Pesantren KERANGKA POLA KOMUNIKASI

Pertama, pola komunikasi otoriter-paternalistik. Yakni pola komunikasi antara pimpinan dan bawahan atau, meminjam istilah James C. Scoot yaitu patron-client relationship, dan tentunya sang kyai-lah yang menjadi pimpinannya. Sebagai bawahan, sudah tentu peran partisipatif santri dan masyarakat tradisional pada umumnya sangat kecil untuk mengatakan tidak ada, dan hal ini tidak bisa dipisahkan dari kadar kekharismatikan sang kyai. Kedua, pola komunikasi laissez faire. Yaitu pola komunikasi kyai dan santri yang tidak didasarkan pada tatanan organisasi yang jelas. Semuanya didasarkan pada tatanan organisasi yang jelas. Semuanya didasarkan pada konsep ikhlas, barakah, dan ibadah sehingga pembagian kerja antar unit tidak dipisahkan secara tajam. Seiring dengan itu, selama memperoleh restu sang kyai sebuah pekerjaan bisa dilaksanakan. 38

C. Pesantren

Pondok Pesantren merupakan gabungan dua kata yakni dari kata pondok dan pesantren. Pondok berarti tempat tinggal singgah besar yang disediakan untuk para turis, musafir, dan orang-orang yang berekreasi. 39 Pesantren dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti asrama tempat santri atau murid-murid belajar mengaji dan sebagainya. 40 Pesantren biasa disebut sebagai ’pondok pesantren’. Pesantren berasal dari kata santri yang berdasarkan kamus umum bahasa Indonesia, kata ini memiliki arti, yakni: 38 Ibid, HM. Amin Haedari, dkk, h.61-62. 39 Lois Ma’luf, Al-Munjid, Beirut: Darul Masyrik 1986, hal 59. 40 Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta; balai pustaka, 1986, hal 677. 1. Orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh. 2. Orang yang mendalami pengajiannya dalam agama Islam dengan berguru di sebuah tempat yang jauh. 41 Menurut Manfred Ziemek, kata pondok berasal dari kata funduk yang berarti ruang tidur atau wisma sederhana, karena pondok memanglah merupakan tempat tinggal sederhana bagi para pelajar yang jauh dari tempat asalnya. Sedangkan kata pesantren berasal dari kata santri yang diberi imbuhan berupa awalan pe- dan akhiran –an sehingga memiliki arti tempat, atau dengan kata lain tempat tinggal para santri. Namun terkadang dianggap sebagai gabungan dari kata sant manusia baik dan suku kata tra suka menolong sehingga kata pesantren dapat diartikan sebagai tempat pendidikan manusia baik-baik. 42 Secara garis besar, pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam, pusat pengembangan jamaah masyarakat lingkungan yang diselenggarakan dalam kesatuan pemukiman. Kemudian dilihat dari fungsinya, pondok pesantren adalah sebagai tempat menginap para santri yang tidak datng dari daerah yang dekat, akan tetapi dari tempat-tempat yang jauh sesuai dengan kemashuran kyai atau lembaga pendidikannya. Kegiatan yang dilakukan pesantren tidak terbatas hanya pada kegiatan yang telah disiapkan berdasarkan kurikulum dan administrasinya saja, tetapi terdapat pula pendidikan lain dan bersifat non formal seperti pengajian kitab yang biasanya diadakan 41 WJ.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta; Bali Pustaka, hal 1007. 42 A. Hawib Zaini, Dunia Pemikiran kaum Santri, Yogyakarta: EKPSM NU, DIY Tompeyan TR III, 1994 hal 133. selepas sholat subuh dan ba’da sholat isya, serta tabligh-tabligh berupa kajian ceramah singkat oleh para ustadz-ustadz yang bertugas. 43 Menurut bapak H. Amin Haendari, Direktur Pendidikan Diniyyah dan Pondok Pesantren Departemen Agama Republik Indonesia th.2006 mengatakan bahwa pondok pesantren adalah merupakan lembaga keagamaan dan memiliki fungsi sebagai tempat untuk mendalami ilmu agama tafaqquh fiddin, serta sebagai wahana untuk kaderisasi kader-kader ulama. 44 Pernyataan serupa pun dilontarkan oleh ketua PP Pendidikan, Ma’arif NU th.2006 yang mengatakan bahwa sejak awal berdirinya, pondok pesantren dikenal sebagai lembaga pengkaderan ulama, tempat pengajaran ilmu agama, dan memelihara tradisi Islam. 45 43 Mastufu, Prinsip Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994, hal 55. 44 Kutipan wawancara, Majalah Bina Pesantren, edisi 02tahun 1Nopember 2006, h.15. 45 Ibid, h.30.

BAB III GAMBARAN UMUM PONDOK PESANTREN AL-ASMANIYAH KAMPUNG

DUKUHPINANG, TANGERANG, BANTEN

A. Sejarah Berdiri

Awal mula terbentuknya pondok pesantren Al-Asmaniyah, berawal sekitar tahun 1995-1996. Di sebuah tanah wakaf milik keluarga bapak Haji Asman, dengan luas kurang lebih sekitar + 3000 meter persegi, dibukalah sebuah lembaga pndidikan keagamaan dengan menganut sistem salafi. Pondok pesantren yang pada awalnya hanya berbentuk sebuah majlis bernama Miftahul Jannah telah berdiri di tengah-tengah kehidupan masyarakat Kampung Dukuhpinang. Dengan Bapak Haji Ahmad Ghozali sebagai pimpinan, lembaga inipun mencoba meniti usahanya di bidang pendidikan yang berfokus pada ilmu keagamaan. Seiring dengan perkembangan yang dialami oleh lembaga tersebut dari tahun ke tahun, maka anggota keluarga pemilik tanah atas lembaga tersebut pun bermusyawarah dan berinisiatif untuk membangun sebuah lembaga pendidikan formal tanpa meninggalkan pendidikan keagamaan yang telah lama ada. Maka, akhirnya kurang lebih sekitar tahun 2003 dicapailah kata mufakat dengan disertai berdirinya beberapa bangunan berbentuk ruangan-ruangan untuk mengadakan kegiatan belajar mengajar. Sejalan dengan hal tersebut maka dimulailah proses kegiatan belajar mengajar dengan menggunakan gabungan sistem pendidikan yakni salafi dan modern sekolah formal.