Jual Beli Tanah Menurut Hukum Adat Karo Pengertian Jual beli Tanah Menurut Hukum Agraria

masing-masing melakukan suatu perbuatan tertentu untuk tercapainya maksud dalam transaksi ini, sesuai dengan transaksi tanah yang dimaksud. Inti dari pada transaksi ini adalah pengoperan atau pun penyerahan tanah disertai pembayaran kontan dari pihak lain pada saat itu juga, dalam hal ini ada dua pihak yang melakukakan transaksi ini yaitu pihak pertama yang melakukan penyerahan tanah penjual dan pihak lainnya membayar harga tersebut pembeli. Di dalam hukum tanah adat perbuatan ini disebut “transaksi jual “ di suku Jawa disebut “ adol “ atau “ sade “, di suku Batak “ manggadis “ 83

2. Jual Beli Tanah Menurut Hukum Adat Karo

Pada dasarnya dahulu masyarakat karo tidak mengenal jual beli tanah, tanah tidak pernah diperjual belikan karena hal ini merupakan perbuatan yang memalukan menyangkut status harga diri dalam keluarga, apabila terjadi pengalihan hak atas tanah, hal ini terjadi akibat peristiwa adat yang berlaku, misalnya pemberian orangtua kepada anak laki-laki dan anak perempuan yang telah kawin atau karena perwarisan. Masyarakat karo yang berdasarkan teritorial sangat menghormati pimpinannya yang dahulu disebut dengan pengulu, yaitu orang yang diangkat sebagai pimpinan bagi mereka baik itu untuk urusan pemerintahan maupun penyelesaian hal-hal yang terdapat dimasyarakat itu sendiri. Pengulu ini mempunyai suatu hak atau kekuasaan untuk memberikan tanah garapan kepada masyarakatnya dan tanah-tanah garapan ini tidak boleh dijual kepada orang lain, apabila sipenggarap meninggalkan tanahnya dan tidak mengolahnya lagi maka tersebut akan kembali ke masyarakat persekutuan hukum. Apabila tanah yang ditinggalkannya tersebut telah ditanami dengan tanaman- 83 Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1983, hlm. 72 Universitas Sumatera Utara tanaman keras maka sipenggarap semula datang kembali ia berhak untuk memungut hasilnya. Dengan perkembangan kehidupan masyarakat tanah mempunyai nilai ekonomi yang semakin tinggi dan tidak dapat dipungkiri lagi jual beli tanah dikenal dan telah sering dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal dan juga untuk memperluas tanah pertanian masyarakat.

3. Pengertian Jual beli Tanah Menurut Hukum Agraria

Seperti diketahui bahwa pada saat ini, di bidang hukum agraria yang berlaku hanyalah UUPA dan peraturan pelaksanaannya. Sebelum berlakunya UUPA, telah terjadi dualisme dalam bidang hukum agraria, yakni hukum adat disatu pihak dan KUHPerdata dilain pihak. Dengan UUPA, pembuat Undang-Undang telah memilih jalan kesatuan hukumunifikasi dan mengakhiri sistem dualisme hukum tersebut. Unifikasi hukum agraria dalam arti bahwa hukum agraria di Indonesia adalah berdasar pada satu sistem hukum yaitu hukum adat. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 5 UUPA yang antara lain menetapkan hukum agraria yang berlaku terhadap bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat. Selanjutnya dalam penjelasan umum III angka 1 UUPA menentukan “ Hukum agraria yang baru tersebut akan didasarkan pada ketentuan hukum adat, sebagai hukum asli yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia internasional”. Universitas Sumatera Utara Sehubungan dengan ini AP. Parlindungan menjelaskan, seyogyanya dapat diterima hukum adat seperti yang dikatakan oleh Boedi Harsono, hukum adat yang disaneer, atau oleh Sudargo Gautama disebutkan sebagai hukum adat yang diretool. Namun setidak-tidaknya adalah hukum adat yang telah dihilangkan sifat-sifatnya yang khusus daerah dan diberi sifat nasional. 84 Dalam UUPA maupun dalam peraturan pelaksanaannya tidak memberi penjelasan mengenai apa yang dimaksudkan tentang pengertian jual beli tanah. Melalui ketentuan pasal 5 dan penjelasan umum UUPA tersebut, maka berkenaan dengan pengertian jual beli tanah yang dianut dalam UUPA adalah pengertian jual beli tanah yang didasarkan kepada hukum adat yaitu sebagai perbuatan hukum yang bersifat kontantunai dan terang. Kontantunai berarti penyerahan hak atas tanah dan pembayaran harga atas tanah yang menjadi objek perbuatan hukum jual beli tersebut dilakukan pada saat yang sama. Terang berarti jual beli itu dilakukan dengan sepengetahuan Kepala Desa dengan dihadiri saksi-saksi. Dengan berlakunya UUPA, PP no. 24 tahun 1997 dan PP no. 37 tahun 1998 serta peraturan pelaksanaannya maka jual beli tanah haruslah dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang PPAT dan setelah selesainya pembuatan akta jual beli tersebut beralihlah hak atas tanah dari penjual kepada pembeli. Dengan demikian dipenuhi unsur kontantunai dan terang dari sifat jual beli menurut hukum adat. Dari 84 AP. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung: Mandar Maju, 1998, hlm. 57 Universitas Sumatera Utara uraian ini dapat disimpulkan bahwa perbuatan hukum jual beli tanah sesudah berlakunya UUPA merupakan suatu perbuatan pemindahan hak atas tanah.

4. Jual Beli Tanah Menurut UUPA