Deskripsi Teoretik KAJIAN TEORI
kehendak dan kebutuhannya maupun tanggapan-tanggapan terhadap anak dewasa. Participatory socialization lebih berpusat pada anak, daripada
orang tua, orang dewasa memikul tanggung jawab untuk memperhatikan kebutuhan anak, bukannya mengharapkan agar anak memperhatikan
kehendak orang tua.
19
Tabel 2.1: Dua cara sosialisasi Repressive socialization
Participatory socialization Menghukum perilaku yang keliru
Memberi imbalan bagi perilaku yang baik
Hukuman dan imbalan material Hukuman dan imbalan simbolis
Kepatuhan anak Otonomi anak
Komunikasi sebagai perintah Komunikasi sebagai interaksi
Komunikasi non-verbal Komunikasi verbal
Sosialisasi yang berpusat pada orang tua Sosialisasi yang berpusat pada anak
Anak memperhatikan keinganan orang tua Orangtua
memperhatikan keperluan
anak Keluarga merupakan significant other
Keluarga merupakan generalized other
Selain Jaeger pola sosialisasi juga dijelaskan oleh Kamanto Sunarto yang menerangkan,
“sosialisasi berdasarkan cara yang digunakan dapat berlangsung dalam dua bentuk, pertama sosialisasi represif ialah
sosialisasi yang menekankan pada kepatuhan anak dan penghukuman terhadap perilaku yang keliru. Kedua sosialisasi partisipatif ialah
sosialisasi yang menekankan pada otonomi anak dan memberikan imbalan
terhadap perilaku yang baik”.
20
Pola sosialisasi berdasarkan cara yang digunakan secara berbeda akan mempengaruhi anak dalam tingkat kemandirian, kepemimpinan dan
kemampuan untuk bekerja dengan orang lain. Sosialisasi partisipatif akan menghasilkan anak yang lebih mandiri, memiliki kemampuan memimpin
19
Sunarto , op. cit h.182 - 183.
20
Damsar, op.cit. h 68
dan berkerja sama yang lebih baik dibandingkan apabila diasuh dengan pola sosialisasi yang represif.
21
Pola sosialisasi dalam penelitian ini adalah pola sosialisasi yang diterapkan di sekolah yang dibedakan menjadi dua yaitu pesantren dan
sekolah umum. 1 Pola Sosialisasi Pesantren
Bila didefinisikan, pengertian pesantren sangat luas mengingat pola pembelajaran tiap pesantren sangat beragam dan berbeda antara satu
dengan lainnya. Secara terminologi pesantren dimaknai sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama islam, yang pada umumnya
pendidikan dan pengajaran tersebut diimplementasikan dengan cara non klasikal. Di mana seorang kyai mengajar santri berdasarkan kitab-
kitab yang bahasa Arab dari ulama-ulama besar sejak abad pertengahan, sedangkan para santrinya tinggal dalam pesantren.
22
Pesantren merupakan alternatif lembaga pendidikan yang berbeda dari sekolah umum lainnya. Banyak alasan mengapa orang-orang
memilih pesantren untuk belajar. Pesantren dibagi menjadi 2 macam yaitu :
a. Pesantren tradisional salaf merupakan jenis pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik sebagai inti
pendidikannya. Disiplin ilmu yang tidak ada kaitannya dengan agama pengetahuan umum tidak diajarkan. Selain itu sistem
pengajarannya pun masih menggunakan metode klasik. b. Pesantren modern khalaf merupakan jenis pesantren lebih
fleksibel dan terbuka dalam menerima hal-hal baru di samping tetap mempertahankan tradisi lama yang sudah ada.
23
21
Ibid. h 69
22
A. Malik MTT , Inovasi Kurikulum Berbasis Lokal Di Pondok Pesantren, Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2008 h 14 - 15
23
Ibid. h 16-20
Ciri-ciri pendidikan pesantren adalah sebagai berikut: 1. Adanya hubungan yang akrab antara santri dan kiainya
2. Kepatuhan santri pada kiai 3. Hidup hemat dan sederhana benar-benar diwujudkan dalam
lingkungan pesantren 4. Kemandirian amat terasa di pesantren
5. Jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan sangat mewarnai pergaulan di pesantren
6. Disiplin sangat dianjurkan 7. Keprihatinan untuk mencapai tujuan mulia
8. Pemberian ijazah, yaitu pencatuman nama dalam satu daftar
rantai pengalihan pengetahuan yang diberikan kepada santri- santri yang berprestasi.
24
Setiap pesantren memiliki ciri khusus baik dalam pengajaran, bangunan dan lainnya. Seperti di pondok pesantren salafiyah Sidogiri,
Pasuruan, Jawa Timur. Pondok pesantren ini konon memiliki koperasi pondok pesantren terbaik secara nasional. Sehingga mendidik
santrinya menjadi lulusan yang mandiri dalam masyarakat dan menonjolkan wirausaha. Selain itu prestasi ini memberikan dampak
kultural kepada guru dan santrinya, seperti memiliki etos kerja tinggi, percaya diri, jujur dalam berusaha, berani menanggung resiko dan
sebagainya. Pada saat bersamaan mereka juga menguasai bidang ilmu agama yang diajarkan di pesantren.
25
Secara umum, kepemimpinan pesantren sangat fleksibel tergantung kepada kapasitas dan kapabilitas kyai atau pengasuhnya. Dalam
mengakomodasi harapan-harapan masyarakat dengan cara-cara khas dan unik. Dalam Pesantren, kepemimpinan dilaksanakan di dalam
kelompok kebijakan yang melibatkan sejumlah pihak, di dalam tim program, di dalam organisasi guru, orang tua dan murid ustadz, wali
santri, dan santri. Kepemimpinan yang membaur ini menjadi faktor pendukung aktifitas sehari-hari di lingkungan pondok pesantren.
24
Sulthon Masyhud, Khusnuridlo, dkk, Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta : Diva Pustaka Jakarta, 2005 h 93
25
Ibid.h 27-28
Karena kepemimpinan pesantren bersifat unik, berbeda dari pembuatan keputusan dalam lembaga pendidikan formal yang
cenderung rasional ilmiah, teknik pembuatan keputusan di pesantren lebih bersifat emosional subyektif. Para kyai tidak akan tergesa-gesa
dalam mengambil keputusan terhadap suatu masalah. Mereka tidak hanya mempertimbangkan secara nalar, namun diikuti oleh gerakan
hati nuraninya yang paling dalam, tawassul kepada gurunya, dan tidak lupa menyandarkan secara vertikal munajat untuk beristikharoh kepada
Allah SWT. Gaya pengambilan keputusan ini lebih mendasarkan kepada budaya khas pesantren dan masih melekat dalam gaya
kepemimpinan kyai pesantren di tanah air.
26
Fungsi pelayanan bimbingan di pesantren sebagai berikut: a. Fungsi penyaluran distributive yaitu fungsi bimbingan dalam hal
membantu muridsantri
untuk memilih
jurusanspesialisasi pendidikan pesantren, jenis pesantren lanjutan, ataupun lapangan
pekerjaan sesuai dengan minat, bakat, cita-cita dan ciri-ciri pribadi yang lainnya.
b. Fungsi pengadaptasian adaptive yaitu fungsi bimbingan dalam membantu staf pesantren, khususnya guruustadzustadzah untuk
mengadaptasikan program pengajaran yang dibuat dengan minat, kemampuan, kebutuhan dan ciri-ciri pribadi muridsantri yang
lainnya. Fungsi ini sangat penting terutama bagi pesantren- pesantren yang menggunakan sistem modul.
c. Fungsi penyesuaian adjustive yaitu fungsi bimbingan dalam rangka membantu para santri untuk memperoleh penyesuaian
pribadi dan memperoleh kemajuan dalam perkembangannya secara optimal. Fungsi ini dilaksanakan dalam rangka membantu santri
mengidentifikasi, memahami, menghadapi, dan memecahkan masalah-masalah yang dihadapi.
27
26
Ibid.h 46
27
Ibid. h 132
Nilai filosofi dan ideologi pesantren dapat diwujudkan dengan banyak cara, termasuk lisan, perbuatan dan material. Secara lisan,
kultur pesantren dapat dilihat pada kemampuan warga pesantren dalam menyatakan tujuan dan sasaran lembaga pesantren, kurikulum, bahasa
yang digunakan setiap hari, metafor, sejarah organisasi, tokoh organisasi, dan struktur organisasi.
Dalam bentuk perilaku, ketiga aspek tersebut diwujudkan dalam ritual, upacara, pendekatan belajar mengajar, prosedur, aturan dan
perundangan pelaksanaan, penghargaan dan sanksi, dukungan sosial dan psikologis, serta pola-pola interaksi dengan masyarakat dan orang
tua santri. Adapun secara material, ketiga aspek tersebut diwujudkan dalam fasilitas dan perlengkapan, karya seni kaligrafi, motto dan
uniform. Kultur pesantren yang kuat ditunjukkan oleh ketaatan keseluruhan warga pesantren melaksanakan semua cara yang telah
disepakati.
28
Posisi pesantren diperjelas lagi ke dalam pola hubungan yang hendak dikembangkan. Apakah pesantren sebagai guru, pendamping,
atau sebagai simpul belajar. Pilihan sebagai guru akan melahirkan rumusan peran yang menggurui. Sebagai pendamping akan dituntut
untuk setara dengan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Jika terjadi perbedaan nilai antara pesantren nilai antara pesantren dengan
masyarakat maka bisa timbul situasi bersaing. Jika terjadi banyak kesamaan akan berpadu pesantren dan masyarakat akan berintegrasi.
Dan posisi sebagai simpul belajar akan menempatkan pesantren dalam peran menyediakan kesempatan yang memungkinkan warga untuk
belajar panduan-panduan utama dalam kehidupan baik yang bersumber dari kenyataan di masyarakat maupun dari ajaran-ajaran agama.
Pola hubugan pesantren dan masyarakat sebagai guru, pendamping atau simpul belajar bisa berubah tergantung pada bahan yang dipelajari.
Jika yang dipelajari adalah bagian dogma ajaran, maka mungkin sekali
28
Ibid. h 27 - 28
dan memang seharusnya pesantren berperan sebagai guru. Masyarakat membutuhkan informasi tentang panduan utama yang bersumber dari
dogma ajaran itu. Jika dogma ajaran itu berkaitan dengan peragaannya dalam kehidupan, misalnya perihal pendidikan keluarga, maka pola
hubungan yang terbangun bergeser menjadi pendamping. Dengan pola ini pesantren memahami bahwa masyarakat hidup dalam pergumulan
mereka sendiri. Yang terpenting dengan pilihan posisi itu adalah pesantren dapat memiliki sudut pandang yang tepat dalam memahami
masyarakat.
29
2 Pola Sosialisasi Sekolah Umum Menurut Zurinal, “Sekolah adalah lembaga pendidikan yang secara
resmi menyelenggarakan kegiatan pembelajaran secara sistematis, berencana, sengaja, dan terarah, yang dilakukan oleh pendidik yang
profesional, dengan program yang dituangkan ke dalam kurikulum tertentu, mulai dari tingkat Kanak-Kanak TK sampai Pendidikan
Tinggi PT ”.
30
Sekolah umum adalah sekolah yang mengikuti aturan dari pemerintah.
Dusek mencatat ada dua fungsi utama sekolah bagi remaja, yaitu “pertama, memberi kesempatan bagi remaja untuk tumbuh secara
sosial dan emosional. Kedua membekali mereka dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menjadi orang yang mandiri
secara ekonomi dan menjadi anggota masyarakat yang produktif ”.
31
Tujuan Pendidikan menurut Dewey ialah “membentuk manusia untuk menjadi warga negara yang baik”.
32
Untuk itu, di sekolah- sekolah diajarkan segala sesuatu kepada anak yang perlu bagi
29
Dian nafi, Abd A’la, dkk,Praksis Pembelajaran Pesantren, Yogyakarta: Forum Pesantren, 2009 h 113 - 114
30
Zurinal Z dan Wahyudi Sayuti, Ilmu Pendidikan Pengantar Dasar-dasar Pelaksanaan Pendidikan, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006 h 77
31
Desmita, op.cit. h 233
32
Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011 h 24
kehidupannya dalam masyarakat, sebagai anggota masyarakat dan sebagai warga negara.
Di samping menerima berbagai pelajaran dari guru, di sekolah anak-anak harus pula dididik perasaan sosialnya sebagai lanjutan
pendidikan sosial yang telah diterima anak-anak itu dari lingkungan keluarganya. Untuk itu, pendidikan kemasyarakatan di sekolah dapat
dilakukan secara praktis dan teoritis. Secara praktis yang pertama anak-anak dibiasakan datang dan
pergi kesekolah pada waktunya, masuk dan keluar sekolah pada waktunya pula. Kedua anak-anak harus diajar bekerja secara teratur,
baik bekerja perseorangan maupun bekerja kelompok. Dalam hal ini perasaan tanggung jawab pada anak-anak itu harus dipupuk. Ketiga
anak-anak harus dibiasakan melakukan segala sesuatu di sekolah menurut peraturan-peraturan yang berlaku di sekolah itu. Hal ini
penting sekali sebab di dalam masyarakat pun orang harus hidup menuruti peraturan-peraturan. Untuk itu, pengawasan dari pihak
pendidik sangat dibutuhkan. Dan keempat anak-anak diajar bergaul dan menyesuaikan diri dengan anak-anak lain disekolah, bekerja sama
dan saling membantu. Sedangkan secara teoritis terdapat dalam beberapa mata pelajaran seperti IPS, sejarah dan bahasa.
33
Sekolah tidak hanya dipandang sebagai penentuan tujuan secara khusus, melainkan juga sebagai ruang kehidupan sosial secara
keseluruhannya. Dalam ruang ini terlaksana apa yang disebut kehidupan sekolah.
Menurut Wilhelm Rein, dalam kehidupan sekolah dibedakan menjadi dua, pertama menunjukkan bahwa sekolah sebagai institusi
selalu menimbulkan bentuk suatu kehidupan sekolah, yaitu yang arti dalam lebih luas masih termasuk ke dalam pelajaran, dan bentuk-
bentuk yang dengan memperhatikan titik berat, maksudnya tidak dapat ditempatkan dalam jangkauan belajar mengajar. Kedua
33
Ibid. h. 172-173
mendekatkan pengalaman kepada kehidupan emosional para pelajar. Selain itu juga untuk mengungkapkan kriteria dalam pedagogik yang
mendasari kehidupan sekolah seperti pergaulan, perjumpaan, adat atau kebiasaan dan masyarakat.
34
Sekolah melakukan pembinaan pendidikan kepada peserta didik yang didasarkan kepada kepercayaan yang diberikan oleh keluarga
dan masyarakat. Kondisi itu muncul karena keluarga dan masyarakat memiliki keterbatasan dalam melaksanakan pendidikan. Tetapi,
tanggung jawab pendidikan anak seutuhnya menjadi tanggung jawab orangtua.
Sekolah hanya
meneruskan dan
mengembangkan pendidikan yang telah diperoleh di lingkungan keluarga sebagai
lingkungan pendidikan
informal yang
telah dikenal
anak sebelumnya.
35
Walaupun sekolah hanya mengembangkan pendidikan dari keluarga namun sekolahguru memiliki gaya kepemimpinan dan
komunikasi yang berbeda. Gaya kepemimpinan guru di sekolah dapat dibagi sedikitnya dalam
tiga jenis, yaitu: a Autokratik dicirikan dengan kepemimpinan yang otoriter, tidak
memberikan ruang bertukar pandanganpendapat, terhadap sesuatu antara guru dan murid, dan tidak memberikan ruang
bagi suatu perbedaan terhadap sesuatu. b Demokratik ditandai dengan kepemimpinan yang demokratis,
adanya ruang untuk bertukar pandanganpendapat dan kebaikan bersama dikonstruksikan secara bersama melalui musyawarah.
c Laisser-faire dikarakteristikan dengan kepemimpinan yang cuek dan bertukar pandanganpendapat tidak diperlakuan sebab
34
Herman Holstein, Murid Belajar Mandiri, Bandung: Remadja Karya, 1984 h. 159 - 160
35
Zurinal, op.cit. h 77
peserta didik dibolehkan melakukan apa saja apabila memandang sesuatu penting untuk dilakukan.
36
Gaya kepemimpinan guru di sekolah dapat memengaruhi cara berpikir, merasa dan bertindak siswa di kemudian hari. Selain
kepemimpinan guru, dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah terjadi komunikasi baik dalam situasi klasikal, kelompok ataupun
individual. Beberapa bentuk komunikasi dalam situasi tersebut adalah sebagai
berikut: a Penyampaian informasi lisan adalah Interaksi belajar mengajar
berintikan penyampaian informasi yang berupa pengetahuan terutama dari guru kepada siswa. Dalam keadaan ideal
informasi dapat pula disampaikan oleh siswa kepada guru dan kepada siswa yang lainnya. Informasi disampaikan oleh guru
dalam bentuk ceramah terhadap kelas atau kelompok.
b Penyampaian informasi secara tertulis adalah para guru kemungkinan juga berkomunikasi dengan siswanya secara
tertulis, berupa penyampaian bahan tertulis tulisannya sendiri atau karya orang lain supaya dibaca dan dipelajari oleh siswa.
c Komunikasi melalui media elektronika adalah komunikasi tidak langsung antara guru dan siswa karena menggunakan
media seperti video, film bergerak, televisi dan komputer. d Komunikasi dalam aktifitas kelompok adalah komunikasi
antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa bahkan antara siswa dengan manusia sumber di luar sekolah. Dalam berbagai
kegiatan kelompok dilakukan dengan cara diskusi kelompok, belajar kelompok, simulasi, permainan dan lain sebagainya.
37
Struktur komunikasi dua arah dialogis antara para siswa dan guru akan menciptakan ruang kelas yang dinamis dibandingkan dengan
komunikasi satu arah monologis. Struktur komunikasi antara guru dan siswa tidak lepas dari tipe kepemimpinan guru dalam kelas,
pandangan guru tentang hubungannya dengan siswa dan budaya sekolah yang melingkupinya.
Konsep disiplin memiliki esensi yang berkaitan dengan taat akan aturan yang ada dan komit terhadap rencana dan tujuan yang telah
36
Damsar. op.cit. h 105
37
Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009 h 261-262
dirancang. Namun berbeda dalam penerapannya, yang di dalamnya ada metode, penghargaan dan hukuman.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan, dalam kenyataannya tidak selalu memiliki aturan tentang kedisiplinan. Kalaupun ada hanya
beberapa pernyataan tentang boleh dan tidaknya sesuatu yang dilakukan oleh siswa selama berada dalam sekolah, sementara sanksi
dan hukuman terhadap sesuatu yang dilanggar bersifat tidak tertulis, sehingga kesan yang ditimbulkan adalah hukuman tergantung pada
siapa yang memutuskannya tanpa ada standar dan indikator yang dapat menjadi rujukan.
38
3. Penyesuaian Diri Menurut Desmita, “Penyesuaian diri merupakan suatu konstruk
psikologi yang luas dan kompleks, serta melibatkan semua reaksi individu terhadap tuntutan baik dari lingkungan luar maupun dari dalam diri
individu itu sendiri ”.
39
Dengan perkataan lain, masalah penyesuaian diri menyangkut seluruh aspek kepribadian individu dalam interksinya dengan
lingkungan dalam dan luar dirinya. Menyesuaikan diri itu pun diartikan dalam arti luas dan dapat berarti
mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan, tetapi juga mengubah lingkungan sesuai keadaan keinginan diri. Penyesuaian diri dalam arti
yang pertama disebut juga penyesuain diri autoplastis dibentuk sendiri, sedangkan penyesuaian diri yang kedua juga disebut penyesuaian diri yang
autoplastis alo = yang lain. Jadi penyesuaian diri mempunyai dua arti yaitu “pasif” artinya kegiatan ditentukan oleh lingkungan, dan “aktif”
artinya dipengaruhi lingkungan.
40
Menurut Woodwort, “pada dasarnya terdapat empat jenis hubungan
antara individu dengan lingkungannya. Individu dapat bertentangan dengan lingkungan, individu dapat menggunakan lingkungannya, individu
38
Damsar, op.cit. h 114
39
Desmita, op.cit. h. 191
40
W. A. Gerungan, Psikologi Sosial, Bandung: PT Refika Aditama, 2004 h. 59-60
dapat berpartisipasi ikut serta dengan lingkungannya, dan individu dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya
”.
41
Pada Prinsipnya penyesuaian diri adalah suatu proses yang mencakup respons mental dan tingkah laku, dengan mana individu berusaha untuk
dapat berhasil mengatasi kebutuhan-kebutuhan dalam dirinya, ketegangan- ketegangan, konflik-konflik dan frustasi yang dialaminya, sehingga
terwujud tingkat keselarasan atau harmoni antara tuntutan dari dalam diri dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan dimana ia tinggal.
Menurut Baum, “tingkah laku penyesuaian diri diawali dengan stres,
yaitu suatu keadaan di mana lingkungan mengancam atau membahayakan keberadaan atau kesejahteraan atau kenyamanan diri seseora
ng”.
42
Perbedaan individu ini dapat menyebabkan konsep penyesuaian diri menjadi relatif sifatnya, sehingga tidak dapat dibuat suatu pilihan cara-cara
menghadapi stres tertentu secara pasti. Menurut Schneider, penyesuaian diri itu dikatakan relatif karena
sebagai berikut: 1. Penyesuaian diri dirumuskan dan dievaluasi dalam pengertian
kemauan seseorang untuk mengubah atau untuk mengatasi tuntutan yang mengganggunya. Kemampuan ini berubah-ubah sesuai
dengan nilai-nilai kepribadian dan tahap perkembangannya. 2. Kualitas dari penyesuaian diri berubah-ubah terhadap beberapa hal
yang berhubungan dengan masyarakat dan kebudayaan. 3. Adanya variasi tertentu pada individu.
43
Secara garis besar penyesuaian diri yang sehat dapat dilihat dari empat aspek kepribadian, yaitu: kematangan emosional, kematangan intelektual,
kematangan sosial dan tanggung jawab. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri dilihat dari konsep
psikogenik dan sosiopsikogenik. Psikogenik memandang bahwa penyesuaian diri dipengaruhi oleh riwayat kehidupan sosial individu,
41
Ibid.
42
Desmita, op.cit. h. 193
43
Ibid. h. 194 - 195
terutama pengalaman khusus yang membentuk perkembangan psikologis. Pengalaman khusus ini lebih banyak berkaitan dengan latar belakang
kehidupan keluarga, terutama menyangkut aspek-aspek: a. Hubungan orang tua anak yang merujuk pada iklim hubungan
sosial dalam keluarga. Apakah hubungan tersebut bersifat demokratis atau otoriter yang mencakup :
1 Penerimaan-penolakan orangtua tehadap anak 2 Perlindungan dan kebebasan yang diberikan kepada anak
3 Sikap dominatif-integratif pemisif atau sharing 4 Pengembangan sikap mandiri-ketergantungan
b. Iklim intelektual keluarga, yang merujuk pada sejauh mana iklim keluarga memberikan kemudahan bagi perkembangan intelektual
anak, pengembangan berpikir logis atau irasional, yang mencakup :
1 Kesempatan untuk berdialog logis, tukar pendapat, dan gagasan 2 Kegemaran membaca dan minat kultural
3 Pengembangan kemampuan memecahkan masalah 4 Pengembangan hobi
5 Perhatian orangtua terhadap kegiatan belajar anak c. Iklim emosional keluarga, yang merujuk pada sejauh mana
stabilitas hubungan dan komunikasi di dalam keluarga terjadi, yang mencakup :
1 Intensitas kehadiran orangtua dalam keluarga 2 Hubungan persaudaraan dalam kelurga
3 Kehangatan hubungan ayah ibu
44
Sementara itu dilihat dari konsep sosiopsikogenik, penyesuaian diri dipengaruhi oleh faktor iklim lembaga sosial dimana individu terlibat
didalamnya. Bagi peserta didik, faktor sosiopsikogenik yang dominan mempengaruhi penyesuaian dirinya adalah sekolah yang mencakup:
44
Ibid. h. 196 -197
a. Hubungan guru - siswa, yang merujuk pada iklim hubungan sosial dalam sekolah, apakah hubungan tersebut bersifat demokratis atau
otoriter, yang mencakup: 1 Penerimaan-penolakan guru terhadap siswa
2 Sikap dominatif otoriter, kaku, banyak tuntutan atau integratif permisif, sharing, menghargai dan mengenal perbedaan
individu. 3 Hubungan yang bebas ketegangan atau penuh ketegangan
b. Iklim intelektual sekolah, yang merujuk pada sejauh mana perlakuan guru tehadap siswa dalam memberikan kemudahan bagi
perkembangan intelektual siswa sehingga tumbuh perasaan kompeten, yang mencakup:
1 Perhatian terhadap perbedaan individual siswa 2 Intensitas tugas-tugas belajar
3 Kecenderungan untuk mandiri atau berkonformitas pada siswa 4 Sistem penilaian
5 Kegiatan ektrakurikuler 6 Pengembangan inisiatif siswa
45
Sedangkan proses penyesuaian diri dapat dipandang dari dua perspektif yaitu:
a. Kualitas atau efisiensinya, berarti untuk menilai berhasil atau tidaknya proses proses penyesuaian diri. Ada empat kriteria
yang dapat digunakan : 1 Kepuasan Psikis yaitu penyesuaian diri yang berhasil akan
menimbulkan rasa tidak puas yang menjelma dalam bentuk perasaan kecewa, gelisah, lesu, depresi dan lainnya.
2 Efisiensi Kerja yaitu penyesuaian diri yang berhasil akan menampak dalam kerja atau kegiatan yang efisien,
sedangkan yang gagal menampak dalam kerja atau kegiatan yang tidak efisien.
45
Ibid
3 Gejala Fisik yaitu penyesuaian diri yang gagal akan tampak dalam gejala fisik.
4 Penerimaan Sosial yaitu penyesuaian diri yang berhasil akan menimbulkan reaksi setuju dari masyarakat,
sedangkan yang gagal akan mendapatkan reaksi tidak setuju dari masyarakat.
b. Proses berlangsungnya merupakan suatu proses progresif yang memungkinkan individu makin menguasai impuls-impuls dan
lingkungannya. Proses penyesuaian diri memiliki dua tipe: 1 Dalam rangka penyesuaian diri itu individu mengubah atau
menahan impuls-impuls dalam dirinya. 2 Dalam rangka penyesuaian diri itu individu mengubah
tuntutan atau kondisi-kondisi lingkungannya.
46
4. Definisi Mahasiswa Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
“Mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi
”.
47
Sedangkan Mahasiswa Menurut Para Ahli adalah sebagai berikut: a. Peraturan pemerintah RI No.30 tahun 1990 adalah peserta didik
yang terdaftar dan belajar di perguruan tinggi tertentu. b. Menurut Sarwono mahasiswa adalah setiap orang yang secara
resmi terdaftar untuk mengikuti pelajaran di perguruan tinggi dengan batas usia sekitar 18-30 tahun.
c. Menurut Knopfemacher mahasiswa adalah insan-insan calon sarjana yang dalam keterlibatannya dengan perguruan tinggi yang
makin menyatu dengan masyarakat, dididik dan diharapkan menjadi calon-calon intelektual.
48
46
Idi. op. cit. h 102-103
47
Departemen Pendidikan Indonesia, op. cit. h 856
48
Ahmad Bahtiar Sebayang, Definisi Mahasiswa Menurut Para Ahli, 2012 http:unpaztoday.wordpress.com
Dari pendapat di atas bisa dijelaskan bahwa mahasiswa adalah status yang disandang oleh seseorang karena hubungannya dengan
perguruan tinggi yang diharapkan menjadi calon-calon intelektual. 5. Definisi Pendidikan IPS Ilmu Pengetahuan Sosial
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang
dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses pembuatan, cara mendidik
”.
49
IPS dapat diartikan dengan penelaahan atau kajian tentang masyarakat. Dalam mengkaji masyarakat, guru dapat melakukan
kajian dari berbagai perspektif sosial, seperti kajian melalui pengajaran sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, politik, dan aspek
psikologi sosial yang disederhanakan untuk mencapai pembelajaran. Berikut pengertian IPS menurut beberapa ahli:
a. Nu’man Sumantri menyatakan bahwa IPS merupakan pelajaran
ilmu-ilmu sosial yang disederhanakan untuk pendidikan tingkat SD, SLTP, dan SLTA. Penyederhanaan mengandung arti:
1 menurunkan tingkat kesukaran ilmu-ilmu sosial yang biasanya dipelajari di universitas menjadi pelajaran yang sesuai dengan
kematangan berfikir siswa siswi sekolah dasar dan lanjutan. 2 mempertautkan dan memadukan bahan aneka cabang ilmu-ilmu
sosial dan kehidupan masyarakat sehingga menjadi pelajaran yang mudah dicerna.
b. S. Nasution mendefinisikan IPS sebagai pelajaran yang merupakan fusi atau paduan sejumlah mata pelajaran sosial. Dinyatakan bahwa
IPS merupakan bagian kurikulum sekolah yang berhubungan dengan peran manusia dalam masyarakat yang terdiri atas berbagai
49
Departemen Pendidikan Indonesia, op. cit. h 326
subjek sejarah , ekonomi, geografi, sosiologi, antropologi, dan psikologi sosial.
50
Dengan demikian, IPS bukan ilmu sosial dan pembelajaran IPS yang dilaksanakan baik pada pendidikan dasar maupun pada
pendidikan tinggi tidak menekankan pada aspek teoritis keilmuannya, tetapi aspek praktis dalam mempelajari, menelaah, mengkaji gejala dan
masalah sosial masyarakat, yang bobot dan keluasannya disesuaikan dengan jenjang pendidikan masing-masing. Kajian tentang masyarakat
dalam IPS dapat dilakukan dalam lingkungan yang terbatas, yaitu lingkungan sekitar sekolah atau siswa dan siswi atau dalam lingkungan
negara lain, baik yang ada di masa sekarang maupun di masa lampau. Dengan demikian siswa dan siswi yang mempelajari IPS dapat
menghayati masa sekarang dengan dibekali pengetahuan tentang masa lampau umat manusia.
Pendidikan IPS merupakan kemasan pengetahuan sosial yang telah dipertimbangkan secara psikologis untuk kepentingan pendidikan.
Melalui pendidikan IPS akan membekali kemampuan seseorang dalam pengembangan diri dari berbagai keterampilan sosial dalam
kehidupannya.
51