Sebab-sebab Terjadinya perceraian TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN

janganlah mereka diizinkan ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru. Q.S.At-thalaq: 1 Selain ayat-ayat Al- qur’an di atas ada pula hadits yang berkenaan dengan dasar hukum perceraian. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah, yang berbunyi: : . . 23 Artinya: ”Dari Ibnu Umar ia berkata: telah bersabda Rasulullah SAW; “Perkara halal yang sangat dibenci oleh Allah ialah talaq” Diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Hakam dan dirajihkan oleh Abu Hasyim kemursalan nya”.

C. Sebab-sebab Terjadinya perceraian

Suatu perkawinan menjadi putus antara lain karena perceraian dalam Hukum Islam perceraian terjadi karena khulu’, zhihar, ila dan li’an berikut ini penjelasan masing-masingnya: 1. Khulu’ Kata Khulu’ berasal dari kata khala’a, yakhla’u, khulu’an yang artinya ”mencabut” 24 , khul u’ yang dibenarkan hukum Islam tersebut berasal dari 23 Ibnu Hajar Al-Asqalani, diterjemahkan oleh A. Hassan, Terjemahan Bulughul Maram, Diponogoro, 1596, cet XXVII, h.476. 24 Munjid fillughati wala’lam. Cet Darul masyrik Beirut distributor Almaktabah Asyarkiyah Sahah Annujmah 1986, Beirut; Lebanon cet- ke 34. h.192. kata-kata khala’a ats-tsauba, artinya: menanggalkan pakaian karena perempuan sebagai pakaian laki-laki dan laki-laki pun pakaian bagi perempuan. Allah SWT berfirman dalam surat Al-baqarah ayat 187:                           Artinya: Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu ................ Q.S. Al-baqarah 1 :187 Khulu dinamakan juga tebusan. Karena isteri menebus dirinya dari suami dengan mengembalikan apa yang telah diterima sebagai mahar kepada suaminya . Menurut ahli fiqih, khulu’ adalah isteri memisahkan diri dari suaminya dengan ganti rugi yang disebut dengan iwad. Dasar pengertian ini ialah hadits riwayat Bukhari dan Nasa’i dari Ibnu Abbas, ia berkata: 25 25 Muammal Hamidy, Imron, dan Umar Fanany, Terjemah Nailul Authar Himpunan Hadits- Hadits Hukun, Jilid 5, Surabaya: PT.Bina Ilmu, 2001, h.2347. Artinya: Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada rasulullah SAW. Sambil berkata: Hai Rasulullah saya tidak mencela akhlaq dan agamanya, tetapi aku tidak ingin mengingkari ajaran Islam. Maka jawab Rasulullah SAW: maukah kamu mengembalikan kebunnya Tsabit,suaminya?. Jawabnya: mau. Maka Rasulullah SAW.bersabda: “terimalah Tsabit kebun itu dan thalaqlah ia satu kali”H.R Bukhari dan Nasai. 2. Zhihar Zhihar menurut bahas Arab, berasal dari kata zhahrun yang bermakna punggung. Dalam kaitannya dengan hubungan suami-isteri, zhihar adalah ucapan suami kepada isteri yang berisi menyerupakan punggung isteri dengan punggung ibunya, seperti ucapan suami kepada isteri : “Engkau bagiku adalah seperti punggung ibuku”. 26 Sebagai dasar hukum adanya pengaturan zhihar ialah firman Allah SWT. Surat Al-mujadilah ayat 2-4:                                                                                   26 Artinya: Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu- ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, Kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka wajib atasnya memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan budak, Maka wajib atasnya berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa wajiblah atasnya memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. Q.S. Al-mujadilah: 2-4 3. iIla ’ Kata ila’ menurut bahasa merupakan masdar dari kata “ala-yakli i’laan” sewazan dengan a’tha yu’thi itha’an, yang artinya sumpah. 27 menurut istilah Hukum Islam, Ila’ ialah ”sumpah suami dengan menyebut nama Allah SWT atau sifat-Nya yang bertujuan kepada isterinya untuk tidak mendekati isteri. baik secara mutlak maupun dibatasi dengan ucapan selamanya atau dibatasi empat bulan atau lebih. 28 Dasar hukum pengaturan ila’ ialah firman Allah SWT surat Al-baqarah ayat 226-227: 27 Zakiya Darajat, Ilmu Fiqih II, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995, h.200. 28 Abd.Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, Jakarta: Kencana, 2006, cet. Ke-2, h.243.                        Artinya: Kepada orang-orang yang meng-ilaa isterinya diberi tangguh empat bulan lamanya. Kemudian jika mereka kembali kepada isterinya, Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka berazam bertetap hati untuk talak, Maka Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. Q.S.Al-baqarah: 226-227. Allah SWT menentukan batas waktu empat bulan bagi suami yang meng ila’ isterinya mengandung hikmah pengajaran bagi suami maupun isteri. Suami menyatakan ila’ kepada isterinya pastilah karena kebencian yang timbul antara keduanya. Bagi suami yang meng- ila’ isterinya wajib meninggalkannya selama empat bulan karena dalam waktu tersebut akan timbul rasa rindu diantara keduanya dan bisa saling mengkoreksi diri untuk melakukan perubahan-perubahan sikap dan sifat menjadi lebih baik. Kemudian apabila ingin kembali suami wajib membayar kaffarah sumpah karena telah menggunakan nama Allah SWT untuk keperluan dirinya. Kaffarah yang harus dibayar adalah yang sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al- mai’dah ayat 89:                                                    Artinya: Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud untuk bersumpah, tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat melanggar sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi Pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah dan kamu langgar. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur kepada-Nya. Q.S.Al- maidah: 89. 4. Li’an L i’an berasal dari kata la’a. Sebab suami-isteri yang bermula’anah pada ucapan yang kelima kalinya berkata: ”sesungguhnya padanya akan jatuh laknat Allah SWT , jika ia tergolong orang yang berbuat dusta”. 29 Menurut istilah hukum Islam, li’an ialah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika ia menuduh isterinya berbuat zina dengan empat kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian kelima disertai persyaratan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah SWT jika ia berdusta dalam tuduhannya itu. 30 29 Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 8, Jakarta: Kencana, 2006, cet. Ke-2, h.126. 30 Abd.Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, Jakarta: Kencana, 2006, cet. Ke-2, h.239. Dasar hukum pengaturan lian bagi suami yang menuduh isterinya berbuat zina ialah firman Allah SWT surat An-nur ayat 6-7:                              Artinya: Dan orang-orang yang menuduh isterinya berzina, padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan sumpah yang kelima: bahwa lanat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.Q.S. An- nur: 6-7 Terhadap tuduhan suami, isteri dapat menyangkal dengan kesaksian sebanyak empat kali bahwa suaminya berdusta dalam tuduhannya. pada sumpah kesaksianya yang kelima disertai pernyataan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah SWT jika suami benar dalam tuduhannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat An-nur ayat 8-9:                        Artinya: Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. Dan sumpah yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.Q.S. An-nuur: 8-9 Dengan terjadinya sumpah lian ini maka terjadilah perceraian antara suami-isteri tersebut dan antara keduanya tidak boleh terjadi perkawinan kembali untuk selamanya. 31 Dimana terdapat hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda: 32 Artinya: D ari Ibnu Abbas, bahwa Nabi s.a.w bersabda: ”suami-isteri yang telah bermula’anah bila telah berpisah, maka mereka tidak dapat kembali selama- lamanya”. H.R. Daraquthni. 5. Sebab-sebab yang lain. a. Putusnya perkawinan sebab syiqaq. Syiqaq adalah krisis memuncak yang terjadi antara suami-isteri sedemikian rupa sehingga antara suami-isteri terjadi pertentangan pendapat dan pertengkaran yang menjadi suami-isteri yang tidak mungkin dipertemukan dan dipersatukan lagi. Firman Allah SWT. Surat An-nisa ayat 35 menyatakan :                         31 Ibid, h.239-240. 32 Muammal Hamidy,Imron, dan Umar Fanany, Terjemah Nailul Authar Himpunan Hadis- Hadis Hukun, Jilid 5, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2001, h.2383. Artinya: ”Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” Menurut firman Allah SWT tersebut, jika terjadi kasus syiqaq antara suami-isteri, maka diutus seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak isteri untuk mengadakan penelitian dan penyelidikan tentang sebab musabab terjadinya syiqaq dimaksud serta berusaha mendamaikan, atau mengambil kesimpulan bahwa lebih baik adanya perceraian dari pada perkawinan ini terus berjalan tetapi bisa mengakibatkan kemudharatan bagi suami-isteri. Maka kesimpulan putusnya perkawinan kalau sekiranya jalan inilah yang sebaik-baiknya. Terhadap kasus syiqaq ini, kedua hakam bertugas menyelidiki dan mencari hakikat permasalahannya, sebab musabab timbulnya persengketaan, berusaha untuk mendamaikan kembali agar suami-isteri kembali hidup bersama dengan sebaik-baiknya, kemudian jika perdamaian tidak mungkin ditempuh, maka kedua hakam berhak mengambil inisiatif untuk menceraikannya. kemudian atas dasar hakam ini maka hakim dengan keputusannya menetapkan perceraian tersebut. 33 Kedudukan cerai sebab kasus syiqaq adalah bersifat ba’in artinya antara bekas suami-isteri 33 Zakiya Darajat, Ilmu Fiqih II, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995, h.200. hanya dapat kembali sebagai suami-isteri dengan akad dan mahar yang baru. 34 b. Putusnya perkawinan sebab pembatalan. Jika suatu akad perkawinan telah dilaksanakan dan dalam pelaksanaanya ternyata ada larangan perkawinan antara suami-isteri. Sebab-sebab pembatalan karena pertalian darah, pertalian susuan, pertalian semenda, atau terdapat hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan hukum seperti tidak terpenuhinya rukun dan syarat, maka perkawinan menjadi batal demi hukum dengan melalui proses pengadilan dan hakim membatalkan perkawinan dimaksud. 35 Mengenai pembatalan perkawinan ini. Berdasarkan Undang- Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab IV pasal 22 sampai 28 memuat ketentuan yang isi pokoknya sebagai berikut: 36 Pertama, Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Kedua, Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu : a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri; b. Suami atau isteri; c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan; 34 Abd.Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, Jakarta: Kencana, 2006, cet. Ke-2, h.243. 35 Zakiya Darajat, Ilmu Fiqih II, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995, h.205-206. 36 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat 2 Pasal 16 dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus. Ketiga, Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat 2 dan Pasal 4. Keempat, Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau tempat tinggal kedua suami-isteri. Kelima, Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali-nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 dua orang saksi dapat dimintakan pembatalan, oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri. Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat 1 pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akta perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah. Keenam, Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan berlangsung dibawah ancaman yang melanggar hukum. Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri. Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 enam bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami-isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur. Ketujuh, Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Putusan tidak berlaku surut terhadap : a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; b. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu; c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum putusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam juga terdapat alasan-alasan pembatalan perkawinan sebagaimana diatur dalam pasal 70 sampai dengan 71 yang isi pokoknya sebagai berikut: 37 a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri sekalipun salah satu dari keempat isterinya dalam iddah talak raj`i; b. Seseorang menikah bekas isterinya yang telah dili`annya; c. Seseorang menikah bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas isteri tersebut pernah menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi ba`da al dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya; d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah; semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. 38 e. Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri. 37 Tim Redaksi Fokus Media, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Fokusmedia, 2005, h.25-27. 38 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Pasal 8 yaitu: 1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas. 2. Berhubugan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. 3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri. 4. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan dan bibi atau paman sesusuan. Kompilasi Hukum Islam Pasal 71 menyebutkan bahwa suatu perkawinan juga dapat dibatalkan karena peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia apabila: a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama; b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud. c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain; d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974; e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak; f. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan. 39 Kompilasi Hukum Islam Pasal 73 yaitu: bahwa dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah : a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami isteri; 39 Kompilasi Hukum Islam pasal 72 yaitu: 1 Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum. 2 Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri 3 Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaanya dan dalam jangka waktu 6 enam bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak dapat menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur. b. Suami atau isteri; c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang- Undang. d. Para pihak yang berkepentingan untuk mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang –Undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67. c. Putusnya perkawinan sebab fasakh. Hukum Islam mewajibkan suami menunaikan hak-hak isteri dan memilihara isteri dengan sebaik-baiknya, tidak boleh menganiaya isteri dan menimbulkan kemudharatan terhadapnya. Suami dilarang menyengsarakan kehidupan isteri dan mensia-siakan haknya. 40 Firman Allah SWT surat Al-baqarah ayat 231 menyatakan:                                                    40 Zakiya Darajat, Ilmu Fiqih II, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf,1995, h.207. Artinya: ”Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang maruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang maruf pula. Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, Karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al hikmah As Sunnah. Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu Q.S. AL-baqarah: 231 ”. Hukum Islam tidak menghendaki adanya kemudharatan dan melarang saling menimbulkan kemudharatan. Menurut Qaidah Hukum Islam, bahwa setiap kemudharatan wajib dihilangkan, sebagaimana qaidah menyatakan: ٌلازي ررُّلا 41 Artinya: ”kemudharatan harus dihilangkan”. Berdasarkan firman Allah SWT dan qaidah tersebut para fuqaha menetapkan bahwa jika dalam kehidupan suami-isteri terjadi keadaan, sifat atau sikap yang menimbulkan kemudharatan pada keadaan salah satu pihak, maka pihak yang menderita madharat dapat mengambil prakarsa 41 Abdul Haq, Ahmad Mubarok, dan Agus Rouf, Formulasi Nalar Fiqih Telaah Kaidah Fiqih Konseptual. Buku Satu Surabaya: Khalista, 2006, hal.209. untuk putusnya perkawinan, kemudian hakim memfasakh perkawinan atas dasar pengaduan pihak yang menderita. 42 d. Putusnya perkawinan sebab meninggal dunia. Jika salah satu dari suami-isteri meninggal dunia, atau kedua suami-isteri itu bersama-sama meninggal dunia maka putuslah perkawinan mereka. Yang dimaksud dengan mati sebab putusnya perkawinan dalam hal ini meliputi baik mati secara fisik, yakni, memang dengan kematian itu diketahui jenazahnya, sehingga kematian itu benar-benar biologis, maupun kematian secara yuridis, yaitu dalam kasus suami yang mafqud hilang tidak diketahui apakah masih hidup atau sudah meninggal dunia, lalu melalui proses pengadilan hakim dapat menetapkan kematian suami tersebut. 43 Mengenai putusnya perkawinan ini, menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Bab VII pasal 38 dikenal adanya tiga macam cara putusnya perkawinan, yaitu: kematian, perceraian, dan putusan pengadilan. Dalam pasal 39 juga menegaskan, bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan antara kedua belah pihak, dan untuk melakukan perceraian harus ada alasan yang cukup sehingga dapat 42 Zakiya Darajat, Ilmu Fiqih II, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995, hal. 208. 43 Ibid, hal. 209. dijadikan landasan yang wajar bahwa antara suami-isteri tidak ada harapan lagi untuk hidup bersama sebagai suami-isteri. Alasan dimaksud dalam pasal 39 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawina ini diperinci lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 19 dan Kompilasi Hukum Islam pasal 116 menyatakan bahwa sebab-sebab perceraian adalah: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lainya sebagaimana yang sukar disebutkan. b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampunya. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pilak yang lain. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami-isteri. f. Antara suami-isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. g. Suami melan ggar ta’lik talak. h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan rumah tangga. 44

D. Perbedaan Cerai Talak dan Cerai Gugat serta Prosedur Perceraian