Pengaruh Pola Sosialisasi Terhadap Tingkat Penyesuaian Diri (Studi Kasus: Mahasiswa Jurusan Pendidikan IPS Semester VI FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
PENYESUAIAN DIRI
(Studi Kasus: Mahasiswa Jurusan Pendidikan IPS Semester VI FITK UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Amaliah
NIM 1110015000022
JURUSAN PENDIDIKAN IPS
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2014
(2)
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama NIM
.lurusan
: Amaliah
: I I10015000022
: IImu Pengetahuan Sosial (lPS)
MI]NYATAKAN DENGAN SESLTNGGUI'INYA
Bahwa skripsi yang berjudul "Pcngaruh Pola Sosialisasi fcrhadap fingkat Pcnyesuaian Diri (Studi Kasus: Mahasisrva Jurusan Pendidikan Il'S Semestcr
VI
FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta" adalah benar hasil karya sendiri di bawah bimbingan dosen Drs. Syaripulloh,M.Si.Demikian surat pemyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bcltar.rggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.
(3)
(Studi Kasus: Mahasiswa Jurusan Pendidikan IPS Semester VI FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Skripsi
Diajukan l(epada Fakultas llmLr Tarbiy'ah dan Keguruan unluk N.4emenubi Sy,ara,t
Menrperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh: Amaliah
NIM:
1110015000022Mengesahkan: Pembimbing Skripsi
Drs. Syaripulloh, M.Si NIP. 19670909 200701
t
033JI.IRUSAN
ILMII
PENGETAHUAN SOSIAL IIAKULTAS ILMTI TARBIYAH DAN KEGURTIANTINIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAE
JAKARTA
(4)
Pen;,esuaian
Diri
(Studi
Kasus: Mahasisu,aJurusan
penrlidikan IpS Semester VI FITK UIN SyarifHidayatullah Jakarta) disusun oleh AMALIAH Nomor Induk Mahasiswa I I 10015000022.
dia.lukan kepacia Fakulras IImu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah .lakarta
dan telah dinyatakan
lulus dalam Ujian Munaqasah pada tanggal
25 Seprenrber 2014 di hadapan deivan
penguji. Karena itu- penulis berhak memperoleh geJar
Sarjana
Sl
(S.pd) dalam bidang Pendidikan Ilmu pengerahuanSosial.
J akarta, 25 September 20 1 4
paoitia Ujian Munaqasah
Tanggal
Tanda TanganKetua Panitia (Ketua Jurusan/program Studi)
Dr. Iwan Purwanto, M.pd NIP. 19730424200801
I
0t2Sekretaris (Sekretaris Jurusan/program Studi) Drs. Syaripulloh, M.Si
NIP. 19670909200701
I
033Penguji I
Anissa Windarti, M.Sc
NIP. 19820802 201 101 2 00s
Penguji II
Drs. Nurochim, MM
NIP. t9590715198403
I
003Mengetahui
Dekan Fakultas Iimu Tarbiyah dan Keguruan
?4
/o
l'-
l.olu/"{"...-.
ry,fll
'J"
Nurlena{ifa'i MA. Ph.l) NIP. 19591020 198603 2 001
(5)
"Pengaruh Pola Sosialisasi Terhadap
Tingkat
penyesuaianDiri
(Studi Kasus: Mahasisrva Jurusan Pendidikan IPS SemesterVI
FITK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta" vang disusun oleh Amaliah,NIM
1110015000022. Program Studi Pendidikan IPS, FakultasIlmu
Tarbiyahdan
Keguruan,Universrtas Islarn Negeri Syaril Hidayatullah Jakarta, telah diuji kebenarannya oleh dosen peinbimbrng sliripsi pada tauggal 5 Septernber 201 .1.
Jakarta, 5 September 2014 Dosen Pembimbing Skripsi
-,,---....
-tt , \
<___"
a'-Drs. Syaripultoh, M.Si
(6)
i ABSTRAK
Amaliah (1110015000022). Pengaruh Pola Sosialisasi Terhadap Tingkat Penyesuaian Diri (Studi Kasus: Mahasiswa Jurusan Pendidikan IPS Semester VI FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pola sosialisasi terhadap tingkat penyesuaian diri.
Metode yang digunakan adalah metode survei dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian ini dilakukan di Jurusan Pendidikan IPS FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada bulan Mei-Juni. Sampel penelitian adalah mahasiswa Semester VI yang berlatar belakang pesantren dan sekolah umum.Teknik analisa data menggunakan korelasi Spearman dan regresi linier sederhana.
Hasil penelitian menunjukkan pola sosialisasi mempunyai pengaruh terhadap tingkat penyesuaian diri terbukti dari hasil yang menunjukkan thitung 5,559 > ttabel 2,002 ada hubungan antara kedua variabel terbukti dari hasil korelasi sebesar 0,477, angka tersebut menunjukkan korelasi yang cukup.
Kata Kunci: Pola Sosialisasi, Pesantren, Sekolah umum, Penyesuaian Diri dan Mahasiswa
(7)
ii ABSTRACT
Amaliah (1110015000022). The Influence of socialization system toward self adaptation level (A Case Study at UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3rd year Students of Social Studies Education)
This research is investigated to find out the effect of socialization toward self adaptation level.
The method which was used of this research is survey method by quantitative approach. This research was conducted at Social Studies Education FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta on May until June. Sample of the research are 3rd year students which has experienced stay at boarding school and public school. Technique of analyzing data used Spearman correlation and linier regression.
The result of the data point out that socialization system has an effect toward self adaptation level, it proved by the statistic result that showed thitung
5,559 < ttabel 2,002and there is a correlation between both variable which showed
that the result of correlation about 0,477 it shown that it was standard correlation number.
Keyword: Socialization system, Boarding School, Public School, Adaptation Level and University Students
(8)
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah
memberikan nikmat Iman, Islam, serta nikmat sehat wal’afiat sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Pola Sosialisasi Terhadap Tingkat Penyesuaian Diri (Studi Kasus: Mahasiswa Jurusan Pendidikan IPS Semester VI FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”. Shalawat serta salam tercurahkan kepada Rasulullah SAW, keluarga dan sahabatnya.
Penulisan Skripsi ini tidak mungkin selesai sebagaimana mestinya tanpa ada bantuan dari semua pihak baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu penulis menghaturkan ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Ibu Nurlena Rifa’i, MA, Ph.D serta para pembantu dekan.
2. Ketua Jurusan Pendidikan IPS, Bapak Dr. Iwan Purwanto, M.Pd beserta seluruh staf.
3. Bapak Drs. Syaripulloh, M.Si selaku sekretaris jurusan dan dosen pembimbing yang telah memberikan ilmu dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan ilmunya kepada penulis, semoga Bapak dan Ibu dosen selalu dalam rahmat dan lindungan Allah SWT. Sehingga ilmu yang telah diajarkan dapat bermanfaat dikemudian hari.
5. Kedua Orangtua Abah dan Mamah(H. Asep. Saefullah dan Hj. Nurhayati Nufus) yang selalu ada disaat penulis membutuhkan dukungan baik moril, materil maupun spiritual. Terimakasih yang tak terbatas semoga ini adalah bakti awal yang sedikit Ananda berikan untuk membahagiakan kalian. 6. Keluarga tercinta Kakak dan Adik (Kak Arif, Aa Emin dan ica), nenek
(9)
iv
yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Teman satu jurusan Pendidikan IPS angkatan 2010 yang selalu memberikan semangat.
8. Teman satu perjuangan kelas konsentrasi Sosiologi-Antropologi angkatan 2010terimakasih untuk semua kenangan manis yang kalian berikan dan sukses selalu untuk kita.
9. Sahabat-Sahabat di kampus (ade, mona, dini, nesa, oni, indri, desti, dan semua yang tidak bisa disebutkan satu persatu) terimakasih untuk ada disaat suka dan duka.
10. Keluarga kosan griya aini (Mbak ar, rina, nita, upi, reva, resti, dian, vina, asmi, kak dila, teh ica, kak findri, kokom, uma, kak umu, kak hikmah, yayan, dan lainnya) yang menjadi keluarga kedua penulis selama merantau di Ciputat.
11. Mahasiswa Semester VI Jurusan Pendidikan IPS FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah berkontribusi menjadi responden dalam penelitian ini.
12. Kepada Muhammad Nurul Amri yang tidak pernah lelah membantu penulis baik secara tenaga dan pikiran serta selalu memberikan motivasi dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
Pada akhirnya Tak ada gading yang tak retak, begitupun dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari masih banyak kesalahan dan kekurangannya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan para pembaca pada umumnya, semoga Allah SWT meridhoi dan dicatat sebagai ibadah disisi-Nya, Amin.
Jakarta, September 2014
(10)
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 7
C. Pembatasan Masalah ... 7
D. Rumusan Masalah ... 7
E. Tujuan Penelitian ... 7
F. Kegunaan Penelitian ... 8
BAB II: KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teoretik ... 9
1. Definisi Pengaruh ... 9
2. Pola Sosialisasi ... 10
3. Penyesuaian Diri ... 22
4. Definisi Mahasiswa ... 26
5. Definisi Pendidikan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) ... 27
B. Hasil Penelitian yang Relevan ... 28
C. Kerangka Berpikir ... 31
D. Hipotesis Penelitian ... 32
BAB III: METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 34
B. Metode dan Disain Penelitian ... 35
C. Populasi dan Sampel... 36
D. Teknik Pengumpulan Data ... 37
(11)
vi
F. Teknik Pengolahan Data ... 42
G. Teknik Analisis Data ... 44
BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data ... 47
B. Uji Prasyarat ... 61
C. Pengujian Hipotesis ... 62
D. Pembahasan Hasil Penelitian ... 66
E. Keterbatasan Penelitian ... 67
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 68
B. Saran ... 69
(12)
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Dua Cara Sosialisasi ... 13
Tabel 2.2 Kerangka Berpikir ... 31
Tabel 3.1 Rancangan Kegiatan ... 34
Tabel 3.2 Kisi-kisi Instrumen Penelitian ... 39
Tabel 3.3 Tingkatan dan Skor Skala Likert ... 41
Tabel 4.1 Uji Validitas ... 51
Tabel 4.2 Uji Reliabilitas ... 53
Tabel 4.3 Jumlah Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 53
Tabel 4.4 Jumlah Responden Berdasarkan Usia ... 53
Tabel 4.5 Jumlah Responden Berdasarkan Konsentrasi Jurusan ... 54
Tabel 4.6 Aturan Pesantren ... 54
Tabel 4.7 Hukuman Pesantren ... 55
Tabel 4.8 Hadiah Pesantren ... 56
Tabel 4.9 Komunikasi Pesantren ... 56
Tabel 4.10 Aturan Sekolah Umum ... 57
Tabel 4.11 Hukuman Sekolah Umum ... 58
Tabel 4.12 Hadiah Sekolah Umum ... 58
Tabel 4.13 Komunikasi Sekolah Umum ... 59
Tabel 4.14 Penyesuaian Diri Pesantren ... 59
Tabel 4.15 Penyesuaian Diri Sekolah Umum ... 60
Tabel 4.16 Hasil Uji Normalitas ... 61
Tabel 4.17 Hasil Uji Homogenitas ... 62
Tabel 4.18 Data ... 63
Tabel 4.19 Hasil Korelasi Spearman ... 64
(13)
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuesioner Penelitian ... 73
Lampiran 2 Pedoman Wawancara ... 78
Lampiran 3 Data Responden ... 79
Lampiran 4 Data Uji Validitas dan Reliabilitas ... 83
Lampiran 5 Hasil Uji Validitas ... 85
Lampiran 6 Hasil Wawancara ... 89
Lampiran 7 Hasil Angket ... 90
Lampiran 8 Hasil Uji Normalitas ... 94
Lampiran 9 r Tabel ... 95
Lampiran 10 t Tabel ... 96
Lampiran 11 Surat Izin Melakukan Penelitian ... 98
Lampiran 12 Lembar Uji Referensi ... 99
Lampiran 13 Biodata Penulis ... 106
(14)
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak lepas dari pengaruh orang lain. Ketika pergi ke kampus atau ke tempat lain, tidak bisa dengan seenaknya berpakaian menurut kehendak sendiri. Tunduk pada aturan atau kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Selama manusia hidup tidak akan lepas dari pengaruh masyarakat, karena itu manusia dikatakan sebagai makhluk sosial yang dalam hidupnya tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh orang lain.
Seseorang yang tidak hidup dengan manusia lainnya tidak akan dapat berinteraksi dengan orang lain. Hal ini terungkap dari kasus anak-anak yang ditemukan dalam keadaan terlantar (feral children). Ada kisah, yaitu seorang anak laki-laki berusia sekitar 11-12 tahun yang pada tahun 1900 di desa Saint-Serin, Perancis, dan telah ditemukan kasus gadis, berusia tiga belas tahun di California, Amerika Serikat yang disekap ayahnya dalam gudang gelap sejak berumur satu setengah tahun. Light kelller dan Calhoun mengisahkan kasus Anna yang semenjak bayi dikurung ibunya dalam gudang selama lima tahun.1
Dari kasus-kasus tersebut terungkap bahwa anak-anak yang ditemukan tersebut tidak berperilaku sebagai manusia. Mereka tidak dapat berpakaian, buang air besar kecil dengan tertib, atau berbicara. Anna tidak dapat makan
1
Kamanto sunarto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004), h 23.
(15)
sendiri atau mengunyah dan juga tidak dapat tertawa atau menangis, Genie tidak dapat berdiri tegak. Setelah berkomunikasi dengan masyarakat lambat laun anak-anak ini dapat mempelajari beberapa diantara kemampuan yang dimiliki manusia sebaya mereka, namun mereka tidak pernah tersosialisasi secara wajar dan cenderung meninggal pada usia muda.
Kasus ini memberikan gambaran mengenai apa yang terjadi bila seorang anak tidak disosialisasi dan menunjukkan bahwa meskipun mereka disosialisasi namun kemampuan mereka tidak dapat menyamai kemampuan anak lain yang sebaya dengan mereka. Kasus tersebut memberikan petunjuk bahwa kemampuan tertentu seperti kemampuan berbahasa hanya dapat diajarkan pada periode tertentu dalam kehidupan anak, bila proses sosialisasi terlambat dilaksanakan maka proses tersebut tidak akan berhasil atau hanya berhasil untuk sebagian saja.
Dalam proses sosialisasi, seseorang individu/anak didik belajar tentang perilaku, kebiasaan, dan pola-pola kebudayaan lain. Individu juga belajar tentang keterampilan sosial (social skills) seperti berbahasa, bergaul, berpakaian dan cara makan. Sosialisasi merupakan proses membimbing individu ke dalam dunia sosial.2
Salah satu teori peranan dikaitkan dengan sosialisasi oleh teori George Herbert Mead. Dalam teorinya yang diuraikan dalam buku mind, self and
society. Menurut Mead, “setiap anggota baru masyarakat harus mempelajari peranan-peranan yang ada dalam masyarakat. Sosialisasi adalah suatu proses dimana di dalamnya terjadi pengambilan peranan (role taking)”.3 Dalam proses ini seseorang belajar untuk mengetahui peranan yang harus dijalankan orang lain. Melalui penguasaan peranan yang ada dalam masyarakat ini seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain.
Hampir semua orang sepakat bahwa mengajarkan keterampilan sosial dan emosional yang pantas kepada anak merupakan prioritas utama dan kelak menjadi landasan mental yang sehat serta hidup yang menyenangkan. Anak
2
Abdullah Idi, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada , 2011), h 99
3
(16)
dilahirkan dengan tempramen yang berbeda dan tingkat kecerdasan emosional yang tidak sama. Meskipun demikian, mereka belajar bersikap, keterampilan berinteraktif, serta sifat-sifat baik selama masa-masa prasekolah.4
Setelah masa usia sekolah terjadilah perubahan hubungan anak dengan orangtua. Perubahan tersebut di antaranya disebabkan adanya peningkatan penggunaan waktu yang dilewati anak-anak bersama teman-teman sebayanya. Perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan sosial yang terjadi dalam perkembangan remaja mempunyai pengaruh yang besar terhadap relasi orangtua-remaja. Masa sekolah juga menyebabkan pembagian pola pengasuhan antara orangtua dan guru.
Dalam sosiologi pola asuh dikenal dengan istilah pola sosialisasi. Pola sosialisasi dibagi menjadi dua yaitu :
1. Pola sosialisasi represif yaitu sosialisasi yang didalamnya terdapat sangsi jika pihak-pihak yang tersosialisir seperti anak atau masyarakat melakukan pelanggaran. Ciri-ciri pola sosialisasi ini adalah menghukum perilaku yang di anggap keliru, hukuman dan imbalan, kepatuhan anak, komunikasi bersifat perintah, sosialisasi berpusat pada orang tua, anak memperhatikan orang tua dan keluarga merupakan dominasi orang tua.
2. Pola sosialisasi partisipatif adalah sosialisasi yang berupa rangsangan-rangsangan tertentu agar pihak yang tersosialisasi mau melakukan suatu tindakan. Ciri-ciri pola sosialisasi ini adalah memberikan imbalan bagi perilaku yang baik, hukuman dan imbalan simbolis, otonomi pihak yang disosialisasi, komunikasi sebagai interaksi, sosialisasi berpusat pada anak, orangtua memperhatikan keinginan anak dan keluarga merupakan kerja sama ke arah tujuan.5
4
Sylvia Rimm, Mendidik dan Menerapkan Disiplin pada Anak Prasekolah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003) h 27
5
Agus Santoso, Sosialisasi dan Pembentukan Kepribadian, 2009, (http://agsasman3yk.files.wordpress.com)
(17)
Setiap orang akan mengalami pola sosialisasi yang berbeda, hal tersebut dikarenakan pola asuh dan latar belakang yang tidak sama. Selain di keluarga, sekolah juga menerapkan pola sosialisasi.
Sekolah merupakan agen sosialisasi kedua setelah keluarga yang penting dalam kehidupan manusia. Sekolah perlahan menjadi agen pengganti terhadap apa yang dilakukan oleh keluarga, seiring dengan intensifnya anak memasuki ruang sosial dari ruang sekolah. Jadi sekolah mensosialisasikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, sehingga dipandang sebagai tempat yang menjadi transisi dari kehidupan keluarga ke dalam kehidupan masyarakat.6
Pengalaman atau latar belakang sekolah juga mempengaruhi perilaku seseorang. Ada yang berlatar belakang sekolah umum dan ada juga berlatar belakang pesantren.“sekolah merupakan salah satu institusi sosial yang mempengaruhi proses sosialisasi dan berfungsi mewariskan kebudayaan masyarakat kepada anak”.7
Sosialisasi identik dengan makna penyesuaian diri. Bagian dari pola sosialisasi seperti hukuman yang diberikan, bentuk komunikasi, aturan yang diterapkan dan cara bersosialisasi mempengaruhi bagaimana cara seseorang menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan.
Ada empat cara bagaimana lingkungan mempengaruhi perilaku. Pertama lingkungan menghalangi perilaku, akibatnya juga membatasi apa yang kita lakukan. Kedua lingkungan mengundang atau mendatangkan perilaku, menentukan bagaimana kita harus bertindak. Ketiga lingkungan membentuk diri, dan keempat lingkungan akan mempengaruhi citra diri.8
Terdapat banyak sekali peraturan dan tuntutan yang diberikan sekolah kepada peserta didik menyebabkan sumber stres yang mempengaruhi penyesuaian diri peserta didik. Pertama adalah tuntutan fisik (phsyical demands) yaitu stres siswa yang bersumber dari lingkungan fisik sekolah.
6
Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2011) h 72-74
7
Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007) h 186
8
R.S Satmoko, Psikologi Tentang Penyesuaian Dan Hubungan Kemanusiaan,
(18)
Dimensi-dimensi dari lingkungan fisik sekolah yang dapat menyebabkan terjadinya stres siswa ini meliputi, daftar pelajaran, keamanan, penjagaan serta sarana dan prasarana sekolah. Kedua tuntutan tugas (task demands)
yaitu tugas-tugas sekolah yang harus dikerjakan dan dihadapi oleh peserta didik yang menimbulkan perasaan tertekan dan stres seperti mematuhi disiplin sekolah, memenuhi tuntutan kurikulum dan menghadapi ujian atau ulangan. Ketiga adalah tuntutan peran (role demands) yaitu berhubungan dengan peran yang dipikul oleh siswa. Keempat tuntutan interpersonal (interpersonal demands) adalah yaitu siswa di tuntut mampu melakukan interaksi sosial dan menjalin hubungan baik dengan orang lain. Stres sekolah mempunyai dampak terhadap kehidupan pribadi anak, baik secara fisik, psikologis, maupun secara psikososial atau tingkah laku. 9
Dari hasil wawancara penulis menunjukkan bahwa mahasiswa lulusan pesantren lebih sering berinteraksi dengan orang lain dibandingkan mahasiswa lulusan sekolah umum hal ini ditunjukkan mahasiswa lulusan pesantren lebih banyak mengikuti organisasi dibandingkan mahasiswa lulusan sekolah umum. Selain itu mahasiswa lulusan pesantren lebih bersosialisasi dari mahasiswa lulusan sekolah umum karena mahasiswa lulusan pesantren mempunyai teman di setiap fakultas di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sedangkan mahasiswa lulusan sekolah umum mempunyai teman hanya di beberapa fakultas saja.10
Selain itu perilaku Mahasiswa lulusan pesantren dan Sekolah Umum juga diamati dan terdapat sebuah kasus di jurusan Pendidikan IPS Fakultas Tarbiah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mahasiswa yang lulusan pesantren memiliki banyak teman dibandingkan jurusan umum, hal itu terlihat ketika penulis dan teman sekelas yang berlatar belakang pesantren dan sekolah umum saat makan siang di cafe kampus. Anak yang lulusan
9
Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009) h 293 - 296
10
Hasil wawancara kepada salah satu mahasiswa UIN Syarif hidayatullah Jakarta di kampus yaitu Clara Safitri (lulusan pesantren) dan Ade Robiatu Syarfah (lulusan sekolah umum) kamis, 13 maret 2014
(19)
pesantren sering bertemu dan mengenal orang-orang disekitar cafe tersebut baik dari jurusan bahkan fakultas yang berbeda. Selain itu mahasiswa lulusan pesantren bisa cepat bersosialisasi dan menyesuaikan diri di lingkungan baru, dilihat saat diperkenalkan kepada teman kosan yang belum dikenalnya, anak lulusan pesantren ini dapat dengan mudah berkomunikasi dengan teman barunya itu. Dia mampu mengikuti alur pembicaraan teman barunya tersebut. Hal itu terlihat juga teman barunya mulai terbuka dan nyaman saat berkomunikasi dengan mahasiswa lulusan pesantren tersebut. Sedangkan ketika memperkenalkan anak lulusan sekolah umum kepada teman kosan, tidak langsung akrab atau saling mengobrol anak lulusan sekolah umum cenderung malu-malu dan segan kepada teman kosan itu.
Menurut Burgoon dalam teorinya adaptasi interaksi yaitu, “ketika anda berkomunikasi dengan orang lain, anda memiliki ide umum mengenai apa yang akan terjadi.”11 Perilaku awal dalam interaksi terdiri atas kombinasi dari perilaku verbal dan nonverbal yang mencerminkan posisi interaksi, faktor lingkungan dimana interaksi terjadi, dan tingkat keahlian yang di miliki. Namun, dalam kebanyakan interaksi, perilaku akan berubah begitu juga perilaku lawan bicara mulai saling memengaruhi.
Burgoon dan rekan-rekannya telah menemukan, “bahwa cara-cara kita menyesuaikan diri dengan orang lain sebagian besar tergantung pada seberapa jauh orang lain melanggar harapan kita untuk berperilaku”.12 Begitu juga dengan kasus yang ada pada mahasiswa Pendidikan IPS bahwa cara mereka menyesuaikan diri tergantung kepada lingkungan dan latar belakang.
Berdasarkan hasil paparan mengenai latar belakang masalah di atas penulis
merasa perlu untuk melakukan penelitian ini dengan judul “Perbedaan Pengaruh Pola Sosialisasi Terhadap Tingkat Penyesuaian Diri (Stui Kasus: Mahasiswa Jurusan Pendidikan IPS Semester VI FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)”.
11
Morissan, Psikologi Komunikasi, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010) h 120-121
12
(20)
B. Identifikasi Masalah
1. Adanya perubahan hubungan antara anak dengan orangtua dari masa prasekolah sampai sekolah.
2. Adanya adaptasi yang dicirikan oleh interaksi yang dilakukan antara mahasiswa yang berlatar belakang pesantren dan sekolah umum. 3. Adanya pengaruh pola sosialisasi pendidikan pesantren dan sekolah
umum.
4. Adanya perbedaan tingkat penyesuaian diri antara mahasiswa yang berlatar belakang pendidikan pesantren dan sekolah umum.
C. Pembatasan Masalah
Dari hasil identifikasi masalah tersebut maka pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Tingkat penyesuaian diri mahasiswa Jurusan Pendidikan IPS Semester VI FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berlatar belakang pesantren dan sekolah umum.
2. Pola sosialisasi mahasiswa Jurusan Pendidikan IPS Semester VI FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berlatar belakang pesantren dan sekolah umum.
D. Rumusan Masalah
1. Apakah pola sosialisasi mempunyai pengaruh terhadap tingkat penyesuaian diri mahasiswa jurusan pendidikan IPS Semester VI FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta?
E. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengaruh pola sosialisasi terhadap tingkat penyesuaian diri mahasiswa jurusan pendidikan IPS Semester VI FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
(21)
F. Kegunaan Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Menambah pengetahuan dan wawasan serta bahan dalam penerapan metode penelitian khususnya mengenai pengaruh pola sosialisasi terhadap tingkat penyesuaian diri.
a. Bagi peneliti
Dapat mengembangkan ilmu menambah pengetahuan teori yang diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan.
b. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat mengetahui pola sosialisasi yang diterapkan di sekolah baik pesantren maupun sekolah umum
c. Bagi masyarakat
Dapat dijadikan khazanah keilmuan dan referensi penelitian selajutnya.
2. Manfaat Praktis
Dapat dijadikan sebagai rujukan dalam menerapkan pola sosialisasi dan memilih sekolah.
a. Bagi Penelitian
Dapat memberikan informasi tentang pola sosialisasi yang diterapkan oleh pesantren dan sekolah umum serta mengetahui tingkat penyesuaian diri pada mahasiswa yang berlatar belakang pesantren dan sekolah umum.
b. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat dijadikan rujukan dalam penerapan pola sosialisasi untuk sekolah baik pesantren atau sekolah umum.
c. Bagi Masyarakat
(22)
9
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Deskripsi Teoretik 1. Definisi Pengaruh
Pengaruh adalah daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang, benda) yang ikut membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang.13 Pengaruh menurut para tokoh antara lain:
a. Uwe Becker, Pengaruh adalah kemampuan yang terus berkembang yang berbeda dengan kekuasaan tidak begitu terkait dengan usaha memperjuangkan dan memaksakan kepentingan.
b. Norman Barry, Pengaruh adalah suatu tipe kekuasaan yang jika seorang yang dipengaruhi agar bertindak dengan cara tertentu, dapat dikatakan terdorong untuk bertindak demikian, sekalipun ancaman sanksi yang terbuka tidak merupakan motivasi yang mendorongnya.
c. Albert R. Roberts & Gilbert, Pengaruh adalah wajah kekuasaan yang diperoleh oleh orang ketika mereka tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan.14
13
Departemen Pendidikan Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2008) h 1045
14
(23)
Dapat disimpulkan bahwa pengaruh merupakan suatu daya yang dapat membentuk atau mengubah sesuatu yang lain. Sehubungan dengan adanya penelitian yang dilakukan penulis, pengaruh merupakan bentuk hubungan sebab akibat antar variabel.
2. Pola Sosialisasi
Menurut Soerjono Soekanto, “Sosialisasi yaitu suatu proses dimana
anggota masyarakat yang baru mempelajari norma-norma dan nilai-nilai masyarakat dimana dia menjadi anggota”.15
Sedangkan Sosialisasi menurut para tokoh antara lain:
a. Kimball Young, mengatakan bahwa sosialisasi merupakan hubungan interaktif dimana seseorang dapat mempelajari kebutuhan sosial dan kultural yang menjadikan sebagai anggota masyarakat. Hal ini tampak bahwa sosialisasi merupakan suatu proses belajar kepada seseorang agar dapat mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat, agar nanti dapat hidup di masyarakat dengan layak.
b. Thomas Ford Hoult, mengatakan bahwa sosialisasi merupakan proses belajar individu untuk bertingkah laku sesuai dengan standar dalam kebudayaan suatu masyarakat.16
Sosialisasi dilaksanakan dengan berbagai cara yang berbeda oleh sejumlah besar orang, dan dalam berbagai konteks sosial. Orang tua, teman bermain, guru, rekan, kekasih, suami-istri, anak-anak kesemuanya memegang peranan, dan mereka melakukan hal itu dalam semua lingkungan yang mungkin ada. Sosialisasi dapat dilakukan dengan sengaja ataupun tidak, bersifat formal ataupun informal. Sosialisasi mungkin memerlukan perjumpaan tatap muka, tetapi sosialisasi dilakukan pula dari jarak tertentu, melalui surat, buku dan media massa. Orang yang disosialisasikan dapat bersifat relatif pasif ataupun aktif tergantung pada
15
Soerjono soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1982) h 59
16
(24)
sampai seberapa jauh mereka dapat mempengaruhi orang yang melakukan sosialisasi atau menuntun sosialisasi diri mereka sendiri. Sosialisasi dapat dilaksanakan demi kepentingan orang yang disosialisasikan atau orang yang melakukan sosialisasi, dan kedua kepentingan tersebut dapat sepadan atau bertentangan. Sosialisasi sering berlangsung secara lancar dengan sedikit saja kesadaran bahwa seseorang sedang membentuk atau dibentuk, sedang mengendalikan atau dikendalikan. Tetapi sosialisasi dapat pula bersifat kasar, dan bahkan kejam, dengan kesadaran bersama mengenai adanya paksaan dan konflik.
Dikala individu melangkah dari suatu tahap ke tahap berikutnya di dalam siklus kehidupan, cara belajar dan agen sosialisasi yang berbeda-beda saling mengikuti secara sedikit banyak teratur. Dalam masyarakat yang homogen, tempat berbagai kelompok yang mensosialisasi individu cenderung untuk menganut nilai-nilai yang sama, sosialisasi dapat memberikan kepada individu suatu perasaan menjalani suatu karier kehidupan yang tidak terputus-putus, yang didalamnya setiap tahap menimbulkan tahap berikutnya, dan seluruh pengalaman berjalan serasi menurut suatu pola yang bermakna.17
Apabila mengacu pada cara-cara yang dipakai dalam sosialisasi terdapat dua pola, Menurut Jaeger pola sosialisasi tersebut adalah sebagai berikut:
a. Sosialisasi Represif (Repressive Socialization) yaitu menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Ciri lain seperti penekanan pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan, penekanan pada kepatuhan anak pada orang tua, penekanan pada komunikasi yang bersifat satu arah, nonverbal dan berisi perintah, penekanan titik berat sosialisasi pada orang tua dan pada keinginan orang tua dan peran keluarga sebagai significant other.
17
Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi: Suatu Bunga Rampai, (Yayasan Obor Indonesia, 1985) h 169 - 170
(25)
b. Sosialisasi Partisipatoris (Participatory Socialization) merupakan pola di dalamnya anak diberi imbalan manakala berprilaku baik , hukuman dan imbalan bersifat simbolik, anak diberi kebebasan, penekaan diletakkan pada interaksi, komunikasi bersifat lisan, anak menjadi pusat sosialisasi, keperluan anak dianggap penting dan keluarga menjadi generalized other.18
Pada prinsipnya, participatory socialization memberikan kepada anak kebebasan untuk mencoba-coba segala sesuatu sendiri dan untuk menjelajahi dunia menurut keinginan sendiri. Ini tidaklah berarti bahwa sang anak dibiarkan sendiri saja. Bahkan sebaliknya, pengawasan orang tua banyak diperlukan, tetapi pengawasan tersebut lebih bersifat umum, dan bukan terperinci dan mencampuri. Repressive socialization
memerlukan pengawasan pula bahkan pengawasan yang terperinci sehingga dalam praktek sosialisasi tersebut mengalami banyak perubahan. Sebagai akibatnya, dari sudut pandangan sang anak hukuman tersebut dilaksanakan secara sekehendak hati, tergantung pada apakah ia kedapatan sedang berperilaku keliru dan apakah orang tua berhasrat untuk melaksanakan hukuman
Pada dasarnya repressive socialization menitikberatkan ketaatan, hormat kepada atasan dan pengendalian dari luar. Orang tua mungkin menuruti kehendak anak, tetapi mungkin juga mempergunakan hukuman badan, rasa malu, dan cemoohan. Percakapan dua arah antara orang tua dengan anak tidak dianjurkan. Komunikasi cenderung untuk mengarah ke bawah, dari orang tua ke anak, serta berbentuk perintah. Penggunaan gerak tangan dan komunikasi nonverbal bersifat menyolok. Sang anak harus belajar untuk memperhatikan kesungguhan dari perintah orang tua untuk tutup mulut atau turun dengan jalan memperhatikan nada suara, ekspresi muka, dan sikap tubuh.
Dalam participatory socialization komunikasi berbentuk dialog yang memberikan kemungkinan kepada anak-anak untuk mengungkapkan
18
(26)
kehendak dan kebutuhannya maupun tanggapan-tanggapan terhadap anak dewasa. Participatory socialization lebih berpusat pada anak, daripada orang tua, orang dewasa memikul tanggung jawab untuk memperhatikan kebutuhan anak, bukannya mengharapkan agar anak memperhatikan kehendak orang tua.19
Tabel 2.1: Dua cara sosialisasi
Repressive socialization Participatory socialization
Menghukum perilaku yang keliru Memberi imbalan bagi perilaku yang baik
Hukuman dan imbalan material Hukuman dan imbalan simbolis
Kepatuhan anak Otonomi anak
Komunikasi sebagai perintah Komunikasi sebagai interaksi
Komunikasi non-verbal Komunikasi verbal
Sosialisasi yang berpusat pada orang tua Sosialisasi yang berpusat pada anak Anak memperhatikan keinganan orang tua Orangtua memperhatikan keperluan
anak
Keluarga merupakan significant other Keluarga merupakan generalized other
Selain Jaeger pola sosialisasi juga dijelaskan oleh Kamanto Sunarto yang menerangkan, “sosialisasi berdasarkan cara yang digunakan dapat berlangsung dalam dua bentuk, pertama sosialisasi represif ialah sosialisasi yang menekankan pada kepatuhan anak dan penghukuman terhadap perilaku yang keliru. Kedua sosialisasi partisipatif ialah sosialisasi yang menekankan pada otonomi anak dan memberikan imbalan
terhadap perilaku yang baik”. 20
Pola sosialisasi berdasarkan cara yang digunakan secara berbeda akan mempengaruhi anak dalam tingkat kemandirian, kepemimpinan dan kemampuan untuk bekerja dengan orang lain. Sosialisasi partisipatif akan menghasilkan anak yang lebih mandiri, memiliki kemampuan memimpin
19
Sunarto , op. cit h.182 - 183.
20
(27)
dan berkerja sama yang lebih baik dibandingkan apabila diasuh dengan pola sosialisasi yang represif.21
Pola sosialisasi dalam penelitian ini adalah pola sosialisasi yang diterapkan di sekolah yang dibedakan menjadi dua yaitu pesantren dan sekolah umum.
1) Pola Sosialisasi Pesantren
Bila didefinisikan, pengertian pesantren sangat luas mengingat pola pembelajaran tiap pesantren sangat beragam dan berbeda antara satu dengan lainnya. Secara terminologi pesantren dimaknai sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama islam, yang pada umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut diimplementasikan dengan cara non klasikal. Di mana seorang kyai mengajar santri berdasarkan kitab-kitab yang bahasa Arab dari ulama-ulama besar sejak abad pertengahan, sedangkan para santrinya tinggal dalam pesantren.22
Pesantren merupakan alternatif lembaga pendidikan yang berbeda dari sekolah umum lainnya. Banyak alasan mengapa orang-orang memilih pesantren untuk belajar.
Pesantren dibagi menjadi 2 macam yaitu :
a. Pesantren tradisional (salaf) merupakan jenis pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik sebagai inti pendidikannya. Disiplin ilmu yang tidak ada kaitannya dengan agama (pengetahuan umum) tidak diajarkan. Selain itu sistem pengajarannya pun masih menggunakan metode klasik.
b. Pesantren modern ( khalaf) merupakan jenis pesantren lebih fleksibel dan terbuka dalam menerima hal-hal baru di samping tetap mempertahankan tradisi lama yang sudah ada.23
21
Ibid. h 69
22
A. Malik MTT , Inovasi Kurikulum Berbasis Lokal Di Pondok Pesantren, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2008) h 14 - 15
23
(28)
Ciri-ciri pendidikan pesantren adalah sebagai berikut:
1. Adanya hubungan yang akrab antara santri dan kiainya 2. Kepatuhan santri pada kiai
3. Hidup hemat dan sederhana benar-benar diwujudkan dalam lingkungan pesantren
4. Kemandirian amat terasa di pesantren
5. Jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan sangat mewarnai pergaulan di pesantren
6. Disiplin sangat dianjurkan
7. Keprihatinan untuk mencapai tujuan mulia
8. Pemberian ijazah, yaitu pencatuman nama dalam satu daftar rantai pengalihan pengetahuan yang diberikan kepada santri- santri yang berprestasi. 24
Setiap pesantren memiliki ciri khusus baik dalam pengajaran, bangunan dan lainnya. Seperti di pondok pesantren salafiyah Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur. Pondok pesantren ini konon memiliki koperasi pondok pesantren terbaik secara nasional. Sehingga mendidik santrinya menjadi lulusan yang mandiri dalam masyarakat dan menonjolkan wirausaha. Selain itu prestasi ini memberikan dampak kultural kepada guru dan santrinya, seperti memiliki etos kerja tinggi, percaya diri, jujur dalam berusaha, berani menanggung resiko dan sebagainya. Pada saat bersamaan mereka juga menguasai bidang ilmu agama yang diajarkan di pesantren.25
Secara umum, kepemimpinan pesantren sangat fleksibel tergantung kepada kapasitas dan kapabilitas kyai atau pengasuhnya. Dalam mengakomodasi harapan-harapan masyarakat dengan cara-cara khas dan unik. Dalam Pesantren, kepemimpinan dilaksanakan di dalam kelompok kebijakan yang melibatkan sejumlah pihak, di dalam tim program, di dalam organisasi guru, orang tua dan murid (ustadz, wali santri, dan santri). Kepemimpinan yang membaur ini menjadi faktor pendukung aktifitas sehari-hari di lingkungan pondok pesantren.
24
Sulthon Masyhud, Khusnuridlo, dkk, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta : Diva Pustaka Jakarta, 2005) h 93
25
(29)
Karena kepemimpinan pesantren bersifat unik, berbeda dari pembuatan keputusan dalam lembaga pendidikan formal yang cenderung rasional ilmiah, teknik pembuatan keputusan di pesantren lebih bersifat emosional subyektif. Para kyai tidak akan tergesa-gesa dalam mengambil keputusan terhadap suatu masalah. Mereka tidak hanya mempertimbangkan secara nalar, namun diikuti oleh gerakan hati nuraninya yang paling dalam, tawassul kepada gurunya, dan tidak lupa menyandarkan secara vertikal munajat untuk beristikharoh kepada Allah SWT. Gaya pengambilan keputusan ini lebih mendasarkan kepada budaya khas pesantren dan masih melekat dalam gaya kepemimpinan kyai pesantren di tanah air.26
Fungsi pelayanan bimbingan di pesantren sebagai berikut:
a. Fungsi penyaluran (distributive) yaitu fungsi bimbingan dalam hal membantu murid/santri untuk memilih jurusan/spesialisasi pendidikan pesantren, jenis pesantren lanjutan, ataupun lapangan pekerjaan sesuai dengan minat, bakat, cita-cita dan ciri-ciri pribadi yang lainnya.
b. Fungsi pengadaptasian (adaptive) yaitu fungsi bimbingan dalam membantu staf pesantren, khususnya guru/ustadz/ustadzah untuk mengadaptasikan program pengajaran yang dibuat dengan minat, kemampuan, kebutuhan dan ciri-ciri pribadi murid/santri yang lainnya. Fungsi ini sangat penting terutama bagi pesantren-pesantren yang menggunakan sistem modul.
c. Fungsi penyesuaian (adjustive) yaitu fungsi bimbingan dalam rangka membantu para santri untuk memperoleh penyesuaian pribadi dan memperoleh kemajuan dalam perkembangannya secara optimal. Fungsi ini dilaksanakan dalam rangka membantu santri mengidentifikasi, memahami, menghadapi, dan memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. 27
26
Ibid.h 46
27
(30)
Nilai filosofi dan ideologi pesantren dapat diwujudkan dengan banyak cara, termasuk lisan, perbuatan dan material. Secara lisan, kultur pesantren dapat dilihat pada kemampuan warga pesantren dalam menyatakan tujuan dan sasaran lembaga pesantren, kurikulum, bahasa yang digunakan setiap hari, metafor, sejarah organisasi, tokoh organisasi, dan struktur organisasi.
Dalam bentuk perilaku, ketiga aspek tersebut diwujudkan dalam ritual, upacara, pendekatan belajar mengajar, prosedur, aturan dan perundangan pelaksanaan, penghargaan dan sanksi, dukungan sosial dan psikologis, serta pola-pola interaksi dengan masyarakat dan orang tua santri. Adapun secara material, ketiga aspek tersebut diwujudkan dalam fasilitas dan perlengkapan, karya seni (kaligrafi), motto dan uniform. Kultur pesantren yang kuat ditunjukkan oleh ketaatan keseluruhan warga pesantren melaksanakan semua cara yang telah disepakati.28
Posisi pesantren diperjelas lagi ke dalam pola hubungan yang hendak dikembangkan. Apakah pesantren sebagai guru, pendamping, atau sebagai simpul belajar. Pilihan sebagai guru akan melahirkan rumusan peran yang menggurui. Sebagai pendamping akan dituntut untuk setara dengan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Jika terjadi perbedaan nilai antara pesantren nilai antara pesantren dengan masyarakat maka bisa timbul situasi bersaing. Jika terjadi banyak kesamaan akan berpadu pesantren dan masyarakat akan berintegrasi. Dan posisi sebagai simpul belajar akan menempatkan pesantren dalam peran menyediakan kesempatan yang memungkinkan warga untuk belajar panduan-panduan utama dalam kehidupan baik yang bersumber dari kenyataan di masyarakat maupun dari ajaran-ajaran agama.
Pola hubugan pesantren dan masyarakat sebagai guru, pendamping atau simpul belajar bisa berubah tergantung pada bahan yang dipelajari. Jika yang dipelajari adalah bagian dogma ajaran, maka mungkin sekali
28
(31)
dan memang seharusnya pesantren berperan sebagai guru. Masyarakat membutuhkan informasi tentang panduan utama yang bersumber dari dogma ajaran itu. Jika dogma ajaran itu berkaitan dengan peragaannya dalam kehidupan, misalnya perihal pendidikan keluarga, maka pola hubungan yang terbangun bergeser menjadi pendamping. Dengan pola ini pesantren memahami bahwa masyarakat hidup dalam pergumulan mereka sendiri. Yang terpenting dengan pilihan posisi itu adalah pesantren dapat memiliki sudut pandang yang tepat dalam memahami masyarakat.29
2) Pola Sosialisasi Sekolah Umum
Menurut Zurinal, “Sekolah adalah lembaga pendidikan yang secara
resmi menyelenggarakan kegiatan pembelajaran secara sistematis, berencana, sengaja, dan terarah, yang dilakukan oleh pendidik yang profesional, dengan program yang dituangkan ke dalam kurikulum tertentu, mulai dari tingkat Kanak-Kanak (TK) sampai Pendidikan Tinggi (PT)”.30 Sekolah umum adalah sekolah yang mengikuti aturan dari pemerintah.
Dusek mencatat ada dua fungsi utama sekolah bagi remaja, yaitu
“pertama, memberi kesempatan bagi remaja untuk tumbuh secara sosial dan emosional. Kedua membekali mereka dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menjadi orang yang mandiri secara ekonomi dan menjadi anggota masyarakat yang produktif”.31
Tujuan Pendidikan menurut Dewey ialah “membentuk manusia
untuk menjadi warga negara yang baik”.32
Untuk itu, di sekolah-sekolah diajarkan segala sesuatu kepada anak yang perlu bagi
29Dian nafi, Abd A’la, dkk
,Praksis Pembelajaran Pesantren, (Yogyakarta: Forum
Pesantren, 2009) h 113 - 114
30
Zurinal Z dan Wahyudi Sayuti, Ilmu Pendidikan Pengantar & Dasar-dasar
Pelaksanaan Pendidikan, ( Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006) h 77
31
Desmita, op.cit. h 233
32
Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011) h 24
(32)
kehidupannya dalam masyarakat, sebagai anggota masyarakat dan sebagai warga negara.
Di samping menerima berbagai pelajaran dari guru, di sekolah anak-anak harus pula dididik perasaan sosialnya sebagai lanjutan pendidikan sosial yang telah diterima anak-anak itu dari lingkungan keluarganya. Untuk itu, pendidikan kemasyarakatan di sekolah dapat dilakukan secara praktis dan teoritis.
Secara praktis yang pertama anak-anak dibiasakan datang dan pergi kesekolah pada waktunya, masuk dan keluar sekolah pada waktunya pula. Kedua anak-anak harus diajar bekerja secara teratur, baik bekerja perseorangan maupun bekerja kelompok. Dalam hal ini perasaan tanggung jawab pada anak-anak itu harus dipupuk. Ketiga anak-anak harus dibiasakan melakukan segala sesuatu di sekolah menurut peraturan-peraturan yang berlaku di sekolah itu. Hal ini penting sekali sebab di dalam masyarakat pun orang harus hidup menuruti peraturan-peraturan. Untuk itu, pengawasan dari pihak pendidik sangat dibutuhkan. Dan keempat anak-anak diajar bergaul dan menyesuaikan diri dengan anak-anak lain disekolah, bekerja sama dan saling membantu. Sedangkan secara teoritis terdapat dalam beberapa mata pelajaran seperti IPS, sejarah dan bahasa.33
Sekolah tidak hanya dipandang sebagai penentuan tujuan secara khusus, melainkan juga sebagai ruang kehidupan sosial secara keseluruhannya. Dalam ruang ini terlaksana apa yang disebut kehidupan sekolah.
Menurut Wilhelm Rein, dalam kehidupan sekolah dibedakan menjadi dua, pertama menunjukkan bahwa sekolah sebagai institusi selalu menimbulkan bentuk suatu kehidupan sekolah, yaitu yang arti dalam lebih luas masih termasuk ke dalam pelajaran, dan bentuk-bentuk yang dengan memperhatikan titik berat, maksudnya tidak dapat ditempatkan dalam jangkauan belajar mengajar. Kedua
33
(33)
mendekatkan pengalaman kepada kehidupan emosional para pelajar. Selain itu juga untuk mengungkapkan kriteria dalam pedagogik yang mendasari kehidupan sekolah seperti pergaulan, perjumpaan, adat atau kebiasaan dan masyarakat. 34
Sekolah melakukan pembinaan pendidikan kepada peserta didik yang didasarkan kepada kepercayaan yang diberikan oleh keluarga dan masyarakat. Kondisi itu muncul karena keluarga dan masyarakat memiliki keterbatasan dalam melaksanakan pendidikan. Tetapi, tanggung jawab pendidikan anak seutuhnya menjadi tanggung jawab orangtua. Sekolah hanya meneruskan dan mengembangkan pendidikan yang telah diperoleh di lingkungan keluarga sebagai lingkungan pendidikan informal yang telah dikenal anak sebelumnya.35
Walaupun sekolah hanya mengembangkan pendidikan dari keluarga namun sekolah/guru memiliki gaya kepemimpinan dan komunikasi yang berbeda.
Gaya kepemimpinan guru di sekolah dapat dibagi sedikitnya dalam tiga jenis, yaitu:
a) Autokratik dicirikan dengan kepemimpinan yang otoriter, tidak memberikan ruang bertukar pandangan/pendapat, terhadap sesuatu antara guru dan murid, dan tidak memberikan ruang bagi suatu perbedaan terhadap sesuatu.
b) Demokratik ditandai dengan kepemimpinan yang demokratis, adanya ruang untuk bertukar pandangan/pendapat dan kebaikan bersama dikonstruksikan secara bersama melalui musyawarah. c) Laisser-faire dikarakteristikan dengan kepemimpinan yang
cuek dan bertukar pandangan/pendapat tidak diperlakuan sebab
34
Herman Holstein, Murid Belajar Mandiri, (Bandung: Remadja Karya, 1984) h. 159 - 160
35
(34)
peserta didik dibolehkan melakukan apa saja apabila memandang sesuatu penting untuk dilakukan. 36
Gaya kepemimpinan guru di sekolah dapat memengaruhi cara berpikir, merasa dan bertindak siswa di kemudian hari. Selain kepemimpinan guru, dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah terjadi komunikasi baik dalam situasi klasikal, kelompok ataupun individual.
Beberapa bentuk komunikasi dalam situasi tersebut adalah sebagai berikut:
a) Penyampaian informasi lisan adalah Interaksi belajar mengajar berintikan penyampaian informasi yang berupa pengetahuan terutama dari guru kepada siswa. Dalam keadaan ideal informasi dapat pula disampaikan oleh siswa kepada guru dan kepada siswa yang lainnya. Informasi disampaikan oleh guru dalam bentuk ceramah terhadap kelas atau kelompok.
b) Penyampaian informasi secara tertulis adalah para guru kemungkinan juga berkomunikasi dengan siswanya secara tertulis, berupa penyampaian bahan tertulis tulisannya sendiri atau karya orang lain supaya dibaca dan dipelajari oleh siswa. c) Komunikasi melalui media elektronika adalah komunikasi
tidak langsung antara guru dan siswa karena menggunakan media seperti video, film bergerak, televisi dan komputer. d) Komunikasi dalam aktifitas kelompok adalah komunikasi
antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa bahkan antara siswa dengan manusia sumber di luar sekolah. Dalam berbagai kegiatan kelompok dilakukan dengan cara diskusi kelompok, belajar kelompok, simulasi, permainan dan lain sebagainya.37 Struktur komunikasi dua arah (dialogis) antara para siswa dan guru akan menciptakan ruang kelas yang dinamis dibandingkan dengan komunikasi satu arah (monologis). Struktur komunikasi antara guru dan siswa tidak lepas dari tipe kepemimpinan guru dalam kelas, pandangan guru tentang hubungannya dengan siswa dan budaya sekolah yang melingkupinya.
Konsep disiplin memiliki esensi yang berkaitan dengan taat akan aturan yang ada dan komit terhadap rencana dan tujuan yang telah
36
Damsar. op.cit. h 105
37
Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009) h 261-262
(35)
dirancang. Namun berbeda dalam penerapannya, yang di dalamnya ada metode, penghargaan dan hukuman.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan, dalam kenyataannya tidak selalu memiliki aturan tentang kedisiplinan. Kalaupun ada hanya beberapa pernyataan tentang boleh dan tidaknya sesuatu yang dilakukan oleh siswa selama berada dalam sekolah, sementara sanksi dan hukuman terhadap sesuatu yang dilanggar bersifat tidak tertulis, sehingga kesan yang ditimbulkan adalah hukuman tergantung pada siapa yang memutuskannya tanpa ada standar dan indikator yang dapat menjadi rujukan.38
3. Penyesuaian Diri
Menurut Desmita, “Penyesuaian diri merupakan suatu konstruk
psikologi yang luas dan kompleks, serta melibatkan semua reaksi individu terhadap tuntutan baik dari lingkungan luar maupun dari dalam diri individu itu sendiri”.39 Dengan perkataan lain, masalah penyesuaian diri menyangkut seluruh aspek kepribadian individu dalam interksinya dengan lingkungan dalam dan luar dirinya.
Menyesuaikan diri itu pun diartikan dalam arti luas dan dapat berarti mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan, tetapi juga mengubah lingkungan sesuai keadaan (keinginan) diri. Penyesuaian diri dalam arti yang pertama disebut juga penyesuain diri autoplastis (dibentuk sendiri), sedangkan penyesuaian diri yang kedua juga disebut penyesuaian diri yang autoplastis (alo = yang lain). Jadi penyesuaian diri mempunyai dua arti
yaitu “pasif” artinya kegiatan ditentukan oleh lingkungan, dan “aktif”
artinya dipengaruhi lingkungan.40
Menurut Woodwort, “pada dasarnya terdapat empat jenis hubungan antara individu dengan lingkungannya. Individu dapat bertentangan dengan lingkungan, individu dapat menggunakan lingkungannya, individu
38
Damsar, op.cit. h 114
39
Desmita, op.cit. h. 191
40
(36)
dapat berpartisipasi (ikut serta) dengan lingkungannya, dan individu dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya”.41
Pada Prinsipnya penyesuaian diri adalah suatu proses yang mencakup respons mental dan tingkah laku, dengan mana individu berusaha untuk dapat berhasil mengatasi kebutuhan-kebutuhan dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik dan frustasi yang dialaminya, sehingga terwujud tingkat keselarasan atau harmoni antara tuntutan dari dalam diri dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan dimana ia tinggal.
Menurut Baum, “tingkah laku penyesuaian diri diawali dengan stres, yaitu suatu keadaan di mana lingkungan mengancam atau membahayakan keberadaan atau kesejahteraan atau kenyamanan diri seseorang”.42
Perbedaan individu ini dapat menyebabkan konsep penyesuaian diri menjadi relatif sifatnya, sehingga tidak dapat dibuat suatu pilihan cara-cara menghadapi stres tertentu secara pasti.
Menurut Schneider, penyesuaian diri itu dikatakan relatif karena sebagai berikut:
1. Penyesuaian diri dirumuskan dan dievaluasi dalam pengertian kemauan seseorang untuk mengubah atau untuk mengatasi tuntutan yang mengganggunya. Kemampuan ini berubah-ubah sesuai dengan nilai-nilai kepribadian dan tahap perkembangannya.
2. Kualitas dari penyesuaian diri berubah-ubah terhadap beberapa hal yang berhubungan dengan masyarakat dan kebudayaan.
3. Adanya variasi tertentu pada individu.43
Secara garis besar penyesuaian diri yang sehat dapat dilihat dari empat aspek kepribadian, yaitu: kematangan emosional, kematangan intelektual, kematangan sosial dan tanggung jawab.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri dilihat dari konsep psikogenik dan sosiopsikogenik. Psikogenik memandang bahwa penyesuaian diri dipengaruhi oleh riwayat kehidupan sosial individu,
41
Ibid.
42
Desmita, op.cit. h. 193
43
(37)
terutama pengalaman khusus yang membentuk perkembangan psikologis. Pengalaman khusus ini lebih banyak berkaitan dengan latar belakang kehidupan keluarga, terutama menyangkut aspek-aspek:
a. Hubungan orang tua anak yang merujuk pada iklim hubungan sosial dalam keluarga. Apakah hubungan tersebut bersifat demokratis atau otoriter yang mencakup :
1) Penerimaan-penolakan orangtua tehadap anak
2) Perlindungan dan kebebasan yang diberikan kepada anak 3) Sikap dominatif-integratif (pemisif atau sharing)
4) Pengembangan sikap mandiri-ketergantungan
b. Iklim intelektual keluarga, yang merujuk pada sejauh mana iklim keluarga memberikan kemudahan bagi perkembangan intelektual anak, pengembangan berpikir logis atau irasional, yang
mencakup :
1) Kesempatan untuk berdialog logis, tukar pendapat, dan gagasan 2) Kegemaran membaca dan minat kultural
3) Pengembangan kemampuan memecahkan masalah 4) Pengembangan hobi
5) Perhatian orangtua terhadap kegiatan belajar anak
c. Iklim emosional keluarga, yang merujuk pada sejauh mana stabilitas hubungan dan komunikasi di dalam keluarga terjadi, yang mencakup :
1) Intensitas kehadiran orangtua dalam keluarga 2) Hubungan persaudaraan dalam kelurga 3) Kehangatan hubungan ayah ibu44
Sementara itu dilihat dari konsep sosiopsikogenik, penyesuaian diri dipengaruhi oleh faktor iklim lembaga sosial dimana individu terlibat didalamnya. Bagi peserta didik, faktor sosiopsikogenik yang dominan mempengaruhi penyesuaian dirinya adalah sekolah yang mencakup:
44
(38)
a. Hubungan guru - siswa, yang merujuk pada iklim hubungan sosial dalam sekolah, apakah hubungan tersebut bersifat demokratis atau otoriter, yang mencakup:
1) Penerimaan-penolakan guru terhadap siswa
2) Sikap dominatif (otoriter, kaku, banyak tuntutan) atau integratif (permisif, sharing, menghargai dan mengenal perbedaan individu).
3) Hubungan yang bebas ketegangan atau penuh ketegangan b. Iklim intelektual sekolah, yang merujuk pada sejauh mana
perlakuan guru tehadap siswa dalam memberikan kemudahan bagi perkembangan intelektual siswa sehingga tumbuh perasaan kompeten, yang mencakup:
1) Perhatian terhadap perbedaan individual siswa 2) Intensitas tugas-tugas belajar
3) Kecenderungan untuk mandiri atau berkonformitas pada siswa 4) Sistem penilaian
5) Kegiatan ektrakurikuler 6) Pengembangan inisiatif siswa45
Sedangkan proses penyesuaian diri dapat dipandang dari dua perspektif yaitu:
a. Kualitas atau efisiensinya, berarti untuk menilai berhasil atau tidaknya proses proses penyesuaian diri. Ada empat kriteria yang dapat digunakan :
1) Kepuasan Psikis yaitu penyesuaian diri yang berhasil akan menimbulkan rasa tidak puas yang menjelma dalam bentuk perasaan kecewa, gelisah, lesu, depresi dan lainnya.
2) Efisiensi Kerja yaitu penyesuaian diri yang berhasil akan menampak dalam kerja atau kegiatan yang efisien, sedangkan yang gagal menampak dalam kerja atau kegiatan yang tidak efisien.
45
(39)
3) Gejala Fisik yaitu penyesuaian diri yang gagal akan tampak dalam gejala fisik.
4) Penerimaan Sosial yaitu penyesuaian diri yang berhasil akan menimbulkan reaksi setuju dari masyarakat, sedangkan yang gagal akan mendapatkan reaksi tidak setuju dari masyarakat.
b. Proses berlangsungnya merupakan suatu proses progresif yang memungkinkan individu makin menguasai impuls-impuls dan lingkungannya. Proses penyesuaian diri memiliki dua tipe: 1) Dalam rangka penyesuaian diri itu individu mengubah atau
menahan impuls-impuls dalam dirinya.
2) Dalam rangka penyesuaian diri itu individu mengubah tuntutan atau kondisi-kondisi lingkungannya.46
4. Definisi Mahasiswa
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi”.47
Sedangkan Mahasiswa Menurut Para Ahli adalah sebagai berikut: a. Peraturan pemerintah RI No.30 tahun 1990 adalah peserta didik
yang terdaftar dan belajar di perguruan tinggi tertentu.
b. Menurut Sarwono mahasiswa adalah setiap orang yang secara resmi terdaftar untuk mengikuti pelajaran di perguruan tinggi dengan batas usia sekitar 18-30 tahun.
c. Menurut Knopfemacher mahasiswa adalah insan-insan calon sarjana yang dalam keterlibatannya dengan perguruan tinggi (yang makin menyatu dengan masyarakat), dididik dan diharapkan menjadi calon-calon intelektual. 48
46
Idi. op. cit. h 102-103
47
Departemen Pendidikan Indonesia, op. cit. h 856
48
Ahmad Bahtiar Sebayang, Definisi Mahasiswa Menurut Para Ahli, 2012 (http://unpaztoday.wordpress.com/)
(40)
Dari pendapat di atas bisa dijelaskan bahwa mahasiswa adalah status yang disandang oleh seseorang karena hubungannya dengan perguruan tinggi yang diharapkan menjadi calon-calon intelektual. 5. Definisi Pendidikan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Pendidikan adalah
proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses pembuatan, cara mendidik”.49
IPS dapat diartikan dengan penelaahan atau kajian tentang masyarakat. Dalam mengkaji masyarakat, guru dapat melakukan kajian dari berbagai perspektif sosial, seperti kajian melalui pengajaran sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, politik, dan aspek psikologi sosial yang disederhanakan untuk mencapai pembelajaran.
Berikut pengertian IPS menurut beberapa ahli:
a. Nu’man Sumantri menyatakan bahwa IPS merupakan pelajaran
ilmu-ilmu sosial yang disederhanakan untuk pendidikan tingkat
SD, SLTP, dan SLTA. Penyederhanaan mengandung arti: 1) menurunkan tingkat kesukaran ilmu-ilmu sosial yang biasanya
dipelajari di universitas menjadi pelajaran yang sesuai dengan kematangan berfikir siswa siswi sekolah dasar dan lanjutan. 2) mempertautkan dan memadukan bahan aneka cabang ilmu-ilmu sosial dan kehidupan masyarakat sehingga menjadi pelajaran yang mudah dicerna.
b. S. Nasution mendefinisikan IPS sebagai pelajaran yang merupakan fusi atau paduan sejumlah mata pelajaran sosial. Dinyatakan bahwa IPS merupakan bagian kurikulum sekolah yang berhubungan dengan peran manusia dalam masyarakat yang terdiri atas berbagai
49
(41)
subjek sejarah , ekonomi, geografi, sosiologi, antropologi, dan psikologi sosial. 50
Dengan demikian, IPS bukan ilmu sosial dan pembelajaran IPS yang dilaksanakan baik pada pendidikan dasar maupun pada pendidikan tinggi tidak menekankan pada aspek teoritis keilmuannya, tetapi aspek praktis dalam mempelajari, menelaah, mengkaji gejala dan masalah sosial masyarakat, yang bobot dan keluasannya disesuaikan dengan jenjang pendidikan masing-masing. Kajian tentang masyarakat dalam IPS dapat dilakukan dalam lingkungan yang terbatas, yaitu lingkungan sekitar sekolah atau siswa dan siswi atau dalam lingkungan negara lain, baik yang ada di masa sekarang maupun di masa lampau. Dengan demikian siswa dan siswi yang mempelajari IPS dapat menghayati masa sekarang dengan dibekali pengetahuan tentang masa lampau umat manusia.
Pendidikan IPS merupakan kemasan pengetahuan sosial yang telah dipertimbangkan secara psikologis untuk kepentingan pendidikan. Melalui pendidikan IPS akan membekali kemampuan seseorang dalam pengembangan diri dari berbagai keterampilan sosial dalam kehidupannya.51
B. Hasil Penelitian yang Relevan
1. Temuan penelitian yang dilakukan oleh Ambarini Nurdwiyani, menunjukkan bahwa, terdapat hubungan antara pola sosialisasi keluarga dengan tingkat penyesuaian diri mahasiswa perantau, meskipun pengaruhnya lemah. Uji Somers’d memperlihatkan kekuatan hubungan sebesar 0,361 dengan nilai signifikansi sebesar 0.00. data ini dapat berlaku di tingkat populasi dengan tingkat keakuratan mendekati 100%. Mahasiswa perantau yang tersosialisasi secara represif, relatif memiliki tingkat penyesuaian diri yang tinggi. Kekuatan hubungan mengalami perubahan, ketika dimasukkan variabel kontrol jenis kelamin. Pada responden laki-laki, nilai
50
Pakde Sofa, Pengertian, Ruang Lingkup dan Tujuan IPS, 2010 (http://massofa.wordpress.com)
51
Rudy Gunawan, Pendidikan IPS Filosofi, Konsep dan Aplikasi, (Bandung : Alfabeta, 2013) h 8 - 9
(42)
kekuatan hubungan meningkat mencapai 0,406 sedangkan pada responden perempuan nilai tersebut mengalami penurunan menjadi 0,308. Angka tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara pola sosialisasi keluarga dan tingkat penyesuain diri pada responden laki- laki lebih kuat dibandingkan pada responden perempuan. Dari hasil wawancara mendalam juga ditemukan terdapat faktor lain yang berpotensi mempengaruhi proses penyesuaian diri mahasiswa perantau. Diantaranya adalah motivasi merantau, pengalaman hidup mandiri, dan hubungan pertemanan yang baik. 52
Perbedaan skripsi Ambarini dan Penulis adalah pola sosialisasinya, skripsi diatas meneliti pola sosialisasi keluarga sedangkan dalam skripsi ini pola sosialisasi pesantren dan sekolah umum sebagai agen sosialisasi kedua setelah keluarga. Adapun persamaannya adalah melihat pengaruh terhadap tingkat penyesuaian diri.
2. Hasil penelitian yang dilakukan Heni Susilawati, memperlihatkan bahwa status ekonomi keluarga bukanlah faktor yang paling berpengaruh terhadap kecenderungan pelajar ke arah berprestasi tinggi atau kearah berprestasi rendah. Pada responden berprestasi rendah, tampak bahwa orang tua menekankan kepatuhan terhadap aturan. Tetapi, pada umumnya kedua kelompok responden diberi kebebasan dalam bergaul dengan teman sebaya. Reaksi orang tua atas pelanggaran aturan yakni dengan memaafkan kesalahan responden. Konsistensi sikap orang tua menunjukkan keadaan yang tidak berbeda. Responden berprestasi tinggi lebih sering diajak membicarakan rencana masa depan. Sementara itu responden berprestasi rendah hal demikian sedikit ditemui. Umumnya kedua kelompok responden jarang terlibat dalam kegiatan keluarga. Dilihat dari frekuensi interaksi di dalam keluarga, tampaknya kedekatan lebih baik pada pelajar berprestasi tinggi dibandingkan dengan pelajar berprestasi rendah. 53
Perbedaan skripsi di atas adalah pola sosialisasi yang berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa sedangkan yang diteliti dalam skripsi ini pengaruhnya terhadap tingkat penyesuaian diri.
52
Ambarini, Nurdwiyani, “Pegaruh Pola Sosialisasi Keluarga Terhadap Tingkat
Penyesuaian Diri Mahasiswa Perantau (Studi Kasus : Mahasiswa Perantau Angkatan 2003
yangTinggal di Asrama UI, Depok)” Skripsi pada Universitas Indonesia, Depok, 2004,h. i-ii, tidak dipublikasikan.
53
Heni Susilawati “ Deskripsi Pola Sosialisasi Keluarga Pelajar Berprestasi Tinggi dan
Pelajar Berprestasi Rendah (studi kasus di MTsN Luragung, Desa Cirahayu Kec Luragung Kab
DT II Kuningan Jawa Barat)” Skripsi pada Universitas Indonesia, Depok, 2001, h vii - viii, tidak dipublikasikan.
(43)
3. Hasil Penelitian yang dilakukan oleh Lukitarina, menunjukkan bahwa sebagian besar siswa (lebih dari separuh jumlah responden) mengalami sosialisasi partisipatif dan sebagian besar siswa memiliki konsep-kedirian mandiri. Tetapi antara pola sosialisasi dan tipe konsep-kedirian siswa tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Dalam kaitannya dengan status sosial ekonomi hubungannya juga tidak signifikan dengan prestasi akademis (indeks prestasi) siswa disekolah.54
Skripsi di atas menjelaskan tentang hubungan pola sosialisasi dengan tipe konsep-kedirian sedangkan penelitian ini menjelaskan pola sosialisasi di pesantren dan sekolah umum. Namun ada kesamaannya yaitu tidak melihat status ekonomi dan prestasi siswa di sekolah. 4. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tanti Irawati, menunjukkan
sosialisasi yang dialami oleh anak perempuan betawi dalam tiga keluarga betawi banyak dipengaruhi oleh norma agama islam yang melekat kuat dalam keluarga sebagai wadah sosialisasi awal yang pertama kali membentuk diri seorang anak. Latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh orang tua sebagai orang yang paling dekat dengan anak sangat mempengaruhi pola sosialisasi yang di terima oleh anak bersangkutan.55
Skripsi di atas meneliti tentang pola sosialisasi pada anak perempuan betawi dimana melihat pengaruh latar belakang pendidikan orang tua, sedangkan yang diteliti dalam skripsi ini pola sosialisasi pesantren dan sekolah umum yang mempengaruhi tingkat penyesuaian diri tidak ada hubungannya dengan pendidikan orang tua dan budaya.
Setelah menelaah skripsi sebelumnya dapat disimpulkan perbedaaan yang terlihat dari hasil penelitian yang telah dilakukan dengan penelitian yang akan dilakukan. Penelitian dalam skripsi ini menelaah dan membahas tentang pola sosialisasi di pesantren dan sekolah umum yaitu agen sosialisasi kedua setelah keluarga. Sedangkan penelitian terdahulu menjelaskan dan meneliti tentang pola sosialisasi keluarga. Selain itu penelitian ini juga melihat apakah ada perbedaan pola sosialisasi yang
54
Lukitarina, ”Pola – pola Sosialisasi dan Tipe Konsep – Kedirian (Studi Kasus di
kalangan pelajar kelas III SMA Negeri 34 Jakarta)”, Skripsi pada Universitas Indonesia, Depok,
1989, h v, tidak dipublikasikan.
55
Tanti Irawati, “Pola Sosialisasi Anak perempuan Pada Tiga Keluarga Betawi Di RT.
007/02 Kelurahan Mampang Prapatan Kecamatan Mampang Prapatan”. Skripsi pada Universitas
(44)
dilakukan di pesantren dan sekolah umum terhadap tingkat penyesuaian diri. Selain itu juga ada beberapa persamaan yang membantu dalam melakukan penelitian ini yaitu seperti pengaruh tingkat penyesuaian diri dan pengaruh latar belakang pendidikan.
C. Kerangka Berpikir
Menurut Sugiyono, “Kerangka berpikir merupakan model konseptual
tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah yang penting. Kerangka berpikir yang baik akan menjelaskan secara teoritis pertautan antar variabel yang akan diteliti”.56
Di dalam penelitian ini terdiri dari variabel independen adalah variabel yang diduga sebagai akibat yaitu pola sosialisasi (X) serta variabel dependen adalah tipe variabel yang dijelaskan atau dipengaruhi oleh variabel independen yaitu tingkat penyesuaian diri (Y).
Pola sosialisasi di pesantren dan sekolah umum memiliki perbedaan dan persamaan, baik pola sosialisasi yang diterapkan adalah represif atau partisipatif. Hal itu menyebabkan tingkat penyesuaian diri pada seseorang juga berbeda. Penyesuaian diri yang mencakup hubungan sosial, norma atau aturan yang dijalankan serta komunikasi yang dilakukan mahasiswa. Dari hasil analisis tersebut disusunlah kerangka berpikir sebagai berikut:
Tabel 2.2: Kerangka Berpikir
No Variabel Aspek Indikator Kategori
1
Tingkat
penyesuaian diri
penyesuaian diri secara pasif dan aktif
Hubungan
mahasiswa dengan lingkungan sekitar
1. Tinggi 2. Rendah
56
(45)
Norma atau aturan yang dijalankan
Komunikasi yang merujuk pada iklim hubungan sosial
Hukuman dan imbalan material
2
Pola sosialisasi pesantren
Sosialisasi represif
Komunikasi sebagai perintah
1. Tinggi 2. rendah
Kepatuhuhan anak Komunikasi non verbal
Hukuman dan imbalan simbolis Sosialisasi
Partisipatif
Komunikasi sebagai interaksi Otonomi anak Komunikasi verbal
D. Hipotesis Penelitian
Menurut Sugiyono “Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap
rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan”.57
Berdasarkan definisi masalah dan tinjauan literatur yang sudah dijelaskan maka penulis membuat hipotesis sebagai berikut:
57
(46)
Uji pengaruh variabel X terhadap Y
H0 = Tidak ada pengaruh pola sosialisasi terhadap tingkat penyesuaian diri
Ha = Ada pengaruh pola sosialisasi pesantren terhadap tingkat penyesuaian diri
(47)
34
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di gedung Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta lantai 5 Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial.
2. Waktu Penelitian
Tabel 3.1: Rancangan Kegiatan
No Bulan dan Tahun Kegiatan
1 Desember 2013 Pengajuan judul
2 Januari - Februari 2014 Proposal
3 Maret - April 2014 Bimbingan skripsi bab 1-3 4 Mei - juni 2014 Penelitian
5 Juli 2014 Mengolah data
6 Agustus 2014 Bimbingan skripsi bab 4-5 7 September 2014 Uji referensi dan Sidang
(48)
B. Metode dan Disain Penelitian
Metode pada dasarnya berarti cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu tujuan umum penelitian adalah untuk memecahkan masalah maka langkah-langkah yang ditempuh harus relevan dengan masalah yang telah dirumuskan.
Metode penelitian memungkinkan ditemukannya kebenaran yang objektif karena dibentengi oleh fakta-fakta sebagai bukti tentang adanya sesuatu dan mengapa adanya demikian atau sebab adanya demikian.58
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. “Pendekatan kuantitatif bertujuan untuk menunjukkan hubungan variabel dan menjelaskan mengapa suatu gejala atau fenomena terjadi, dengan mengaitkan antara gejala atau fenomena yang satu dengan gejala atau fenomena lainnya”.59 Pemilihan pendekatan kuantitatif dalam penelitian ini diharapkan mampu menjelaskan pengaruh pola sosialisasi pesantren dan sekolah umum terhadap tingkat penyesuaian diri. Penelitian ini juga di dukung dengan data-data kualitatif agar data yang diperoleh lebih akurat.
Penelitian ini menggunakan metode survei yaitu penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok.60
Survei dapat dilakukan untuk berbagai penelitian baik yang bertujuan deskriptif, eksplanatif dan eksploratif. Survei sering kali digunakan pada penelitian yang menggunakan individu manusia sebagai unit analisis. Walaupun metode ini dapat pula digunakan untuk beberapa unit analisis lainnya. Seperti kelompok atau interaksi, namun sejumlah individu atau orang harus berfungsi sebagai responden atau informan.61
58
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1985) h 24-2
59
Bambang Prasetyo dan Lina Miftahul Jannah, Metode Penelitian Kuantitatif, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005) h 33
60
Masri singarimbun dan Sofian effendi, Metode Penelitian Survai, ( Jakarta: LP3ES, 1987) h 3
61
(49)
Disain penelitian:
Variabel Independen Variabel Dependen
Keterangan :
Y = tingkat penyesuaian diri X = pola sosialisasi
C. Populasi dan Sampel 1. Populasi
Menurut Bambang Prasetyo, “Populasi adalah keseluruhan gejala/satuan yang ingin diteliti”.62 Populasi dalam penelitian ini mahasiswa dan mahasiswi semester VI di jurusan Pendidikan IPS FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjumlah 103 orang. Terdiri dari 15 orang lulusan pesantren dan 88 orang lulusan sekolah umum.
2. Sampel
Menurut Bambang Prasetyo” Sampel merupakan bagian dari populasi
yang ingin diteliti”.63
Dalam penelitian ini, penarikan sampel dilakukan dengan Teknik Probability Sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang memberi peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk dipilih menjadi sampel.64
Pada penelitian ini ditarik sampel mahasiswa semester VI lulusan pesantren dengan semua jumlah populasi yang berlatar belakang pesantren yaitu 15 orang, terdiri dari 10 laki-laki dan 5 perempuan, sedangkan
62
Prasetyo. op.cit. h 119
63
Ibid.
64
Sugiyono, op.cit. h 120
Y X
(50)
mahasiswa lulusan sekolah umum hanya sebagian dari populasi yang berlatar belakang sekolah umum yaitu berjumlah 44 orang terdiri dari 13 laki-laki dan 31 perempuan melalui pemilihan sampel sistematis (systematic sampling).
Pemilihan sampel sistematis yaitu memilih secara acak setiap elemen dengan nomor tertentu dari tabel nomor sebagai kerangka sampel.65 Dalam penelitian ini menjadikan nomor genap sebagai sampel.
D. Teknik Pengumpulan Data 1. Kuesioner (angket)
Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya.66
Dalam penelitian ini angket disebar kepada mahasiswa semester VI yang berlatar belakang pesantren dan sekolah umum di jurusan Pendidikan IPS FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Wawancara (interview)
Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti dan juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan jumlah respondennya sedikit atau kecil.67
wawancara dilakukan pada beberapa sampel yaitu mahasiswa semester VI yang berlatar belakang pesantren dan umum di jurusan Pendidikan IPS FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
65
Nur Indriantoro dan Bambang Supomo, Metodologi Penelitian Bisnis Untuk Akuntansi
dan Manajemen, ( Yogyakarta: BPFE, 1999) h 124
66
Sugiyono, op.cit. h 199
67
(51)
E. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati. Secara spesifik semua fenomena ini disebut variabel penelitian.68
1. Definisi Konseptual dan Operasional a. Definisi Konseptual
Dalam penelitian ini ada dua variabel yang telah ditentukan yakni pola sosialisasi dan tingkat penyesuaian diri. Masing-masing variabel memiliki konsep. Pola sosialisasi diartikan sebagai cara dalam proses sosialisasi atau pola asuh. Ada dua pola sosialisasi yang diterapkan di pesantren dan sekolah umum yaitu represif dan partisipatif yang meliputi aturan, hukuman, hadiah dan komunikasi. Sedangkan penyesuaian diri adalah suatu proses yang mencakup respons mental dantingkah laku, dengan mana individu berusaha untuk dapat berhasil mengatasi kebutuhan-kebutuhan dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik dan frustasi yang dialaminya, sehingga terwujud tingkat keselarasan atau harmoni antara tuntutan dari dalam diri dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan dimana ia tinggal. b. Definisi Operasional
Variabel independen dalam penelitian ini adalah pola sosialisasi (X) dengan menganalis pola sosialisasi represif atau partisipatif yang dipakai. Variabel dependen adalah tingkat penyesuaian diri (Y) dengan menganalisis aktif atau pasif.
68
(1)
24 Sulthon Masyhud, khusnuridlo, dkk, Manajemen Pondok
Pesantren, (Jakarta : Diva Pustaka Jakarta, 2005) h 93
//
25
Ibid.h
27-28,/
26
Ibid.
h46
7
27
Ibid.
h132
4
28
rbid.h27-28
,/
29 Dian nafi, Abd A'la, dkk,Praksis Pembelajaran Pesantren,
(Yogyakarta : Forum Pesantren , 2009)
h
1l3-ll4
,/
30
Zurinal Z dan Wahludi Safuti, Ilmu Pendidikcn Pengantar
&
Dasar-dasar Pelalcanaan Pendidikan, ( Jakarta: UIN Jakarta Press,2006) h 77
/
31 Desmita,op.cit.h233
4
32 Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan
Prahig
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011) h 24,4
JJ
Ibid.h.
172-173//
34 Herman Holstein,Murid
BelajarMandiri,
@andung :Remadja Karya, 1984)
h.
159-
160,/
35
Zwnal,
op.cit. h77,4
36 Damsar.
op.cit.h
105/
\t
Pendidikan, Nana Syaodih @andung: PT Remaja Stktnadnata, LandasanRosdakrya,
Psikologi 2009) Prosesh261-262
4/
38 Damsar,
op.cit.hll4
//
39 Desmita, op.cit.
h.
191,/
40 W. A. Gerungan, Psikologi Sosial, @andung : PT
Refika
Aditama
2004) h. 59-604l
(2)
102
Lampiran
12:Lembar
Llji
ReferensiDesmita, op.cit.
h.
193/
43Ibid.h.
194-195#
44
Ibid.h. t96
-197I
{
45
Ibid
,/
46
Idi.
op. cit.h
102-103fl
47 Departemen Pendidikan Indonesia,
op. cit. h :
,*
48 Ahmad Bahtiar
Ahli,
2012
(http://unpaztoday.wordpress',;:-,)
Sebayang,Definisi Mahasisi
., I.,Ienurut Para DiaksesKamis, 13
maret2Ol4
,/
49 Departemen Pendidikan Indonesia, op. cit. h.
i,4
50
Pakde Sofa"Pengertian, Ruanglingkup dan -.,,,.i :;un IP S, 2010
(http://massofa.wordpress.com) Diakses
Kar
' ,"i3
maret2014
/
51 Rudy Gunawan, Pendidikan IPS FilosoJi,
k,,
..:p danAplikasi, @andung : Alfabeta,2013) h 8-9
4
52Ambarini,
Nurdwiyani,
"Pegaruh Pola Sosia.:- . si Keluarga Terhadap Tingkat PenyesuaianDiri Mahasis
.
Perantau (Studi Kasus : Mahasiswa PerantauAngkata
- .;03yangTinggal di Asrama
UI,
Depok)" Skripsi r .ia
UniversitasIl4qqgliq,
pepok,2004,h.
i-ii, tidak
dipublil
r.ril:an-)J
Heni Susilawati
"
Deskipsi
Pola Sosialisasi-i.ll,nrga
Pelajar BerprestasiTinggi
dan Pelajar BerprestasiF.
.-l;h
(studikasus di
MTsN
Luragung, Desa CirahaJrrK,.-
I-:rragung Kab DT II Kuningan Jawa Barat)"Skipsi
padal'
,ii
ersitasIndonesia Depgk,
2!01,
hvii
-viii, tidak
di
,,kasikan. 54Lukitarina, "Pola
-
pola Sosialisasi danTipt
' irrsep-Kedirian (Studi Kasus di kalangan pelajar
kehs
1IISMA
Negeri 34 Jakarta)", Slaipsi pada Universita :
lr
donesi4Depok, 1989, h v, tidak dipublikasikan.
/
55
Tanti Irawati, "Pola Sosialisasi Anak perer--._.:.:.,n Pada Tiga
Keluarga Betawi
Di RT.
007/02 KelurahanI,
rr;rpang Prapatan Kecamatan Mampang Prapatan". Si .ipsi pada Universitas lndonesi4 Depok, 1993, h v,tic
r',(3)
Sogryono,
M"tod"
P enelitian Pendidikan', (Bar;d:ung :Alfabeta,
2012)
h9l
Sugiyono,
op.cit.h.96
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1985)
h24-2
Br-ba"g
P."tetyo
arntinaMiftahul
lawtah,
MetodeP eneliti
in
Kuani u at if,(I akarta: PT Raja Grafrndo Persada'Masri singarimbun dan Sofian efferrdi, Metode Penelitian Survai,
(Iakafia:
LP3ES, 1987) h 3Moissat,
Metode Penelitian Survei, (Jakarta : Kencana'20r2)h16s
Prasetyo. op.cit.
h1l9
Sugiyono, op.cit.
h
120Ntn
I"drlant*o dat
Bambang Supomo, Metodologi Penelitian Bisnis Untuk Akuntattsi dan Manajemen'(
1999\h124
Sugiyono, op.cit.
h
199Ibid.h
134ffian
Abdunahman,Analisis
Korelasi Regresi Dan Jalur Dalam Penelitian' (Bandung:
CV Pustaka Setia" 2007) h 30
ffite
Dengan ProgramIBLI
SPSS 19, (Semarang: Badan Penerbit Universitas 2011) h 53
(4)
104
Lampiran
12:Lembar
Lji
Referensi72
Ibid h47-48
I
73
Ibid
14
74 Indriantoro. o p. c it.
h
| 67 -l 684
75 Pmsetyo.
op.cit.h 17l
,/
76
Duwi
Priyatno, CaraKilat
Belajar Analisis Datadengan
SPSS 20, (Yogyakarta:
ANDI, 2012) h
189/
77.Tonathan Sarwono, Panduan Cepat dan Mudah SPSS 14,
(Yogyakarta:
ANDI,
2006) h 48-50I
78
rbid,h
65/
79
Ibid,h66
4/
80 Priyatno, op. cit.
h
125-126'{/
81
Fakultas
Ilmu
Tarbiyah dan KeguruanUIN
Syarif
Hidayatullah Jakafi4 Proposal Perubahan Nama Program
Shtdi Tadris IPS Menjadi Program Studi Pendidikan IPS Jurusan Pendidikan IPS
(Cipuat:
UIN Syarif Hidayatullalt
Jakarta 2008)
h
1-4/
82
Ibid.h.4-6
//
83 Ghozali, op. cit. h 47 -48
4/
v'
84 Priyatno,
op.cit.h57
,/
85 Sambas,
op.cit.h84-87
/
86 Stanislaus S Uyanto, Pedoman Analisis Data dengan(5)
Piyatno,
op.cit.h
ll7
Jakart4 5 September 2014
Mengetahui,
Dosen Pembimbing SkriPsi
(6)