Dasar Hukum Kawin Paksa

Dalam syarat-syarat perkawinan pasal 6 menerangkan bahwa perkawinan harus didasarkan atau berlandaskan atas persetujuan kedua calon mempelai. 54 Dua pasal tersebut dapat ditarik benang merahnya bahwa perkawinan atau kawin paksa adalah suatu ikatan pernikahan antara seorang pria dengan seorang wanita yang dilaksanakan tidak berdasarkan persetujuan kedua calon mempelai atau salah satu dari mereka, karena adanya campur tangan pihak lain.

B. Dasar Hukum Kawin Paksa

1. Menurut Hukum Islam Islam tidak mengajarkan mengenai adanya pemaksaan dalam perkawinan, artinya pihak ketiga wali tidak ikut campur dalam menentukan siapa yang mesti menjadi pendamping hidup calon mempelai. Dalam suatu perkawinan memang perlu adanya wali, tetapi wali tersebut tidak dapat menentukan atau memaksakan pasangan mereka masing-masing, dalam pandangan Islam baik janda ataupun gadis perawan mempunyai kebebasan mutlak dalam memilih calon suami dan menolak pinangan seorang laki-laki. Tidak ada hak bagi orang tua untuk memaksakan kehendak sebab dalam mengarungi hidup rumah tangga tidak akan mungkin tegak dengan sempurna dan meraih bahagia tanpa adanya 54 Pedoman Pegawai Pencatat Nikah PPN, Jakarta: Depa, T.th, Penjelasan UU No. 1 Tahun 1974, h.113. gairah, cinta kasih dan ketentraman. 55 sebagaimana yang telah dijelaskan dalam al- qur’an:                       Artinya ; “Dan diantara tanda-tanda kekuasaann Allah adalah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tentram terhadapnya dan dijadikannya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. ” QS, Ar-Rum :21 Selain ayat diatas dijelaskan pula hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang berbunyi: Artinya: “ Dari Abdullah bin Buraidah dari bapaknya, ia berkata: telah datang seorang gadis kepada Rasulullah SAW. Lalu ia berkata : sungguh bapakku telah kawinkan aku dengan anak saudaranya laki-laki, agar dengan aku terangkatlah martabatnya, kata Abdullah : lalu kata Rasulullah SAW. Serahkan urusannya kepadanya. Dan kata gadis itu : saya izinkan 55 Ibnu Mahalli Abdullah Umar, Menyongsong Hidup baru Penuh Berkah, Yogyakarta: Media Insani, 2001, cet. Ke. 1, h.166. 56 Abi Abdillah Muhammad ibn Yazid al-Qazwayany, Sunan Ibnu Majah, Mesir, Dar al-Fikr, 1995 jilid 1. h.588 perbuatan bapakku itu, tetapi aku ingin mengajarkan kepada para wanita, bahwa dalam urusan ini kawin bapak-bapak itu tidak ada haknya. HR. Ibnu Majah ”. Dalam memilih seorang suami, seorang janda diberi kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri. Bila ada lelaki yang meminang dia diajak musyawarah dan diminta pendapatnya secara terang-terangan. Adalah Rasulullah SAW. Apabila akan menikahkan putrinya, selalu bertanya terlebi h dahulu : “putriku, ada seorang laki-laki yang akan meminangmu. Bila engkau tidak merasa berhasrat, maka berkatalah: Tidak. Sebab tidak ada seorang perempuan pun yang keberatan untuk menyatakanya.”bila putrinya tidak mengatakan: tidak, hanya berdiam saja berarti dia setuju. Sebab sikap diam adalah isyarat bahwa dia menyetujui pinangan sang lelaki. Rasulullah SAW mengajarkan kepada orang tua wali untuk meminta persetujuan anak perempuannya terlebih dahulu dalam perkawinan. Peristiwa di atas memberikan ilustrasi, bahwa dalam ajaran islam seorang perempuan memperoleh sesuatu yang sangat berharga berupa kemerdekaan, kehormatan, harga diri dan kebebasan menentukan siapa yang bakal diterima menjadi calon suami, atau ditolak pinangannya 57 . Syaikhul Islam Rohimatullah ”Asyaikh Zakaria Al-Anshori” pernah ditanya tentang paksaan bapak terhadap anak gadisnya yang sudah dewasa untuk menikah, apakah itu boleh atau tidak? Ia menjawab, mengenai 57 Ibnu Taimiyyah,Hukum Perkawinan. h.168-189 paksaan terhadap anak gadis untuk menikah ada dua pendapat yang masyhur. Pertama: bahwa bapak boleh memaksa anak gadisnya yang sudah dewasa untuk menikah, demikian pendapat Mazhab Imam Maliki, S yafi’i, yaitu pendapat yang dipilih Al-kharqi, Al-qadhi dan sahabat-sahabatnya. Kedua: bapak tidak boleh memaksa anak gadisnya yang sudah dewasa, demikian menurut Mazhab Abu Hanifah dan lain-lain, yaitu pendapat yang dipilih Abu Bakar, Abdul Aziz bin J a’far. Sedang orang-orang berbeda pendapat tentang bergantungnya paksaan, apakah terhadap anak gadis atau anak kecil? Yang benar adalah bahwa kaitan paksaan yaitu yang masih kecil karena yang sudah dewasa sinni at-takhlif wa rasyid yang dapat mengetahui kemaslahatan mereka sendiri, tidak seorangpun bisa memaksakannya untuk nikah, karena sesungguhnya terdapat keterangan dari Rasulullah SAW. Bahwa beliau bersabda: 58 Artinya : 58 Shahih Bukhari, bab 41 dari kitab Nikah, bab 11 dari kitab Ihyat, bab 3 dari kitab Ikrar, Shahih Muslim, hadis 64, 66, 67, 68 dari kitab Nikah “ Dari Abu Hurairoh r.a. Rasulullah SAW. Bersabda: seorang wanita janda tidak boleh dinikahkan tanpa bermusyawarah terlebih dahulu dengannya, seorang anak gadis perawan tidak boleh dinikahkan hingga diminta izin padanya, mereka bertanya : bagaimana izin anak gadis perawan itu? Rasul menjawab diamnya adalah jawaban nya” HR. Bukhari”. Ini adalah alasan Rasulullah SAW bahwa anak gadis tidak boleh dinikahkan hingga dimintai izin dan ini berlaku untuk bapak dan selain bapak. Batasan yang demikian ini telah dijelaskan dalam riwayat lain yang shahih. Bahwa bapak itu sendiri harus minta izin kepada anak gadisnya 59 . Bagi mereka yang berpendapat bolehnya paksaan merasa bimbang apabila si gadis itu menyatakan kufu’nya, sementara bapaknya sendiri menyatakan kufu’ yang lain, apakah berpegangan kepada ketentuan gadis itu ataukah dengan ketentuan bapaknya? Ada dua sudut pandang pada Mazhab S yafi’i dan Ahmad: pandangan yang mengakui ungkapan ini berdasarkan ketentuan anak, maka bertentangan dengan asalnya, dan pandangan yang mengakui ungkapan berdasarkan ketentuan bapak, maka didalam perkataannya itu terdapat kerusakan, bahwa janda itu lebih berhak terhadap dirinya maka hal ini menunjukan bahwa anak gadis tidak lebih berhak terhadap dirinya, tetapi walinya yang lebih berhak, dan itu tidak lain kecuali bapak dan kakeknya. Ini alasan mereka yang memaksa, mereka tidak mengamati nash hadist dan zhahirnya hadist, dan mereka berpegang dengan alasan 59 Ibnu Taimiyyah,Hukum Perkawinan. h.124 khitabnya, tetapi mereka berpegang dengan isyarat khitabnya, dan mereka tidak mengetahui maksud Rasulullah SAW. Sementara mengenai anak gadis mereka tidak mengharuskan izinnya, karena berpendapat bahwa “minta izin itu mustahab”, bahkan sebagian mereka menolak kiasan dan mereka berkata “karena minta izin itu mustahab maka cukup dalam izin itu dengan diam dan menyangka bahwa sekira izinnya gadis wajib maka harus berupa ucapan”, inilah yang dikatakan oleh sahabat Imam S yafi’i dan Imam Ahmad 60 . Mengenai dasar-dasar hukum islam tentang kawin paksa perlu diperjelas kembali bahwa dalam ajaran islam tidak mengenal atau mengajarkan adanya pemaksaan kehendak dalam suatu proses perkawinan, akan tetapi pada kenyataan kini acap kali terjadi pemaksaan dalam perkawinan. Sehingga dasar hukum yang ada sebagai berikut: a. Dalam Al-Qur ’an Surat Annisa: 1 yang berbunyi:                  …...   Artinya: ”Hai sekalian manusia, bertakwalah kamu kepada tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah 60 Ibid, h.126 menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah memperkembang biakan laki-laki dan perempuan yang banyak…”Q.S An-nisa : 1 Ayat di atas ini menerangkan bahwa sesungguhnya Allah SWT telah menciptakan manusia dimuka bumi ini saling membutuhkan antara laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini di mana antara keduanya harus melangsungkan sebuah perkawinan demi berlangsungnya keturunan mereka, sehingga Allah SWT menentukan agar tip laki-laki hendaknya menikah dengan lawan jenisnya. Surat Ar-rum : 21 yang berbunyi:                       Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaann Allah adalah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tentram terhadapnya dan dijadikannya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. ” QS, Ar-Rum :21 Ayat ini menerangkan bahwa suatu perkawinan harus didasari oleh perasaan cinta kasih, kerelaan sehingga dari dua pasangan yang saling menyukai tersebut akan membentuk keluarga yang sakinnah. Artinya pemaksaan dalam perkawinan menurut ayat di atas tidak dibenarkan. b. Dalam hadist 61 Artinya : “Telah diriwayatkan kepada kami Abubakar bin Abi Syaibah, telah meriwayatkan kepada kami Yazid bin Harun dari Yahya bin Sa ’id, ujarnya; Qasim bin Muhammad telah menceritakan bahwa Abdurahman bin Yazid dan M ajama’ bin Yazid Al-Anshari telah menceritakan kepadanya tentang seorang laki-laki yang bersama Khidsam menikahkan salah seorang anak perempuannya, tetapi anak perempuan tersebut enggan untuk dinikahkan oleh ayahnya. Lalu ia datang kepada Rasulullah dan menceritakan kejadian tersebut kemudian rasulullah mengembalikan persoalan kepadanya, apakah ia menerima perkawinan yang telah dilakukan oleh ayahnya atau tidak. Kemudian anak itu memilih menikah dengan Abu Lubabah bin Abdil Munzir, namun menurutnya kejadian ini bukan pada gadis, tetapi pada perempuan janda” 61 Abi Abdullah Muhammad ibn Yazid Al-Qazwayany, h.588. 62 Artinya : “Dan Abdullah bin Buraidah dari bapaknya, ia berkata ; telah datang seorang gadis kepada Rasulullah SAW lalu ia berkata : sungguh bapakku telah kawinkan daku dengan anak saudaranya laki-laki, agar dengan aku terangkatlah martabatnya, kata Abdullah : lalu Rasulullah SAW . Serahkan urusannya kepadanya. Dan kata gadis itu saya izinkan perbuatan bapakku itu, tetapi aku ingin mengajarkan kepada para wanita, bahwa dalam urusan ini kawin bapak-bapak itu tidak ada haknya. HR. Ibnu Majah Artinya: “ Telah diriwayatkan kepada kami Abu Saqar Yanya bin Yazdad Al- Anshari, telah meriwayatkan kepada kami, Hasan bin Muhammad bin Al-Mawarudzi, telah meriwayatkan kepadaku Jarir bin Hazi, dari Ayyub, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, sesungguhnya seorang anak gadis datang kepada Rasulullah SAW. Lalu ia menceritakan kepada nabi bahwa bapaknya telah menikahkan dirinya secara paksa, lalu beliau memberi hak kepada anak gadis itu untuk memilih HR. Ahmad Kasus yang diuraikan tesebut ialah langkah orang tua, yakni ayah untuk menikahkan anak gadisnya dengan lelaki yang menjadi 62 Ibid. h.588. 63 Ibid. h.588 pilihan ayahnya, sedangkan anak gadis tersebut tidak menyukai dengan lelaki yang dipilih ayahnya. Peristiwa yang semacam ini diadukan kepada Rasululllah SAW, ketika Rasulullah menerima pengaduan beliau memberikan hak untuk memilih kepada anak gadis yang bersangkutan apakah ia mau menerima paksaan orang tuanya atau dia menolak. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa syariat islam tidak membenarkan seorang ayah memaksa perkawinan kepada anaknya dengan lelaki yang sama sekali tidak diinginkan oleh si anak gadis itu. Jika pemaksaan itu harus dijalankan, maka perkawinannya batal. Sedangkan pada hadits kedua anak gadis yang dipaksa untuk menikah oleh orang tuanya dengan tujuan supaya si orang tua terbebas dari kehinaan atau utang- piutang. Setelah mengetahui tujuan orang tua, si anak merasa keberatan tetapi pada hakikatnya ia setuju dengan lelaki yang menjadi suaminya itu. Setelah anak perempuan itu menghadap Rasulullah dan beliau menyatakan adanya hak memilih pada anak gadis, maka anak gadis tersebut mengumumkan kepada wanita bahwa dalam urusan perkawinan orang tua tidak dapat memaksa, karena orang tua tidak mempunyai hak menetapkan secara sepihak calon suami bagi anak gadisnya. Dari kasus yang terjadi dimasa Rasulullah SAW tersebut, maka dapatlah dijadikan sebagai suatu prinsip dalam perkawinan islam, bahwasanya hak untuk memilih suami tetap ada pada anak perempuan yang bersangkutan. Begitu pula hak untuk memilih istri juga menjadi hak anak lelaki atau anak lelaki yang mengawininya. Orang tua menyadari ketentuan dasar semacam ini apabila mempunyai keinginan menjodohkan anaknya maka tidak melakukan secara paksa. Orang tua hanya mempunyai hak menganjurkan atau menasehati atau memberikan saran mana yang terbaik bagi anaknya dalam memilih calon suami atau istrinya. Seorang ayah juga tidak boleh memaksa putranya menikah dengan wanita yang tidak disukainya apakah itu karena cacat yang ada pada wanita itu, seperti kurang beragama, kurang cantik, atau kurang berakhlak hendaknya sang ayah mengatakan, “Kawinilah ia, karena ia adalah putri saudara saya” atau “ Karena dia adalah dari margamu sendiri”, dan ucapan lainnya. Anak tidak mesti harus menerima tawaran ayah dan ayah tidak boleh memaksa kehendaknya supaya ia menikah dengan wanita yang tidak disukainya. Demikian pula jika si anak hendak menikah dengan wanita sholehah, namun sang ayah melarangnya, maka ia tidak mesti mematuhi kehendak ayahnya apabila ia menghendaki istri yang sholehah. Jika sang ayah berkata kepadanya, “Jangan menikah dengannya”, maka sang anak boleh menikahi wanita sholehah itu sekalipun dilarang oleh ayahnya sendiri. Seorang anak tidak wajib taat dengan seorang ayah didalam sesuatu yang tidak menimbulkan bahaya terhadapnya sedangkan bagi anak ada manfaatnya. Kalau kita katakan, bahwa seorang anak wajib mematuhi ayahnya didalam segala urusan sampai pada urusan yang ada gunanya bagi seorang anak dan tidak membahayakan sang ayah, niscaya banyak kerusakan yang terjadi. Namun dalam masalah ini hendaknya sang anak bersikap lemah lembut terhadap ayahnya membujuk sebisa mungkin. Sudah sangat banyak orang yang menyesal dikemudian hari karena telah memaksa anaknya menikah dengan wanita yang tidak disukainya. 64 Hal ini membuktikan bahwasanya hak untuk menentukan calon istri atau suami mutlak ada di tangan masing-masing calon, hak ini tidak boleh direnggut oleh siapapun, sekalipun ayah atau ibunya. Dan bilamana seorang ayah atau ibu tidak menyetujui calon yang menjadi pilihan anaknya, maka ketidaksetujuan ayah atau ibunya itu sama sekali tidak dikategorikan sebagai tindakan anak mendurhakai orang tuanya, dalam hal ini si anaklah yang memegang hak bukan orang tua. Hal ini perlu diperhatikan oleh orang tua agar tidak salah paham dalam menerapkan ketentuan agama mengenai anak berbakti pada orang tua. Bilamana perselisihan pandangan antara anak dengan orang tua dalam 64 Ibnu Utsaimin, Fatawa, jilid 2, hal 761 Artikel di akses pada tanggal 1 Juni 2009 www.almanhaj.or.id memilih pasangan yang akan diinginkan, maka yang berhak untuk dijalankan adalah keinginan anaknya bukan keinginan orang tua 65 . 2. Menurut Hukum Positif Dalam undang undang tentang perkawinan No.1 tahun 1974 tidak secara jelas diterangkan mengenai dasar-dasar hukum atau landasan kawin paksa ini, namun sekilas dapat dimengerti bahwa undang-undang tentang perkawinan No.1 tahun 1974 tidak membenarkan adanya pemaksaan dalam perkawinan dapat dilihat pada : a. Pasal 6 Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai Persetujuan ini penting agar masing-masing suami dan istri memasuki gerbang perkawinan dan berumah tangga, benar-benar dapat dengan senang hati membagi tugas, hak dan kewajiban secara proposional, dengan demikian tujuan perkawinan dapat tercapai. 66 b. Pasal 27 ayat 1 : seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsumgkan dibawah ancaman yang melanggar hukum 65 Al-imam Ibnu Majah, 90 Petunjuk Nabi SAW Untuk Berkeluarga, Penerjemah Drs. M. Thalib, Cv. Ramdhan, Januari 1993, h. 25-28 66 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2000. Cet-ke 4. h.73-74 ayat 2 : seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan c. Selain itu dasar hukum tentang kedudukan kawin paksa dapat dilihat pada peraturan Menteri Agama RI NO.2 tahun 1990 bab IV persetujuan, ijin dan dispensasi pasal 12 yang berbunyi : „persetujuan harus didasarkan atas persetujuan calon mempelai’ d. Nasehat untuk kedua mempelai, jika salah satu mengabaikan hak-hak yang ada maka keharmonisan tidak tewujud 67 . Dari beberapa landasan hukum di atas ada hal ynag perlu diperjelas, bahwa dalam undang-undang tentang perkawinan No.1 tahun 1974 terkandung beberapa prinsip untuk menjamin cita-cita luhur suatu perkawinan yaitu azas sukarela, partisipasi, poligami dibatasi secara ketat dan kematangan fisik mental calon mempelai. Berkaitan dengan kawin paksa maka azas sukarela adalah satu pondasi awal terciptanya rumah tangga yang tentram dan harmonis sesuai dengan undang-undang perkawinan tersebut. Sebagai realitas dari pada asas sukarela maka perkawinan harus berdasarkan persetujuan kedua calon mempelai. Oleh karena itu setiap perkawinan harus mendapat persetujuan kedua calon tersebut, tanpa adanya paksaan dari pihak-pihak tertentu. Dengan demikian dapat dihindarkan 67 Buku nikah, Nasehat untuk kedua mempelai,RI, Depag. T,th, h.2 terjadinya kawin paksa. Untuk itu diisi surat persetujuan mempelai model N3 68 .

C. Alasan-alasan terjadinya kawin paksa