Peran Kontrol Diri, Harga Diri, dan Gaya Atribusi Bermusuhan Terhadap Perilaku Agresif Satpol PP

(1)

PERAN KONTROL DIRI, HARGA DIRI, DAN GAYA

ATRIBUSI BERMUSUHAN TERHADAP PERILAKU

AGRESIF SATPOL PP

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

ALFI KHAIRANI

071301017

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GANJIL, 2010/2011


(2)

Peran Kontrol Diri, Harga Diri, dan Gaya Atribusi Bermusuhan Terhadap Perilaku Agresif Satpol PP

Alfi Khairani dan Meutia Nauly

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode korelasional untuk mengetahui peran kontrol diri, harga diri, dan gaya atribusi bermusuhan terhadap perilaku agresif Satpol PP. Penelitian ini menggunakan subjek penelitian sebanyak 60 Satpol PP yang bertugas di Kantor Satpol PP Kabupaten Langkat. Pengambilan sampel diambil dengan teknik non probabilty sampling tipe accidental. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisa dengan uji-F untuk melihat peran ketiga variabel prediktor terhadap variabel outcome secara bersama-sama. Serta uji-t untuk melihat peran masing-masing variabel prediktor terhadap variabel outcome.

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah 4 buah skala yaitu, skala perilaku agresif yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan teori perilaku agresif dari Barbara Krahe (2005), skala kontrol diri yang disusun berdasarkan teori kontrol diri rendah dari Gottfredson dan Hirschi (1990), skala harga diri yang disusun berdasarkan teori harga diri Coopersmith (1981), dan skala gaya atribusi bermusuhan yang disusun berdasarkan teori atribusi bermusuhan dari Krahe dan Moller (2004). Dari hasil uji coba diketahui masing-masing skala memiliki reliabilitas sebesar 0,967 untuk skala perilaku agresif, 0,931 untuk skala kontrol diri, 0,893 untuk skala harga diri, dan 0,939 untuk skala gaya atribusi bermusuhan.

Dari hasil analisis regesi berganda diperoleh persamaan regresi yaitu Y = 45,063+ 0,895X1+ (-0,476X2) + 0,646X3. Uji keberartian korelasi antara variabel

prediktor dengan variabel outcome dengan uji F, diperoleh F hitung = 24,115 dengan signifikansi sebesar 0,000. Nilai koefisien korelasi berganda (R) sebesar 0,751 dan nilai koefisien determinasi berganda (R2) sebesar 0,564. (56,4%).

Hasil uji parsial (uji-t) diperoleh nilai t untuk kontrol diri 3,639 dengan signifikansi 0,001, harga diri = -2,433 dengan signifikansi 0,018, dan gaya atribusi bermusuhan= 2,986 dengan signifikansi 0,004. Nilai koefisien korelasi parsial (r) kontrol diri = 0,437, harga diri = -0,309 dan gaya atribusi bermusuhan = 0,371. Peran masing-masing variabel prediktor terhadap variabel outcome diketahui dari hasil perhitungan koefisien determinasi parsial (r2) dimana kontrol diri berperan sebesar 0,19 (19%), harga diri berperan sebesar 0,095 (9,5%), dan gaya atribusi bermusuhan berperan sebesar 0,138 (13,8%).

Mengacu dari hasil penelitian, variabel kontrol diri berperan paling besar terhadap perilaku agresif Satpol PP dibanding dua variabel prediktor lainnya yaitu harga diri dan gaya atribusi bermusuhan.

Kata kunci : Perilaku agresif , Kontrol diri, Harga Diri, Gaya Atribusi


(3)

The Role of Self Control, Self-Esteem, and Hostile Attribution Style on Aggressive Behavior’s Satpol PP

Alfi Khairani and Meutia Nauly

ABSTRACT

This research is a quantitative study which used correlational design to know the role of self-control, self-esteem, and hostile attribution style on aggressive behavior’s Satpol PP. Subjects in this study were 60 Satpol PP who served in the Office of Satpol PP Langkat. The samples were taken with non probabilty sampling technique accidental type. Data obtained in this study were analyzed by test-F to see role of the three predictor variables on outcome variable simultaneously. And t-test to see the role of each predictor variable on outcome variable.

Measuring instruments used in this study are four scales. Aggressive behavior scale is a scale made by the researcher based on the theory of aggressive behavior by Barbara Krahe (2005), control scale which is based on low self-control theory by Gottfredson and Hirschi (1990), self-esteem scale which is based on the theory of self-esteem by Coopersmith (1981), and hostile attribution style scale which is based on hostile attributional theory by Krahe and Moller (2004). From the test results are known of each scale has a reliability of 0.967 for aggressive behavior scale, 0.931 for self-control scale, 0.893 for self-esteem scale, and 0.939 for hostile attributional style scale.

From the results obtained by regression analysis, the equation of multiple regression is Y = 45.063 + 0.895 X1 + (-0.476 X2) + 0.646 X3. Significance test of

correlation between predictor variables with outcome variables with F test, obtained F value = 24.115 with a significance 0.000. The value coefficient of multiple correlation (R) is 0.751 and coefficient of multiple determination (R2) is 0.564. (56.4%).

Partial test results (t-test) obtained t values for self-control is 3.639 with a significance 0.001, self-esteem is -2.433 with a significance 0.018, and hostile attribution style is 2.986 with a significance 0.004. Value of coefficient partial correlation of self control (r) is 0.437, self esteem is -0.309 and hostile attribution style is 0.371, the role of each predictor variable to the outcome variable is known from the calculation of the coefficient partial determination (r2) where the role of self-control is 0.19 (19%), the role of self-esteem is 0.095 (9.5%), and the role of hostile attribution style 0.138 (13.8%).

Referring to the results of research, self-control variables contribute most impact on aggressive behavior Satpol PP compared to two other predictor variables of self-esteem and hostile attribution style.

Keywords: aggressive behavior, self-control, Self-Esteem, Hostile Attribution


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Peran Kontrol Diri, Harga Diri, dan Gaya Atribusi Bermusuhan pada Perilaku Agresif Satpol PP.

Selama menyusun skripsi ini, peneliti banyak mendapat dukungan, bantuan, serta bimbingan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih setulusnya kepada :

1. Ibu Meutia Nauly, M. Si., selaku pembimbing yang telah bersedia memberikan waktu, tenaga dan pemikiran untuk membimbing saya dengan sabar dan memberikan semangat dan saran yang berarti bagi penyelesaian penelitian ini.

2. Ibu Prof. Dr. Irmawati, selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, atas bimbingan, saran, dan arahan yang diberikan kepada saya dalam menyelesaikan penelitian ini.

3. Ibu Rika Eliana, M. Psi., selaku ketua Departemen Psikologi Sosial Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, atas bimbingan, saran, dan arahan yang diberikan kepada saya dalam menyelesaikan penelitian ini.

4. Seluruh staf pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Terima kasih atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada saya.


(5)

5. Teman-teman di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada saya.

6. Semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan penelitian ini, peneliti menyampaikan terima kasih atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan.

Penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan saudara-saudara semua. Akhir kata, saya menyadari betapa penelitian ini tidaklah sempurna, oleh karena itu saya menerima masukan dan saran yang membangun untuk kebaikan proposal penelitian ini. Terima kasih.

Medan, 16 Mei 2011


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Sistematika Penulisan... 13

BAB II LANDASAN TEORI ... 14

A. Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) ... 14

C.1. Definisi Satpol PP ... 14

C.2. Tugas dan Kewajiban Satpol PP ... 14

B. Perilaku Kolektif ... 16

B.1. Definisi Perilaku Kolektif ... 16

B.2. Pengaruh Kelompok terhadap perilaku individu ... 16

B.3. Individualitas Dalam Kelompok ... 17

C. Perilaku Agresif ... 19

A.1. Definisi Perilaku Agresif ... 19

A.2. Aspek-Aspek perilaku agresif ... 20

A.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Agresif ... 21

D. Kontrol Diri ... 25

B.1. Definisi Kontrol Diri ... 25

B.2. Aspek-Aspek Kontrol Diri ... 27

B.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kontrol Diri ... 28

E. Harga Diri ... 29

C.1. Definisi Harga Diri ... 29

C.2. Aspek-Aspek Harga Diri ... 30

C.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Diri ... 31

F. Gaya Atribusi Bermusuhan ... 32

C.1. Definisi Gaya Atribusi bermusuhan ... 32

C.2. Aspek-Aspek Gaya Atribusi bermusuhan ... 33

C.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Gaya Atribusi bermusuhan ... 35

G. Peran Kontrol Diri, Harga Diri, dan Gaya Atribusi Bermusuhan dengan Agresif... 36


(7)

BAB III METODE PENELITIAN ... 41

A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 41

B. Definisi Operasional ... 42

1. Perilaku Agresif ... 42

2. Kontrol Diri ... 43

3. Harga Diri ... 44

4. Gaya atribusi Bermusuhan... 44

C. Subjek Penelitian ... 45

C.1. Populasi dan Sampel ... 45

D. Metode Pengambilan Sampel ... 46

E. Alat Ukur Penelitian... 46

1. Skala Perilaku Agresif ... 46

2. Skala Kontrol Diri ... 49

3. Skala Harga Diri ... 50

4. Skala Gaya Atribusi Bermusuhan ... 51

F. Uji Coba Alat Ukur ... 53

F.1. Validitas Alat Ukur ... 53

F.2. Reliabilitas Alat Ukur ... 54

F.3. Uji Daya Beda Item ... 55

G. Hasil Uji Coba ... 56

1. Hasil Uji Coba Skala Perilaku Agresif ... 56

2. Hasil Uji Coba Skala Kontrol Diri ... 59

3. Hasil Uji Coba Skala Harga Diri ... 60

4. Hasil Uji Coba Skala Gaya Atribusi Bermusuhan ... 62

H. Prosedur Penelitian ... 64

H.1. Persiapan Penelitian... 64

H.2. Pengolahan Data ... 65

H.2.1. Metode Analisa data ... 65

H.2.2. Uji Asumsi ... 66

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 69

A. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 69

1. Berdasarkan Usia ... 69

2. Berdasarkan Suku Bangsa ... 70

3. Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 71

4. Berdasarkan Masa Kerja... 72

5. Berdasarkan Status Pernikahan ... 72

B. Deskripsi Variabel Penelitian ... 73

1. Kategori Perilaku Agresif satpol PP ... 73

2. Kategori Kontrol Diri satpol PP ... 75

3. Kategori Harga Diri satpol PP ... 76

4. Kategori Gaya Atribusi Bermusuhan satpol PP ... 77

C. Hasil Utama Penelitian ... 78

C.1. Uji asumsi ... 79

1. Uji Normalitas ... 79


(8)

3. Uji Multikolinieritas ... 80

4. Uji Heterokedastisitas ... 80

C.2. Pengujian Hipotesis ... 81

1. Perhitungan Persamaan Garis Regresi Berganda ... 82

2. Penghitungan koefisien Korelasi Berganda (R) dan Koefisien Determinasi Berganda (R2) ... 83

3. Penghitungan koefisien Korelasi parsial (r) dan Koefisien Determinasi parsial (r2) ... 84

D. Pembahasan ... 87

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 92

A. Kesimpulan ... 92

B. Saran ... 94

1. Saran Metodologis ... 94

2. Saran Praktis ... 95


(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Distribusi Item-Item Skala Perilaku Agresif Sebelum Uji Coba ... 48

Tabel 2. Distribusi Item-Item Skala Kontrol Diri Sebelum Uji Coba... 50

Tabel 3. Distribusi Item-Item Skala Harga Diri Sebelum Uji Coba ... 51

Tabel 4. Distribusi Item-Item Skala Gaya Atribusi Bermusuhan Sebelum Uji Coba ... 53

Tabel 5. Hasil Uji Coba Skala Perilaku Agresif ... 57

Tabel 6. Distribusi Item-Item Skala Penelitian Perilaku Agresif ... 58

Tabel 7. Hasil Uji Coba Skala Kontrol Diri ... 59

Tabel 8. Distribusi Item-Item Skala Penelitian Kontrol Diri ... 60

Tabel 9. Hasil Uji Coba Skala Harga Diri ... 61

Tabel 10. Distribusi Item-Item Skala Penelitian Harga Diri ... 62

Tabel 11. Hasil Uji Coba Skala Gaya Atribusi Bermusuhan ... 63

Tabel 12. Distribusi Item-Item Skala Penelitian Gaya Atribusi Bermusuhan ... 63

Tabel 13. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 69

Tabel 14. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Suku Bangsa ... 70

Tabel 15. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat pendidikan ... 71

Tabel 16. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Masa Kerja ... 72

Tabel 17. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Status Pernikahan ... 72

Tabel 18. Norma Kategorisasi Tiga Tingkat ... 73


(10)

Tabel 20. Kategorisasi Data Perilaku Agresif Satpol PP ... 74

Tabel 21. Nilai empirik dan nilai hipotetik kontrol diri satpol PP ... 75

Tabel 22. Kategorisasi Data kontrol diri Satpol PP ... 76

Tabel 23. Nilai empirik dan nilai hipotetik harga diri satpol PP ... 76

Tabel 24. Kategorisasi Data harga Satpol PP ... 77

Tabel 25. Nilai empirik dan nilai hipotetik Gaya atribusi bermusuhan satpol PP ... 77

Tabel 26. Kategorisasi Data gaya atribusi bermusuhan Satpol PP ... 78

Tabel 27. Hasil Uji Normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov ... 79

Tabel 28. Hasil perhitungan VIF (Variance Inflation Factor) ... 80


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Data Mentah Hasil Uji Coba dan Hasil Penelitian

Lampiran 2 Reliabilitas dan Uji Daya Beda Alat Ukur

Lampiran 3 Hasil Uji Asumsi

Lampiran 4 Hasil Analisa Data dengan Uji-F dan Uji-t

Lampiran 5 Alat Ukur Penelitian


(12)

Peran Kontrol Diri, Harga Diri, dan Gaya Atribusi Bermusuhan Terhadap Perilaku Agresif Satpol PP

Alfi Khairani dan Meutia Nauly

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode korelasional untuk mengetahui peran kontrol diri, harga diri, dan gaya atribusi bermusuhan terhadap perilaku agresif Satpol PP. Penelitian ini menggunakan subjek penelitian sebanyak 60 Satpol PP yang bertugas di Kantor Satpol PP Kabupaten Langkat. Pengambilan sampel diambil dengan teknik non probabilty sampling tipe accidental. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisa dengan uji-F untuk melihat peran ketiga variabel prediktor terhadap variabel outcome secara bersama-sama. Serta uji-t untuk melihat peran masing-masing variabel prediktor terhadap variabel outcome.

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah 4 buah skala yaitu, skala perilaku agresif yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan teori perilaku agresif dari Barbara Krahe (2005), skala kontrol diri yang disusun berdasarkan teori kontrol diri rendah dari Gottfredson dan Hirschi (1990), skala harga diri yang disusun berdasarkan teori harga diri Coopersmith (1981), dan skala gaya atribusi bermusuhan yang disusun berdasarkan teori atribusi bermusuhan dari Krahe dan Moller (2004). Dari hasil uji coba diketahui masing-masing skala memiliki reliabilitas sebesar 0,967 untuk skala perilaku agresif, 0,931 untuk skala kontrol diri, 0,893 untuk skala harga diri, dan 0,939 untuk skala gaya atribusi bermusuhan.

Dari hasil analisis regesi berganda diperoleh persamaan regresi yaitu Y = 45,063+ 0,895X1+ (-0,476X2) + 0,646X3. Uji keberartian korelasi antara variabel

prediktor dengan variabel outcome dengan uji F, diperoleh F hitung = 24,115 dengan signifikansi sebesar 0,000. Nilai koefisien korelasi berganda (R) sebesar 0,751 dan nilai koefisien determinasi berganda (R2) sebesar 0,564. (56,4%).

Hasil uji parsial (uji-t) diperoleh nilai t untuk kontrol diri 3,639 dengan signifikansi 0,001, harga diri = -2,433 dengan signifikansi 0,018, dan gaya atribusi bermusuhan= 2,986 dengan signifikansi 0,004. Nilai koefisien korelasi parsial (r) kontrol diri = 0,437, harga diri = -0,309 dan gaya atribusi bermusuhan = 0,371. Peran masing-masing variabel prediktor terhadap variabel outcome diketahui dari hasil perhitungan koefisien determinasi parsial (r2) dimana kontrol diri berperan sebesar 0,19 (19%), harga diri berperan sebesar 0,095 (9,5%), dan gaya atribusi bermusuhan berperan sebesar 0,138 (13,8%).

Mengacu dari hasil penelitian, variabel kontrol diri berperan paling besar terhadap perilaku agresif Satpol PP dibanding dua variabel prediktor lainnya yaitu harga diri dan gaya atribusi bermusuhan.

Kata kunci : Perilaku agresif , Kontrol diri, Harga Diri, Gaya Atribusi


(13)

The Role of Self Control, Self-Esteem, and Hostile Attribution Style on Aggressive Behavior’s Satpol PP

Alfi Khairani and Meutia Nauly

ABSTRACT

This research is a quantitative study which used correlational design to know the role of self-control, self-esteem, and hostile attribution style on aggressive behavior’s Satpol PP. Subjects in this study were 60 Satpol PP who served in the Office of Satpol PP Langkat. The samples were taken with non probabilty sampling technique accidental type. Data obtained in this study were analyzed by test-F to see role of the three predictor variables on outcome variable simultaneously. And t-test to see the role of each predictor variable on outcome variable.

Measuring instruments used in this study are four scales. Aggressive behavior scale is a scale made by the researcher based on the theory of aggressive behavior by Barbara Krahe (2005), control scale which is based on low self-control theory by Gottfredson and Hirschi (1990), self-esteem scale which is based on the theory of self-esteem by Coopersmith (1981), and hostile attribution style scale which is based on hostile attributional theory by Krahe and Moller (2004). From the test results are known of each scale has a reliability of 0.967 for aggressive behavior scale, 0.931 for self-control scale, 0.893 for self-esteem scale, and 0.939 for hostile attributional style scale.

From the results obtained by regression analysis, the equation of multiple regression is Y = 45.063 + 0.895 X1 + (-0.476 X2) + 0.646 X3. Significance test of

correlation between predictor variables with outcome variables with F test, obtained F value = 24.115 with a significance 0.000. The value coefficient of multiple correlation (R) is 0.751 and coefficient of multiple determination (R2) is 0.564. (56.4%).

Partial test results (t-test) obtained t values for self-control is 3.639 with a significance 0.001, self-esteem is -2.433 with a significance 0.018, and hostile attribution style is 2.986 with a significance 0.004. Value of coefficient partial correlation of self control (r) is 0.437, self esteem is -0.309 and hostile attribution style is 0.371, the role of each predictor variable to the outcome variable is known from the calculation of the coefficient partial determination (r2) where the role of self-control is 0.19 (19%), the role of self-esteem is 0.095 (9.5%), and the role of hostile attribution style 0.138 (13.8%).

Referring to the results of research, self-control variables contribute most impact on aggressive behavior Satpol PP compared to two other predictor variables of self-esteem and hostile attribution style.

Keywords: aggressive behavior, self-control, Self-Esteem, Hostile Attribution


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap negara dalam menata dan mengatur sistem pemerintahannya pasti mempunyai cita-cita yang ingin dicapai. Negara Indonesia mempunyai tujuan seperti yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) khususnya alinea IV yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Maka sehubungan dengan adanya kondisi ketentraman dan ketertiban, perlu diadakan pembinaan terhadap ketentraman dan ketertiban di daerah secara terencana dan terpadu. Dalam penanggulangan ancaman gangguan ketentraman dan ketertiban diterapkan suatu sistem pembinaan ketentraman dan ketertiban menurut pola-pola tertentu, baik melalui usaha-usaha masyarakat maupun pemerintah melalui pendekatan prosperity (Kemakmuran) dan security (keamanan) (Noor, 2007) .

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2010 (PP No. 6/2010) menyatakan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) adalah bagian perangkat daerah dalam penegakan peraturan daerah, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.

Satpol PP pertama kali dibentuk di Yogyakarta pada 3 Maret 1950 dengan motto Praja Wibawa untuk membantu mengatasi persoalan keamanan pasca


(15)

kemerdekaan yang belum menentu. Satuan yang terpisah dari kepolisian ini dibentuk sebagai bagian perangkat pemerintah daerah (Pemda) dalam menegakkan peraturan daerah dan penyelenggaraan ketertiban umum serta ketenteraman masyaraka. Dalam berbagai upayanya 'menertibkan wilayah' Pemda biasanya mengerahkan Satpol PP untuk menutup lokasi usaha, mengusir pedagang kaki lima, dan menggusur masyarakat yang dianggap tinggal di tanah milik Pemda. Sebagai senjata Satpol PP dilengkapi pentungan dan pisau, namun untuk kegiatan seperti penggusuran, pasukan ini seringkali dilengkapi pula alat berat (BBC Indonesia, 15 April 2010).

Pelaksanaan penertiban wilayah yang dilaksanakan satpol PP tak jarang menimbulkan berbagai aksi bentrok antara masyarakat dengan petugas satpol PP. Kasus yang baru-baru ini terjadi saat Petugas Satpol PP berupaya membongkar makam Mbah Priok pada 14 April 2010 di Koja, Jakarta Utara yang mengakibatkan bentrok hingga tercatat menewaskan tiga orang anggota Satpol PP dan ratusan korban luka dari pihak masyarakat dan aparat yang pada saat kejadian disebutkan Satpol PP memukuli anak-anak dan juga wanita (Detiknews, 17 Oktober 2010).

Kasus bentrok lainnya, antara masyarakat dengan petugas Satpol PP juga banyak terjadi di daerah Medan. Misalnya, kutipan berita berikut yang menguraikan kasus kekerasan yang dilakukan oleh Satpol PP saat menertibkan pedagang kaki lima di Binjai.

“...seorang ibu tujuh anak yang diseret dengan paksa sejumlah anggota Satpol PP Binjai dan menaikkannya ke mobil pick-up layaknya pelaku kriminal. Hingga korban terlihat lemas setelah diperlakukan seperti "hewan" oleh puluhan petugas Satpol PP Binjai...”


(16)

Kutipan berita berikut juga menguraikan bentrok yang terjadi antara satpol PP dengan masyarakat saat penertiban pedagang kaki lima di Pasar Marelan, Medan.

“...puluhan pedagang kaki lima terlibat bentrok dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Medan, pada Selasa (05/01/2010). Akibat bentrokan tersebut, tiga orang pedagang kaki lima pasar Marelan luka-luka dipukul oknum Satpol PP kota Medan. Ketiga korban yakni Sena, Ros, dan Fuji. Tidak hanya pedagang, Kepala Lingkungan bernama Seno, tak luput menjadi korban pemukulan oknum Satpol PP Kota Medan. Dalam aksi penggusuran ini, sempat terjadi adu mulut hingga berujung saling lempar jeruk dari sejumlah pedagang yang lapaknya tak ingin digusur. Aksi tersebut, memancing amarah petugas Satpol PP untuk mengambil tindakan tegas. Tiga orang menderita luka-luka akibat kena pukul petugas satpol PP. Pedagang menilai, penertiban itu dilakukan tanpa alasan yang jelas, mengingat Pemko Medan tidak memberikan solusi atas pembongkaran lapak pedagang dikawasan itu...”

(Ekspos News, 05 Januari 2010)

Maraknya aksi bentrok antar Satpol PP dengan masyarakat yang dikenai penertiban, juga diakui oleh salah seorang anggota Satpol PP melalui wawancara dengan peneliti.

“…kalau bentrok ya memang sering sekali terjadi, itu karena warganya bandel, dan mereka sering yang mulai, kita dilempari batu, malah dikeroyok, kami kan juga manusia biasa, kalau mendapat perlakuan buruk ya kami nyoba pertahanin diri…..” (komunikasi personal, 12 November 2010)

Kekerasan fisik yang dilakukan satpol PP terhadap masyarakat saat menjalankan tugas dalam kasus-kasus tersebut dapat digolongkan sebagai perilaku agresif. Hal ini merujuk pada definisi agresi Barbara krahe (2005) yang menyatakan agresi disajikan berdasarkan fokusnya terhadap tiga aspek yaitu, akibat yang merugikan/menyakiti, niat dan harapan untuk merugikan, dan


(17)

keinginan orang yang menjadi sasaran agresi untuk menghindari stimulus yang merugikan itu. Kemudian juga didukung oleh definisi agresi Robert A. Baron (2003) yaitu tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut.

Perilaku agresif Satpol PP terhadap masyarakat yang dikenai penertiban adalah perilaku agresif kolektif, karena terjadi dalam situasi kelompok massa, dimana menurut Krahe (2005), perilaku kolektif mencakup berbagai macam bentuk perilaku yang dilakukan kelompok atau individu sebagai bagian kelompok. Selanjutnya menurut Hewstone dan Stroebe (2001) perilaku kolektif adalah perilaku yang dilakukan secara serentak oleh sejumlah besar orang, kelompok atau massa, baik yang terjadi secara spontan maupun yang terencana.

Beberapa teori massa menjelaskan adanya keseragaman aksi pada individu-individu didalam kelompok massa. Misalnya Gustave Le Bon (dalam Forsyth, 1990) yang menyatakan individu-individu didalam massa akan bereaksi diarahkan oleh single collective mind/ group mind. Le Bon menyatakan bagaimanapun individu-individu yang berada dalam massa, apapun pekerjaannya, karakteristiknya, inteligensinya, mereka akan bereaksi mengikuti pemikiran kelompok dan menghasilkan perilaku yang berbeda dengan perilaku saat mereka terpisah dari kelompok. Menurut Le Bon adanya efek contagion yang menyebarkan emosi dan perilaku dari satu kepala ke lainnya, sehingga menyebabkan individu-individu dalam massa bereaksi dengan cara yang sama.


(18)

Selanjutnya teori emergent norm Ralph turner and lewis killian (dalam Forsyth, 1990) yang menyatakan adanya keseragaman aksi individu dalam massa, dimana mereka menyatakan massa, kerumunan, dan kelompok lainnya terlihat bersatu dalam emosi dan aksi karena anggotanya mematuhi norma yang relevan dalam situasi tersebut. Karena norma ini muncul dalam situasi kelompok, ini menghasilkan pengaruh yang besar terhadap perilaku.

Dalam kasus bentrok yang terjadi antar Satpol PP dengan masyarakat yang dikenai penertiban sendiri, terlihat adanya perbedaan individu yakni tidak semua petugas satpol PP bereaksi sama saat terjadi bentrok antar Satpol PP dengan masyarakat yang dikenai penertiban, beberapa menunjukan reaksi agresi, namun ada juga yang tidak. hal ini diketahui dari hasil wawancara dengan salah satu petugas satpol PP.

“………..kalau daerah tempat penertiban itu diketahui rawan, biasanya sampai seratus petugas diturunkan, ...kalau terjadi bentrok itu ya karena lihat kawan diserang gitu kan, ya ikut nolong juga, tapi kan tidak semua juga terlibat pemukulan, ya ada juga yang melerai itu……” (komunikasi personal, 12 Oktober 2010)

Kemudian melalui observasi video berita televisi yang menayangkan aksi bentrok masyarakat dengan satpol PP saat penggusuran makam mbah priok, terlihat ternyata hanya sebagian satpol PP yang terlihat brutal memukuli masyarakat, tampak juga beberapa yang menahan teman-temannya agar berhenti memukuli. Disini peneliti melihat ternyata terdapat perbedaan aksi pada individu-individu dalam massa pada kasus ini. Artinya dalam kasus ini peneliti melihat masih adanya faktor individual yang berperan dalam kasus agresi satpol PP


(19)

terhadap masyarakat saat melakukan penertiban, faktor individual yang menyebabkan adanya perbedaan individu dalam perilaku agresif.

Membicarakan individualitas dalam kelompok massa bukanlah suatu hal yang tidak mungkin, merujuk pada teori individualistic tradition oleh Floy Allport (dalam Hogg, 2001) yang menyatakan:

“There is no psychology of groups which is not essentially and entirely a psychology of individual” (Allport, 1924 : p.4)

Kemudian, dalam kaiatannya terhadap aksi kolektif, Alport (dalam Hogg, 2001) menyatakan:

“The individual in the crowd behaves just as he would behave alone only more so” (Allport, 1924 : p.295)

Alport (dalam Hogg, 2001) menolak istilah group mind yang dinyatakan oleh Le Bon, menurutnya fikiran yang terpisah dari jiwa individu memiliki arti yang abstrak.

Tokoh lain yang mendukung konsep individualitas dalam crowd adalah the logic of collective action oleh Olson (dalam Hogg, 2001). Olson berpendapat bahwa didalam massa, anggota-angggotanya beraksi dengan tujuan meningkatkan keuntungan individual hanya saja dibawah kondisi kelompok. Pendekatan lain yang konsisten dengan pendekatan ini adalah model rational calculus oleh Richard Berk (dalam Hogg, 2001). Dimana ia menyatakan aksi massa melibatkan 5 tahapan. Pertama, anggota massa mencari informasi, kedua, mereka menggunakan informasi ini untuk memprediksi kejadian yang mungkin, ketiga, mereka menyusun pilihan perilaku yang akan dihasilkan, keempat mereka


(20)

membentuk urutan kemungkinan hasil dari aksi alternatif, serta yang kelima mereka memutuskan aksi yang paling meminimalisir kerugian dan meningkatkan keuntungan. Selanjutnya Berk (dalam Hogg, 2001) menyatakan efek dari massa adalah mengubah perilaku dengan tetap mempertahankan standart individual dan kecendrungan perilaku dasar.

Berdasarkan uraian diatas, maka disini peneliti ingin melihat faktor-faktor individual yang berperan dalam perilaku agresif Satpol PP, faktor individual yang menyebabkan adanya perbedaan individu dalam perilaku agresif, disini peneliti mengabaikan faktor situasional dengan asumsi bahwa ketika terjadi perilaku agresif dalam pelaksanaan penertiban, anggota satpol PP berada dalam situasi yang sama.

Berkaitan dengan pemahaman terhadap perbedaan individu dalam perilaku agresif, terdapat 6 aspek kepribadian yang menjelaskan perbedaan individu dalam agresi yaitu, iritabilitas, Kerentanan emosional, pikiran kacau versus perenungan, kontrol diri, harga diri serta gaya atribusi bermusuhan (Krahe, 2005).

Iritabilitas, kerentanan emosional, dan pikiran Kacau vs perenungan adalah konsep kepribadian yang mempengaruhi perilaku agresif yang dikemukan oleh Caprara (dalam Krahe, 2005), dimana Caprara menyatakan definisi iritabilitas mengacu pada kecendrungan untuk bereaksi secara impulsif, kontroversial, atau kasar terhadap provokasi atau sikap tidak setuju yang bahkan paling ringan sekalipun. Selanjutnya kerentanan emosional didefinisikan sebagai kecendrungan individu untuk mengalami perasaan tidak nyaman, putus asa, tidak adekuat dan ringkih. Sementara pikiran kacau versus perenungan menggambarkan sejauh


(21)

mana seseorang yang mendapatkan stimulus agresi langsung menanggapi secara negatif atau mampu memikirkan pengalaman tersebut.

Menurut Caprara (dalam Geen & Doneirstein, 1998) beberapa studi eksperimental menunjukan bahwa efek utama dari agresi terhadap ketiga aspek kepribadian ini yakni iritabilitas, kerentanan emosianal, dan pikiran kacau versus perenungan, sejajar dengan efek utama dari frustasi seperti kegagalan tugas. Studi yang menunjukan kaitan antara variabel-variabel ini dengan agresi menimbulkan pernyataan bahwa status mereka hanya sebagai variabel moderator yakni menjadi aspek penyebab agresi secara tak langsung.

Aspek kepribadian selanjutnya menurut Krahe (2005) yang relevan untuk memahami perbedaan individu dalam agresi adalah kontrol diri. Kontrol diri menurut Krahe (2005) mengacu pada hambatan internal yang seharusnya mencegah keterlepasan kecendrungan respon agresif.

Tokoh lain yang menjelaskan kaitan kontrol diri dengan perilaku agresif adalah Gottfredson dan Hirschi (dalam Miller, 2009) yang menyatakan level yang rendah pada kontrol diri adalah penyebab dari kriminalitas, kenakalan remaja, agresi, dan tindakan-tindakan sejenis lainnya. Selanjutnya Baumeister & Boden (dalam Geen & Donnerstein, 1998) juga menyatakan lemahnya kontrol diri menjadi penyebab yang sangat dekat dengan perilaku kekerasan dan agresi yang terjadi secara spontan. Kemudian Miller (2005) menyatakan kegagalan dalam kontrol diri merupakan penyebab penting dari agresi.

Krahe (2005) selanjutnya juga menyatakan bahwa harga diri (self esteem) telah lama dianggap sebagai faktor penting yang menjelaskan perbedaan individu


(22)

dalam agresi. Harga diri Menurut Coopersmith (1981) adalah evaluasi yang dibuat oleh individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya, yang diekspresikan dalam suatu bentuk sikap dan menunjukan tingkat dimana individu meyakini dirinya sebagai individu yang mampu, penting dan berharga.

Secara tradisional diasumsikan bahwa rendahnya harga diri akan memicu perilaku agresif, yakni bahwa perasaan negatif mengenai diri sendiri membuat orang lebih berkemungkinan menyerang orang lain. Menurut Krahe (2005) sebagian peneliti mendukung konsepsi ini, namun Baumeister dan Boden (dalam Krahe, 2005) menyatakan bahwa individu-individu dengan harga diri yang tinggilah yang lebih rentan terhadap perilaku agresif, terutama saat stimulus agresi berupa umpan balik negatif yang dipersepsikan sebagai ancaman terhadap harga diri mereka yang tinggi.

Aspek kepribadian terakhir yang dijelaskan krahe (2005) sebagai faktor yang mempengaruhi perbedaan individu dalam agresi adalah gaya atribusi bermusuhan (hostile atributional style). Gaya atribusi bermusuhan sendiri menurut Krahe (2005) mengacu pada kecendrungan kebiasaan seseorang untuk menginterpretasi stimulus ambigu secara agresif. Variabel ini merupakan satu-satunya yang ditemukan peneliti sebagai aspek kepribadian yang juga dinyatakan tokoh lain sebagai faktor kepribadian yang menjelaskan perbedaan individu dalam agresi. Seperti Baron (2003) yang menyatakan 4 faktor personal yang menjelaskan perbedaan individu dalam agresi, yaitu tipe kepribadian A dan B, Narcissism, perbedaan gender, serta gaya atribusi bermusuhan. Kemudian Baumeister (2008)


(23)

menyatakan ada 3 faktor dari dalam diri yang menyebabkan agresi, yaitu frustasi, mood yang tidak baik, dan gaya atribusi bermusuhan.

Aspek-aspek kepribadian yang menjelaskan perbedaan individu dalam agresi dan kasus agresi satpol PP dilapangan yang menunjukan adanya perbedaan anggota dalam bereaksi agresif dimana sebagian terlibat agresi namun ada juga yang tidak menimbulkan pertanyaan penelitian adakah peran faktor-faktor kepribadian yang telah disebutkan Krahe terhadap perilaku agresif satpol PP saat melakukan penertiban. 3 faktor kepribadian yakni kontrol diri, harga diri dan gaya atribusi bermusuhan telah dijelaskan sebagai faktor yang paling dekat sebagai penyebab agresi. Sementara 3 faktor lainnya yakni iritabilitas, kerentanan emosional, dan pikiran yang kacau versus perenungan dijelaskan hanya sebagai variabel moderator yang tidak secara langsung menyebabkan agresi. Maka disini peneliti ingin melihat bagaimana peran ketiga aspek kepribadian yaitu kontrol diri, harga diri dan gaya atribusi bermusuhan dalam menyebabkan perilaku agresif satpol PP.


(24)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: ”Adakah peran kontrol diri, harga diri dan gaya atribusi bermusuhan terhadap perilaku agresif petugas Satpol PP?”

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk melihat peran kontrol diri, harga diri dan gaya atribusi bermusuhan terhadap perilaku agresif petugas Satpol PP.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain berupa manfaat teoritis dan manfaat praktis sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu psikologi khususnya di bidang psikologi sosial, mengenai adakah peran kontrol diri, harga diri dan gaya atribusi bermusuhan terhadap perilaku agresif petugas Satpol PP

b. Hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan dasar pengetahuan bagi peneliti lain yang juga ingin meneliti mengenai peran kontrol diri, harga diri dan gaya atribusi bermusuhan terhadap perilaku agresif petugas Satpol PP.


(25)

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai wacana bagi setiap mahasiswa maupun masyarakat luas mengenai peran peran kontrol diri, harga diri dan gaya atribusi bermusuhan terhadap perilaku agresif petugas Satpol PP?”

b. Sebagai masukan bagi pemerintah, sehingga dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya penyimpangan yang dilakukan Satpol PP dalam melaksanakan tugas.

c. Bagi peneliti untuk lebih mengetahui peran peran kontrol diri, harga diri dan gaya atribusi bermusuhan terhadap perilaku agresif petugas Satpol PP.

d. Bagi peneliti lain dapat dijadikan referensi dalam melakukan kajian atau penelitian dengan pokok permasalahan yang sama serta sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan langsung dengan penelitian ini


(26)

E. Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Bab ini menguraikan teori yang mendasari masalah yang menjadi variabel dalam penelitian. Teori-teori yang dimuat adalah teori mengenai Satpol PP, perilaku kolektif, perilaku agresif, Kontrol diri, Harga diri, dan gaya atribusi bermusuhan.

BAB III : Metodologi Penelitian

Bab ini menjelaskan tentang identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, Subjek penelitian dan metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, uji coba alat ukur, prosedur pelaksanaan, dan metode analisa data.

BAB IV : Analisa Data dan Pembahasan

Bab ini memuat hasil analisa data penelitian, berisi tentang gambaran subjek penelitian, gambaran variabel penelitian dan hasil penelitian utama serta ditutup dengan pembahasan berdasarkan teori.

BAB V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisi kesimpulan hasil penelitian, Kemudian berdasarkan kesimpulan dan pembahasan akan diajukan saran metodologis serta praktis.


(27)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) A.1. Definisi Satpol PP

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 6 tahun 2010 tentang satuan polisi pamong praja, dalam Bab I (1) mengenai ketentuan umum disebutkan Satuan Polisi Pamong Praja, yang selanjutnya disingkat Satpol PP, adalah bagian perangkat daerah dalam penegakan Peraturan daerah (Perda) dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. Polisi Pamong Praja adalah anggota Satpol PP sebagai aparat pemerintah daerah dalam penegakan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.

A.2. Tugas dan Kewajiban Satpol PP

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 6 tahun 2010 tentang satuan polisi pamong praja, dalam Bab II (5) mennyatakan, tugas satuan polisi pamong praja (Satpol PP) adalah :

A. Menyusun program dan melaksanaan penegakan Perda, menyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta perlindungan masyarakat

B. Melaksanaan kebijakan penegakan Perda dan peraturan kepala daerah

C. Melaksanaan kebijakan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat di daerah


(28)

D. Melaksanaan kebijakan perlindungan masyarakat.

E. Melaksanaan koordinasi penegakan Perda dan peraturan kepala daerah, menyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil daerah, dan/atau aparatur lainnya.

F. Melakukan pengawasan terhadap masyarakat, aparatur, atau badan hukum agar mematuhi dan menaati Perda dan peraturan kepala daerah.

G. Melaksanaan tugas lainnya yang diberikan oleh kepala daerah.

Selanjutnya dalam Bab III (8) PP Nomor 6/2010 disebutkan mengenai kewajiban satpol PP dalam melaksanakan tugasnya, yakni :

A. Menjunjung tinggi norma hukum, norma agama, hak asasi manusia, dan norma sosial lainnya yang hidup dan berkembang di masyarakat

B. Menaati disiplin pegawai negeri sipil dan kode etik Polisi Pamong Praja C. Membantu menyelesaikan perselisihan masyarakat yang dapat

mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat

D. Melaporkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia atas ditemukannya atau patut diduga adanya tindak pidana

E. Menyerahkan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil daerah atas ditemukannya atau patut diduga adanya pelanggaran terhadap Perda dan/atau peraturan kepala daerah.


(29)

B. Perilaku Kolektif B.1. Definisi Perilaku Kolektif

Menurut Krahe (2005), perilaku kolektif mencakup berbagai macam bentuk perilaku yang dilakukan kelompok atau individu sebagai bagian kelompok.

Menurut Hewstone dan Stroebe (2001) perilaku kolektif adalah perilaku yang dilakukan secara serentak oleh sejumlah besar orang, kelompok atau massa, baik yang terjadi secara spontan maupun yang terencana.

Menurut McPhail (dalam Forsyth, 1990) perilaku Kolektif adalah aksi

yang dilakukan oleh orang-orang dalam kelompok besar yang merespon sesuatu dengan cara yang mirip dalam suatu kejadian atau situasi.

Forsyth (1990) menjelaskan perilaku kolektif sebagai perilaku yang sama dan terkadang merupakan aksi tidak biasa yang dilakukan individu dalam kelompok besar.

Dari pendapat beberapa tokoh diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku kolektif adalah aksi yang dilakukan secara bersama-sama/serentak dengan cara yang mirip oleh sejumlah besar orang dalam kelompok dalam suatu situasi atau kejadian tertentu, yang terkadang dapat berupa aksi yang tidak biasa.

B.3. Pengaruh Kelompok Terhadap Perilaku Individu

Krahe (2005) menyatakan keanggotaan di kelompok dianggap meningkatkan efektivitas aksi individual, di dalam kelompok individu yang menjadi bagian kelompok akan mengubah cara berperilakunya sesuai norma yang barlaku dalam kelompok.


(30)

Beberapa teori massa menjelaskan adanya keseragaman aksi pada individu-individu didalam kelompok massa. Misalnya Gustave Le Bon (dalam Forsyth, 1990) yang menyatakan individu-individu didalam massa akan bereaksi diarahkan oleh single collective mind/ group mind. Le Bon menyatakan bagaimanapun individu-individu yang berada dalam massa, apapun pekerjaannya, karakteristiknya, inteligensinya, mereka akan bereaksi mengikuti pemikiran kelompok dan menghasilkan perilaku yang berbeda dengan perilaku saat mereka terpisah dari kelompok. Menurut Le Bon adanya efek contagion yang menyebarkan emosi dan perilaku dari satu kepala ke lainnya, sehingga menyebabkan individu-individu dalam massa bereaksi dengan cara yang sama.

Selanjutnya teori emergent norm Ralph turner and lewis killian (dalam Forsyth, 1990) yang menyatakan adanya keseragaman aksi individu dalam massa, dimana mereka menyatakan massa, kerumunan, dan kelompok lainnya terlihat bersatu dalam emosi dan aksi karena anggotanya mematuhi norma yang relevan dalam situasi tersebut. Karena norma ini muncul dalam situasi kelompok, ini menghasilkan pengaruh yang besar terhadap perilaku.

B.4. Individualitas Dalam Kelompok

Membicarakan individualitas dalam kelompok massa bukanlah suatu hal yang tidak mungkin, merujuk pada teori individualistic tradition oleh Floy Allport (dalam Hogg, 2001) yang menyatakan:

“There is no psychology of groups which is not essentially and entirely a psychology of individual” (Allport, 1924 : p.4)


(31)

Kemudian, dalam kaiatannya terhadap aksi kolektif, Alport (dalam Hogg, 2001) menyatakan:

“The individual in the crowd behaves just as he would behave alone only more so” (Allport, 1924 : p.295)

Alport (dalam Hogg, 2001) menolak istilah group mind yang dinyatakan oleh Le Bon, menurutnya fikiran yang terpisah dari jiwa individu memiliki arti yang abstrak.

Tokoh lain yang mendukung konsep individualitas dalam crowd adalah the logic of collective action oleh Olson (dalam Hogg, 2001). Olson berpendapat bahwa didalam massa, anggota-angggotanya beraksi dengan tujuan meningkatkan keuntungan individual hanya saja dibawah kondisi kelompok. Pendekatan lain yang konsisten dengan pendekatan ini adalah model rational calculus oleh Richard Berk (dalam Hogg, 2001). Dimana ia menyatakan aksi massa melibatkan 5 tahapan. Pertama, anggota massa mencari informasi, kedua, mereka menggunakan informasi ini untuk memprediksi kejadian yang mungkin, ketiga, mereka menyusun pilihan perilaku yang akan dihasilkan, keempat mereka membentuk urutan kemungkinan hasil dari aksi alternatif, serta yang kelima mereka memutuskan aksi yang paling meminimalisir kerugian dan meningkatkan keuntungan. Selanjutnya Berk (dalam Hogg, 2001) menyatakan efek dari massa adalah mengubah perilaku dengan tetap mempertahankan standart individual dan kecendrungan perilaku dasar.


(32)

C. Perilaku Agresif C.1. Definisi Perilaku Agresif

Barbara krahe (2005) menyatakan definisi agresi disajikan berdasarkan fokusnya terhadap tiga aspek, yaitu akibat yang merugikan/menyakiti, niat dan harapan untuk merugikan, dan keinginan orang yang menjadi sasaran agresi untuk menghindari stimulus yang merugikan itu.

Tokoh lain yang juga memberikan definisi agresi yaitu Berkowitz (dalam Krahe, 2005) yang mendefinisikan agresi dalam hubungannya dengan pelanggaran norma atau perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial. Richardson (dalam Krahe, 2005) mendefinisikan agresi sebagai segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai makhluk hidup lain yang terdorong untuk menghindari. Menurut taylor, dkk (2000) perilaku agresif adalah segala bentuk perilaku yang direncanakan untuk menyakiti orang lain. Selanjutnya Taylor, dkk menyebutkan perilaku agresif disebabkab oleh dua faktor utama yaitu adanya serangan (attack) serta frustasi. Serangan merupakan salah satu faktor yang paling sering menjadi penyebab agresif dan muncul dalam bentuk serangan verbal atau serangan fisik. Faktor penyebab agresi selanjutnya adalah frustasi. Frustasi terjadi bila seseorang terhalang oleh suatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, penghargaan atau tindakan tertentu. Robert A. Baron (2003) mendefinisikan agresi sebagai segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai makhluk hidup lain dimana makhluk hidup tersebut menolak perlakuan tersebut.


(33)

Berdasarkan beberapa definisi yang sudah diutarakan, maka peneliti menggunakan definisi agresi dari Barbara krahe untuk penelitian ini.

C.2. Aspek-Aspek Perilaku Agresif

Barbara krahe (2005) merangkum sembilan aspek perilaku agresif untuk mengkarakteristikan berbagai macam bentuk agresi, yaitu:

A. Modalitas respon (Response modality), meliputi tindakan agresif secara fisik atau secara verbal.

B. Kualitas respon (Response quality), meliputi tindakan agresif yang berhasil mengenai sasaran atau tindakan agresif yang gagal mengenai sasaran.

C. Kesegeraan (Immediacy), meliputi tindakan agresif yang dilakukan individu langsung kepada sasaran atau yang dilakukan melalui strategi-strategi secara tak langsung.

D. Visibilitas (Visibility), meliputi perilaku agresif yang tampak dari perilaku individu atau yang tak tampak dari luar namun dirasakan oleh individu. E. Hasutan (Instigation), meliputi perilaku agresif yang terjadi karena

diprovokasi atau yang merupakan tindakan balasan.

F. Arah sasaran (Goal direction), meliputi perilaku agresif yang terjadi karena adanya rasa permusuhan kapada sasaran (hostility) atau yang dilakukan karena adanya tujuan lain yang diinginkan (instrumental).

G. Tipe kerusakan (Type of damage), meliputi perilaku agresif yang menyebabkan kerusakan fisik atau yang menyebabkan kerusakan psikologis pada sasaran agresi.


(34)

H. Durasi akibat (Duration of consquences), meliputi perilaku agresif yang menyebabkan kerusakan sementara atau yang menyebabkan kerusakan jangka panjang.

I. Unit-unit sosial yang terlibat (Social unit involved), meliputi perilaku agresif yang dilakukan individu atau yang dilakukan secara berkelompok.

C.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Agresif C.3.1. Faktor Kepribadian

Temuan-temuan mengenai peran kepribadian dalam agresi memang masih terbatas jika dibandingkan dengan penelitian-penelitian yang melihat dampak berbagai faktor situasional dalam agresi (Krahe, 2005). Sekalipun demikian beberapa konstruk kepribadian telah diusulkan untuk menjelaskan berbagai perbedaan individu dalam agresi. Barbara krahe (2005) menyatakan beberapa konstruk kepribadian dapat menyebabkan perbedaan individu dalam perilaku agresi, antara lain :

A. Iritabilitas

Caprara (dalam Krahe, 2005) menyatakan aspek iritabilitas mengacu pada kecendrungan untuk bereaksi secara impulasif, kontroversial, atau kasar terhadap provokasi atau sikap tidak setuju bahkan yang paling ringan sekalipun, yang bersifat habitual. Orang-orang yang dalam keadaan irratable memperlihatkan tingkat agresi yang meaningkat dibandingkan individu-individu yang non-irratable.


(35)

B. Kerentanan Emosional

Caprara (dalam Krahe, 2005) menyatakan kerentanan emosional didefinisikan sebagai kecendrungan individu untuk mengalami perasaan tidak nyaman, putus asa, tidak adekuat dan ringkih. Orang-orang yang rentan secara emosional memperlihatkan agresifitas yang lebih tinggi.

C. Pikiran Kacau Versus Perenungan

Caprara (dalam Krahe, 2005) menyatkan pikiran kacau versus perenungan menggambarkan sejauh mana seseorang yang mendapatkan stimulus agresi langsung menanggapi secara negatif atau mampu memikirkan pengalaman tersebut.

D. Kontrol diri

Konstruk kontrol diri mengacu pada hambatan internal yang seharusnya mencegah keterlepasan kecendrungan respon agresif. Penelitian Baumeister dan Boden (dalam Krahe, 2005) berdasarkan temuan bahwa perilaku kriminal seringkali dibarengi dengan kekurangkontrolan diri pada berbagai aktifitas lainnya (perokok berat, konsumsi alkohol yang berlebihan) mendukung pendapat bahwa masalah kontrol diri secara umum mendasari perilaku agresif.

E. Harga diri

Harga diri telah lama dianggap sebagai faktor penting yang menjelaskan perbedaan individu dalam agresi. Secara umum, diasumsikan rendahnya Harga diri akan memicu perilaku agresif, bahwa perasaan negatif mengenai “diri” akan membuat orang lebih berkemungkinan menyerang orang lain (Krahe, 2005). Tetapi dalam penelitian Baumeister dan Boden (dalam Krahe, 2005), mereka


(36)

berpendapat bahwa individu-individu dengan harga diri tinggi lebih rentan terhadap perilaku agresif, terutama dalam menghadapi stimulus negatif yang dipersepsikan sebagai ancaman terhadap harga diri mereka yang tinggi.

F. Gaya atribusi bermusuhan

Konsep ini mengacu pada kecendrungan kebiasaan seseorang untuk menginterpretasi stimulus ambigu dengan cara bermusuhan dan agresi. Hasil penelitian Burks (dalam Krahe, 2005) menunjukan bahwa struktur pengetahuan mengenai permusuhan menyebabkan anak-anak menginterpretasi stimulus sosial dengan cara yang lebih negatif sehingga mereka lebih berkemungkinan untuk merespon dengan cara agresif.

C.3.2 Faktor Situasional

Sebelumnya telah disebutkan ciri-ciri individual yang bertanggung jawab atas terjadinya perbedaan kecendrungan agresi yang relatif stabil dari waktu kewaktu (Krahe, 2005). Selanjutnya berikut pengaruh situasional terhadap perilaku agresif :

A. Penyerangan

Serangan merupakan salah satu faktor yang paling sering menjadi penyebab agresif dan muncul dalam bentuk serangan verbal atau serangan fisik. Adanya aksi penyerangan dari orang lain akan menimbulkan reaksi agresi dari diri seseorang.

B. Efek senjata

Lebih dari 60% pembunuhan di Amerika serikat dilaporkan FBI dilakukan dengan senjata pada tahun 1989 dan pada tahun 1990 di Texas angka kematian


(37)

lebih banyak disebabkan pembunuhan dengan senjata daripada kecelakaan lalu lintas. Perilaku agresif akan lebih sering dilakukak ketika ada senjata, pisau atau benda tajam.

C. karakteristik target

Ada karakteristik ciri tertentu yang mempuyai potensi sebagai target agresi, misalnya anggota kelompok yang tidak disukai atau orang yang tidak disukai.

D. In group vs Out group conflic

Perilaku agresif seringkali didasari atas konflik antar kelompok. Konflik antar kelompok seringkali dipicu oleh perasaan in group vs out group, sehingga anggota kelompok diwarnai prasangka.

E. Alkohol

Ada banyak temuan yang menunjukan bahwa, ketika terintoksikasi oleh alkohol, individu-individu menunjukan perilaku agresif lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak terintoksifikasi. Efek Farmakologis alkohol sangat bertanggung jawab atas efek peningkatan agresi. Alkohol memang tidak secara langsung menyebabkan perilaku agresif melainkan secara tidak langsung, yaitu alkohol mengganggu fungsi kognitif yang menyebabkan hambatan dalam pemrosesan informasi, termasuk perhatian terhadap berbagai hambatan normatif yang mestinya menekan respon agresif dalam keadaan tidak terintoksikasi.

F. Temperatur

Temperatur udara sekeliling juga adalah determinan situasional agresi. Terdapat suatu hipotesis yang dikenal dengan heat hypothesis yang menyatakan


(38)

bahwa “temperatur tinggi yang tidak nyaman meningkatkan motif maupun perilaku agresif.

D. Kontrol Diri

D.1. Definisi Kontrol Diri

Gottfredson dan Hirschi (1990) mendefinisikan kontrol diri sebagai derajat kemudahan seseorang terkena serangan godaan sesaat. Gottfredson dan Hirschi (1990) menyatakan orang yang memiliki kontrol diri yang rendah adalah orang-orang yang cenderung memiliki orientasi “here and now”, lebih memilih menyelesaikan sesuatu secara fisik dari pada mengandalkan kognitif, senang terlibat dalam aktifitas berbahaya, kurang sensitif pada kebutuhan orang lain, lebih memilih jalan pintas dibanding hal-hal yang kompleks, serta memiliki toleransi yang rendah terhadap sumber frustasi. Tokoh lain yang juga memberikan definisi kontrol diri antara lain Averill (dalam Rice, 2000) memberikan definisi kontrol diri dengan membedakannya kedalam tiga jenis kontrol diri yaitu kontrol perilaku, kontrol kognitif dan mengontrol keputusan. Kontrol perilaku didefinisikan sebagai kemampuan untuk bertindak yang dapat secara langsung mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Kontrol kognitif Merupakan kemampuan individu dalam mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterprestasi, menilai, atau menghubungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau mengurangi tekanan. Kemudian mengontrol keputusan


(39)

didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya.

Kopp (dalam Newman, 2008) yang menyatakan kontrol diri sebagai kemampuan untuk memenuhi keinginan dengan memodifikasi perilaku sesuai dengan situasi, menyegerakan atau menunda tindakan, dan berperilaku yang diterima secara sosial tanpa dibimbing atau diarahkan oleh hal lainnya. Nofziger (2001) menyatakan kontrol diri sebagai perlawanan terhadap godaan pada saat ini yang mungkin merintangi cita-cita jangka panjang, menunda kesenangan atau tujuan lain. Menurut pradiansyah (2003), kontrol diri adalah mampu menunda kenikmatan jangka pendek untuk mendapatkan sesuatu yang lebih besar secara jangka panjang. Zulkarnain (2002) menyatakan kontrol diri dapat diartikan sebagai suatu aktivitas pengendalian tingkah laku, pengendalian tingkah laku mengandung makna yaitu melakukan pertimbangan-pertimbangan terlebih dahulu sebelum memutuskan sesuatu untuk bertindak. Semakin tinggi kontrol diri semakin intens pengendalian terhadap tingkah laku.

Kontrol diri dalam penelitian ini didefinisikan berdasarkan pendapat Gottfredson dan Hirschi (1990) yang menyatakan kontrol diri sebagai derajat kemudahan seseorang terkena serangan godaan sesaat. Dimana orang yang memiliki kontrol diri yang rendah adalah orang-orang yang cenderung memiliki orientasi “here and now”, lebih memilih menyelesaikan sesuatu secara fisik dari pada mengandalkan kognitif, senang terlibat dalam aktifitas berbahaya, kurang sensitif pada kebutuhan orang lain, lebih memilih jalan pintas dibanding hal-hal yang kompleks, serta memiliki toleransi yang rendah terhadap sumber frustasi


(40)

D.2. Aspek Kontrol Diri

Gottfredson dan Hirschi (1990) menyatakan 6 aspek yang menjelaskan ciri orang yang memiliki kontrol diri yang rendah, yaitu:

A. Impulsiveness

Konsep ini mengacu pada seseorang yang tidak mempertimbangkan konsekuensi negatif dari perbuatan yang akan dilakukannya. Mereka memiliki orientasi “here and now” dan gampang tergoda untuk sesuatu yang menyenangkan.

B. Physical activity

Konsep ini menjelaskan individu dengan kontrol diri yang rendah lebih memilih kegiatan yang melibatkan aktifitas fisik daripada aktifitas yang melibatkan pemikiran.

C. Risk seeking

Konsep ini menjelaskan bahwa individu dengan kontrol diri yang rendah suka terlibat dalam aktifitas-aktifitas fisik yang beresiko, membangkitkan dan menegangkan.

D. Self-centeredness

Konsep ini menjelaskan individu dengan kontrol diri yang rendah cenderung mementingkan diri sendiri, kurang sensitif terhadap penderitaan dan kebutuhan orang lain, mereka sering tidak ramah, atau cenderung kurang peduli dalam pembinaan hubungan dengan orang lain.


(41)

E. Simple tasks

Individu dengan kontrol diri yang rendah akan cenderung menghindari tugas-tugas yang sulit dan membutuhkan banyak pemikiran, mereka lebih menyukai tugas sederhana yang tidak menuntut banyak pemikiran.

F. Volatile temper

Konsep ini menjelaskan individu dengan kontrol diri yang rendah cenderung rentan mengalami frustasi, mudah meledak-ledak, tempramental, dan ketika terlibat permasalahan dengan orang lain cenderung sulit untuk menyelesaikannya dengan kepala dingin.

D.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Rendahnya Kontrol Diri

Menurut Gottfredson dan Hirschi (1990) beberapa karakteristik yang berhubungan dengan lemahnya kontrol diri adalah kurangnya kedewasaan, disiplin dan pelatihan. Usia menurut gottfredson dan Hirschi (dalam Conner et all, 2009) juga mempengaruhi kontrol diri, yaitu semakin meningkat usia seseorang kemampuan mengontrol dirinya juga akan semakin meningkat.

Tokoh lain yang mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi kontrol diri adalah Siegel (2008) yang menyatakan pola asuh orang tua mempengaruhi kurangnya kontrol diri pada anak. Orang tua yang mengabaikan atau gagal memonitor tingkah laku menyimpang yang dilakukan anak, dan tidak memberikan hukuman, akan menghasilkan rendahnya kontrol diri pada anak. Kemudian anak yang tidak dekat dengan orang tuanya, kurang pengawasan, serta anak yang orangtuanya berperilaku kriminal atau menyimpang lebih mungkin memiliki kontrol diri yang rendah.


(42)

E. HARGA DIRI E.1 Definisi Harga Diri

Menurut Coopersmith (1981) harga diri adalah evaluasi yang dibuat oleh individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya, yang diekspresikan dalam suatu bentuk sikap dan menunjukan tingkat dimana individu meyakini dirinya sebagai individu yang mampu, penting dan berharga.

Tokoh lain yang memberikan definisi harga diri antara lain frey & Carlock (1998) yang menyatakan harga diri merupakan penilaian positif atau negatif terhadap diri sendiri yang menunjukan sejauh mana individu itu meyakini dirinya sebagai individu yang mampu, penting dan berharga yang berpengaruh dalam perilaku seseorang. Selanjutnya Branden (2000) dalam bukunya How To Raise Your Self Esteem, menyatakan bahwa harga diri merupakan perpaduan antara kepercayaan diri (self confidence) dan penghormatan diri (self respect).

Taylor, Peplau, Sears (2000) mengatakan bahwa harga diri adalah evaluasi yang kita buat terhadap diri kita sendiri, yaitu bahwa kita tidak hanya melihat apa yang kita miliki akan tetapi juga pada bagaimana kita menilai kualitas yang kita miliki tersebut.

Menurut Papalia (2007) harga diri adalah evaluasi positif individu terhadap gambaran dirinya (self image). Baron (2006) mendefinisikan harga diri sebagai derajat dimana diri kita, kita persepsikan secara positif atau negatif. Rosenberg (dalam Khairani, 2003) menggambarkan individu dengan harga diri tinggi sebagai individu yang menilai dirinya sebagaimana adanya. Sedangkan individu dengan harga diri rendah dinyatakan sebagai individu yang menarik diri


(43)

(self rejection), merasa kurang puas terhadap dirinya (self dissatisfaction) dan menghina diri sendiri (self contempt).

Harga diri seseorang dapat menentukan bagaimana cara seseorang berperilaku didalam lingkungannya. Peran harga diri dalam menentukan perilaku ini dapat dilihat melalui proses berfikirnya, emosi, nilai, cita-cita, serta tujuan yang hendak dicapi seseorang. Bila seseorang mempunyai harga diri yang tinggi, maka perilakunya juga akan positif, sedangkan bila harga dirinya negatif, akan tercermin pada perilaku yang negatif pula (Coopersmith, 1981).

Dari beberapa definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa harga diri dapat diartikan sebagai evaluasi yang dibuat individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya sebagai individu yang mampu, penting dan berharga.

E.2. Aspek-Aspek Harga Diri

Menurut Coopersmith (1981) aspek-aspek harga diri meliputi : A. Kebutuhan untuk berharga

Perasaan berharga merupakan perasaan yang dimiliki individu berupa pernyataan yang bersifat pribadi seperti pintar, sukses, dan baik. Rasa berharga individu muncul karena dirinya sendiri dan penilaian orang lain, terutama orang tua. Penilaian ini sangat tergantung pada pengalaman yang dirasakan individu, yaitu apakah individu merasa berharga atau tidak. Individu yang menganggap dirinya berharga serta dapat menghargai orang lain umumnya memiliki harga diri yang positif. Individu yang merasa dirinya berharga cenderung dapat mengontrol tindakan-tindakannya terhadap dunia luar dirinya, dapat mengekspresikan dirinya dengan baik dan dapat menerima kritik dengan baik.


(44)

B. Perasaan mampu

Perasaan mampu merupakan perasaan individu pada saat ia merasa mampu mencapai suatu hasil yang diharapkan, perasaan mampu merupkan hasil persepsi individu mengenai kemampuannya yang akan mempengaruhi pembentukan harga diri individu tersebut. Individu yang memiliki perasaan mampu umumnya memiliki nilai-nilai dan sikap yang demokratis serta orientasi yang realistis. Mereka biasanya menyukai tugas baru, menantang, aktif dan tidak cepat bingung bila segala sesuatu berjalan diluar rencana. Mereka tidak menganggap dirinya sempurna melainkan tahu keterbatasan diri dan mengharap adanya pertumbuhan dalam dirinya. Bila individu merasa telah mencapai tujuannya secara efisien maka individu akan memberi penilaian yang positif pada dirinya.

C. Perasaan diterima

Bila individu merupakan bagian dari suatu kelompok dan merasa bahwa dirinya diterima serta dihargai oleh anggota kelompok lainnya, maka individu akan merasa dirinya diikutsertakan atau diterima. Individu akan memiliki nilai positif tentang dirinya sebagai bagian dari kelompoknya. Sebaliknya individu akan memiliki penilaian negatif terhadap dirinya bila mengalami perasaan tidak diterima.

Dari uraian diatas maka aspek-aspek harga diri adalah perasaan berharga, perasaan mampu, dan perasaan diterima.

E.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri

Dalam papalia (2007) secara umum terdapat dua faktor yang mempengaruhi harga diri.


(45)

A. Budaya.

Adanya harapan dari stereotipe gender terhadap daya tarik fisik pada kaum perempuan mempengaruhi harga diri khususnya bagi wanita karena menjadi khawatir dengan penampilan mereka. Crain (dalam Papalia, 2007) menemukan harga diri pada remaja wanita umumnya lebih rendah dibanding laki-laki karena kekhawatiran dengan penampilan dan kemampuan mereka.

B. Pola asuh orang tua

Dekovic et al. (dalam Papalia, 2007) menyatakan anak dari orangtua yang hangat dan positif membuat anak lebih merasa dihargai dan membantu mereka memiliki evaluasi yang positif terhadap diri, sebaliknya anak yang terabaikan dapiat menyebabkan mereka memiliki harga diri yang rendah serta berpandangan pesimis terhadap masa depan.

F. Gaya Atribusi Bermusuhan F.1 Definisi Gaya Atribusi Bermusuhan

Krahe (2005) menyatakan Konsep gaya atribusi bermusuhan mengacu pada kecendrungan kebiasaan seseorang untuk menginterpretasi stimulus ambigu dengan cara bermusuhan dan agresi. Ketika individu mendapatkan aksi tidak menyenangkan dari orang lain (misalnya ketika seseorang menabrakmu dikoridor swalayan hingga terjatuh) individu dengan gaya atribusi yang tinggi cenderung akan mempersepsikan aksi orang lain tersebut memang dengan sengaja untuk menunjukan permusuhan.


(46)

Tokoh lain yang memberikan definisi gaya atribusi bermusuhan antara lain Baron (2006) yang mendefinisikannya sebagai kecendrungan diri untuk mempersepsikan adanya motivasi bermusuhan dari reaksi orang lain terhadap kita ketika reaksi orang lain tersebut terkesan ambigu. Selanjutnya Beumeister dan Bushman (2008) menyatakan konsep gaya atribusi bermusuhan mengacu pada kecendrungan untuk mempersepsikan suatu aksi yang ambigu dari orang lain sebagai niat permusuhan secara sengaja.

Kirsh (2006) menyatakan, gaya atribusi bermusuhan mengacu pada situasi dimana individu menyimpulkan adanya faktor kesengajaan untuk menunjukan permusuhan dalam aksi orang lain, walaupun maksud sebenarnya belum jelas. Miller (2008) menyatakan konsep gaya atribusi bermusuhan merupakan kemungkinan seseorang untuk mengatribusikan tujuan permusuhan dari orang lain ketika situasinya sendiri tidak menjamin adanya niat permusuhan.

Dari beberapa definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa gaya atribusi bermusuhan dapat diartikan sebagai kecendrungan seseorang untuk mengartikan aksi orang lain sebagai tindakan yang memiliki tujuan bermusuhan, walaupun maksud sebenarnya belum jelas dan situasinya sendiri tidak menjamin adanya niat permusuhan.

F.2 Aspek-Aspek Gaya Atribusi Bermusuhan

Barbara krahe dan Inggrid moller (2004) dalam mengukur gaya atribusi bermusuhan pada situasi yang ambigu melibatkan 3 aspek berikut :


(47)

Krahe (2004) menyatakan konsep ini mengacu pada sejauh mana seseorang yakin bahwa tindakan tidak menyenangkan dari orang lain pada situasi yang tidak jelas merupakan kesengajaan untuk menunjukan permusuhan. Individu dengan atribut gaya atribusi bermusuhan yang tinggi akan menyatakan sangat yakin bahwa orang lain memang benar dengan sengaja menunjukan permusuhan, sebaliknya orang yang rendah pada atribut gaya atribusi permusuhan menyatakan tidak begitu yakin akan adanya kesengajaan dari orang lain untuk menunjukan permusuhan.

B. Merasakan kemarahan (anger)

Krahe (2004) menyatakan konsep ini mengacu pada sejauh mana seseorang merasakan kemarahan pada situasi mendapatkan tindakan tidak menyenangkan dari orang lain, ketika situasi tersebut tidak jelas. Pernyataan sangat marah menandakan keadaan individu dengan gaya atribusi bermusuhan yang tinggi, sementara orang dengan gaya atribusi bermusuhan yang rendah akan menjawab tidak begitu marah.

C. Keinginan membalas (wish to retaliate)

Konsep ini menurut Krahe (2004) mengacu pada sejauh mana seseorang yang mendapatkan tindakan tidak menyenangkan dari orang lain, walau dalam situasi yang belum jelas sekalipun memiliki keinginan untuk membalas tindakannya. Gaya atribusi bermusuhan yang tinggi pada seseorang akan cenderung menyebabkan keinginan yang kuat untuk membalas.


(48)

F.3 Faktor-Faktor yang Menyebabkan Gaya Atribusi Bermusuhan

Stoff, Breiling, & Maser (1997) menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhi gaya atribusi bermusuhan.

A. Family stressor

Crittendon dan Ainsworth (dalam Stoff, Breiling, & Maser, 1997) menyatakan anak yang terabaikan (maltreatment), mengarahkan dirinya untuk mengembangkan suatu struktur pemikiran bahwa lingkungan sosialnya adalah lingkungan yang tidak ramah, sehingga hal ini juga akan mengarahkannya untuk mempersepsikan tindakan orang lain dalam situasi yang ambigu sebagai tindakan permusuhan.

Dodge, Bates dan Pettit ( dalam Stoff, Breiling, & Maser, 1997) menyatakan riwayat kekerasan yang dialami anak oleh orang dewasa mengarahkan anak untuk mempersepsikan secara bermusuhan tanda-tanda/aksi-aksi orang lain dalam lingkungan sosialnya, bahkan dalam situasi yang belum jelas sekalipun.

B. Sosial ekonomi

Dodge et al. (dalam Stoff, Breiling, & Maser, 1997) menyatkan anak-anak dengan latar belakang ekonomi yang rendah lebih sering menunjukan gaya atribusi bermusuhan. Hal ini juga berkaitan dengan status sosial di masyarakat, anak-anak Amerika-Afrika yang beresiko mendapatkan diskriminasi ras dari penduduk kulit putih mayoritas merasakan perasaan tidak aman di lingkungannya sehingga anak-anak dari ras Amerika-Afrika lebih sering mempersepsikan aksi/tindakan orang lain sebagai permusuhan.


(49)

G. Peran Kontrol Diri, Harga Diri, dan gaya Atribusi bermusuhan terhadap Perilaku Agresif Petugas Satpol PP

Pada bab sebelumnya telah diuraikan beberapa kasus yang menunjukan fenomena agresifitas Satpol PP dalam melaksanakan tugas penertiban.

Perilaku agresif Satpol PP terhadap masyarakat yang dikenai penertiban adalah perilaku agresif kolektif, karena terjadi dalam situasi kelompok massa, dimana menurut Krahe (2005), perilaku kolektif mencakup berbagai macam bentuk perilaku yang dilakukan kelompok atau individu sebagai bagian kelompok.

Beberapa teori mengenai efek massa menjelaskan adanya keseragaman aksi pada individu-individu didalam kelompok massa. Misalnya teori single collective mind/ group mind oleh Gustave Le Bon (dalam Forsyth, 1990) yang menyatakan adanya efek contagion yang menyebabkan individu-individu dalam massa bereaksi dengan cara yang sama, serta teori emergent norm Ralph turner and lewis killian (dalam Forsyth, 1990) yang menyatakan adanya keseragaman aksi individu dalam massa, karena anggotanya mematuhi norma yang relevan dalam situasi tersebut.

Pada kasus agresi satpol PP yang merupakan kasus agresi kelompok ini sendiri, ternyata dari hasil wawancara dan observasi menunjukan tidak semua anggota terlihat bersatu dalam emosi dan aksi agresif, karena ada beberapa anggota yang tidak mengikuti pengaruh kelompok untuk menyerang masyarakat yang dikenai penertiban, bahkan ternyata ada yang malah melerai antara keduanya. Maka disini peneliti ingin melihat faktor-faktor individual yang


(50)

berperan dalam perilaku agresif Satpol PP, faktor individual yang menyebabkan adanya perbedaan individu dalam perilaku agresif.

Membicarakan individualitas dalam kelompok massa bukanlah suatu hal yang tidak mungkin, merujuk pada teori individualistic tradition oleh Floy Allport (dalam Hogg, 2001) yang menyatakan:

“There is no psychology of groups which is not essentially and entirely a psychology of individual” (Allport, 1924 : p.4)

Kemudian, dalam kaiatannya terhadap aksi kolektif, Alport (dalam Hogg, 2001) menyatakan:

“The individual in the crowd behaves just as he would behave alone only more so” (Allport, 1924 : p.295)

Kemudian Olson (dalam Hogg, 2001) berpendapat bahwa didalam massa, anggota-angggotanya beraksi dengan tujuan meningkatkan keuntungan individual hanya saja dibawah kondisi kelompok. Selanjutnya Berk (dalam Hogg, 2001) menyatakan efek dari massa adalah mengubah perilaku dengan tetap mempertahankan standart individual dan kecendrungan perilaku dasar.

Berkaitan dengan pemahaman terhadap perbedaan individu dalam perilaku agresif, Krahe (2005) menyatakan terdapat 6 aspek kepribadian untuk menjelaskan perbedaan individu dalam agresi yaitu, iritabilitas, kerentanan emosional, pikiran kacau versus perenungan, kontrol diri, harga diri serta gaya atribusi bermusuhan.


(51)

Dari keenam faktor kepribadian yang menjelaskan perbedaan individu dalam agresi, peneliti mencoba menelaah faktor-faktor mana sajakah yang dinyatakan sebgai faktor kepribadian yang paling dekat dengan perilaku agresif.

Menurut Caprara (dalam Geen & Doneirstein, 1998) berdasarkan beberapa studi eksperimental yang menunjukan bahwa efek utama dari agresi terhadap ketiga aspek kepribadian yaitu iritabilitas, kerentanan emosianal, dan pikiran kacau versus perenungan, sejajar dengan efek utama dari frustasi seperti kegagalan tugas. Studi yang menunjukan kaitan antara variabel-variabel ini dengan agresi menimbulkan pernyataan bahwa status mereka hanya sebagai variabel moderator yakni menjadi aspek penyebab agresi secara tak langsung.

Aspek kepribadian selanjutnya menurut Krahe (2005) yang relevan untuk memahami perbedaan individu dalam agresi adalah kontrol diri. Tokoh lain yang menyatakan bahwa kontrol diri menjadi faktor kuat yang mempengaruhi perilaku agresif antara lain Gottfredson dan Hirschi (1990) yang dalam bukunya General Theory of Crime menyatakan level yang rendah pada kontrol diri adalah penyebab dari kriminalitas, kenakalan remaja, agresi, dan tindakan-tindakan sejenis lainnya (dalam Miller, 2009). Selanjutnya Baumeister & Boden (dalam Geen & Donnerstein, 1998) menyatakan lemahnya kontrol diri menjadi penyebab yang sangat dekat dengan perilaku kekerasan dan agresi yang terjadi secara spontan. Miller (2005) menyatakan kegagalan dalam kontrol diri merupakan penyebab penting dari agresi. Gottfredson dan Hirschi menyatakan bahwa lemahnya kontrol diri membuat orang lebih mungkin bertindak antisosial dan mengikuti impuls-impuls yang illegal (dalam Miller, 2005).


(52)

Kemudian Krahe (2005) menyatakan bahwa harga diri (self esteem) juga telah lama dianggap sebagai faktor penting yang menjelaskan perbedaan individu dalam agresi. Serta disini peneliti menemukan adanya perbedaan pendapat beberapa tokoh mengenai kaitan antara harga diri dan agresi. Secara tradisional diasumsikan bahwa rendahnya harga diri akan memicu perilaku agresif, yakni bahwa perasaan negatif mengenai diri sendiri membuat orang lebih berkemungkinan menyerang orang lain (Krahe, 2005). Sebagian peneliti mendukung konsepsi ini, namun Baumeister dan Boden (dalam Krahe, 2005) menyatakan bahwa individu-individu dengan harga diri yang tinggilah yang lebih rentan terhadap perilaku agresif, terutama saat stimulus agresi berupa umpan balik negatif yang dipersepsikan sebagai ancaman terhadap harga diri mereka yang tinggi.

Untuk aspek kepribadian terakhir yang dijelaskan krahe (2005) sebagai faktor yang mempengaruhi perbedaan individu dalam agresi adalah gaya atribusi bermusuhan (hostile atributional style). Variabel ini merupakan satu-satunya yang ditemukan peneliti sebagai aspek kepribadian yang juga dinyatakan tokoh lain sebagai faktor kepribadian yang menjelaskan perbedaan individu dalam agresi. Seperti Baron (2003) yang menyatakan 4 faktor personal yang menjelaskan perbedaan individu dalam agresi, yaitu tipe kepribadian A dan B, Narcissism, perbedaan gender, serta gaya atribusi bermusuhan. Kemudian Baumeister (2008) menyatakan ada 3 faktor dari dalam diri yang menyebabkan agresi, yaitu frustasi, mood yang tidak baik, dan terakhir ia juga menyatakan gaya atribusi bermusuhan sebagai salah satu faktor agresi.


(53)

Berdasarakan pemaparan diatas, peneliti menemukan 3 faktor yang dinyatakan paling dekat sebagai penyebab agresi yakni kontrol diri, harga diri dan gaya atribusi bermusuhan. Selanjutnya peneliti ingin melihat adakah peran ketiga faktor ini dalam perilaku agresif satpol PP pada kasus-kasus agresi saat melaksanakan penertiban yang sering terjadi.

H. Hipotesa

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah “ Ada peran kontrol diri, harga diri dan gaya atribusi bermusuhan terhadap perilaku agresif petugas satpol PP saat melaksanakan tugas penertiban”


(54)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan salah satu elemen penting dalam suatu penelitian, sebab metode penelitian menyangkut cara yang benar dalam pengumpulan data, analisis data dan pengambilan keputusan hasil penelitian (Hadi, 2000). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian korelasional, dimana penelitian korelasional menurut Arikunto (2006) bertujuan untuk menemukan ada tidaknya hubungan antara dua variabel atau lebih dan apabila ada, berapa erat hubungan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran kontrol diri, harga diri dan gaya atribusi bermusuhan terhadap perilaku agresif petugas Satpol PP.

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian, maka dalam penelitian ini variabel yang terlibat adalah :

Variabel Prediktor (X) yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku agresif, meliputi:

X1 : Kontrol Diri

X2 : Harga diri

X3 : Gaya atribusi bermusuhan

Variabel Outcome (Y) :Perilaku Agresif satpol PP saat melaksanakn tugas penertiban. (situasional)


(55)

B. Definisi Operasional (DO) 1. Perilaku Agresif (Y)

Barbara Krahe (2005) menyatakan definisi agresi disajikan berdasarkan fokusnya terhadap tiga aspek, yaitu akibat merugikan/menyakiti, niat, dan harapan untuk merugikan, dan keinginan orang yang menjadi sasaran agresi untuk menghindari stimulus yang merugikan itu.

Maka suatu perilaku dapat dinyatakan perilaku agresif apabila memenuhi 3 kriteria yang telah disebutkan diatas, yaitu:

a. Akibat yang ditimbulkan merugikan/menyakiti b. Adanya niat dan harapan untuk merugikan/menyakiti

c. Adanya keinginan dari orang yang menjadi sasaran agresi untuk menghindar.

Selanjutnya Barbara krahe (2005) merangkum sembilan aspek perilaku agresif untuk mengkarakteristikan berbagai macam bentuk agresi, yaitu:

1. Modalitas respon (Response modality), meliputi agresi fisik atau agresi verbal.

2. Kualitas respon (Response quality), meliputi agresi yang berhasil atau agresi yang gagal.

3. Kesegeraan (Immediacy), meliputi agresi langsung atau tak langsung. 4. Visibilitas (Visibility), meliputi agresi yang tampak atau agresi yang tak

tampak.

5. Hasutan (Instigation), meliputi agresi yang terjadi karena diprovokasi atau agresi yang merupakan tindakan balasan


(56)

6. Arah sasaran (Goal direction), meliputi Agresi permusuhan dan agresi instrumental.

7. Tipe kerusakan (Type of damage), meliputi agresi fisik atau agresi psikologis.

8. Durasi akibat (Duration of consquences), meliputi agresi yang menyebabkan kerusakan sementara atau agresi yang menyebabkan kerusakan jangka panjang

9. Unit-unit sosial yang terlibat (Social unit involved), meliputi agresi yang dilakukan individu atau agresi yang dilakukan secara berkelompok.

2. Kontrol Diri (X1)

Kontrol diri dalam penelitian ini didefinisikan sebagai derajat kemudahan seseorang terkena serangan godaan sesaat. Dimana orang yang memiliki kontrol diri rendah adalah orang-orang yang cenderung memiliki orientasi “here and now”, lebih memilih menyelesaikan sesuatu secara fisik dari pada mengandalkan kognitif, senang terlibat dalam aktifitas berbahaya, kurang sensitif pada kebutuhan orang lain, lebih memilih jalan pintas dibanding hal-hal yang kompleks, serta memiliki toleransi yang rendah terhadap sumber frustasi

Untuk mengukur kontrol diri rendah (low self control) digunakan aspek-aspek kontrol diri yang dikemukan Gottfredson dan Hirschi (1990) sebagai berikut :

1. Impulsiveness 2. Physical activity 3. Risk seeking


(57)

4. Self-centeredness 5. Simple tasks 6. Volatile temper

3. Harga Diri (X2)

Harga diri adalah evaluasi yang dibuat individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya, yang menunjukan tingkatan dimana individu meyakini dirinya sebagai individu yang mampu, penting, dan berharga.

Harga diri diungkap melalui skala harga diri yang disusun peneliti berdasarkan aspek-aspek harga diri dari Coopersmith (1981), yaitu:

1. Perasaan berharga 2. Perasaan mampu 3. Perasaan diterima

4. Gaya atribusi bermusuhan (X3)

Gaya atribusi bermusuhan diartikan sebagai kecendrungan seseorang untuk mengartikan aksi orang lain sebagai tindakan yang memiliki tujuan bermusuhan, walaupun maksud sebenarnya belum jelas dan situasinya sendiri tidak menjamin adanya niat permusuhan.

Harga diri diungkap melalui skala harga diri yang disusun peneliti berdasarkan aspek-aspek harga diri dari Krahe dan Moller (2004), yaitu:

1. Mempersepsikan adanya permusuhan (Perceived Hostile Intens) 2. Merasakan kemarahan (anger)


(58)

C. Subjek Penelitian C.1. Populasi dan Sampel

Menurut Arikunto (2006) populasi adalah keseluruhan subjek penelitian yang dimaksudkan untuk diselidiki. Populasi dalam penelitian ini adalah petugas satpol PP di Langkat yang memiliki karakterisitik bertugas di kantor satuan polisi pamong praja Langkat, dan merupakan petugas lapangan.

Hal ini berdasarkan pertimbangan praktis, yakni di lokasi ini adanya kemudahan bagi peneliti mendapatkan akses untuk mengambil data penelitian. Pemilihan hanya pada petugas satpol PP yang bertugas dilapangan karena perilaku agresif yang ingin dilihat adalah perilaku agresif situasional yakni hanya pada saat melaksanakan tugas penertiban, sehingga petugas satpol PP yang diukurpun hanyalah petugas yang bertugas melaksanakan penertiban.

Sampel adalah sebagian dari populasi atau wakil dari populasi yang diteliti. Sampel yang digunakan harus benar-benar menggambarkan keadaan populasi yang sebenarnya (Arikunto, 2006). Secara tradisional, statistika menganggap jumlah sampel 60 orang sudah cukup banyak (Azwar, 2009). Dalam penelitian ini, dari populasi penelitian digunakan sampel sebanyak 60 orang yang diharapkan dapat mewakili karakteristik dan sifat-sifat populasinya. Penentuan jumlah sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai hal, baik yang bersifat teoritis maupun praktis, yang bersifat teoritis dimaksudkan untuk memperoleh derajat kecermatan statistik yang maksimal. Sedangkan pertimbangan yang bersifat praktis didasarkan pada keterbatasan peneliti, antara lain keterbatasan waktu dan dana.


(59)

D. Metode Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan non probabilty sampling tipe accidental yang berarti metode pengambilan sampel yang dilakukan tanpa memberikan kesempatan yang sama bagi setiap anggota populasi untuk dapat terpilih menjadi anggota sampel, namun lebih kepada pemilihan secara faktor kebetulan dan kemudahan dijumpainya sampel yang sesuai dengan karakteristik populasi (Hadi, 2000).

E.Alat Ukur Penelitian

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan instrumen berupa skala atas dasar pertimbangan tujuan penelitian, waktu, tenaga serta biaya. Skala ini dibedakan menjadi 2 tipe yaitu tipe isian (angket terbuka) dan tipe pilihan (angket tertutup). Skala tipe isian dimaksudkan untuk mengungkap data mengenai identitas pribadi subyek. Skala tipe pilihan yang digunakan meliputi 4 bagian skala, yaitu:

1. Skala Perilaku Agresif

Skala ini bertujuan untuk mengungkap keterlibatan subjek dalam perilaku agresif pada ranah khusus yakni menghadapi perlawanan masyarakat yang dikenai penertiban. Skala perilaku agresif ini dirancang dengan aspek perilaku agresif yang dikemukakan oleh Barbara krahe (2005). Aspek perilaku agresif disini adalah modalitas respon (response modality) yang meliputi agresi fisik atau agresi verbal, kualitas respon (respone quality) yang meliputi agresi yang berhasil atau agresi yang gagal, kesegeraan (immediacy) yang meliputi agresi langsung atau tak


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (2006). Prosedur penelitian:suatu pendekatan praktik. Jakarta: Rineka Cipta

Azwar, S. (2009). Penyusunan skala psikologi. Cetakan XII. Yogyakarta: Pustaka Belajar

_________(2004). Reliabilitas dan validitas. Cetakan IV.Yogyakarta:Pustaka Belajar

Baron, R.A., & Byrne, D.(2003). Social psychology. 9th Ed. USA: Allyn & Bacon

BBC Indonesia. (2010). Sejarah pembentukan Satpol PP. diakses tanggal 31

Oktober 2010, dari

Baumeister, R.F., & Bushman, B.J. (2008). Social psychology and human nature.


(2)

Coopersmith, S. (1981). Antecedent self esteem. San Fransisco: W.H. freeman and company.

Detik news. (16 April 2010). Kronologi priok perdarah versi kepala Satpol PP. Diakses pada tanggal 17 Oktober 2010, dari

Ekspos News. (05 Januari 2010). Penertiban pedagang kaki lima di medan ricuh,

3 warga luka dipukul Satpol PP. Diakses pada tanggal 20 Desember 2010,

dari

Frey, D., & Carlock, C.J. (1987). Enhancing self esteem. Ohio : Accelerated Development

Forsyth, D.R. (1990). Group dynamics. 3rd Ed. California: Wadsworth Publishing company

Geen, R. & Donnerstein, E. (1998). Human aggression: theories, research, and

implications for social policy.Academic press


(3)

Hadi, S. (2000). Metodologi research. Yogyakarta: Andi Offset

Hogg, M.A. & Graham M.F. (2002). Social psycholgy. 3rd Ed. USA: Prentice Hall

Hogg, M.A. & Scott T. (2001). Blackwell handbook of social psychology : group

process. USA: Published Inc.

Khairani, T.E. (2003). Hubungan antara harga diri dengan gaya hidup brand

minded pada karyawan level staf di PT. Angkasa pura Medan. Skripsi.

Medan: Universitas Sumatera Utara.

Kirsh, S.J. (2006). Children, adolescents, and media violence: a critical look at

the research. USA: Sage Publicatio, Inc.

Krahe, B. (2005). Perilaku agresif. Yogyakarta: Pustaka Belajar

Krahe, B, & Moller, I. (2004). Playing violent electronic games,hostile

attributional style,and aggression-related norms in German adolescents. Journal of Adolescence 27 (2004) 53–69. Academic Press.

Miller, A.G. (2005). The social psychology of good and evil. New york: Guilford press.


(4)

Miller, J. M. (2009). 21st century criminology:a reference handbook. California: Sage, ©2009

Miller, T.W. (2008). LLC.

Myers, D.G. (1999). Social psychology. USA : McGraw-Hill Education

Newman, B.M. & Philip R.N. (2008)

European perspective. Oxford: Blackwell Publishers

Nofziger, S. (2001). Bullies, fights, and guns:testing self-control theory with

juveniles. New York : LFB Scholarly Pub.

Noor, F. (2007). Peran polisi pamong praja dalam rangka penegakan peraturan

daerah di kabupaten kudus. Skripsi. Semarang:Universitas Negeri

Semarang


(5)

Peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 6 tahun 2010 tentang satuan polisi pamong praja. Diakses pada tanggal 17 Oktober 2010, dari

Pradiansyah, A. (2003). You are a leader. Jakarta: Elex media Komputindo

Semar news. (15 Januari 2009)

dari

Siegel, J.L. (2008). Criminology. Belmont, CA : Thomson/Wadsworth.

Sinuraya, D. (2009). Hubungan antara kepribadian ekstrovert dengan perilaku

agresif pada remaja.skripsi. Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah

Surakarta

Stoff, D.M., James Breiling & Jack D. Maser. (1997). Handbook of antisocial

behavior. New York : John Wiley & Sons, Inc.


(6)

Zulkarnain. (2002). Hubungan kontrol diri dengan kreativitas pekerja. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara