Objek Al-Qisth dalam Al-Qur’an

dalam memimpin kerajaan langit dan bumi serta menciptakan segala yang ada pada keduanya, lagi Maha Bijaksana dalam firman-Nya, perbuatan-Nya dengan memberikan balasan kepada setiap makhluk-Nya sesuai dengan amal perbuatan mereka masing-masing, menetapkan peraturan-Nya dan tidak ada siapapun yang dapat menandinginya. Syahadat pada hakikatnya adalah kabar yang harus disahkandibenarkan oleh orang yang menerima kabar persaksian tersebut. Namun terkadang kabar juga dapat bersifat dustabohong seperti firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah [02]:282. Menurut Ibn „ syūr ayat di atas menerangkan tiga syahadat. Pertama, syahadatullah adalah Allah bersaksi bahwa Dia Esa, dan keesaannya dibuktikan dengan dalil-dalil yang telah Allah tetapkan dal īl qath‟i. Kedua, Syahadat malaikat adalah persaksian di antara mereka dengan menyampaikan wahyu kepada para rasul, 75 dan ketiga, syahadat orang-orang berilmu adalah kesaksian mereka atas keesaan Allah dengan hujah-hujah dan dalil-dalil al- Qur‟an, sunnah, dan ayat-ayat kauniyah untuk melawan kekafiran. 76 Persaksian ini ditujukan untuk membantah perkataan-perkatan orang-orang kafir yang memperolok-olok Islam. 77 tentang syahadat paling tinggi dengan berjanji bahwa setelah mereka diberitahu, mereka akan memeluk agama Islam. Kemudian turunlah ayat ini dan keduanya segera masuk Islam. Lihat Al- lūsī, Rūh Al-Ma‟ nī fi Tafsīr Al-Qur‟an Al-‟Azhīm wa As-Sab‟ Al-Mats nī, h. 102 75 Syahadat malaikat adalah bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, karena Allah telah mengabarkan kepadanya--tentang ayat yang turun di Mekkah sebelum ayat ini bahwa mereka adalah hamba-hamba Allah yang mulia yang tidak akan berbuat maksiat kepada-Nya dan mereka mengarjakan segala perintah-Nya dan selalu bertasbih kepada-Nya. Q.S. Al- Anbiy ‟ [21]:27 dan Q.S. Asy- Syūra [42]:05. Lihat Muhammad Husain at-Thab thab ī, Al-Mīz n fī Tafsīr Al-Qur‟an, Bairut: Muassasah Al- A‟la, 1983, h. 114-1115 76 Muhammad at- Thahir Ibn „ syūr, Tafsīr At-Tahrīr wa At-Tanwīr, t.tp: Al-D r at- Taunisiyyah, t.t, h. 186 77 Ibn „ syūr, Tafsīr At-Tahrīr wa At-Tanwīr, h. 187 Menurut ar- R zī keadilan yang dimaksud adalah kondisi tiap-tiap orang mukmin yang berilmu dalam menegakkan keadilan dengan bersaksi bahwa Allah Swt adalah Esa. 78 Pendapatnya juga sejalan dengan az- Zamakhsyarī , 79 al- lūsī , 80 dan Thab thab i‟. 81 Menurut al- lūsī orang-orang yang berilmu adalah para Nabi as, atau muh jirin dan ansh r, atau para ulama‟ yang mengimani kitab, atau para ulama‟ mukmin yang mengetahui keesaan Allah Swt. dengan dalil qati‟ dan hujjah-hujjah yang nyata. 82 Ar- R zī menjelaskan bahwa kesaksian yang dilakukan oleh orang-orang yang berilmu adalah terhadap keadilan yang Allah lakukan. Keadilan tersebut terbagi dua yaitu keadilan yang berkaitan dengan dunia dan keadilan yang berkaitan dengan agama. Adapun yang berkaitan dengan dunia adalah proses penciptaan anggota tubuh manusia, perbedaan kondisi individu ada yang baik dan ada yang buruk, kaya dan miskin, sehat dan sakit, panjang pendeknya umur seseorang, adanya kenikmatan dan penderitaan, dan penciptaan elemen-elemen bumi. Keadilan hal ini berkaitan dengan keadilan Allah dengan menggunakan term „adl. Sedangkan keadilan yang berkaitan tentang perkara agama adalah perbedaan dalam penciptaan makhluk ada yang berilmu dan ada yang tidak berilmu, ada yang cerdas dan ada yang bodoh, dan ada yang mendapatkan hidayah dan ada yang mendapatkan kesesatan. Keadilan ini berkaitan dengan keadilan Allah dengan menggunakan term „adl dan qisth. 83 Hal-hal tersebut adalah bukti 78 Fakhruddīn, Tafsīr Al-Fakhr Ar-R zī: Al-Tafsīr Al-Kabīr wa Maf tīh Al-Ghaib, h. 222 79 Mah mūd bin „ūmar bin Muhammad az-Zamakhsyarī, Tafsīr Al-Kasysy f ‟an Haq iq Ghaw midh At-Ta‟wīl wa ‟Uyūn Al-Aq wīl fī Wujūh At-Ta‟wīl, h. 338 80 Al- lūsī, Rūh Al-Ma‟ nī fī Tafsīr Al-Qur‟an Al-„Azhīm wa As-Sab‟ Al-Mats nī, h. 102 81 At- Thab thaba‟ī, Al-Mīz n fī Tafsīr Al-Qur‟an, h. 114 82 Al- lūsī, Rūh Al-Ma‟ nī fī Tafsīr Al-Qur‟an Al-„Azhīm wa As-Sab‟ Al-Mats nī, h. 101 83 Fakhruddīn, Tafsīr Al-Fakhr Ar-R zī: At-Tafsīr Al-Kabīr wa Maf tih Al-Ghaib, h. 222- 223