Zaman Penjajahan Belanda Sejarah Intelijen Negara Indonesia

perlengkapan persenjataan, termasuk peluru meriam. Walaupun nyali raja Blambangan tidak menciut, namun hal ini memaksanya untuk berfikir seribu kali, mencari cara menagalahkan Mataram.

3. Zaman Penjajahan Belanda

Pada abad ke XVII, Belanda pertama kali masuk ke Indonesia dan menjadikan selat Malaka sebagai pintu gerbangnya. Setelah melakukan pengauasaan atas pelabuhan dan memonopoli perdagangan, timbullah perlawanan terutama dari raja- raja dan penduduk pribumi. Diantaranya adalah Sultan Agung dari Mataram yang menggempur pusat kekuatan Belanda di Jayakarta Jakarta. Pada penyerangan pertama Sultan Agung hanya menghitung jumlah kekuatan lawan tanpa memperhitungkan teknologi modern persenjataan Belanda dan hasilnya gagal. Begitu juga pada penyerangan kedua dan ketiga dimana Belanda lebih siap mengantisipasi, melalui perkiraan intelijen yang akurat dan baik. Setelah wafat, Sultan Agung digantikan oleh Amangkurat I, yang terkenal sebagai raja paranoid. Sebagai raja, ia bersongkokol dengan Belanda dalam memberikan informasi dan petunjuk untuk melakukan operasi intelijen dengan nama operasi “Bersih Lingkungan” 51 yakni menimbulkan kekacauan besar dan suasana chaos, apabila operasi gagal. Dari aspek intelijen, maka dapat diperoleh gambaran bahwa intelijen Belanda lebih memiliki keunggulan dalam memprediksi dan membaca kemampuan lawan. Belanda mengembangkan kemampuan aparat intelijen dengan merekrut polisi penjajahan yang bertugas pokok Counter Intelijence, untuk mendeteksi keadaan dan kondisi serta potensi perlawanan masyarakat. Data-data dari intelijen itulah Belanda mampu membendung dan mematahkan setiap perlawanan masyarakat yang masih bersifat kedaerahan seperti perang yang dilancarkan pengeran Diponegoro Jawa 51 Kunarto, Intelijen Pengertian dan Pemahamannya., h. 471 Tengah, Tuanku Imam Bonjol Sumatera Barat, Tengku Umar dan Cut Nyak Dien Aceh, Sultan Hasanuddin Sulawesi serta Pattimura Maluku selama tiga setengah abad lamanya. Belanda juga mampu mengintensifkan kebijakan Cultur Stelsel atau tanam paksa sebagai upaya menutupi kas yang telah digunakan sebagai ongkos perang. Atas kesengsaraan itulah produk intelijen yang disetujui untuk dilaksanakannya politik etis atau politik balas budi. Belanda kemudian menjalin kerjasama dengan para pangreh praja yang difungsikan sebagai jaringan “Telik Sandi”, dengan kemampuan dan kewenangan dalam counter Inteligence, counter spionase, serta menjaga keamanan dan menegakkan kekuasaan Belanda. Pada perkembangannya, secara tidak resmi Voor Inlandsche dan Cheneesche Zaken difungsikan sebagai badan intelijen bagi pemerintah kolonial Belanda, dan baru pada tahun 1920 Belanda mendirikan Politieke Inlictingen Dienst PID sebagai dinas intelijen resmi dan di bawah pemerintah dalam negeri Belanda, yang bertujuan memata-matai pergerakan nasional Indonesia.

4. Zaman Pendudukan Jepang