERATION FOR DEVELOPMENT: A LATIN AMERICAN PERSPECTIVE. Diakses pada 01 15, 2015, dari The South-South Opportunity:

http://www.southsouth.info/profiles/blogs/international-cooperation-for

14 UNODC. (2011, 4 27). Memerangi ancaman global: Indonesia menjadi tuan rumah forum pelatihan regional kejahatan transnasional. Diakses Pada 5 17, 2014, dari UNODC.org:

https://www.unodc.org/southeastasiaandpacific/en/2011/04/tc-forum/ind/story.html 15 Istanto, S. (2010). Hukum Internasional. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Hal 88 https://www.unodc.org/southeastasiaandpacific/en/2011/04/tc-forum/ind/story.html 15 Istanto, S. (2010). Hukum Internasional. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Hal 88

yang merupakan timbal balik atas bantuan yang telah dilakukan. 16 Cara lain agar Indonesia dapat memerangi kejahatan transnasional dan

memulangkan para koruptor serta pelaku pencucian uang beserta asetnya dari negara lain untuk diadili adalah membuat perjanjian ekstradisi. Perjanjian ekstradisi merupakan sebuah perjanjian bilateral yang mengatur tentang proses penangkapan, pengidentifikasian, serta pengiriman pelaku tindak kriminal dalam suatu batas yuridiksi suatu negara ke negara lain yang meminta pelaku tindak

kriminal tersebut untuk diadili di sana. 17 Perjanjian ekstradisi merupakan perjanjian yang bergerak di dalam ranah hukum dan mengandung asas-asas

hukum internasional. Agar sebuah perjanjian internasional dapat berjalan dengan baik, sebuah negara harus meletakan kedaulatannya di bawah hukum internasional dan tunduk kepadanya. Hal tersebut perlu dilakukan karena jika negara meletakan kedaulatannya lebih tinggi daripada hukum internasional, maka

akan terjadi pertentangan antara hukum internasional dan kedaulatan negara. 18

16 Ginting, J. (2012). Roles of the Mutual Legal Assistances and Extradition Agreements in the Assets Recovery in Indonesia. Law Review Volume XI No. 3 , 420-423.

17 Ibid. 18 Kusumaatmadja, M. (1999). Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: Putra A Bardin. Hal. 11-12

Kata ekstradisi berasal dari bahasa latin yaitu bahwa ekstradisi berasal dari bahasa latin yaitu extradrete. Ex berarti keluar dan trader berarti memberi. Berdasarkan arti kata, pengertian dasar ekstradisi adalah memberikan keluar seseorang yang berada di dalam wilayah yuridiksi ke wilayah yuridiksi lainnya. Selain memulangkan para kriminal dari suatu negara, perjanjian ekstradisi juga dapat berfungsi sebagai dasar hukum terhadap pembekuan dan pemulangan aset

para kriminal dari luar negri. 19 Ekstradisi menurut pasal 1 Undang-undang Republik Indonesia nomor 1 tahun 1979 adalah penyerahan oleh suatu Negara

kepada Negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu tindak pidana di luar wilayah yang menyerahkan dan di

dalam yurisdiksi wilayah Negara yang meminta penyerahan tersebut. 20 Perjanjian ekstradisi menjadi sesuatu yang sangat penting bagi Indonesia

mengingat tantangan kejahatan transnasional yang lahir dari globalisasi. Di sisi lain, banyak sekali para pelaku tindak kriminal yang melarikan diri ke negara lain untuk menghindar dari incaran aparat keamanan. Salah satu negara yang menjadi destinasi favorit para pelaku tindak kriminal Indonesia untuk melarikan diri dari

kejaran aparat keamanan adalah Singapura. 21 Polisi-polisi negara ASEAN yang tergabung di dalam ASEANAPOL sendiri sebenarnya sudah banyak sekali

19 Ginting, J. (2012). Roles of the Mutual Legal Assistances and Extradition Agreements in the Assets Recovery in Indonesia. Law Review Volume XI No. 3 , 423-431.

20 Undang-undang Republik Indonesia nomor 1 tahun 1979 21 Natalia, M. (2011, 7 4). Daftar 45 Pelarian Indonesia ke Luar Negri. Diakses pada 5 7, 2014, dari

Kompas:http://nasional.kompas.com/read/2011/07/04/09464965/Daftar.45.Pelarian.Indonesia.ke.L uar.Negeri Kompas:http://nasional.kompas.com/read/2011/07/04/09464965/Daftar.45.Pelarian.Indonesia.ke.L uar.Negeri

ketiadaan perjanjian ekstradisi dengan Singapura. Wilayah Singapura berbatasan langsung dengan laut Indonesia dan belum memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Selain itu, mereka (buronan) juga didukung oleh mudah dan cepatnya transportasi antar kedua negara mengingat warga Indonesia dikenakan bebas Visa selama 30 hari jika ingin pergi ke Singapura. Selebihnya dari 30 hari, para koruptor tersebut akan pergi ke negara lain dan kembali lagi ke Singapura supaya kembali mendapatkan bebas Visa

selama 30 hari. 23 Karena hal tersebut, Singapura menjadi destinasi favorit para koruptor untuk

melarikan diri dari Indonesia dengan membawa serta aset-asetnya. 24 Belasan koruptor Indonesia telah melarikan diri ke Singapura, menetap di sana bahkan

sampai ada yang berganti kewarganegaraan. Beberapa dari mereka dituntut karena melakukan tindakan pencucian uang atas aset yang mereka bawa ke

Singapura. 25 Bedasarkan data yang penulis temukan sejak tahun tahun 2005,

22 ASEANAPOL. (2009). ASEANOPOL Join Communique. Jakarta: SET-NCB INTERPOL Indonesia. 23 Margianto, H. (2011, 06 22). Singapura dan Koruptor Indonesia. Diakses pada 02 15, 2015, dari

Kompas.com: http://nasional.kompas.com/read/2011/07/22/06562758/Singapura.dan.Koruptor.Indonesia

24 Dhany, R. R. (2013, 5 3). Detik Finance. Diakses Pada 5 5, 2014, dari Singapura Miskin Sumber Alam Tapi Pendapatan Per Kapita Warganya 13 Kali RI:

http://finance.detik.com/read/2013/05/03/120324/2237204/4/singapura-miskin-sumber-alam-tapi- pendapatan-per-kapita-warganya-13-kali-ri

25 Natalia, M. (2011, 7 4). Daftar 45 Pelarian Indonesia ke Luar Negri. Diakses pada 5 7, 2014, dari Kompas:http://nasional.kompas.com/read/2011/07/04/09464965/Daftar.45.Pelarian.Indonesia.ke.L

uar.Negeri uar.Negeri

di Singapura mencapai 783 trilliun rupiah. Dana tersebut terbilang sangat besar dan seharusnya dapat digunakan untuk kepentingan yang lebih baik seperti

pembangunan infrastruktur di Indonesia. 28 Berikut adalah data buronan yang melarikan diri ke Singapura:

Tabel 1. Daftar Buronan yang Melarikan Diri ke Singapura

No. Nama

Kasus

Melarikan Diri Ke-

1 Sjamsul Nursalim

Korupsi BLBI Bank BDNI.

Singapura

Merugikan negara sebesar Rp. 6,9 Triliun dan 96,7 juta USD.

2 Bambang Sutrisno

Korupsi BLBI Bank Surya.

Singapura dan Hongkong

Merugikan negara sebesar Rp. 1,5 Triliun.

3 Andrian Kiki

Singapura dan Australia Adriawan

Korupsi BLBI Bank Surya.

Merugikan negara sebesar Rp. 1,5 Triliun.

4 Samadikun Hartono Korupsi BLBI Bank Modern. Singapura

Merugikan negara sebesar Rp. 169 Miliar.

5 David Nusa Wijaya

Korupsi Bank Sertivia dengan

Singapura

kerugian negara Rp1,26 triliun

6 Agus Anwar

Korupsi BLBI Bank Pelita.

Singapura (berganti

Merugikan negara sebesar Rp.

kewarganegaraan)

1,9 Triliun

7 Irawan Salim

Korupsi Bank Global, kerugian

Singapura

negara US$ 500 ribu

8 Sujiono Timan Kasus Korupsi BPUI. Merugikan Singapura negara sebesar 126 Juta USD

9 GN (mantan direktur Menyewa aset BPPN yang pada Singapura

26 Perjanjian Ekstradisi,Singapura Sarang Sembunyi Koruptor Indonesia. (2007, 4 24). Diakses pada 12 2, 2014, dari Kabar Indonesia: http://www.kabarindonesia.com/beritaprint.php?id=20070424143615

27 Ant. (2007, 4 26). Agung: Kembalikan Aset Negara Dari Singapura. Diakses pada 12 2, 2014, dari Berita Sore: http://beritasore.com/2007/04/26/agung-kembalikan-aset-negara-dari-singapura/

28 Laluhu, S. (2012, 09 12). KPK telusuri aset koruptor di Singapura. Diakses Pada 01 16, 2015, dari Sindo News: http://nasional.sindonews.com/read/671797/13/kpk-telusuri-aset-koruptor-di-

singapura-1347372521 singapura-1347372521

akhirnya merugikan negara

MBG)

sebesar Rp. 60 Miliar.

10 IH (mantan direktur Menyewa aset BPPN yang pada Singapura dan komisaris PT

akhirnya merugikan negara

MBG)

sebesar Rp. 60 Miliar.

11 SH, (mantan Menyewa aset BPPN yang pada Singapura direktur dan

akhirnya merugikan negara

komisaris PT MBG)

sebesar Rp. 60 Miliar.

12 TS (mantan direktur Menyewa aset BPPN yang pada Singapura dan komisaris PT

akhirnya merugikan negara

MBG)

sebesar Rp. 60 Miliar.

13 GS(mantan direktur Menyewa aset BPPN yang pada dan komisaris PT

Singapura MBG)

akhirnya merugikan negara

sebesar Rp. 60 Miliar.

14 TWJ(mantan Menyewa aset BPPN yang pada Singapura direktur dan

akhirnya merugikan negara

komisaris PT MBG)

sebesar Rp. 60 Miliar.

15 HH (mantan direktur Menyewa aset BPPN yang pada Singapura dan komisaris PT

akhirnya merugikan negara

MBG)

sebesar Rp. 60 Miliar.

16 Hartono Tjahadjaja

Kasus Bank BRI. Merugikan

Singapura

negara sebesar 180 Miliar

17 Nader Thaher

Korupsi kredit Bank Mandiri

Singapura

yang dilakukan oleh PT Siak Zamrud Pusako. Merugikan negara sebesar Rp. 35 Miliar

18 Atang Latief

Korupsi BLBI Bank Indonesia

Singapura

Raya. Merugikan negara sebesar Rp. 155 Miliar

Sumber: Diolah dari berbagai macam sumber

Indonesia saat menjalin ini telah menjalin perjanjian MLA dengan negara- negara ASEAN termasuk Singapura di mana salah satu pasalnya mengatur tentang pemulangan aset para koruptor di luar negri sejak tahun 2004. Tetapi perjanjian MLA tersebut tidak dapat berjalan secara efektif karena ada pasal yang menyatakan bahwa perjanjian tersebut tidak berlaku surut sejak disahkan pada Indonesia saat menjalin ini telah menjalin perjanjian MLA dengan negara- negara ASEAN termasuk Singapura di mana salah satu pasalnya mengatur tentang pemulangan aset para koruptor di luar negri sejak tahun 2004. Tetapi perjanjian MLA tersebut tidak dapat berjalan secara efektif karena ada pasal yang menyatakan bahwa perjanjian tersebut tidak berlaku surut sejak disahkan pada

after the coming into force of this treaty”. 30

MLA dirasa tidak efektif karena tidak dapat menjaring koruptor dan pelaku pencucian uang yang divonis bersalah pada tahun 2004 ke bawah. Selain itu perjanjian MLA ini juga tidak dapat memulangkan para koruptor dan pelaku

pencucian uang tersebut dari Singapura ke Indonesia. 31 Oleh karena itu, Indonesia perlu menjalin hubungan kerjasama dengan Singapura dalam hal ekstradisi.

Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah mengupayakan untuk membentuk sebuah perjanjian ekstradisi dengan Singapura sejak tahun 1972 namun tidak memberikan hasil seperti yang diinginkan. Kemudian Pemerintah Indonesia kembali mengupayakan pembuatan perjanjian ekstradisi dan mendapatkan angin segar pada 8 November 2004 di mana Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono bertemu dengan Perdana Mentri Singapura Lee Hsien Long di Istana Merdeka Jakarta. Hasil dari pertemuan di Istana Merdeka adalah kesepakatan kedua pemimpin negara tersebut untuk membentuk perjanjian ekstradisi yang akan

dilaksanakan pada tahun 2005. 32 Beberapa kasus yang menjadi topik utama di

29 Atmasasmita, R. (2014, 1 16). MLA ASEAN untuk Pengembalian Aset Korupsi. Diakses pada 5 29, 2014, dari Uni Sosial Demokrat:

http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=7733&coid=3&caid=31&gid=3 30 Ibid.

31 Atmasasmita, R. (2014, 1 16). MLA ASEAN untuk Pengembalian Aset Korupsi. Diakses pada 5 29, 2014, dari Uni Sosial

Demokrat:http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=7733&coid=3&caid=31&gid=3 32 Suwarjono. (2004, 11 8). SBY Bertemu PM Lee. Dari Detik Finance:

http://finance.detik.com/read/2004/11/08/182225/238143/10/sby-bertemu-pm-lee. Diakses pada 6 15, 2014 http://finance.detik.com/read/2004/11/08/182225/238143/10/sby-bertemu-pm-lee. Diakses pada 6 15, 2014

Setelah melalui proses yang cukup panjang, akhirnya perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura telah tercipta. Tepatnya pada tanggal pada 27 April 2007 di Istana Tampak Siring, Bali, Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Singapura telah selesai dirumuskan dan melahirkan naskah kesepakatan yang harus

ditandatangani oleh para perwakilan negosiator yang merumuskannya. 34 Penandatanganan perjanjian ekstradisi tersebut dilakukan oleh Mentri Luar

Negeri Republik Indonesia Hassan Wirayuda dan Mentri Luar Negeri Singapura George Yeo serta disaksikan oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Mentri Singapura Lee Hsien Loong. Perjanjian ekstradisi tersebut membahas tentang 31 macam tindak kejahatan yang akan diekstradisi seperti korupsi, penyuapan, pemalsuan uang, kejahatan perbankan,

pemerkosaan, pembunuhan dan pendanaan terorisme. 35 Perjanjian tersebut berlaku surut selama 15 tahun ke bawah, yang mana hanya dapat melakukan

proses ekstradisi terhadap tersangka yang melakukan tindak kejahatan di dalam kurun waktu tersebut. 36

33 Wardhani, B. (2007, 4 27). Indonesian Corruption Watch. Diakses Pada 5 5, 2014, dari Urgensi Perjanjian Ekstradisi RI-Singapura: http://www.antikorupsi.org/id/content/urgensi-perjanjian-

ekstradisi-ri-singapura

34 Cahaya, A. I. (2012, 4 26). Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. Diakses Pada 5 10, 2014, dari Seberapa Penting Perjanjian Ekstradisi Indonesia - Singapura? : http://www.setkab.go.id/artikel-

4212-seberapa-penting-perjanjian-ekstradisi-indonesia-singapura-oleh-agil-iqbal-cahaya-sap.html 35 Ibid.

36 Wardhani, B. (2007, 4 27). Indonesian Corruption Watch. Diakses Pada 5 5, 2014, dari Urgensi Perjanjian Ekstradisi RI-Singapura: http://www.antikorupsi.org/id/content/urgensi-perjanjian-

ekstradisi-ri-singapura

Bersamaan dengan pembuatan perjanjian ekstradisi, Indonesia dan Singapura juga menyepakati sebuah perjanjian pertahanan (Defense Corporation Agreement /DCA) yang mana menjadi satu paket di dalam perjanjian ekstradisi tersebut. Defense Corporation Agreement yang telah ditandatangani oleh Indonesia dan Singapura berisikan tentang kerja sama berupa latihan militer bersama antara Indonesia dan Singapura di dalam wilayah kedaulatan RI yang telah disepakati bersama. Wilayah-wilayah tersebut meliputi area Alpha 1 (Kawasan Sumatra), Alpha 2 (Sebelah Selatan Kepulauan Ambanas), dan Bravo Area (Laut Natuna). Singapura juga dapat mengundang pihak ketiga untuk dijadikan partner latihan bersama atas seijin Indonesia. Indonesia berhak untuk

mengikuti latihan militer tersebut dan menjadi pengawas. 37 Sebelum perjanjian ekstradisi yang ditandatangani pada tahun 2007 tersebut

dapat berlaku dan diterapkan secara efektif, terlebih dahulu harus disahkan dan diratifikasi oleh Lembaga legislatif masing-masing negara secara terpisah. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional Bab III tentang Pengesahan Perjanjian Internasional pasal

10, pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan:

1. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara,

2. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia

37 Hidayat, S. (2011). Dinamika Politik Di Dpr Dalam Proses Ratifikasi Perjanjian Batas Wilayah Laut Ri- Singapura Di Bagian Barat Tahun 2009. 96-108.

3. kedaulatan atau hak berdaulat negara

4. hak asasi manusia dan lingkungan hidup

5. pembentukan kaidah hukum baru

6. pinjaman dan/atau hibah luar negeri. Sedangkan perjanjian internasional yang isi materinya tidak termasuk poin-poin

tersebut akan diratifikasi dan disahkan melalui KEPRES (Keputusan Presiden). 38 Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura akan dilakukan oleh

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia selaku birokrasi pembuat Undang- undang dengan menerbitkan Undang-undang pengesahan perjanjian

internasional. 39 Hal tersebut dikarenakan perjanjian ekstradisi merupakan hal yang berkaitan erat dengan masalah hukum, perbatasan, kedaulatan, hak asasi

manusia, dan keamanan. Berdasarkan pemaparan di atas, Indonesia memiliki kepentingan yang cukup besar terhadap perjanjian ekstradisi dengan Singapura. Perjanjian tersebut sudah diinisiasi sejak tahun 1972 dan terwujud pada tahun 2005 yang kemudian selesai dirumuskan dan ditandatangani pada tahun 2007. Namun, ketika memasuki tahap ratifikasi, DPR RI menolak untuk memberikan ratifikasi terhadap perjanjian

38 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional Bab III tentang Pengesahan Perjanjian Internasional pasal 10

39 Natalia, M. (2011, 7 4). Daftar 45 Pelarian Indonesia ke Luar Negri. Diakses pada 5 7, 2014, dari Kompas:http://nasional.kompas.com/read/2011/07/04/09464965/Daftar.45.Pelarian.Indonesia.ke.L

uar.Negeri uar.Negeri

Tema ini menarik untuk diangkat mengingat sejak tahun 1972, Singapura tidak pernah bersifat kooperatif dengan Indonesia dalam pembuatan perjanjian ekstradisi. Baru setelah adanya pertemuan antara Presiden SBY dan PM Lee Hsien Loong pada tahun 2004 Singapura mau membuat perjanjian ekstradisi dengan Indonesia yang kemudian di tengah proses pembuatannya dilanjutkan dengan pembuatan perjanjian pertahanan yang harus diratifikasi secara tandem. Namun ketika perjanjian yang sudah lama diinginkan oleh Indonesia untuk terwujud, DPR RI justru menolak untuk meratifikasinya.

40 Berita Satu. (2011, 6 7). Singapura minta terlalu banyak untuk ekstradisi. Diakses Pada 7 8, 2014, dari Berita Satu: http://www.beritasatu.com/nasional/9511-singapura-minta-terlalu-banyak-untuk-

ekstradisi.html

41 Merdeka. (2007, 09 17). DPR Desak Pemerintah Bahas Ulang DCA Dengan Singapura. Diakses pada

01 07, 2015, dari Merdeka.com: http://www.merdeka.com/politik/internasional/dpr-desak- Pemerintah-bahas-ulang-dca-dengan-Singapura-1stayyq.html

1.2 Rumusan Masalah Mengapa Indonesia tidak meratifikasi perjanjian ekstradisi dengan Singapura dan

memilih untuk melakukan renegosiasi?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, penulis bertujuan untuk:

1. Mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi perumusan dan pembuatan perjanjian ekstradisi.

2. Mengetahui proses diplomasi Perjanjian Ekstradisi Indonesia dengan Singapura dari tahap awal hingga akhir.

3. Mengetahui alasan penolakan ratifikasi perjanjian ekstradisi yang dilakukan oleh Indonesia.

1.4 Manfaat Penulisan

1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Memberikan pengalaman dalam mengaplikasikan teori dan konsep hubungan internasional terhadap fenomena khususnya terhadap proses pembuatan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Singapura.

2. Memberikan wawasan yang lebih luas tentang konsep dan teori yang digunakan di dalam penelitian ini.

3. Memberikan pengetahuan tentang fenomena yang diangkat.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Republik Indonesia terkait Pembuatan Perjanjian Internasional.

BAB II

Kerangka Pemikiran

2.1 Studi Terdahulu

Di dalam penelitian ini penulis menggunakan tiga studi terdahuluya. Penulis merujuk pada studi terdahulu berupa jurnal yang ditulis oleh Dewi Waryenti seorang Dosen Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Bengkulu yang

berjudul “Ekstradisi dan Permasalahannya”, Jon Hovi yang berjudul “Why the United States Did Not Become a Party to the Kyoto Protocol: German, Norwegian, and US

Perspectives. ” dan tesis yang ditulis oleh Syarif Hidayat yang berjudul “Dinamika Politik Di DPR Dalam Proses Ratifikasi Perjanjian Batas Wilayah Laut Ri-Singapura

Di Bagian Barat Tahun 2009”. Di dalam jurnalnya, Dewi memaparkan pengertian ekstradisi sebagai sebuah

dinamika antara negara peminta yang menginginkan pemulangan seorang pelaku kriminal dari negara diminta untuk menjalankan proses hukum di negara peminta. Hal tersebut hanya bisa terjadi apabila di antara negara peminta dan diminta telah

memiliki perjanjian ekstradisi satu sama lain. 42 Dewi juga memaparkan urgensi pembuatan sebuah perjanjian ekstradisi dari

sudut pandang Indonesia. Banyak sekali para koruptor yang telah merugikan negara seperti kasus korupsi liquiditas Bank Indonesia (BLBI). Para pelaku yaitu Hendra Rahardja, Adrian Kiki, Syamsul Nursalim dan beberapa orang lainnya telah

42 Waryenti, D. (2012, 05 02). EKSTRADISI DAN BEBERAPA PERMASALAHANNYA. Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum, Volume 5 No. 2. ISSN 1978-5186, 2 42 Waryenti, D. (2012, 05 02). EKSTRADISI DAN BEBERAPA PERMASALAHANNYA. Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum, Volume 5 No. 2. ISSN 1978-5186, 2

Di Singapura, Syamsul Nursalim, Bambang Sutrisno dan David Nusawijaya ternyata bisa hidup dengan tenang dan dilindungi oleh pemerintahan Singapura karena ketiadaan perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Pelaku-pelaku yang telah merugikan negara 9 triliyun rupiah tersebut merupakan refleksi betapa pentingnya perumusan sebuah kerja sama antara Indonesia dan Singapura di dalam sebuah

perjanjian ekstradisi. 44 Dewi juga memaparkan tentang sejarah ekstradisi Indonesia dengan Singapura pada tahun 1950 yang mana masih menjadi jajahan dan wilayah

yuridiksi Inggris. Pada waktu itu Indonesia meminta kepada pemerintahan Inggris di Singapura untuk mengekstradisi seseorang yang bernama Turco Westerling atas tuduhan pembunuhan. Namun permintaan ekstradisi tersebut ditolak mentah-mentah

lantaran Indonesia dan Inggris belum memiliki perjanjian ekstradisi satu sama lain. 45 Dua hal tersebut merupakan urgensi-urgensi mengapa sebuah perjanjian

ekstradisi perlu untuk dibuat dan dirumuskan sebagai perwujudan dari kepentingan nasional.Selain memaparkan masalah urgensi, Dewi juga mengulas tentang proses- proses yang harus dilewati ketika negara peminta melaksanakan sebuah ekstradisi dari negara diminta beserta asas-asas hukum yang berlaku di dalam mekanisme

43 Waryenti, D. (2012, 05 02). EKSTRADISI DAN BEBERAPA PERMASALAHANNYA. Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum, Volume 5 No. 2. ISSN 1978-5186, 1

44 Ibid 45 Waryenti, D. (2012, 05 02). EKSTRADISI DAN BEBERAPA PERMASALAHANNYA. Fiat Justitia Jurnal

Ilmu Hukum, Volume 5 No. 2. ISSN 1978-5186, 2 Ilmu Hukum, Volume 5 No. 2. ISSN 1978-5186, 2

sudut pandang hukum Indonesia di mana ketika Indonesia berperan sebagai negara diminta dan telah sepakat untuk menyerahkan seorang pelaku tindak kriminal kepada negara peminta harus melalui beberapa prosedur. Dasar hukum prosedur tersebut tertuang di dalam undang-undang nomor 1 tahun 1979 tentang ekstradisi. Prosedur- prosedur tersebut juga harus menghormati azas-azas ekstradisi yang juga terkandung

di dalam undang nomor 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi BAB II Pasal 2 sampai 17. 47 Di dalam jurnal tersebut juga dijelaskan tentang permasalahan-permasalahan yang

umum terjadi di dalam proses ekstradisi. Permasalahan yang lumrah terjadi adalah perbedaan sistem hukum, penolakan ekstradisi, perebutan buronan oleh lebih dari satu negara dan ekstradisi yang dilakukan berkali-kali terhadap seorang kriminal atas

tuduhan yang bebeda. 48 Penulis mengambil studi terdahulu dari jurnal yang ditulis oleh Dewi

Waryenti karena sangat membantu di dalam pendefinisian ekstradisi dan dinamika di dalamnya. Selain itu, urgensi yang dipaparkan oleh Dewi di dalam jurnalnya dengan jelas menerangkan bahwa Indonesia harus memiliki perjanjian ekstradisi dengan negara-negara yang berpotensi menjadi tempat persembunyian para pelaku tindak kejahatan yang akan diadili. Hal ini kelak akan sangat berpengaruh terhadap proses

46 Waryenti, D. (2012, 05 02). EKSTRADISI DAN BEBERAPA PERMASALAHANNYA. Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum, Volume 5 No. 2. ISSN 1978-5186, 9-12

47 Waryenti, D. (2012, 05 02). EKSTRADISI DAN BEBERAPA PERMASALAHANNYA. Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum, Volume 5 No. 2. ISSN 1978-5186, 5-8

48 Waryenti, D. (2012, 05 02). EKSTRADISI DAN BEBERAPA PERMASALAHANNYA. Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum, Volume 5 No. 2. ISSN 1978-5186, 15-18 48 Waryenti, D. (2012, 05 02). EKSTRADISI DAN BEBERAPA PERMASALAHANNYA. Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum, Volume 5 No. 2. ISSN 1978-5186, 15-18

Di dalam jurnal Jon Hovi diparkan tentang alasan penolakan ratifikasi Protokol Kyoto yang telah ditandatangani oleh Amerika Serikat menggunakan teori Two Level Game. Jon Hovi memaparkan alasan tersebut dengan mengajukan tiga hipotesa yang dianalisa menggunakan teori Two Level Game. Ketiga hipotesa tersebut kemudian akan diulas dengan narasumber (peserta pertemuan perumusan protocol kyoto) dari Jerman, Norwegia dan Amerika Serikat untuk mendapatkan justifikasi. Jon Hovi memilih narasumber dari Jerman karena Jerman merupakan anggota yang berpengaruh di Uni Eropa dan Uni Eropa merupakan aktor yang

berpengaruh di dalam negosiasi lingkungan. 49 Delegasi Norwegia dijadikan narasumber oleh Jon Hovi karena Norwegia merupakan negara bukan anggota Uni

Eropa yang gencar mengajukan isu lingkungan. Terakhir Jon Hovi memilih delegasi Amerika Serikat sebagai narasumber karena alasan dari Amerika Serikat yang menolak meratifikasi Protokol Kyoto merupakan inti dari penelitian yang dilakukannya dengan mencari tahu dari delegasi Amerika Serikat dan Administrasi

Amerika Serikat. 50

49 Hovi, J. (2010). Why the United States Did Not Become a Party to the Kyoto Protocol: German, Norwegian, and US Perspectives. European Journal of International Relations.129

50 Ibid

Hipotesa pertama yang diajukan oleh Jon Hovi adalah para delegasi Protokol Kyoto dengan keliru menganggap bahwa Senat Amerika mengancam kepentingan mereka dengan mengadopsi Resolusi Byrd-Hagel sebagai Win-Sets negara. Byrd- Hagel merupakan resolusi yang dilahirkan lima bulan sebelum pertemuan Protokol Kyoto yang berisi bahwa Amerika Serikat tidak boleh menandatangani semua protokol yang mewajibkan pengurangan emisi gas kecuali protokol tersebut juga memberikan kewajiban spesifik terhadap negara berkembang dengan periode kewajiban yang sama. Selain itu Amerika Serikat juga tidak boleh menandatangani protokol yang memberikan kerusakan serius terhadap perekonomian Amerika Serikat. Resolusi tersebut tidak bersifat mengikat namun merupakan keinginan dari Senat

Amerika Serikat. 51 Asumsi yang diangkat oleh Jon Hovi berdasarkan teori Two Level Game

untuk menjawab hipotesa ini adalah para negosiator mengetahui informasi tentang Win-Sets lawan. Jika para negosiator tidak mengetahui Win-Sets lawan, mereka tidak dapat memperkirakan apakah kesepakatan pada level 1 (Internasional) dapat diartifikasi oleh konstituen domestik (domestik) sehingga berpotensi menimbulan voluntary dan involuntary defection di pihak tertentu.(kegagalan ratifikasi level 2

meskipun telah mencapai kesepakatan pada level 1). 52 Di dalam Jurnalnya Jon Hovi menyatakan bahwa kurangnya informasi dan pengetahuan terhadap Win-Sets lawan

dapat menimbulkan dampak negatif ketika negosiator mengajukan Win-Sets-nya di

51 Hovi, J. (2010). Why the United States Did Not Become a Party to the Kyoto Protocol: German, Norwegian, and US Perspectives. European Journal of International Relations. 133-135

52 Hovi, J. (2010). Why the United States Did Not Become a Party to the Kyoto Protocol: German, Norwegian, and US Perspectives. European Journal of International Relations.132

dalam proses negosiasi. Ada dua terminologi dalam hal ini. Terminologi pertama, negosiator lawan dapat menganggap bahwa Win-Sets tersebut sebagai ancaman bagi kepentingannya. Ketika seorang negosiator memiliki informasi penuh tentang Win- Sets negosiator lawan, dia dapat memetakan Win-Sets lawan yang mana saja yang sesuai dengan Win-Sets-nya dan mana saja yang tidak. Dengan begitu dia dapat menentukan langkah apa saja supaya Win-Sets-nya dapat diterima oleh negosiator lawan. Jika tidak, maka Win-Sets negosiator akan dianggap bertentangan dan tidak sesuai dengan Win-Sets negosiator lawan. Terminologi kedua, ketika pihak negosiator lawan tidak mengetahui Win-Setss kita, maka negosiator lawan akan dapat mengajukan dan menekan kesepakatan yang bisa bertentangan dengan Win-Setss kita

sehingga berpotensi mengalami gagalnya ratifikasi. 53 Dalam kasus Protokol Kyoto, neogsiator non-AS menganggap resolusi Byrd-

Hagel sebagai ancaman yang tidak sesuai dengan kepentingan mereka. Negosiator non-AS juga menganggap bahwa tanpa Win-Sets Amerika Serikat di dalam resolusi Byrd-Hagel karena tidak bersifat legaly binding, konstituen domestiknya tetap akan meratifikasi protokol sehingga negosiator non-AS terus menekan kesepakatan di luar

resolusi tersebut. 54 Namun pada kenyataannya, Senat Amerika Serikat benar-benar menginginkan agar resolusi tersebut masuk ke dalam kesepakatan di Protokol Kyoto

sehingga menolak untuk meratifikasinya. 55

53 Ibid 54 Hovi, J. (2010). Why the United States Did Not Become a Party to the Kyoto Protocol: German,

Norwegian, and US Perspectives. European Journal of International Relations. 130 55 Ibid

Hipotesa kedua yang diangkat oleh Jon Hovi di dalam jurnalnya adalah Negosiator non-AS lebih menginginkan kesepakatan ambisius tanpa keikutsertaan Amerika Serikat di dalamnya daripada kesepakatan tidak ambisius dengan keikutsertaan Amerika Serikat. Argument yang diangkat Jon Hovi di dalam menganalisa hipotesa tersebut adalah para negosiator akan berfokus pada kesepakatan-kesepakatan yang dapat diratifikasi oleh semua negara di mana yang dipertimbangkan adalah keuntungannya. Di dalam kasus Protokol Kyoto, negosiator non-AS memiliki pandangan dan keyakinan untuk membentuk kesepakatan yang berisikan pembangunan jangka panjang tanpa mengedepankan urusan ratifikasi di level domestik (namun tetap diperjuangkan) daripada kesepakatan yang berisikan pembangunan jangka pendek. Resolusi Byrd-Hagel membatasi pembangunan jangka panjang Protokol Kyoto dengan mengharuskan AS hanya menanadatangani perjanian dan protokol yang tidak merugikan perekonomiannya serta memberikan kewajiban dan tenggang kewajiban yang sama dengan negara berkembang. Di sisi lain, hasil dari Protokol Kyoto adalah negara-negara maju diwajibkan untuk mengurangi emisi gasnya sedangkan negara berkembang tidak. Oleh karena itu AS tidak meratifikasi

Protokol Kyoto. 56 Hipotesa ketiga yang diangkat oleh Jon Hovi dalam jurnalnya adalah delegasi

Amerika Serikat di Protokol Kyoto menyerah untuk memenuhi syarat ratifikasi dari senat. Di dalam menganalisa hipotesa ini, Jon Hovi menggunakan argumen dari teori Two Level Game yang mengatakan bahwa para negosiator akan mempertimbangkan

56 Hovi, J. (2010). Why the United States Did Not Become a Party to the Kyoto Protocol: German, Norwegian, and US Perspectives. European Journal of International Relations.135 56 Hovi, J. (2010). Why the United States Did Not Become a Party to the Kyoto Protocol: German, Norwegian, and US Perspectives. European Journal of International Relations.135

Oleh karena itu Senat Amerika Serikat menolak meratifikasi Protokol Kyoto. 57 Ketiga hipotesa tersebut akan dicarikan justifikasinya dengan dibacakan di

depan narasumber. Hal tersebut dilakukan Jon Hovi agar reaksi yang timbul dari para narasumber benar-benar spontan dan objektif. Setelah dibacakan di depan narasumber hipotesa 3 mendapatkan dukungan dan justifikasi dari delegasi Amerika Serikat dan Jerman, hipotesa 1 dijustifikasi dan didukung oleh delegasi dari Norwegia, sedangkan hipotesa 2 hanya mendapatkan dukungan dari delegasi Jerman.

Tesis yang ditulis oleh Syarif Hidayat memaparkan tentang proses ratifikasi perjanjian batas wilayah laut RI-Singapura. Penelitian yang Syarif lakukan berdasarkan dinamika politik yang terjadi ketika Indonesia dan Singapura melakukan penandatanganan perjanjian perbatasan laut pada tanggal 10 maret 2009. Yang terjadi setelah itu adalah proses ratifikasi perjanjian agar dapat diterapkan dengan segera. Seperti yang telah penulis paparkan di dalam latar belakang bahwa yang

57 Ibid 57 Ibid

yaitu teori two level game. 58 Dengan menjadikan tesis ini sebagai studi terdahulu, penulis mendapatkan banyak sekali informasi berupa data dan perangkat analisa yang

dapat digunakan dalam penelitian ini. Di sisi lain, melalui tesis ini penulis dapat mengerti dinamika yang terjadi di dalam DPR selaku birokrasi yang bertugas melakukan ratifikasi perjanjian internasional yang telah dibuat dan ditandatangani

oleh pemerintah (eksekutif). 59 Perbedaan penelitian ini jurnal dan tesis di atas adalah fokus penelitian yang

diambil penulis. Jurnal yang ditulis oleh Dewi Waryenti hanya berfokus pada permasalahan yang terjadi di dalam proses ekstradisi. Kontribusinya adalah membantu penulis memahami undang-undang ekstradisi Indonesia dengan lebih mudah. Jurnal yang ditulis Jon Hovi membahas tentang alasan penolakan ratifikasi

58 Hidayat, S. (2011). Dinamika Politik Di Dpr Dalam Proses Ratifikasi Perjanjian Batas Wilayah Laut Ri- Singapura Di Bagian Barat Tahun 2009.Tesis 22-27.

59 Hidayat, S. (2011). Dinamika Politik Di Dpr Dalam Proses Ratifikasi Perjanjian Batas Wilayah Laut Ri- Singapura Di Bagian Barat Tahun 2009. Tesis 1-134.

Protokol Kyoto dengan menggunakan pendekatan teori Two Level Game. Kontribusi jurnal ini di dalam penelitian ini adalah memberikan pemahaman yang lebih mendalam dan aplikasi teori Two Level Game di dalam menganalisa keterkaitan politik domestik dan politik internasional. Selain itu, jurnal ini juga menambah pengetahuan penulis tentang proses pembuatan perjanjian internasional secara lebih mendalam. Tesis yang ditulis oleh Syarif Hidayat berfokus pada proses pembuatan perjanjian batas laut antara Indonesia dan Singapura memberikan penulis pemahaman tentang proses pembuatan perjanjian internasional, aplikasi teori Two Level Game dan dinamika proses ratifikasi di dalam DPR RI seperti mekanisme sidang dan voting. Sedangkan penelitian yang penulis lakukan berfokus pada alasan penolakan ratifikasi perjanjian ekstradisi antar Indonesia dengan Singapura.

2.2 Kajian Teoritik 2.2.1 Peringkat Analisa

Penelitian ini menggunakan satu level analisis yaitu level analisis korelasionis di mana unit eksplanasi berada pada tingkat yang sama dengan unit analisa. 60 Dengan

menggunakan satu level analisis, penulis akan lebih mampu untuk lebih fokus dan mendalam ketika menjelaskan proses analisa. Level analisis yang digunakan dalam penelitian ini memiliki unit analisa yaitu alasan Indonesia yang tidak meratifikasi perjanjian ekstradisi dengan Singapura.

Unit eksplanasi yang penulis gunakan di dalam penelitian ini adalah alasan mengapa Indonesia tidak meratifikasi perjanjian ekstradisi tersebut. Level analisis ini

60 Masoed, M. (1990). Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta: P.T. Pustaka LP3S Indonesia.

memudahkan penulis untuk melakukan pendalaman karya tulis. Sedangkan pendekatan yang penulis gunakan dapat memudahkan untuk mengkaji pembahsan secara komprehensif dan tepat sasaran serta memudahkan di dalam memahami dan menjelaskan penelitian.

Level of analysis yang penulis gunakan di dalam penelitian ini terdapat pada level negara. Negara dilihat sebagai entitas dan aktor yang akan mengeluarkan sikap, keputusan, dan kebijakan luar negri dengan berbagai pertimbangan domestiknya melalui faktor domestik, kepentingan ekonomi, militer, sosial, ideologi, nilai-nilai yang dianut serta opini publik. Negara juga merumuskan sebuah sikap dan keputusan

luar negri semata-mata untuk memenuhi kepentingan nasionalnya. 61

2.2.2 Teori Two Level Game

Teori yang penulis gunakan di dalam penelitian ini adalah teori two level game yang diperkenalkan oleh Robert D. Putnam. Teori tersebut dijelaskan oleh Putnam di dalam tulisannya yang berjudul Diplomcy and Domestic Politics : the Logic of Two-Level Games . Di dalamnya, Putnam mengatakan bahwa politik domestik dan politik internasional saling mempengaruhi satu sama lain namun teori yang ada belum menjelaskan dan memaparkan seluruh bagian dari hubungan

tersebut. 62 Untuk itu Robert D. Putnam menciptakan sebuah metafora two level game

yang menjelaskan tentang interaksi antara politik domestik dan politik internasional.

61 Ibid 62 Putnam, R. D. (1998). Diplomacy and Domestic Politics: The Logic of Two Level Game. International

Organization , 427-433.

Interaksi tersebut terwujud di dalam proses pembuatan perjanjian internasional. Kerja sama internasional dibentuk melalui proses diplomasi dan negosiasi di mana pihak

yang bersangkutan melakukan proses tawar-menawar satu sama lain. 63 Di dalamnya peran negosiator amatlah penting karena mereka berperan sebagai jembatan antara

politik domestik dan politik internasional. Negosiator dapat digambarkan sebagai kepala pemerintahan, perwakilan pekerja, pimpinan partai, kementrian dan pimpinan

senat dan diwakili oleh seorang chief negotiator. 64 Negosiator bergerak seperti agen yang bekerja untuk konstituen domestik di mana mereka tidak memiliki andil bebas

dalam menentukan arah kepentingan nasional. 65 Pada level nasional, pihak-pihak domestik yang memiliki kepentingan akan berupaya untuk memaksa pemerintah

untuk membuat dan menerapkan kebijakan yang sesuai dengan kepentingan mereka. Para politisi juga berpihak pada kelompol-kelompok tersebut dengan membentuk koalisi untuk mendapatkan kekuatan terhadap pemerintah. Tekanan dan tuntutan tersebutlah yang kemudian dibawa oleh para negosiator ke meja perundingan. Di sana mereka akan berupaya untuk memenuhi tuntutan –tuntutan tersebut dengan memaksimalkan kepentingan nasional dan meminimalisir efek negatif dari luar

negri. 66

63 Watson, A. (2005). Diplomacy: The Dialouge Between States. Routledge. 39-40 64 Putnam, R. D. (1998). Diplomacy and Domestic Politics: The Logic of Two Level Game. International

Organization, 435

65 Putnam, R. D. (1998). Diplomacy and Domestic Politics: The Logic of Two Level Game. International Organization, 456

66 Putnam, R. D. (1998). Diplomacy and Domestic Politics: The Logic of Two Level Game. International Organization , 434

Putnam kemudian membagi pergumulan domestik dan internasional suatu negara yang saling mempengaruhi dalam dua pendekatan yang menggunakan dua level analisa yaitu:

1. Bargaining Between Negotiators, leading to tentative agreement Pendekatan ini disebut juga dengan level 1 di mana negosiator berhadapan langsung dengan negosiator dari negara lain untuk merundingkan isi-isi kesepakatan Internasional. Hal tersebut dilakukan dengan membawa Win-Sets negara masing- masing untuk dinegosiasikan agar dapat menjadi kepentingan bersama antar negara

yang bersangkutan. 67 Win-Sets merupakan serangkaian dari semua kemungkinan kesepakatan di level 1 yang akan menang. Menang di sini berarti dapat diratifikasi

oleh pihak domestik nasional dan pihak domestik asing. 68 Kesepakatan yang telah tercipta tidak dapat berjalan apabila tidak diratifikasi. Oleh karena itu, negosiator

harus bisa memperhitungkan apakah isu-isu yang dibawa ke ranah negosiasi dapat diratifikasi olek pihak domestiknya dan pihak asing atau tidak. Negosiator akan berusaha untuk maksimalkan kepentingan nasional di dalam perjanjian internasional dengan menyocokannya terhadap Win-Sets asing. Setelah kesepakatan dicapai dan perjanjian internasional sudah dirumuskan, maka perwakilan dari setiap negara yang terlibat di dalam proses negosiasi harus menandatangani perjanjian tersebut menghasilkan perjanjian yang bersifat sementara dan masih belum bisa diterapkan karena masih belum diratifikasi. Di dalam kesepakatan yang telah disepakati dan