Telurnya bewarna hitam, berbentuk oval-panjang, dan tanpa pelampung. Pada dinding telur tampak garis-garis seperti anyaman kain kasa. Tampak telur-telur
tersebut diletakkan satu persatu di atas air. Telur A. aegypti ini ternyata mampu bertahan hidup pada kondisi kering tanpa air sampai setahun lamanya. Bila
bercampur dengan air, sebagian telur akan menetas dalam beberapa waktu biasanya 24 jam, sedangkan sebagian lagi akan tercelup lebih lama dalam air dan akan
menetas dalam beberapa hari atau minggu. Larva Aedes memiliki sebuah siphon yang pendek dan sepasang lempengan sirip
perut subventral tufts yang tumbuh maksimal seperempat panjang siphon. Selain itu terdapat sedikitnya 3 pasang bulu yang keras setae dari bulu-bulu sirip perut
ventral brush. Larva memperoleh makanan dari mikrobiota air yang tumbuh pada permukaan tempat hidupnya. Waktu yang dibutuhkan untuk berkembang tergantung
dari suhu air dan persediaan makanan, biasanya berkisar antara 4 sampai 10 hari. Larva ini akan mati pada suhu di bawah 10
° C atau di atas 44
° C Darlan, 2004;
Soedarmo, 2005.
II.4. Patogenesa dan Patofisiologi Infeksi Virus Dengue
Jika nyamuk A. aegypti menghisap darah penderita infeksius virus Dengue, maka virus Dengue masuk ke tubuh nyamuk bersama darah yang dihisapnya. Di dalam
tubuh nyamuk, virus berkembang biak dan menyebar ke seluruh bagian tubuh nyamuk terutama di kelenjar liur. Saat nyamuk infeksius menghisap darah manusia
lain, maka air liur bersama virus Dengue dilepaskan terlebih dahulu agar darah yang
32
akan dihisap tidak membeku, dan pada saat inilah virus Dengue ditularkan ke manusia lainnya.
Dalam tubuh manusia, virus berkembang biak dalam sistem retikuloendotelial dengan target utama virus adalah Antigen Presenting Cells APC yang umumnya
berupa monosit atau makrofag jaringan seperti sel Kupffer di hepar. Viremia timbul pada saat menjelang gejala klinis muncul hingga 5-7 hari sesudahnya.
Manifestasi klinis Demam Dengue timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus. Virus akan berkembang di dalam peredaran darah dan akan ditangkap oleh
makrofag. Makrofag akan segera bereaksi dengan menangkap virus dan memprosesnya sehingga makrofag menjadi APC. Antigen yang menempel di
makrofag ini akan mengaktifasi sel T-helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. T-helper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik yang
akan melisis makrofag yang sudah memfagosit virus. Proses ini akan menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang terjadinya gejala sistemik dan gejala
lainnya. Semua flavivirus memiliki kelompok epitop pada selubung protein yang
menimbulkan ‘cross reaction’ atau reaksi silang pada uji serologis, hal ini menyebabkan diagnosis pasti dengan uji serologi sulit ditegakkan. Infeksi oleh satu
serotipe virus Dengue akan menimbulkan imunitas protektif terhadap serotipe virus tersebut, tetapi tidak ada ‘cross protective’ terhadap serotipe virus yang lain.
33
Imunopatogenesis DBD dan SSD masih merupakan masalah yang kontroversial. Ada beberapa teori yang digunakan untuk menjelaskannya, tetapi yang paling sering
digunakan adalah hipotesis infeksi sekunder secondary heterologous infection atau sequential infection dari Halstead.
Teori infeksi sekunder menyebutkan bahwa apabila seseorang mendapat infeksi primer dengan satu jenis serotipe virus, akan terjadi kekebalan terhadap serotipe virus
tersebut dalam jangka waktu lama. Tetapi bila ia mendapat infeksi sekunder dari jenis serotipe virus lainnya, maka akan terjadi infeksi berat. Hal ini disebabkan pada
infeksi sekunder antibodi heterologous yang telah terbentuk dari infeksi primer akan membentuk kompleks dengan infeksi virus Dengue baru dari serotipe berbeda, akan
tetapi tidak dapat dinetralisasi non neutralizing bahkan membentuk kompleks yang infeksius. Hal ini dapat merangsang produksi IL-1, IL-6 dan TNF alpha. Karena
antibodi bersifat heterolog, maka virus tidak dapat dinetralisasi bahkan bebas bereplikasi di dalam makrofag. Kemudian TNF alpha yang dihasilkan baik dari INF
gamma atau pun dari makrofag yang teraktifasi, beserta komplemen-komplemen seperti C3a dan C5a anafilatoksin, akan menyebabkan kebocoran dinding pembuluh
darah, merembesnya cairan plasma ke jaringan tubuh akibat kerusakan endotel pembuluh darah sehingga dapat mengakibatkan syok Ginting, 2004; Soegijanto,
2006; Kusumawati, 2006.
34
II.5. Manifestasi Klinis II.5.1. Demam Dengue DD