Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk 1989 sampai 1995 dan pernah meningkat tajam pada tahun 1998 hingga 35 per 100.000
penduduk. Akan tetapi angka mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2 pada tahun 1999 Suhendro, 2006.
Data dalam buku “Profil Indonesia 2000” menunjukkan bahwa di antara negara- negara ASEAN, Indonesia menduduki urutan kedua tertinggi kasus DBD yaitu
sebesar 39.404 kasus setelah Vietnam Sulani, 2004.
II.3. Nyamuk Aedes aegypti sebagai Vektor Virus Dengue
Demam berdarah dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes spp. Aedes termasuk subfamili dari
Culicinae bersama-sama dengan Culex, Mansonia dan Armigeres. Nyamuk Aedes ini tersebar luas di seluruh Indonesia oleh karena itu hampir seluruh daerah Indonesia
memiliki resiko tinggi untuk terjangkit DBD kecuali daerah dengan ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut Darlan, 2004.
Sampai saat ini diketahui ada beberapa nyamuk yang berperan sebagai vektor dengue. A. aegypti merupakan vektor epidemi yang paling utama. Vektor lain yang
juga berperanan pada penularan virus Dengue adalah A. albopictus, A. polynesiensis, anggota dari A. scuttelaris complex dan A.finlaya niveus. Selain A. aegypti semua
vektor sekunder mempunyai daerah distribusi geografis tersendiri yang terbatas. Yang paling efisien sebagai vektor epidemi adalah A. aegypti Suroso, 2003;
Soedarmo, 2005.
29
Secara geografis, spesies nyamuk ini umumnya ditemukan berada di 40 °
Lintang Utara sampai 40
° Lintang Selatan di belahan tropis dan subtropis dunia. Spesies ini
sangat lemah pada kondisi suhu yang panas dan kering. A. aegypti adalah spesies yang unik, karena mampu mengurangi denging sayap
saat mendekati manusia sehingga manusia tidak dapat mendengarnya. Hal ini berbeda seperti halnya spesies nyamuk lain yang mengeluarkan bunyi denging yang sangat
mengganggu bahkan mampu membangunkan orang yang sedang tidur. Nyamuk ini juga memiliki sifat tidak meninggalkan sarangnya lebih dari jarak 90 meter yang
sekaligus menjamin persediaan makanannya Darlan, 2004. A. aegypti bersifat antrofopilik lebih memilih manusia dan hanya nyamuk betina
yang menghisap darah. Nyamuk ini memiliki kebiasaan menghisap darah pada siang hari day biting, di dalam rumah indoor biting dan waktu istirahat di dalam rumah
indoor resting. Nyamuk dewasa biasanya berukuran 3-6 mm. Pada betina, alat mulutnya panjang
dan runcing yang disesuaikan untuk menusuk dan mengisap darah. Antenanya panjang filiform, pada nyamuk jantan memiliki banyak bulu yang disebut antena
plumose sedangkan pada betina sedikit berbulu dan disebut antena pilose. Maksilaris palpi betina berukuran lebih pendek dari panjang probosis, sedangkan pada jantan
panjang palpi hampir sama dengan panjang probosis Husaini, 2003; Hadi, 2006.
30
Nyamuk ini dapat dibedakan dari jenis nyamuk lainnya dengan melihat ujung abdomen yang meruncing dan sersi yang menonjol. Aedes dewasa pada tubuhnya
memiliki corak belang hitam putih di toraks, abdomen dan tungkai. Corak ini adalah sisik yang menempel di luar tubuh nyamuk. Untuk membedakan A. aegypti dan A.
albopictus dapat dilihat dari corak putih ini, dimana pada A. aegypti corak putih pada dorsal toraks berbentuk seperti siku yang berhadapan lyre-shaped sedangkan pada
A. albopictus berbentuk lurus di tengah-tengah punggung median stripe Hadi, 2006.
Gambar 1. Aedes Aegypti betina Gaiani, 2007; Hadi 2006
A. aegypti betina suka bertelur dalam tempat penampungan air yang tidak beralaskan tanah seperti bak mandi, tempayan, drum, vas bunga dan barang bekas
yang dapat menampung air hujan. Air harus jernih dan terlindung dari cahaya matahari langsung. Tempat air yang dipilih adalah tempat air di dalam dan di dekat
rumah. Tempat air yang tertutup kurang rapat lebih disukai oleh nyamuk betina dibandingkan dengan tempat air yang terbuka. Hal ini disebabkan tempat tersebut
akan relatif lebih gelap dibandingkan dengan tempat air yang terbuka Soedarmo, 2005; Hadi, 2006.
31
Telurnya bewarna hitam, berbentuk oval-panjang, dan tanpa pelampung. Pada dinding telur tampak garis-garis seperti anyaman kain kasa. Tampak telur-telur
tersebut diletakkan satu persatu di atas air. Telur A. aegypti ini ternyata mampu bertahan hidup pada kondisi kering tanpa air sampai setahun lamanya. Bila
bercampur dengan air, sebagian telur akan menetas dalam beberapa waktu biasanya 24 jam, sedangkan sebagian lagi akan tercelup lebih lama dalam air dan akan
menetas dalam beberapa hari atau minggu. Larva Aedes memiliki sebuah siphon yang pendek dan sepasang lempengan sirip
perut subventral tufts yang tumbuh maksimal seperempat panjang siphon. Selain itu terdapat sedikitnya 3 pasang bulu yang keras setae dari bulu-bulu sirip perut
ventral brush. Larva memperoleh makanan dari mikrobiota air yang tumbuh pada permukaan tempat hidupnya. Waktu yang dibutuhkan untuk berkembang tergantung
dari suhu air dan persediaan makanan, biasanya berkisar antara 4 sampai 10 hari. Larva ini akan mati pada suhu di bawah 10
° C atau di atas 44
° C Darlan, 2004;
Soedarmo, 2005.
II.4. Patogenesa dan Patofisiologi Infeksi Virus Dengue