Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses tertentu terjadi, 15 dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta- fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya. 16 Menetapkan landasan teori pada waktu diadakan penelitian ini tidak salah arah. Sebelumnya diambil rumusan landasan teori seperti yang dikemukakan M. Solly Lubis, yang menyebutkan : “Bahwa landasan teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan problem yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui atau pun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan”. 17 Teori ini sendiri adalah serangkaian preposisi atau keterangan yang saling berhubungan dengan dan tersusun dalam sistem deduksi yang mengemukakan suatu penjelasan atau suatu gejala. Adapun teori menurut Maria S.W. Sumardjono adalah : “ Seperangkat preposisi yang berisi konsep abstrak atau konsep yang sudah didefiniskan dan saling berhubungan antar variable sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang digambarkan oleh suatu variable dengan variable lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar variable tersebut ”. 18 15 J.J.J M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisman. Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid. 1, Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996, hlm 203 16 Ibid, hal. 216 17 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, Bandung: Mandar Madju, 1994, hlm. 80 18 Maria S. W. Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Yogyakarta: Gramedia, 1989, hlm 12 Universitas Sumatera Utara Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arahanpetunjuk dan ramalan serta menjelaskan gejala yang diamati. Karena penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, kerangka teori diarahkan secara khas Ilmu Hukum. Maksudnya adalah penelitian ini berusaha untuk memahami jual beli tanah dalam masyarakat Adat Karo di Kecamatan Juhar Kabupaten Karo sebagai kaidah hukum atau sebagai isi kaidah hukum yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Teori yang dipakai dalam penulisan tesis ini adalah perubahan masyarakat harus diikuti oleh perubahan hukum. Yaitu hukum berkembang sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat. Perubahan masyarakat dalam penyelesaian sengketa secara non-litigasi harus berjalan dengan teratur dan diikuti dengan pembentukan norma-norma sehingga dapat berlangsung secara harmonis. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan pengertian mengenai tanah, yaitu permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali. Pengertian tanah diatur dalam pasal 4 UUPA dinyatakan sebagai berikut : ”Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum”. Dengan demikian, yang dimaksud istilah tanah dalam Pasal di atas ialah permukaan bumi 19 19 Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm.3 Universitas Sumatera Utara Tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat, karena merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan bagaimanapun akan tetap dalam keadaan semula, malah terkadang tidak menguntungkan dari segi ekonomis. Kecuali itu, adalah suatu kenyataan bahwa tanah merupakan tempat tinggal keluarga dan masyarakat, memberikan penghidupan, merupakan tempat di mana para warga yang meninggal dunia dikuburkan; dan sesuai dengan kepercayaan merupakan pula tempat tinggal para dewa-dewa pelindung dan tempat roh para leluhur bersemayam. Di dalam hukum adat, antara masyarakat hukum merupakan kesatuan dengan tanah yang didudukinya, terdapat hubungan yang sangat erat sekali; hubungan yang bersumber pada pandangan yang bersifat religio- magis. Pasal 5 UUPA yang menyatakan sebagai berikut : “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatunya dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar kepada hukum agama”. Dari ketentuan Pasal 5 dapat disimpulkan bahwa hukum adat yang merupakan dasar hukum agraria itu haruslah hukum adat yang : a. Tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa. b. Tidak bertentangan dengan sosialisme Indonesia c. Tidak bertentangan dengan UUPA dan peraturan perundang-undangan lainnya Universitas Sumatera Utara d. Mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama Menurut hukum adat jual beli tanah bukan merupakan perjanjian seperti yang dimaksud dalam Pasal 1457 KUHPerdata, melainkan suatu perbuatan hukum yang berupa penyerahan tanah yang bersangkutan oleh penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya pada saat mana pihak pembeli menyerahkan harganya kepada penjual. Menurut Budi Harsono, jual beli tanah menurut hukum adat merupakan kekuatan hukum yang bersifat tunai. Jual beli tanah dalam hukum adat adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah dengan pembayaran harganya pada saat yang bersamaan secara tunai dilakukan 20 Secara umum pengertian jual beli adalah suatu perjanjian antara pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar dengan harga yang telah ditetapkan. Yang dijanjikan pihak penjual adalah menyerahkan atau memindahkan hak miliknya atas barang yang ditawarkan atau dijual sedangkan yang dijanjikan oleh pihak pembeli membayar harga yang telah disetujuinya. Peralihan hak atas tanah merupakan salah satu peristiwa danatau perbuatan hukum yang mengakibatkan terjadinya pemindahan hak atas tanah dari pemilik kepada pihak lainnya. Peralihan tersebut bisa disengaja oleh karena adanya perbuatan hukum seperti jual beli, sewa-menyewa dan sebagainya, dan juga tidak disengaja karena adanya peristiwa hukum seperti peralihan karena warisan. Indikasi yang menunjukkan bahwa konsep jual beli tanah yang diambil UUPA konsep hukum adat adalah bahwa jual beli tanah telah selesai dengan sempurna dan hak telah berlalu kepada pembeli setelah selesai ditandatanganinya akta PPAT. 20 Harun Al Rashid, Sekilas Tentang Jual Beli Tanah, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985, hlm. 15 Universitas Sumatera Utara Pencatatan peralihan hak di Kantor Pertanahan Seksi Pendaftaran Tanah hanya untuk memperoleh alat pembuktian yang kuat mengenai sahnya peralihan hak seperti yang tercantum di dalam Pasal 23 UUPA. Apabila Pasal 23 UUPA dihubungkan dengan Pasal 19 ayat 2 huruf c, yang menyatakan bahwa “pendaftaran itu meliputi pemberian surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat”. Sesuai dengan sistem publikasi yang dianut oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 yaitu sistem negatif yang bertendensi positif, diberikan sertifikat sebagai alat bukti yang kuat. Dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada para pemegang hak atas tanah diberikan penegasan tentang sejauh mana kekuatan pembuktian sertifikat, yang menyatakan sebagai alat pembuktian yang kuat. Untuk itu selama belum dibuktikan sebaliknya, data fisik dan yuridis yang dicantumkan dalam sertifikat harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam sengketa di pengadilan sepanjang data tersebut sesuai dengan yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanahnya. Tidak dapat menuntut tanah yang bersertifikat atas nama orang atau badan hukum lain jika setelah 5 tahun sejak dikeluarkannya sertifikat tersebut. Oleh karena itu pendaftaran itu hanya bersifat administratif, proses jual belinya sendiri sudah selesai semenjak dibuatnya akta PPAT. Dan semenjak saat itu barang telah beralih kepada pembeli. Hal demikian adalah sesuai dengan azas hukum adat yang dianut oleh UUPA. Universitas Sumatera Utara Dalam perjanjian jual beli harus dilakukan penyerahan atau levering secara yuridis. Seperti yang kita ketahui dalam hukum perdata terdapat bermacam-macam benda, sehingga disesuaikan macam-macam benda dengan cara penyerahannya. Ada tiga macam cara penyerahan yang sering dilaksanakan oleh para pihak yakni : 1. Penyerahan barang bergerak dilakukan dengan penyerahan secara nyata atau menyerahkan kekuasaan atas barangnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 612 KUH Perdata. 2. Penyerahan barang tak bergerak, dalam hal tanah sesudah berlakunya UUPA dilakukan dengan pembuatan akta jual beli dengan akta PPAT yang pelaksanaannya disesuaikan dengan PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran Tanah. Peralihan berubah setelah dilakukan balik nama pada kantor pertanahan. 3. Penyerahan piutang atas nama, dilakukan dengan pembuatan sebuah akta yang diberitahukan kepada si berutang, dalam hal ini dinamakan akta cessie, terdapat dalam pasal 613 KUH Perdata. Perjanjian jual beli dapat disebut sebagai suatu perjanjian yang bersifat konsensuil artinya jual beli telah terjadi antara kedua belah pihak sewaktu mereka telah mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar. Salah satu sifat yang penting dari jual beli menurut sistem dalam hukum perdata adalah jual beli yang bersifat obligatoir, artinya jual beli belum memindahkan hak milik dia baru memberikan hak dan Universitas Sumatera Utara meletakkan kewajiban pada kedua belah pihak yaitu memberikan kepada pembeli hak untuk menuntut diserahkannya hak milik atas barang yang dijual. Hal serupa diungkapkan oleh Subekti : ”Jual beli adalah suatu perjanjian konsensuil artinya ia sudah dilahirkan sebagai suatu perjanjian yang sah mengikat dan mempunyai kekuatan hukum pada detik tercapainya kata sepakat antara penjual dan pembeli mengenai unsur-unsur yang pokok essensial yaitu barang dan harga. Sifat konsensuilnya ditegaskan dalam pasal 1458 KUH Perdata yang berbunyi : “.. Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak sewaktu mereka telah mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang tersebut belum diserahkan maupun harganya belum dibayar” 21 Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh W.J.S. Poerwadarminta : ”Bahwa persetujuan jual beli berasaskan konsensus yang berarti antara lain persemaian kesepakatan. Kata sepakat tentang benda dan harga, telah cukup untuk menciptakan persetujuan jual beli dan ini sesuai dengan ketentuan umum dalam pasal 1320 yaitu syarat-syarat subjektif mengenai “sepakat pihak-pihak yang membuat persetujuan”. Dan syarat objektifnya di dalam pasal 1320 ayat 3.” 22 Dari pengertian tersebut di atas, perjanjian jual beli menurut Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, sifatnya konsensus dan dianggap sah bila telah memenuhi syarat subjektif dan objektif, walaupun barang yang menjadi objek jual beli tersebut belum diserahkan kepada pembeli. Dalam sistem jual beli yang hanya bersifat obligatoir saja, maka bila terjadi suatu barang yang telah dijual, tetapi belum diserahkan, kemudian dijual lagi untuk kedua kali oleh penjual dan dilever kepada pembeli kedua, barang tersebut menjadi 21 ibid. hlm 80 22 Ibid Universitas Sumatera Utara milik pembeli kedua. Sedangkan pembeli pertama hanya dapat menuntut ganti rugi kepada penjual yang telah membawa dirinya dalam keadaan tak mampu menyerahkan barangnya dan karenanya melakukan wanprestasi atau ingkar janji. 23 Dari ketentuan di atas dapat dilihat bahwa dalam KUH Perdata inti dari suatu perjanjian jual beli adalah adanya kata sepakat dari kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian dianggap telah terjadi dan sudah terlaksana, walaupun para pihak belum melakukan kewajibannya, yakni pihak pembeli menyerahkan uang dan pihak penjual menyerahkan bendanya. Sedangkan dalam Hukum Adat setiap transaksi belum dianggap selesai bila tanpa disertai pembayaran dan penyerahan benda dari para pihak pada saat bersamaan. Subjek dari perjanjian jual beli adalah pihak pembeli dan pihak penjual. Sedangkan objek dari jual beli adalah seperti tersebut di dalam isi pasal 499 KUH Perdata : … yang dimaksud kebendaan zaak adalah tiap barang dan tiap hak yang dapat dijadikan objek jual beli dari hak milik. Selanjutnya dalam pasal 503 dan 504 KUH Perdata menyatakan bahwa : “…tiap-tiap kebendaan adalah bertubuh atau tidak bertubuh dan tiap kebendaan bergerak dan tidak bergerak satu sama lain “. Jadi dalam hal ini yang objek jual beli adalah dapat berupa benda berwujud dan benda tidak berwujud. Namun tidak semua benda berwujud dapat menjadi objek jual beli. Misalnya barang 23 Basrah, Buku III KUH Perdata Tentang Perikatan Jual Beli Dan Pembahasan Kasus, Medan: FH USU, 1981, hlm 5 Universitas Sumatera Utara tidak bergerak yang dinyatakan milik negara yang dipergunakan untuk kepentingan umum seperti jalan, pelabuhan dan sebagainya. Menurut pasal 506 KUH Perdata kebendaan tak bergerak adalah : a. Pekarangan-pekarangan dan apa yang didirikan di atasnya. b. Penggilingan-penggilingan c. Pohon-pohon dan lading serta barang-barang tambang seperti batu bara, sampah bara dan sebagainya. d. Kayu tebangan dari hutan dan kayu dari pohon-pohon yang belum ditebang. e. Pipa-pipa dan got-got yang diperuntukkan guna menyalurkan air dari rumah atau pekarangan dan pada umumnya segala apa yang tumbuh dalam pekarangan atau terpaku dalam bangunan rumah. Barang bergerak seperti mobil, AC dan sebagainya, apabila akan diperjual belikan biasanya tidak perlu dilakukan dihadapan Notaris atau PPAT, namun sebaliknya barang yang tidak bergerak seperti tanah dan bangunan baik tanah saja atau bangunan saja, umumnya dilaksanakan di hadapan Notaris atau PPAT. Tanah yang merupakan salah satu objek jual beli dapat dibedakan dalam tanah yang bersertifikat maupun tanah yang tidak bersertifikat. Tanah-tanah yang bersertifikat meliputi tanah yang pembuktiannya berupa : SK Gubernur, SK Bupati dan SK Camat, sedangkan surat keterangan Kepala Desa hanya sebagai petunjuk dan pelengkap bukti bahwa sengketa tanah tersebut tidak ada. Namun terhadap tanah yang tidak bersertifikat kehadiran Kepala Desa maupun pamong desa dalam setiap transaksi sangat diperlukan, karena tanpa dukungan mederwerking Kepala Desa Universitas Sumatera Utara Suku dan masyarakat desa, maka perbuatan hukum tersebut dianggap tidak sah dan tidak berlaku terhadap pihak ketiga karena tidak memenuhi syarat terang. 24 Imam Soetiknyo menyebutkan dalam hal tanah yang tidak bersertifikat, bila akan dialihkan, disaksikan oleh Kepala Desa dan pamong praja seperti sekretaris desa dan kepala dusun, mereka merupakan saksi khusus. Hal ini dikarenakan mereka dianggap lebih mengetahui kondisi dan segala sesuatu mengenai tanah, dan hal ini bisa menjadi suatu pembuktian yang kuat sebagaimana diakui oleh PPAT dalam pasal 19 ayat 3, sedangkan alat bukti girik atau petuk pajak atau surat di atas segel dianggap sebagai alat bukti petunjuk saja. Kesaksian Kepala Desa juga diperlukan untuk menjamin bahwa tanah yang dialihkan adalah benar-benar kepunyaan dan hak dari pemilik sehingga dia berwenang mengalihkannya. 25 Sebagai akibat politik hukum pemerintah Hindia Belanda, maka sebagaimana halnya dengan hukum perdata, hukum tanah pun bersifat dualisme yaitu dengan berlakunya bersamaan dua perangkat peraturan hukum tanah adat yang bersumber pada hukum adat yang tidak tertulis dan hukum tanah barat yang ketentuan pokoknya bersumber pada KUHPerdata yang merupakan hukum tertulis. Jika dilihat sistem tersebut, maka akan sangat berpengaruh terhadap penggolongan tanah. Pada waktu itu dikenal adanya tanah hak barat seperti eigendom, erfpacht dan opstal yang tunduk pada hukum tanah barat. Sehingga dengan demikian, 24 Bandingkan dengan pasal VII Ketentuan Konsideran UUPA yang menyebutkan bahwa akta pemindahan yang dibubuhi kesaksian Kepala DesaKepala Adat diakui sebagai hak milik yaitu sebelum tanggal 8 Oktober 1997 25 Imam Soetiknyo, Op-cit hlm 61 Universitas Sumatera Utara hak dan kewajiban pemegang haknya, hal-hal mengenai pemilikannya, perolehannya, pembebanan dengan hak lain, pemindahan haknya misalnya jual beli, hapus serta pendaftarannya diatur menurut hukum tanah barat. Tanah-tanah dengan hak Indonesia seperti tanah-tanah dengan hak-hak adat antara lain tanah milik adat, tanah gran Sultan dan tanah ulayat yang merupakan tanah bersama masyarakat persekutuan hukum adat tunduk pada hukum adat. Dengan demikian akibatnya dalam peralihan hak atas tanah khususnya jual beli tanah, sebelum berlakunya UUPA juga dikenal dua lembaga hukum jual beli tanah, yaitu yang diautur oleh KUHPerdata dan yang diatur oleh hukum adat. Dalam hukum adat, pada dasarnya setiap perbuatan hukum yang mengakibatkan terjadinya pemindahan suatu hak atas tanah seperti jual beli tanah akan mendapat perlindungan hukum jika perbuatan hukum itu dilakukan secara sah. Untuk menjamin bahwa suatu jual beli itu sah, maka harus dilakukan secara terang, suatu perbuatan hukum jual beli dilakukan secara terang, jika dilaksanakan dengan sepengetahuan pimpinan persekutuan atau kepala desa yang sekaligus bertindak sebagai saksi dan menjamin sahnya perbuatan hukum jual beli tersebut. Menurut Hilman Haikusuma ”Bagi masyarakat adat dalam tata cara jual beli tanah, bukan unsur subjektif atau objektif tetapi terlaksana dan terjadinya perjanjian itu didasarkan pada kesepakatan bulat mufakat tunai dan tidak tercela, yang dimaksud tidak tercela yaitu masyarakat lingkungannnya tidak ada yang mempersoalkan, tidak ada yang merasakan terjadinya perjanjian itu tidak baik. Sebaliknya walaupun perjanjian itu dibuat dihadapan Kepala Kampung jika masyarakat Universitas Sumatera Utara mempersoalkan, menganggap hal itu tidak baik, maka perjanjian itu sebenarnya tidak sah.” 26 Sebelum jual beli dilakukan antara pemilik tanah dan calon pembeli, tentunya sudah dicapai kata sepakat mengenai akan dilakukannya jual beli itu, tanah mana yang akan dijual dan harganya, bilamana jual belinya akan dilakukan. Kata sepakat itu menimbulkan perjanjian, yang kiranya dapat disebut perjanjian akan melakukan jual beli. Menurut hukum adat untuk mengikatnya perjanjian disyaratkan adanya apa yang disebut ”panjar” berupa uang atau benda yang oleh calon pembeli diserahkan kepada pemilik tanah. Selanjutnya berdasarkan kata sepakat itu kemudian diikuti dengan pernyataan ijab kabul berupa penyerahan uang harga dan tanah oleh pembeli dan penjual dihadapan para saksi.pada saat itu barulah dapat dikatakan jual beli itu terjadi secara sah dan masyarakat setempat menerimanya. Berdasarkan sistem dan tata cara jual beli menurut hukum adat dapat disimpulkan bahwa syarta-syarat sahnya suatu perbuatan hukum jual beli tanah menurut hukum adat yaitu adanya objek daripada jual beli berupa tanah dan uangharga, adanya kata sepakat para pihak penjual dan pembeli dan adanya saksi- saksi yang menyaksikan perbuatan hukum jual beli itu. 26 Hilman Hadikusumah, Hukum Perjanjian Adat, Bandung: Alumni, 1982, hlm 129 Universitas Sumatera Utara Pada umumnya saksi-saksi terdiri dari pimpinan persekutuankepala desa, pemilik tanah yang berbatasan, dan para ahli waris dari pihak serta orang lain yang sengaja diminta untuk menyaksikan perbuatan hukum jual beli. Jual beli tanah dalam hukum adat telah mendapat perlindungan hukum berdasarkan beberapa Yurisprudensi putusan Mahkamah Agung yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor 237 Ksip.1986 tanggal 20 Juli 1968 mengenai jual beli tanah yang dilakukan dengan terang-terangan di muka pejabat desa dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 475 KSip.1970 tanggal 3 Juni 1970 mengenai jual beli menurut hukum adat sudah terjadi, sejak perjanjian tersebut diikuti dengan pencicilannya. Dalam hal pendaftaran tanah hak milik adat telah ada suatu putusan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 123KSip1970 tanggal 19 September 1970 yang menetapkan bahwa pendaftaran jual beli itu bersifat administratif belaka, dalam arti bukan merupakan syarat sah atau menentukan saat berpindahnya hak atas tanah dalam jual beli. Pendaftaran hanya berfungsi sebagai memperkuat pembuktian terutama dalam hubungannya dengan pihak ketiga. Mengenai pendaftaran terhadap tanah yang berasal dari tanah milik adat, Muhammad Yamin menyebutkan ”Khusus pendaftaran tanah yang berasal dari tanah hak milik adat maka pemohon mengajukan permohonan pengakuan hakkonversi dengan melampirkan tanda bukti haknya seperti yang dimaksud dalam UUPA, Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 tahun 1970 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 26DDA1996 kemudian oleh Kepala Pertanahan KabupatenKotamdaya permohonan tersebut diumumkan selama 2 dua bulan berturut-turut di Kantor Kepala Desa dan Kantor Camat untuk Universitas Sumatera Utara memberikan kemungkinan pihak lain mengajukan keberatan-keberatan atas permohonan pendaftaran tersebut. Bila dalam jangka waktu yang telah ditentukan telah lewat, maka permohonan pengukuran hak tersebut diteruskan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi untuk diterbitkan Surat Keputusan pengakuan haknya”. 27

2. Konsepsi