Al-Qisth terhadap Anak Yatim

itulah wali datang kepadanya dan menikahinya. 94 Hal tersebut mengindikasikan bahwa sang wali telah memakan dengan zalim harta anak yatim dan mencampur hartanya dengan harta sang anak. Allah telah berfirman dalam Q.S. an- Nis [04]:02 dan ayat 10 bahwa tidak boleh bagi seorang wali anak yatim memakan dan mencampur hartanya dengan harta anak yatim.                     Dan berikanlah kepada anak-anak yatim yang sudah balig harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan menukar dan memakan itu, adalah dosa yang besar. 95                Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala neraka. 96 Pada ayat sebelumnya Q.S. An- Nis [04]:03 diterangkan dua perkara keadilan, pertama, keadilan dengan menggunakan term al-qisth dan kedua, keadilan dengan menggunakan term al- „adl. Kata „adl pada ayat ini menerangkan keadilan yang dilakukan oleh seorang suami kepada istri. Hal ini sering terjadi pada bangsa Arab bahwa seorang laki-laki dari bangsa Arab telah menikahi 10 atau lebih orang perempuan. Namun ia tidak mampu berbuat adil terhadap para 94 At- Thab thab ī, Al-Mīz n fī Tafsīr Al-Qur‟an, h. 166 95 Q.S. An- Nis [04]:02 lihat Al-Qur‟an Al-Hadi 96 Q.S. An- Nis [04]:10 lihat Al-Qur‟an Al-Hadi istrinya. Oleh karena itu Allah memerintahkan kepada para suami untuk menikahi seorang perempua saja. Menurut Ibn „ syūr jika seorang suami hawatir tidak dapat berlaku adil maka hendaknya ia menikahi satu orang perempuan saja atau seorang budak. Kehawatiran yang dimaksud adalah tidak dapat berbuat adil terhadap beberapa istri yang telah dinikahinya, yaitu dengan tidak adanya persamaan perlakuan suami terhadap mereka. Seperti dalam hal memberi nafkah, pakaian, kegembiraan, dan hubngan seksualitas. Allah telah mensyariatkan bahwa boleh menikahi perempuan lebih dari satu hanya bagi orang-orang yang mampu berbuat adil. Hal ini bertujuan untuk kemaslahatan bersama, diantaranya untuk memperbanyak populasi umat dengan bertambahnya jumlah kelahiran, menjamin kehidupan para wanita pada tiap-tiap generasi karena jumlah kelahiran wanita lebih banyak dari pada laki-laki, masa hidup wanita lebih lama dari pada laki-laki menurut kebiasaan, dan mengurangi perzinahan. 97 Menurut al- lūsī kehawatiran akan berbuat tidak adil terhadap beberapa istri sama seperti kehawatiran akan berbuat tidak adil terhadap hak-hak anak yatim. 98 Al-Raz ī berpendapat jika kamu takut akan tidak berbuat adil dalam menjaga hak-hak anak yatim maka jadilah kamu orang-orang yang takut untuk berbuat zina dan nikahilah wanita-wanita yang baik menurutmu, tetapi bukan wanita-wanita yang muhrim yang diharamkan untuk dinikahi. 99 97 Ibn „ syūr, Tafsīr At-Tahrīr wa At-Tanwīr, h. 226 98 Al- lūsī, Rūh Al-Ma‟ nī fī Tafsīr Al-Qur‟an Al-„Azhīm wa As-Sab‟ Al-Mats nī, h. 406 99 Fakhruddīn, Tafsīr Al-Fakhr Ar-R zī: Al-Tafsīr Al-Kabīr wa Maf tīh Al-Ghaib, h 178

3. Al-Qisth dalam Jual-Beli

Jual- beli adalah salah satu contoh mu‟amalah yang sering dilakukan oleh masyarakat. Jual-beli adalah transaksi yang dilakukan minimal oleh seorang penjual dan pembeli. Menurut bahasa jual-beli adalah bertemunya suatu barang dagangan dengan brang dagangan lainnya disertai akad. 100 Dalam transaksi jual-beli seorang penjual selayaknya berlaku jujur dan tidak berbuat curang. Seperti tidak boleh menjual barang-barang yang tidak layak untuk dijual atau kadaluarsa dan tidak boleh mengurangi takaran dan timbangan suatu barang. Sehingga dapat dikatakan bahwa selain seorang penjual dituntut untuk berbuat jujur, ia juga harus berbuat adil yaitu dengan menyempurnakan takaran dan timbangan suatu barang tanpa menguraginya sedikitpun. Sebagaimana firman Allah.                                          Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu Berlaku adil, Kendatipun ia adalah kerabatmu, dan penuhilah janji Allah. yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. 101 Pada ayat ini ada beberapa objek yang diterangkan oleh Allah Swt. Namun pembahasan yang diangkat adalah keadilan dalam menyempurnakan takaran dan 100 „Abdurrahm n al-Jazirī, Al-Fiqh „ala Al-Madz hib Al-Arba‟ah, Mesir: D rul Hadīts, 2004, h. 118 101 Q.S. Al- An‟ m [06]:152 lihat Al-Qur‟an Al-Hadi timbangan dalam transaksi jual-beli. Ayat ini juga menerangkan keadilan dengan dua term yang berbeda. Term pertama keadilan dengan menggunakan kata al- qisth dan term kedua menggunakan kata al- „adl. Sesungguhnya segala sesuatu dapat mencapai kesempurnaannya, karena telah mencapai batas ukuran yang cukup dan sempurna. Seperti satu dirham satu kesempurnaanukuran, dan satu ukuran satu kesempurnaan. Hak-haknya akan terpenuhi jika takaran dan timbangannya telah disempurnakan dan tidak dikurangi sedikitpun. 102 Menurut Ibn „ syūr, al- lūsī, 103 ar- R zī, 104 az- Zamakhsyarī, 105 dan Thab thab i‟ 106 keadilan dengan menggunakan term al-qisth yang dimaksud adalah keadilan dalam menyempurnakan takaran dan timbangan dalam transaksi jual-beli. Seperti halnya para pedagang yang telah menentukan takaran buah kurma dan kismis, dan timbangan emas dan perak. Namun, terkadang pedagang itu mengurangi takaran dan timbangannya dengan maksud mendapatkan keuntungan. Hal ini terjadi karena ketamakannya akan harta. Sehingga ia tidak berlaku adil dalam transaksi jual-beli dan mengurangi takaran serta timbangannya. 107 Di dalam Q.S. Hūd [11]:84 Allah Swt. berfirman bahwa tidak boleh mengurangi takaran dan timbangan dan Allah akan memerikan balasan azab bagi mereka yang berbuat curang. 102 Fakhruddīn, Tafsīr Al-Fakhr Ar-R zī: Al-Tafsīr Al-Kabīr wa Maf tīh Al-Ghaib, h. 247. Ayat lain yang semisal dengan ini yaitu Q.S. Hūd [11]:85 dan Q.S. ar-Rahm n [55]:09. 103 Al- lūsī, Rūh Al-Ma‟ nī fī Tafsīr Al-Qur‟an Al-„Azhīm wa As-Sab‟ Al-Mats nī, h. 298 104 Fakhruddīn, Tafsīr Al-Fakhr Ar-R zī: Al-Tafsīr Al-Kabīr wa Maf tīh Al-Ghaib, h. 247 105 Az- Zamakhsyarī, Tafsīr Al-Kasysy f „an Haq iq Ghaw midh At-Ta‟wīl wa ‟Uyūn Al- Aq wīl fī Wujūh At-Ta‟wīl, h. 76 106 At- Thab thab ī, Al-Mīz n fī Tafsīr Al-Qur‟an, h. 376 107 Ibn „ syūr, Tafsīr At-Tahrīr wa At-Tanwīr, h. 165                               Dan kepada penduduk Mad-yan kami utus saudara mereka, Syuaib. ia berkata: Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, Sesungguhnya aku melihat kamu dalam Keadaan yang baik mampu dan Sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan kiamat. 108 Ini mengisyaratkan bahwa adanya perintah untuk menegakkan hak-hak keadilan dalam menyempurnakan takaran dan timbangan. Tidak mengurangi takaran dan timbangan berarti ia telah telah berbuat adil dengan menyempurnakannya. Turunnya ayat ini agar menjadi perhatian bagi tiap individu untuk selalu condong berbuat adil dalam transaksi jual beli dengan menyempurnakan takaran dan timbangan dan tidak menguranginya. Hal ini juga menunjukkan kedermawanan seorang pedagang. 109 Tidak semua barang dapat ditimbang dengan ukuran yang pas, seperti biji- bijian. Oleh karena itu Allah tidaklah membebankan kepada hambanya untuk menyempurnakan timbangannya dalam hal biji-bijian dan segala benda yang berukuran kecil. Namun harus tetap waspada atau hati-hati dalam menentukan takaran dan timbangannya. Kehati-hatian dalam hal ini terjadi karena kehawatiran para penjual akan berbuat salah, dan juga mengindikasikan agar setiap orang tetap berlaku adil dalam hal sekecil apapun. Perintah ini juga bertujuan untuk menjaga 108 Lihat Al- Qur‟an Al-Hadi 109 Ibn „ syūr, Tafsīr At-Tahrīr wa At-Tanwīr, h. 165