Al Khuthuwat langkah nyata untuk sebuah perbuatan. Adapun

menyangkut masalah keagamaannya. Bila ingin berbicara, hendaklah seseorang melihat dulu, apakah ada manfaat dan keuntungannya atau tidak ? bila tidak ada keuntungannya, dia tahan lidahnya untuk berbicara, dan bila dimungkinkan ada keuntungannya, dia melihat lagi, apakah ada kata kata yang lebih menguntungkan lagi dari kata kata tersebut ? bila memang ada, maka dia tidak akan menyia-nyiakannya. Kalau anda ingin mengetahui apa yang ada dalam hati seseorang, maka lihatlah ucapan lidahnya, ucapan itu akan menjelaskan kepada anda apa yang ada dalam hati seseorang, dia suka ataupun tidak suka.Yahya bin Mu’adz berkata : hati itu bagaikan panci yang sedang menggodok apa yang ada di dalamnya, dan lidah itu bagaikan gayungnya, maka perhatikanlah seseorang saat dia berbicara, sebab lidah orang itu sedang menciduk untukmu apa yang ada di dalam hatinya, manis atau asam, tawar atau asin, dan sebagainya. Ia menjelaskan kepada anda bagaimana “rasa” hatinya, yaitu apa yang dia katakan dari lidahnya, artinya, sebagaimana anda bisa mengetahui rasa apa yang ada dalam panci itu dengan cara mencicipi dengan lidah, maka begitu pula anda bisa mengetahui apa yang ada dalam hati seseorang dari lidahnya, anda dapat merasakan apa yang ada dalam hatinya dan lidahnya, sebagaimana anda juga mencicipi apa yang ada di dalam panci itu dengan lidah anda.

4. Al Khuthuwat langkah nyata untuk sebuah perbuatan. Adapun

tentang Al Khuthuwat maka hal ini bisa dicegah dengan komitmen seorang hamba untuk tidak menggerakkan kakinya kecuali untuk perbuatan yang bisa diharapkan mendatangkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bila ternyata langkah kakinya itu tidak akan menambah pahala, maka mengurungkan langkah tersebut tentu lebih baik baginya. Dan sebenarnya bisa saja seseorang memperoleh pahala dari setiap perbuatan mubah yang boleh dikerjakan dan boleh juga ditinggalkan, pent. yang dilakukannya dengan cara berniat untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan demikian maka seluruh langkahnya akan bernilai ibadah. Tergelincirnya seorang hamba dari perbuatan salah itu ada dua macam : tergelincirnya kaki dan tergelincirnya lidah. Oleh karena itu kedua macam ini disebutkan sejajar oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firmanNya : ☺ ☺ “Dan hamba hamba Ar Rahman, yaitu mereka yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata kata yang mengandung keselamatan.” QS. Al Furqon, 63. Hati nurani adalah salah satu aspek terdalam dalam jiwa manusia yang senantiasa menilai benar salahnya perasaan, niat, angan-angan, pemikiran, hasrat, sikap dan tindakan seseorang, terutama dirinya sendiri. Sekalipun hati nurani ini cenderung menunjukkan apa yang benar dan apa yang salah, tetapi ternyata tidak jarang mengalami keragu-raguan dan sengketa batin, sehingga seakan-akan sulit menentukan mana yang benar dan mana yang salah. 76 Tempat untuk memahami dan mengendalikan diri itu ada di hati. Hatilah yang menunjukkan watak dan siapa diri kita sebenarnya. Hati atau “kalbu’lah yang membuat manusia mampu berprestasi, bila hati bening dan jernih, insya Allah, keseluruhan diri manusia akan menampakkan kebersihan, kebeningan, dan kejernihan. 77 Hati menjadi esensi dari perilaku dan kehidupan manusia, jika hatinya baik maka perilaku seseorang akan baik, tetapi bila hati buruk maka akan berakibat negatif bagi perilaku manusia . Allah swt yang menciptakan sesuatu dan menetapkan sebuah hukuman. Sesungguhnya apa yang Dia kehendaki akan terjadi dab yang tidak Dia kehendaki juga tidak akan pernah terwujud. Tidak ada sesuatu walau sekecil apapun yang bergerak kecuali seizin-Nya. Semua makhluk takluk di bawah genggaman kekuasan-Nya. Dan sesungguhnya tidak ada hati seorang hamba pun kecuali berada di antara pengawasan Allah Ta’ala. Apabila Allah hendak meluruskan hati tersebut, maka Dia akan meluruskannya. Namun apabila Dia hendak menyelewengkannya, maka Dia pun akan menyelewengkan hati tersebut. Hati seorang hamba sebenarnya berada dalam genggaman Allah. Dia-lah Dzat Yang Membolak-balikkan pendirian hati seseorang menurut kehendak dan keinginan- Nya. Dia-lah yang menentukan kondisi hati sesuai dengan keinginan-Nya. Ibnu Qayyim mengatakan bahwa orang-orang ahli bid’ah, orang yang berpaling dari al-Qur’an, orang yang lalai kepada Allah dan orang-orang tukang 76 Bastaman, Hanna Djumhana, Integrasi Psikologi dengan Islam, Menuju Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. h. 147 77 Hermowo dan M. Deden Ridwan, Aa Gym dan Fenomena Daarut Tauhid: Memperbaiki Diri Lewat Manajemen Qalbu, Bandung: Hikmah-Mizan, 2002. h. 226-227 berbuat maksiat, hatinya berada dalam neraka Jahim yang sesungguhnya. Sedangkan hati orang-orang yang baik berada di dalam surga an Na’im sebelum masuk ke dalam surga an-Na’im yang sebenarnya. 78 Dari penjelasan di atas, penulis memberikan banang merah bahwa yang berperan penting dalam hal ini adalah hati. Hati merupakan pangkal dari segala perbuatan yang kita lakukan, dia juga merupakan esensi dari semua tindakan yang telah, sedang, dan akan kita lakukan. Dalam hal ini hati berperan penting dalam keseharian kita. Adapun penyakit hati menurut Ibnu Taimiyah adalah suatu bentuk kerusakan yang menimpa hati, dengan merusak gambaran dan kehendak hati. Akibatnya orang yang terjangkit penyakit hati akan membenci kebenaran yang bermanfaat dan menyukai kebatilan yang membawa kepada kemudharatan. 79 Oleh karena itu kata maradh sakit kadang-kadang diintepretasikan dengan syakh atau raib keraguan. Menurut Ibnu ‘Atha’illah, hati yang bersinar dan yang bercahaya, sehingga bebas dari kegundahan, keresahan, kesedihan, dan kecemasan. Maka hal ini dapat diperoleh dengan jalan mengingat Allah dzikir dan membaca al- Qur’an. 80 Hal yang sama dinyatakan oleh Syaikh Hakim Mu’inuddin Chisty, bahwa untuk menyembuhkan penyakit, baik fisik ataupun psikis salah satunya adalah dengan membaca ayat-ayat suci al-Qur’an. 81 78 Op. Cit, 13 Pengaruh Maksiat, h. 105 79 Ibnu Taimiyyah, Terapi Penyakit Hati. Jakarta: Gema Insani Press. 1998. h. 78 80 Sulaiman al-Kumayi, Cahaya Hati Penentram Jiwa, Pesan-pesan Spiritual Ibnu- Atha’illah, Semarang: Pustaka Nuun, 2005, h. 208 81 Syaikh Hakim Mu’inudin Chisty, Penyembuhan Cara Sufi, terj. Burhan Wira Subrata, Jakarta: Lentera, 1999, h.151 Keburukan dan kemaksiatan ini bisa datang karena hati seseorang dalam keadaan lengah dari dzikir kepada Allah. Ibnul Qoyyim al-Jauziyah berkata, “Apabila hati seseorang itu lengah dari dzikir kepada Allah, maka setan dengan serta merta akan masuk ke dalam hati seseorang dan mempengaruhinya untuk berbuat keburukan. Masuknya setan ke dalam hati yang lengah ini, bahkan lebih cepat daripada masuknya angin ke dalam sebuah ruangan.” 82

B. Pandangan Ibn Al-Qayyim Tentang Pengaruh Maksiat Terhadap