Sanksi Atas Tindakan Intelijen Tajassus

nahi munkar adalah suatu kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan. Pembelaan ini sekaligus memberikan teladan kepada masyarakat agar berdiri atas dasar hukum dan tidak melanggarnya. Jika agen intelijen melakukan ativitas melebihi dari kewenangannya, maka tidak ada jaminan hukum lagi. Dapat juga dijatuhkan sanksi hukum.

B. Sanksi Atas Tindakan Intelijen Tajassus

Apabila tajassus dilakukan kafir harbiy baik hakiki, maupun hukuman, maka sanksinya adalah bunuh, bila diketahui bahwa ia adalah mata-mata, atau telah terbukti bahwa ia adalah mata-mata. Ketentuan ini didasarkan pada sebuah riwayat yang dikemukakan oleh Imam Bukhari dari Salamah bin al-Akwa’, bahwa “Seorang mata-mata dari orang-orang musyrik mendatangi Rasulullah Saw, sedangkan orang itu sedang safar. Lalu, orang itu duduk bersama dengan para shahabat Nabi Saw, dan ia berbincang- bincang dengan para shahabat. Kemudian orang itu pergi. Nabi Saw berkata, “Cari dan bunuhlah dia” Lalu, aku Salamah bin al-Akwa’ berhasil mendapatkannya lebih dahulu dari para shahabat yang laih, dan aku membunuhnya.” 94 Imam Muslim juga meriwayatkan dengan pengertian senada namun dengan lafadz berbeda. Sedangkan dalam riwayat Abu Na’iim dalam al-Mustakhraj, dari jalan Yahya al- Hamaniy, dari Abu al-‘Umais, “Ketahuilah, bahwa dia adalah mata-mata”. Hadits ini menunjukkan dengan jelas, bahwa Rasulullah Saw telah menetapkan, bahwa ia adalah mata-mata, kemudian beliau Saw berkata, “Cari, dan bunuhlah dia.” Ini menunjukkan, bahwa thalab permintaan dari Rasul adalah thalab yang pasti, sehingga sanksi bagi kafir harbiy yang mematai-matai kaum muslimin, adalah dibunuh tanpa perlu komentar. 94 Fauzan al-Anshari, Awas Operasi Intelijen, Jakarta: Arrahmah Media, 2006, h 210. Ketentuan ini berlaku umum untuk semua kafir harbiy, baik kafir mu’ahid, musta’min, atau bukan mu’ahid dan musta’min. 95 Bila tajassus dilakukan oleh kafir dzimmiy, maka sanksi yang dijatuhkan kepadanya perlu dilihat. Jika pada saat ia menjadi kafir dzimmiy disyaratkan untuk tidak menjadi mata-mata, dan bila ia melakukan spionase dibunuh, maka sanksi bila kafir dzimmiy tadi melakukan tindak tajassus, maka hukumnya dibunuh sesuai dengan syarat tadi. Namun bila saat ia menjadi kafir dzimmiy tidak disyaratkan apa-apa, maka Khalifah boleh menetapkan sanksi bunuh terhadapnya, atau tidak, bila ia melakukan tajassus. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa Nabi Saw telah memerintahkan untuk membunuh seorang kafir dzimmiy, yakni mata-matanya Abu Sofyan Furat bin Hayyan, kemudian sekelompok orang Anshor mendatangi Furat bin Hayyan, lalu dia Furat bin Hayyan berkata, “Saya muslim”. Kemudian para shahabat berkata, “Dia telah bersumpah menjadi seorang muslim.” Kemudian Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya ada seseorang dari kalian yang menolak keimanan mereka, dan sebagian dari mereka itu adalah Furat bin Hayyan.” Hadits ini menunjukkan dengan jelas, bahwa Rasulullah Saw memerintahkan para sahabat untuk membunuh kafir dzimmiy yang melakukan tindak spionase tajassus. Namun demikian, hal ini hanya berhukum jaiz boleh bagi imam, tidak wajib seperti sanksi terhadap kafir harbiy bila menjadi mata- mata. Dalil yang menyatakan bahwa sanksi bunuh terhadap kafir dzimmiy jaiz boleh dan tidak wajib, adalah hadits di atas tidak memiliki qarinah indikasi yang bersifat jaazim pasti. Walhasil, hadits di atas thalab-nya menjadi tidak pasti ghairu jaazim. Ada qarinah yang menunjukkan bahwa thalab pada hadits itu tidak pasti ghairu jaazim yakni, nash hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah Saw tidak langsung membunuh Furat bin Hayyan, sekedar mengetahui bahwa ia adalah mata-mata, padahal kafir harbiy yang 95 Fauzan al-Anshari, Awas Operasi Intelijen, h 211-212 . disebutkan dalam hadits Salamah bin al-Akwa’, Rasulullah Saw langsung memerintah untuk membunuhnya sekedar setelah ditetapkan bahwa ia adalah mata-mata, dengan Rasulullah Saw bersabda kepada kaum muslimin, “Cari dan bunuhlah dia” Dalil ini menunjukkan, bahwa beliau tidak langsung membunuhnya, padahal Rasulullah Saw mengetahuinya bahwa ia adalah kafir dzimmiy, dan ini tampak jelas dari lafadz hadits, “dan dia adalah kafir dzimmiy, dan seorang mata-mata”, yakni bahwa dia Furat bin Hayyan telah diketahui oleh beliau Saw. Ini juga tampak jelas dari ucapan Rasulullah Saw, “dan sebagian dari mereka itu adalah Furat bin Hayyan.” Atas dasar itu, Rasulullah Saw telah berkata kepada kafir harbiy yang melakukan tindak tajassus, “Cari dan bunuhlah dia” 96 Sedangkan untuk Furat bin Hayyan beliau Saw sekedar memerintahkan untuk membunuhnya, namun tidak memerintahkan kaum muslimin untuk mencarinya. Ini menunjukkan dengan jelas, ada perbedaan antara kedua riwayat tersebut; riwayat Salamah bin Akwa’ dengan Furat bin Hayyan. Terhadap kafir harbiy, maka tuntutan untuk membunuh bila mereka melakukan tindak spionase, adalah tuntutan yang pasti thalab jaazim, sedangkan tuntutan untuk membunuh kafir dzimmiy, bukanlah tuntutan yang pasti ghairu jaazim. Ini menunjukkan bahwa membunuh mata-mata dari kalangan kafir dzimmiy, atau tidak, hukumnya adalah jaiz mubah. Adapun bila seorang muslim memata-matai kaum muslimin dan kafir dzimmiy untuk kepentingan musuh, maka ia tidak dibunuh. Sebab, Rasulullah Saw telah memerintah untuk membunuh kafir dzimmiy bila mereka melakukan tindak spionase, namun ketika ia menjadi muslim, maka hukuman bunuh itu dibatalkan. Rasulullah Saw telah memerintahkan untuk membunuh Furat bin Hayyan, seorang kafir dzimmiy sekaligus sebagai mata-mata, namun ketika para shahabat berkata, “Wahai Rasulullah, dia telah bersumpah menjadi seorang muslim.” Kemudian Rasulullah Saw bersabda: 96 Fauzan al-Anshari, Awas Operasi Intelijen, h 212. “Sesungguhnya ada seseorang dari kalian yang menolak keimanan mereka, dan sebagian dari mereka itu adalah Furat bin Hayyan.” Walhasil, ‘illat dibatalkannya hukum bunuh, karena ia telah menjadi seorang muslim. Imam Bukhari meriwayatkan, “Dari ‘Ali bin Abi Thalib ra berkata, “Rasulullah saw mengutusku, juga Zubeir, dan Miqdad bin al-Aswad. Rasulullah Saw bersabda, “Pergilah sampai ke kebun Khakh, dan di sana ada sekedup, dan didalamnya ada wanita yang membawa surat, maka ambillah surat itu.” Kemudian kami berangkat dengan menaiki kuda, hingga sampailah kami di kebun itu, kami menjumpai sekedup. Kami berkata, “Keluarkan suratnya” Wanita itu menjawab, “Saya tidak memiliki surat.” Kami berkata, “Sungguh, engkau keluarkan suratnya, atau kami akan singkap baju kamu” Kemudian wanita itu mengeluarkan surat itu dari gelung rambutnya. Kemudian kamu memberikan surat itu kepada Rasulullah Saw ketika di dalamnya tertulis, “Dari Hathib bin Abiy Balta’ah kepada penduduk Mekah. Dan ia mengabarkan sebagian perintah Rasulullah Saw.” Rasulullah Saw berkata, “Apa ini, wahai Hathib?” Hathib berkata, “Jangan tergesa-gesa terhadapku, Wahai Rasulullah Sesungguhnya aku berbuat semacam ini untuk keluargaku di Mekah. Sedangkan orang-orang yang bersama anda, yakni orang- orang Muhajirin mereka memiliki kerabat dekat di Mekah yang bisa melindungi keluarga dan hartanya, sedangkan aku tidak. Maka aku melakukan hal ini, agar mereka bisa melindungi kerabatku di Mekah. Aku tidak melakukan ini untuk kekafiran, dan aku tidak murtad, dan aku tidak ridla dengan kekafiran setelah Islam.” Rasulullah Saw bersabda, “Benarlah engkau” ‘ Umar berkata, “Wahai Rasulullah, perintahkanlah aku untuk memenggal leher orang munafiq ini” Rasulullah Saw bersabda, “Dia adalah orang yang ikut di perang Badar, dan engkau tidak mengetahui bahwa Allah telah memulyakan ahli badar,” kemudian beliau Saw bersabda, “Kerjakan, apa yang engkau kehendaki, kalian telah aku maafkan” 97 Hadits ini menceritakan bahwa Hathib bin Abi Balta’ah telah memata-matai kaum muslimin, dan Rasulullah Saw tidak membunuhnya. Ini menunjukkan, bahwa bila seorang muslim melakukan tindak tajassus, maka ia tidak dijatuhi sanksi bunuh. Tidak bisa dikatakan, bahwa hadits ini hanya khusus untuk ahli Badar, sebab, ‘illat penafian hukuman bunuh bagi Hathib bin Abi Balta’ah, karena ia adalah ahli Badar. Tidak bisa dikatakan demikian, sebab, walaupun nash ini berfaedah pada ta’lil ‘illat, dan walaupun redaksi nash tersebut menunjukkan bahwa riwayat tersebut mengandung ‘illat, akan tetapi, hadits riwayat Imam Ahmad dari Furat bin Hayyan dimana hukuman bunuh telah dibatalkan kepadanya karena ia masuk Islam; dan sebelumnya ia seorang kafir dzimmiy- telah menafikan ‘illat pada hadits riwayat Imam Bukhari di atas. Riwayat Imam Ahmad ini sekaligus telah menempatkan “‘illat” pada hadits riwayat Bukhari tersebut, sebagai sifat dari sebuah fakta saja-bukan sebagai ‘illat, sebab, Furat bin Hayyan bukanlah ahli Badar. Imam Ahmad meriwayatkan hadits itu dari jalan Sofyan al-Tsauriy. Tidak bisa dikatakan seperti itu, sebab, Imam Ahmad meriwayatkan hadits ini dari Sofyan Bisyr bin al-Sariy al-Bashariy, dan dia termasuk orang yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim. Dengan demikian hadits ini sah sebagai dalil. 98 Walhasil, riwayat Imam Ahmad tersebut diatas bisa digunakan sebagai dalil, bahwa sanksi atas seorang muslim yang melakukan tindak tajassus, tidaklah dibunuh. Namun, ia diberi sanksi sebagaimana ketetapan yang dijatuhkan oleh Khalifah maupun qadliy. Aktivitas tajassus yang dilakukan oleh seorang muslim kepada kaum muslimin lainnya, bukan untuk kepentingan musuh, namun sekedar memata-matai saja, maka syara’ 97 Fauzan al-Anshari, Awas Operasi Intelijen, h 214. 98 Fauzan al-Anshari, Awas Operasi Intelijen, h 214. tidak menetapkan sanksi tertentu atas aktivitas tersebut. Sanksi bagi seorang muslim yang mematai sesama muslim adalah saksi ta’ziiriyyah yang kadarnya ditetapkan oleh seorang qadliy . 99 Sedangkan aktivitas tajassus dalam tata hukum di Indonesia bertujuan untuk melindungi rahasia Negara, yakni informasi publik yang untuk waktu tertentu tidak dapat disampaikan kepada publik karena dapat menimbulkan ancaman terhadap keamanan nasional. Informasi tersebut “disimpan” untuk waktu tertentu dan baru disampaikan kepada publik setelah melewati waktu tersebut. Prinsipnya adalah bahwa semua informasi publik, termasuk informasi yang dimiliki negara, adalah milik publik. Sebagai suatu pengecualian tentu sifatnya harus terbatas dan limitatif dan berlaku pada jangka waktu tertentu saja. Agar pengecualian tersebut tetap menjadi satu kesatuan dan tidak bertentangan dengan hak atas informasi sebagai prinsip utama, maka sudah sewajarnya dibuat dalam satu produk hukum. Oleh karena itu, sanksi pidana lebih ditekankan kepada pejabat publik yang bertanggungjawab untuk mengelola rahasia negara, bukan kepada masyarakat umum, meski rakyat memiliki hak untuk mengetahui segala hal tentang penyelenggaraan negara yang menyangkut kepentingan seluruh rakyat kepentingan publik. Hal ini sekaligus sebagai pertanggungjawaban lembaga-lembaga penyelenggara negara kepada publik yang telah memberikan kekuasaan dan kewenangan melalui konstitusi kepada organ-organ negara. Untuk menjaga rahasia Negara, tidak terlepas transparansi dan kontrol sosial yang dapat memperbaiki kelemahan mekanisme kelembagaan demi menjamin kebenaran dan keadilan.disinilah kenapa kenapa peran Intelijen dalam sebuah Negara menjadi penting. 100 99 Taqiyyuddin al-Nabhani, Al-Daulah Al-Islamiyah., h. 218. 100 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta: Konstitusi Press, 2005, h.161-162 Salah satu alasan utama perlunya keberadaan rahasia negara adalah adanya ancaman eksternal external threat approach yang dipandang dapat mengganggu kepentingan keamanan nasional. 101 Hal ini dilakukan untuk menjaga pertahanan Negara yang merupakan sarana diplomasi untuk mencegah detterent kekuatan luar melakukan intervensi atau agresi. Dalam konteks itu maka setiap badan publik wajib membuka akses bagi setiap orang untuk mendapatkan informasi publik, kecuali informasi yang merupakan rahasia negara, yaitu: Informasi di bidang Pertahanan dan Keamanan yang meliputi: a. Sistem intelijen strategis; b. Pangkalan data strategis; c. Pusat komando dan perencanaan operasi militer; d. Kekuatan militer yang akan digunakan dalam gelar penindakan; e. Sistem komunikasi strategis; f. Dukungan logistik operasi; g. Spesifikasi persenjataan; h. Perintah operasi dan taktik militer. Sedangkan sanksi bagi orang yang membocorkan rahasia Negara, seperti di China dan Iran adalah hukuman mati. Namun di Indonesia, hukumannya cukup variatif, sesuai dengan Pasal 113-129 KUHP, dimana hukuman penjara sampai batas maksimal 20 tahun atau semurur hidup bahkan hukuman mati. 102 101 Edy Prasetyono, Rahasia Negara dan Hubungan Internasional, Makalah Disampaikan pada FGD “Menyoal Kerahasiaan Negara Secara Komprehensif Dalam Sistem Negara Demokratik”, Imparsial, Jakarta, 9-10 Februari 2006. h. 1 102 Mengenai pasal-pasal dalam KUHP di atas, terkait dengan sanksi dalam membocorkan rahasia negara, sampai saat ini belum mengalami revisi. Adapun sanksi yang tercantum dalam pasal 113-129 adalah : a. Pasal 113, ayat 1, dijelaskan bahwa siapapun yang dengan sengaja, mengumumkan, atau memberitahukan maupun menyerahkan kepada orang yang tidak berwenang mengetahui, surat-surat, peta-peta, rencana-rencana, gambar- gambar atau benda-benda yang bersifat rahasia yang bersangkutan dengan pertahanan atau keamanan Indonesia terhadap serangan dari luar, maka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Sedangkan pada ayat 2, meyebutkan, jika surat-surat atau benda-benda ada pada yang bersalah, atau pengetahuannya tentang itu karena pencariannya, pidananya dapat ditambah sepertiga. b. Pasal 114, sipapaun yang menyebabkan surat-surat atau benda-benda rahasia sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 113, dimana ia memiliki kewajiban untuk menyimpan. Akan tetapi kemudian diketahui orang atau pihak lain yang tidak berwenang mengetahui, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana kurungan paling lama satu tahun atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah. c. Pasal 115, siapa saja yang melihat atau membaca surat-surat atau benda-benda rahasia sebagaimana dimaksud dalam pasal 113, kemudian membuat atau menyuruh membuat salinan atau ikhtisar dengan huruf atau dalam bahasa apa pun juga, membuat atau menyuruh buat teraan, gambaran atau jika tidak menyerahkan benda-benda itu kepada pejabat kehakiman, kepolisian atau pamong praja, dalam hal benda-benda itu ke tangannya, diancam dengan pidana penjara palling lama tiga tahun. d. Pasal 116, apabila terjadi permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan sebagaimana diamksud dalam pasal 113 dan 115, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun. e. Pasal 117, siapapun diancam dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, barang siapa tanpa wenang. 1 Dengan sengaja memasuki bangunan Angkatan Darat atau Angkatan Laut, atau memasuki kapal perang melalui jalan yang bukan jalan biasa; 2 Dengan sengaja memasuki daerah, yang oleh Presiden atau atas namanya, atau oleh penguasa tentara ditentukan sebagai daerah tentara yang dilarang; 3 Dengan sengaja membuat, mengumpulkan, mempunyai, menyimpan, menyembunyikan atau mangangkut gambat potret atau gambar tangan maupun keterangan-keterangan atau petunjuk-petunjuk lain mengenai daerah seperti tersebut dalam pasal ke-2, beserta segala sesuatu yang ada disitu. f. Pasal 118, siapapun diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda sembilan ribu rupiah, jika tanpa wewenang, sengaja membuat, mengumpulkan, mempunyai, menyimpan, menyembunyikan atau petunjuk- petunjuk lain mengenai sesuatu hal yang bersangkutan dengan kepentingan tentara. g. Pasal 119, lebih jauh diterangkan bahwa siapa saja dapat diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun: 1 Barang siapa memberi pondokan kepada orang lain, yang diketahuinya mempunyai niat atau sedang mencoba untuk mengetahui benda-benda rahasia seperti tersebut dalam pasal 113, padahal tidak wenang untuk itu, atau mempunyai niat atau sedang mencoba untuk mengetahui letak, bentuk, susunan, persenjataan, perbekalan, perlengkapan mesin, atau kekuatan orang dari bangunan pertahanan atau sesuatu hal lain yang bersangkutan dengan kepentingan tentara; 2 Barang siapa menyembunyikan benda-benda yang diketahuinya bahwa dengan cara apapun juga, akan diperlukan dalam melaksanakan niat seperti tersebut pada ke-1. h. Adapun pada pasal 120, jika kejahatan tersebut pasal 113, 115, 117, 118, 119 dilakukan dengan akal curang seperti penyesatan, menyamakan, pemakaian nama atau kedudukan palsu, atau dengan menawarkan atau menerima, membayangkan atau menjanjikan hadiah, keuntungan atau upah dalam bentuk apapun juga, atau dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, maka pidana hilang kemerdekaan dapat diperberat lipat dua. i. Pasal 121, siapapun yang oleh negara ditugaskan pemerintah untuk berunding dengan suatu negara asing, dengan sengaja merugikan negara, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. j. Dalam pasal 122, seseorang dapat diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika : 1 Barang siapa dalam masa perang yang tidak menyangkut Indonesia, dengan sengaja melakukan perbuatan yang membahayakan kenetralan negara, atau dengan sengaja melanggar suatu aturan yang dikeluarkan dan diumumkan oleh pemerintah, khusus untuk mempertahankan kenbetralan tersebut; 2 Barang siapa dalam masa perang dengan sengaja melanggar aturan yang dikeluarkan dan diumumkan oleh pemerintah guna keselamatan negara. k. Pada pasal 123, seseorang warga Negara Indonesia yang dengan suka rela masuk tentara negara asing, pada hal ia mengetahui bahwa Negara itu sedang perang dengan Negara Indonesaia, atau akan menghadapi perang dengan Indonesia, diancam dalam hal terakhir jika pecah perang, denga pidana penjara paling lama lima belas tahun. l. Terakhir, pada pasal 124, disebutkan bahwa : 1 Barang siapa dalam masa perang dengan sengaja memberi bantuan kepada musuh atau merugikan negara terhadap musuh, diancam dengan pidana penjara lima belas tahun. 2 Diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu atau paling lama dua puluh tahun jika si pembuat : a Memberitahukan atau memberikan kepada musuh peta, rencana, gambar, atau penulisan mengenai bangunan- bangunan tentara; b Menjadi mata-mata musuh, atau memberikan pondokan kepadanya. 3 Pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun dijatuhkan jika si pembuat : a Memberitahukan atau menyerahkan kepada musuh, menghancurkan atau merusakkan sesuatu tempat atau pos yang diperkuat atau diduduki, suatu alat perhubungan, gudang persediaan perang, atau kas perang ataupun Angkatan Laut, Angkatan Darat atau bagian daripadanya, merintangi, menghalang-halangi atau menggagalkan suatu untuk menggenangi air atau karya tentara lainya yang direncanakan atau diselenggarakan untuk menangkis tau menyerang; b Menyebabkan atau memperlancar timbulnya huru-hara, pemberontakan atau desersi dikalangan Angkatan Perang. m. Pasal 125 menyebutkan bahwa permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 124, diancam dengan pidana paling lama enam tahun. n. Sedangkan pada pasal 126, seseorang ancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun barang siapa dalam masa perang, tidak dengan maksud membantu musuh atau merugikan negara sehingga menguntungkan musuh, dnegan sengaja: 1 Memberikan pondokan kepada mata-mata musuh, menyembunyikannya atau membantunya melarikan diri; 2 Menggerakkan atau memperlancar pelarian desersi prajurit yang bertugas untuk Negara. o. Selanjutnya, dalam pasal 127, menyebutkan; 1 Barang siapa dalam masa perang menjalankan tipu muslihat dalam penyerahan barang-barang keperluan Angkatan Laut atau Angkatan Darat, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. 2 Diancam dengan pidana yang sama barang siapa diserahi mengawasi penyerahan barang-barang, membiarkan tipu muslihat itu. p. Pada pasal 128, juga dijelaskan; 1 Dalam hal pemidanaan berdasarkan kejahatan pasal 104, dapat dipidana pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 no. 1-5. 2 Dalam hal pemidanaan berdasarkan kejahatan pasal-pasal 106-108, 110-125, dapat dipidana pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 no. 1-3. 3 Dalam hal pemidanaan berdasarkan kejahatan pasal 127, yang bersalah dapat dilarang menjalankan pencarian yang dijalankannya ketika melakukan kejahatan itu, dicabut hak-hak berdasarkan pasal 35 no. 1-4, dan dapat diperintahkan supaya putusan hakim diumumkan. q. Adapun pasal 129, terkait dengan pidana-pidana yang berdasarkan terhadap perbuatan-perbuatan dalam pasal-pasal 124-127, diterapkan jika salah satu perbuatan dilakukan terhadap aturan yang bersangkutan dengan negara sekutu dalam perang bersama.

C. Analisis Kedudukan Intelijen Negara dalam Ketatanegaraan Islam dan Indonesia