Hukum Aktivitas Intelijen Tajassus

BAB IV INTELIJEN NEGARA DALAM KETATANEGARAAN INDONESIA

DAN KETATANEGARAAN ISLAM

A. Hukum Aktivitas Intelijen Tajassus

Menurut Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, aktivitas Intelijen dalam hukum Islam bisa haram, jaiz, dan wajib, ditinjau dari siapa yang menjadi target dari aktivitas Intelijen. 85 Menurutnya aktivitas tajassus yang ditujukan kepada kaum muslimin adalah haram. Pendapat tersebut didasarkan kepada Firman Allah Swt QS. Al-Hujuraat 49:12 + ,-. 012 3 + 4565. 78 9::: ; 78 6 ?4123 A412 3 B C D E 5F H E I E 7JFK LL+ MNO E P 6N H Q R1SL?LK B T B TI. 4V W L YZ MW[ \] “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka kecurigaan, karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang tajassus dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”. QS. Al-Hujurat [49]: 12” Sebagian mufassirin, seperti Abu Raja’ dan al-Hasan, membacanya dengan “tahassasuu ” dengan ha’ bukan dengan jim. Al-Akhfash menyatakan, bahwa makna keduanya tajassasuu dan tahassasuu tidaklah berbeda jauh. Sebab, tahassasuu bermakna al-bahtsu ‘ammaa yaktumu ‘anka membahasmeneliti apa-apa yang tersembunyi bagi kamu. Ada pula yang mengartikan, bahwa tahassasuu, adalah apa yang bisa dijangkau oleh sebagian indera manusia. Sedangkan tajassasuu adalah memata-matai sesuatu. Ada pula yang menyatakan, kalau tajassasuu itu adalah aktivitas mata-mata yang 85 Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz II, ed.III, Beirut: Dar al-Ummah, 1994, h. 212 dilakukan oleh orang lain, atau dengan utusan, sedangkan tahassasuu, aktivitas mata-mata yang dilakukan oleh dirinya sendiri. Sedangkan Imam Qurthubi, mengartikan firman Allah, di atas dengan, “Ambillah hal- hal yang nampak, dan janganlah kalian membuka aurat kaum muslimin. Yakni, janganlah seorang diantara kalian meneliti aurat saudaranya, sehingga ia mengetahui auratnya, setelah Allah SWT menutupnya auratnya”. Pendapat Imam Qurthubi juga di kuatkan dengan hadist Nabi Saw: “Janganlah kalian saling memata-matai, janganlah kalian saling menyelidik, janganlah kalian saling berlebih-lebihan, janganlah kalian saling berbuat kerusakan”. HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah. 86 + , -. ﺙ 2 3 4 506 7 8 6 8 9 : ; 4 . 3 =ﻥ? A 5 6 ﺥ 4 .6 C 7 8 ? ﺙ 0 ?. : ; 4 9 6 ﻥ D 8E . 8 F “Allah berfirman: Hai orang-orang yang membenarkan Allah dan Rasul-Nya, janganlah kalian buruk sangka terhadap orang-orang mukmin, begitu juga sebaliknya, karena sesungguhnya buruk sangka tidak dapat dibenarkan. Allah berfirman: Menajuhlah kalian dari prasangka yang buruk, dan tidak berfirman: Semua prasangka itu buruk, maka artinya orang mukmin diizinkan untuk berprasangka buruk memata-matai kepada sebagian mereka dengan tujuan yang baik. Kemudian Allah berfirman: Jika kalian mendengar ada prasangka buruk terhadap orang mukmin baik laki-laki maupun perempuan yang baik, maka itu adalah kebohongan yang nyata. Maka Allah mengizinkan kepada orang mukmin berburuk sangka kepada sebagian orang mukmin atas sebagian yang lain atas tujuan kebaikan dan Allah berfirman: jika apa yang dikatakannya tidak meyakinkan”. Sama halnya dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud: ﺙ ﺡ 9+ E H E E 6 ﺙ IE J 9ﺽ ﺙ 4E L M E E =ﻥ 40 N O E P I8 Q D R 4 E 8 8 8E S T5 6 O 6 I4 . U . C 3 S N N F7 “Abu Umamah telah menceritakan kepadaku,, dari Sa’id bin Amr al-Hadlramy, diceritakan dari Isma’il bin ‘Iyasy, diceritakan dari Dham-dham bin Zar’ah dari Syarih bin ‘Ubaid, dari Jabir bin Nufai r, dari Katsir bin Marrah dan Amr bin Aswad dan Miqdam bin Ma’d kerabat dari Abi Umamah, dari Nabi Saw yang telah bersabda: Sungguh, seorang amir pemimpin akan mendurhakai rakyatnya, bila ia memburu kecurigaan pada mereka.” [HR. Abu Dawud]. 87 86 Abi Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabary, Jami’ al-Bayan an Ta’wili Ay al-Qur’an, Juz 26, Beirut: Dar al-Fikr, tt, h. 134 87 Abi Dawud Sulaiman bin Asy’at al-Sajistani al-Azdari, Sunan Abi Dawud, Jilid 4, Kairo: Dar al- Hadits, tt, h. 274. Islam juga sangat mencela seseorang yang suka ikut campur urusan orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan dia, seperti Rasulullah Saw: “Diantara hal yang menyempurnakan keislaman seseorang adalah ia meninggalkan masalah-masalah yang tak memiliki sangkut paut dengan dirinya.” HR.Tirmidzi. Dalam hadits Ibnu ‘Abbas ra meriwayatkan dari Rasulullah Saw: “Orang yang menyadap pembicaraan orang lain dan mendengarkan apa yang mereka tidak akan suka bila tahu ia telah mendengarnya maka kedua telinganya akan dituangi dengan cairan kuningan nanti pada hari Kiamat.” HR. Thabarani. Hadits-hadits di atas menunjukkan, betapa aktivitas-aktivitas Intelijen seperti mengintip, menyadap pembicaraan orang lain dan mengorek-ngorek berita, menguping pembicaraa orang lain, sangat tegas di larang oleh Islam. Padahal, aktivitas-aktivitas ini merupakan bagian terpenting dari aktivitas spionase. Oleh karena itu, menurut Taqiyyuddin an-Nabhani aktivitas memata-matai seorang muslim hukumnya adalah haram secara mutlak. 88 Bahkan lebih jauh, ia juga mengungkapkan bahwa Islam menolak bukti yang diperoleh dengan jalan spionase. Tidak seperti tradisi hukum Barat yang biasa menggunakan detektif atau mata-mata untuk mencari-cari bukti kriminal dengan jalan menyadap telepon dengan berbagai metode spionase yang menyimpang electronic surveillance. Aktivitas memata-matai di atas adalah aktivitas yang dilakukan oleh individu terhadap individu yang lain maupun terhadap sekelompok masyarakat, dan sama sekali bukan merupakan aktivitas memata-matai yang dilakukan oleh intelijen negara. Pada sisi lain, ada sebagian orang berpendapat bahwa spionase yang dilakukan oleh badan-badan intelijen negara adalah boleh. Sebab, spionase yang dilakukan oleh Negara akan membawa kemaslahatan bagi Negara. Namun ada juga yang berpendapat bahwa 88 Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz II, ed.III, Beirut: Dar al-Ummah, 1994, h. 212 aktivitas semacam ini tidak disandarkan kepada dalil syara’. Mereka hanya bertumpu kepada maslahat untuk membangun pendapatnya; misalnya spionase untuk memonitoring aktivitas rakyat yang berpotensi melakukan makar terhadap negara, menggali keadaan rakyatnya lebih dalam lagi, dan lain-lain. Namun perlu diingat, bahwa maslahat tidak berarti sama sekali untuk membangun hukum syara’. Seorang muslim diwajibkan untuk hanya ber-tahkim berhukum dengan apa-apa yang diturunkan oleh Allah Swt, bukan ber-tahkim dengan maslahat yang bersifat temporal dan berubah-ubah. 89 Dalam tradisi hukum Islam, bukti yang didapat dari jalan spionase tidak boleh dijadikan bukti di sidang pengadilan. Dalilnya adalah riwayat dari al-A’masy bin Zaid, ia menceritakan bahwa al-Walid bin ‘Uqbah dihadapkan kepada Ibnu Mas’ud dan dituduh ketahuan terdapat tetesan khamr di jenggotnya. Ibnu Mas’ud berkata: ﺙ ﺡ I4 M D ﺙ ﺡ I VEO E WC J E . N ﺥ 5 + X Y. C 4E . E ﻥ Z[5 ﺥ? \ M 6 D 3 N N F7 “Abu Bakar telah menceritakan kepadaku dari Abi Syaibah, telah menceritakan kepadaku Abu Mu’awiyah dari A’masu, dari Zaid bin Wahhab berkata: Datanglah Ibnu Mas’ud dan berkata: Ini Fulan Jenggotnya telah basah oleh arak, maka berkatalah Abdullah: Kita dilarang memata-matai, tetapi bila terdapat bukti yang tampak, kita akan menggunakannya.” 90 Adapun terhadap kafir dzimmiy yang menjadi warga negara di Daulah Khilafah, maka kedudukan mereka setara dengan kaum muslimin. Sehingga seorang muslim dilarang memata-matai mereka. 91 Adapun memata-matai kafir harbiy kafir yang harus diperangi, baik kafir harbiy haqiqiy, maupun hukman, hukumnya adalah jaiz boleh bagi seorang muslim, atau sekelompok kaum muslimin. Namun wajib bagi negara Daulah Khilafah, baik kafir harbiy yang berada di dalam Daulah Khilafah Islamiyyah, maupun yang berada di negaranya sendiri. 89 Fauzan al-Anshari, Awas Operasi Intelijen, Jakarta: Arrahmah Media, 2006, h 206. 90 .Abu Dawud bin Sulaiman al-Sajistani al-Azdari, Sunan Abu Dawud, Jilid 4, Kairo: Dar El-Hadits, tt, h 274; lihat pula, Abu Ameenah Bilal Philips, Tafseer Soorah Al Hujurat; Menolak Tafsir Bid’ah Elyasa’ Bahalwan pentj, Surabaya: Andalus Press, 1990, h.151 91 Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah., h. 212 Dalil yang menunjukkan adanya larangan di atas adalah riwayat yang disebut dalam Sirah Ibnu Hisyam, bahwa Nabi Saw pernah mengutus ‘Abdullah bin Jahsiy bersama 8 orang dari kalangan Muhajirin. Kemudian Rasulullah Saw memberikan sebuah surat kepada ‘Abdullah bin Jahsiy, dan beliau saw menyuruhnya agar tidak melihat isinya. Ia boleh membuka surat itu setelah berjalan kira-kira 2 hari lamanya. Selanjutnya mereka bergegas pergi. Setelah menempuh perjalanan selama dua hari, barulah ‘Abdullah bin Jahsiy membuka surat, dan membaca isinya, dimana isi surat tersebut adalah, “Jika engkau telah melihat suratku ini, berjalanlah terus hingga sampai kebun korma antara Mekah dan Tha’if, maka intailah orang-orang Quraisy, dan kabarkanlah kepada kami berita tentang mereka orang Quraisy.” Dalam surat tersebut, Rasulullah Saw memerintah ‘Abdullah bin Jahsiy untuk memata-matai orang Quraisy, dan mengabarkan berita tentang mereka kepada Rasul. Akan tetapi, beliau Saw memberikan pilihan kepada para shahabat lainnya untuk mengikuti ‘Abdullah bin Jahsiy, atau tidak. Rasulullah Saw juga mengharuskan ‘Abdullah bin Jahsiy untuk terus berjalan hingga sampai ke kebun kurma antara Mekah dan Tha’if, dan memata-matai orang Quraisy. Riwayat ini menyatakan bahwa Rasulullah Saw, telah meminta shahabat untuk melakukan aktivitas spionase, yakni wajib bagi ‘Abdullah bin Jahsiy. Namun shahabat yang lain diberi dua pilihan, ikut bersama ‘Abdullah bin Jahsiy atau tidak. Dengan demikian, tuntutan untuk melakukan spionase bagi amir jama’ah, yakni ‘Abdullah bin Jahsiy dinisbahkan kepada negara adalah pasti, sehingga hukumnya wajib, sedangkan bagi kaum muslimin tuntutan tidak pasti, sehingga hukumnya jaiz boleh. Hadits ini menunjukkan kepada kita, bahwa hukum memata-matai kafir harbiy adalah wajib bagi negara, sedangkan bagi kaum muslimin adalah jaiz. Begitu juga dengan surat al-Hujuraat [49]: 12, dengan jelas dan tegas menunjukkan keharaman melakukan aktivitas tajassus spionase. Sebab dalam ayat tersebut disebutkan, “wa laa tajassasuu” dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain tajassus. Ayat ini berlaku umum untuk semua tajassus, kecuali ada dalil syara’ yang mengkhususkan. Sedangkan maslahat tidak bernilai sama sekali untuk men-takhshish mengkhususkan atau apapun namanya terhadap keumuman ayat ini. Walhasil, pendapat yang menyatakan bahwa aktivitas spionase yang dilakukan oleh negara terhadap rakyatnya dibolehkan dengan alasan maslahat, merupakan pendapat yang bathil dan telah terbukti kelemahannya. Oleh karena itu, aktivitas spionase yang dilakukan oleh negara kepada rakyatnya, adalah perbuatan yang diharamkan oleh syara secara mutlak. Sedangkan bolehnya seorang muslim, atau kafir dzimmiy, memata-matai kafir harbiy hakiki , maupun kafir harbiy hukman, merupakan pengkhususan dari keumuman pengertian surat al-Hujuraat [49] ayat 12 tersebut. Sebab ada dalil yang menunjukkannya, yakni sunnah Rasul. Adapun dalam hukum ketatanegara Indonesia, kewenangan melakukan aktivitas Intelijen adalah lembaga-lembaga Intelijen Negara, seperti halnya Badan Intelijen BIN. Namun di Indonesia tidak hanya terdapat BIN Badan Intelijen Negara. Karena selain itu ada badan-badan intelijen yang di kendalikan Tentara Nasional Indoneisa TNI, Polisi Republik Indonesia POLRI. Jaksa Agung Komisi Pemberantasan Korupsi dan lembaga sipil laninya. Sedangkan masyarakat umum atau sipil tidak dibenarkan melakukan aktivitas intelijen baik terhadap negara republik Indonesia baik dengan tujuan unutuk diri sendiri organisasi atau negara lain. Adapun agen intelijen dihadapan hukum sama halnya dengan masyarakat sipil. Artinya, dalam hal ini berlaku asas, seluruh warga Negara memiliki persamaan di hadapan hukum equality before the law. Dalam menajalaskan tugasnya, intelijen juga dilindungi oleh undang-undang selagi aktivitasnya maih dalam kewenangan dan batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang, seperti dalam pasal 50 KUHP: barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana. Artinya, walaupun memenuhi rumusan tindak pidana, seseorang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang dianggap tidak melawan hukum dan oleh karena itu tidak dipidana. Selain itu, jika intelijen melakukan aktivitasnya karena menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, juga tidak dianggap melanggar hukum. Hal ini berdasarkan pasal 51 KUHP: barangsiapa melakukan perbuatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana. Keluasan dalam undang-undang ini adalah seseorang dapat melaksanakan undang-undang oleh dirinya sendiri, akan tetapi juga dapat menyuruh orang lain untuk melaksanakannya. Jika ia melaksanakan perintah tersebut maka ia tidak melakukan perbuatan melawan hukum. Dalam hukum Islam, Intelijen yang sedang melakukan tugas juga dilindungi dengan hukum jinayah. Artinya, hukuman terhadap intelijen dihapuskan karena melaksanakan kewajiban bagi pihak yang berwajib Kepala Negara, untuk menjamin keamanan dan keselamatan Negara. 92 Pembelaan hukum dalam hal ini sebagai alasan pembenaran mahkum fih karena berdasarkan kepentingan umum, amar ma’ruf nahi munkar, berdasarkan al-Qur’an al-Maidah [5] ayat 2 dan hadits Rasulullah Saw: ]ﻥ 8E _ `4a b ac5 ]ﻥ 8E `aﺙ`-a ` a ] a ]c c8 c`6 c8 ] ` M Q ` a “Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” QS. Al-Maidah 5: 2 X5 . D D T 8. T d eX5 -. ﻥ 84. eX5 -. f g ﺽ 48 4. 3 N N F7 “Barang siapa di antara kamu melihat kemungkaran, kemudian ia dapat mengubahnya dengan tanganya, maka ia hendaklah mengubah dengan tangan. Kalau tidak dapat dengan tangan, maka hendaklah dengan lisannya. Kalau tidak dapat maka dengan hatinya, dan ini adalah iman yang selemah- lemahnya.” 93 Berdasarkan al-Qur’an dan hadits di atas, maka hukum melakukan aktivitas intelijen Negara dalam Islam mendapatkn jaminan dan legal. Mengapa demikian? Amar ma’ruf 92 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2005, h. 164 93 Abi Dawud Sulaiman bin Asy’at al-Sajistani al-Azdari, Sunan Abi Dawud., h. 479 nahi munkar adalah suatu kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan. Pembelaan ini sekaligus memberikan teladan kepada masyarakat agar berdiri atas dasar hukum dan tidak melanggarnya. Jika agen intelijen melakukan ativitas melebihi dari kewenangannya, maka tidak ada jaminan hukum lagi. Dapat juga dijatuhkan sanksi hukum.

B. Sanksi Atas Tindakan Intelijen Tajassus