Gaya Atribusi Bermusuhan 1 Definisi Gaya Atribusi Bermusuhan

A. Budaya. Adanya harapan dari stereotipe gender terhadap daya tarik fisik pada kaum perempuan mempengaruhi harga diri khususnya bagi wanita karena menjadi khawatir dengan penampilan mereka. Crain dalam Papalia, 2007 menemukan harga diri pada remaja wanita umumnya lebih rendah dibanding laki-laki karena kekhawatiran dengan penampilan dan kemampuan mereka. B. Pola asuh orang tua Dekovic et al. dalam Papalia, 2007 menyatakan anak dari orangtua yang hangat dan positif membuat anak lebih merasa dihargai dan membantu mereka memiliki evaluasi yang positif terhadap diri, sebaliknya anak yang terabaikan dapiat menyebabkan mereka memiliki harga diri yang rendah serta berpandangan pesimis terhadap masa depan. F. Gaya Atribusi Bermusuhan F.1 Definisi Gaya Atribusi Bermusuhan Krahe 2005 menyatakan Konsep gaya atribusi bermusuhan mengacu pada kecendrungan kebiasaan seseorang untuk menginterpretasi stimulus ambigu dengan cara bermusuhan dan agresi. Ketika individu mendapatkan aksi tidak menyenangkan dari orang lain misalnya ketika seseorang menabrakmu dikoridor swalayan hingga terjatuh individu dengan gaya atribusi yang tinggi cenderung akan mempersepsikan aksi orang lain tersebut memang dengan sengaja untuk menunjukan permusuhan. Universitas Sumatera Utara Tokoh lain yang memberikan definisi gaya atribusi bermusuhan antara lain Baron 2006 yang mendefinisikannya sebagai kecendrungan diri untuk mempersepsikan adanya motivasi bermusuhan dari reaksi orang lain terhadap kita ketika reaksi orang lain tersebut terkesan ambigu. Selanjutnya Beumeister dan Bushman 2008 menyatakan konsep gaya atribusi bermusuhan mengacu pada kecendrungan untuk mempersepsikan suatu aksi yang ambigu dari orang lain sebagai niat permusuhan secara sengaja. Kirsh 2006 menyatakan, gaya atribusi bermusuhan mengacu pada situasi dimana individu menyimpulkan adanya faktor kesengajaan untuk menunjukan permusuhan dalam aksi orang lain, walaupun maksud sebenarnya belum jelas. Miller 2008 menyatakan konsep gaya atribusi bermusuhan merupakan kemungkinan seseorang untuk mengatribusikan tujuan permusuhan dari orang lain ketika situasinya sendiri tidak menjamin adanya niat permusuhan. Dari beberapa definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa gaya atribusi bermusuhan dapat diartikan sebagai kecendrungan seseorang untuk mengartikan aksi orang lain sebagai tindakan yang memiliki tujuan bermusuhan, walaupun maksud sebenarnya belum jelas dan situasinya sendiri tidak menjamin adanya niat permusuhan. F.2 Aspek-Aspek Gaya Atribusi Bermusuhan Barbara krahe dan Inggrid moller 2004 dalam mengukur gaya atribusi bermusuhan pada situasi yang ambigu melibatkan 3 aspek berikut : A. Mempersepsikan adanya permusuhan Perceived Hostile Intens Universitas Sumatera Utara Krahe 2004 menyatakan konsep ini mengacu pada sejauh mana seseorang yakin bahwa tindakan tidak menyenangkan dari orang lain pada situasi yang tidak jelas merupakan kesengajaan untuk menunjukan permusuhan. Individu dengan atribut gaya atribusi bermusuhan yang tinggi akan menyatakan sangat yakin bahwa orang lain memang benar dengan sengaja menunjukan permusuhan, sebaliknya orang yang rendah pada atribut gaya atribusi permusuhan menyatakan tidak begitu yakin akan adanya kesengajaan dari orang lain untuk menunjukan permusuhan. B. Merasakan kemarahan anger Krahe 2004 menyatakan konsep ini mengacu pada sejauh mana seseorang merasakan kemarahan pada situasi mendapatkan tindakan tidak menyenangkan dari orang lain, ketika situasi tersebut tidak jelas. Pernyataan sangat marah menandakan keadaan individu dengan gaya atribusi bermusuhan yang tinggi, sementara orang dengan gaya atribusi bermusuhan yang rendah akan menjawab tidak begitu marah. C. Keinginan membalas wish to retaliate Konsep ini menurut Krahe 2004 mengacu pada sejauh mana seseorang yang mendapatkan tindakan tidak menyenangkan dari orang lain, walau dalam situasi yang belum jelas sekalipun memiliki keinginan untuk membalas tindakannya. Gaya atribusi bermusuhan yang tinggi pada seseorang akan cenderung menyebabkan keinginan yang kuat untuk membalas. Universitas Sumatera Utara F.3 Faktor-Faktor yang Menyebabkan Gaya Atribusi Bermusuhan Stoff, Breiling, Maser 1997 menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhi gaya atribusi bermusuhan. A. Family stressor Crittendon dan Ainsworth dalam Stoff, Breiling, Maser, 1997 menyatakan anak yang terabaikan maltreatment, mengarahkan dirinya untuk mengembangkan suatu struktur pemikiran bahwa lingkungan sosialnya adalah lingkungan yang tidak ramah, sehingga hal ini juga akan mengarahkannya untuk mempersepsikan tindakan orang lain dalam situasi yang ambigu sebagai tindakan permusuhan. Dodge, Bates dan Pettit dalam Stoff, Breiling, Maser, 1997 menyatakan riwayat kekerasan yang dialami anak oleh orang dewasa mengarahkan anak untuk mempersepsikan secara bermusuhan tanda-tandaaksi- aksi orang lain dalam lingkungan sosialnya, bahkan dalam situasi yang belum jelas sekalipun. B. Sosial ekonomi Dodge et al. dalam Stoff, Breiling, Maser, 1997 menyatkan anak-anak dengan latar belakang ekonomi yang rendah lebih sering menunjukan gaya atribusi bermusuhan. Hal ini juga berkaitan dengan status sosial di masyarakat, anak-anak Amerika-Afrika yang beresiko mendapatkan diskriminasi ras dari penduduk kulit putih mayoritas merasakan perasaan tidak aman di lingkungannya sehingga anak-anak dari ras Amerika-Afrika lebih sering mempersepsikan aksitindakan orang lain sebagai permusuhan. Universitas Sumatera Utara G. Peran Kontrol Diri, Harga Diri, dan gaya Atribusi bermusuhan terhadap Perilaku Agresif Petugas Satpol PP Pada bab sebelumnya telah diuraikan beberapa kasus yang menunjukan fenomena agresifitas Satpol PP dalam melaksanakan tugas penertiban. Perilaku agresif Satpol PP terhadap masyarakat yang dikenai penertiban adalah perilaku agresif kolektif, karena terjadi dalam situasi kelompok massa, dimana menurut Krahe 2005, perilaku kolektif mencakup berbagai macam bentuk perilaku yang dilakukan kelompok atau individu sebagai bagian kelompok. Beberapa teori mengenai efek massa menjelaskan adanya keseragaman aksi pada individu-individu didalam kelompok massa. Misalnya teori single collective mind group mind oleh Gustave Le Bon dalam Forsyth, 1990 yang menyatakan adanya efek contagion yang menyebabkan individu-individu dalam massa bereaksi dengan cara yang sama, serta teori emergent norm Ralph turner and lewis killian dalam Forsyth, 1990 yang menyatakan adanya keseragaman aksi individu dalam massa, karena anggotanya mematuhi norma yang relevan dalam situasi tersebut. Pada kasus agresi satpol PP yang merupakan kasus agresi kelompok ini sendiri, ternyata dari hasil wawancara dan observasi menunjukan tidak semua anggota terlihat bersatu dalam emosi dan aksi agresif, karena ada beberapa anggota yang tidak mengikuti pengaruh kelompok untuk menyerang masyarakat yang dikenai penertiban, bahkan ternyata ada yang malah melerai antara keduanya. Maka disini peneliti ingin melihat faktor-faktor individual yang Universitas Sumatera Utara berperan dalam perilaku agresif Satpol PP, faktor individual yang menyebabkan adanya perbedaan individu dalam perilaku agresif. Membicarakan individualitas dalam kelompok massa bukanlah suatu hal yang tidak mungkin, merujuk pada teori individualistic tradition oleh Floy Allport dalam Hogg, 2001 yang menyatakan: “There is no psychology of groups which is not essentially and entirely a psychology of individual” Allport, 1924 : p.4 Kemudian, dalam kaiatannya terhadap aksi kolektif, Alport dalam Hogg, 2001 menyatakan: “The individual in the crowd behaves just as he would behave alone only more so” Allport, 1924 : p.295 Kemudian Olson dalam Hogg, 2001 berpendapat bahwa didalam massa, anggota-angggotanya beraksi dengan tujuan meningkatkan keuntungan individual hanya saja dibawah kondisi kelompok. Selanjutnya Berk dalam Hogg, 2001 menyatakan efek dari massa adalah mengubah perilaku dengan tetap mempertahankan standart individual dan kecendrungan perilaku dasar. Berkaitan dengan pemahaman terhadap perbedaan individu dalam perilaku agresif, Krahe 2005 menyatakan terdapat 6 aspek kepribadian untuk menjelaskan perbedaan individu dalam agresi yaitu, iritabilitas, kerentanan emosional, pikiran kacau versus perenungan, kontrol diri, harga diri serta gaya atribusi bermusuhan. Universitas Sumatera Utara Dari keenam faktor kepribadian yang menjelaskan perbedaan individu dalam agresi, peneliti mencoba menelaah faktor-faktor mana sajakah yang dinyatakan sebgai faktor kepribadian yang paling dekat dengan perilaku agresif. Menurut Caprara dalam Geen Doneirstein, 1998 berdasarkan beberapa studi eksperimental yang menunjukan bahwa efek utama dari agresi terhadap ketiga aspek kepribadian yaitu iritabilitas, kerentanan emosianal, dan pikiran kacau versus perenungan, sejajar dengan efek utama dari frustasi seperti kegagalan tugas. Studi yang menunjukan kaitan antara variabel-variabel ini dengan agresi menimbulkan pernyataan bahwa status mereka hanya sebagai variabel moderator yakni menjadi aspek penyebab agresi secara tak langsung. Aspek kepribadian selanjutnya menurut Krahe 2005 yang relevan untuk memahami perbedaan individu dalam agresi adalah kontrol diri. Tokoh lain yang menyatakan bahwa kontrol diri menjadi faktor kuat yang mempengaruhi perilaku agresif antara lain Gottfredson dan Hirschi 1990 yang dalam bukunya General Theory of Crime menyatakan level yang rendah pada kontrol diri adalah penyebab dari kriminalitas, kenakalan remaja, agresi, dan tindakan-tindakan sejenis lainnya dalam Miller, 2009. Selanjutnya Baumeister Boden dalam Geen Donnerstein, 1998 menyatakan lemahnya kontrol diri menjadi penyebab yang sangat dekat dengan perilaku kekerasan dan agresi yang terjadi secara spontan. Miller 2005 menyatakan kegagalan dalam kontrol diri merupakan penyebab penting dari agresi. Gottfredson dan Hirschi menyatakan bahwa lemahnya kontrol diri membuat orang lebih mungkin bertindak antisosial dan mengikuti impuls- impuls yang illegal dalam Miller, 2005. Universitas Sumatera Utara Kemudian Krahe 2005 menyatakan bahwa harga diri self esteem juga telah lama dianggap sebagai faktor penting yang menjelaskan perbedaan individu dalam agresi. Serta disini peneliti menemukan adanya perbedaan pendapat beberapa tokoh mengenai kaitan antara harga diri dan agresi. Secara tradisional diasumsikan bahwa rendahnya harga diri akan memicu perilaku agresif, yakni bahwa perasaan negatif mengenai diri sendiri membuat orang lebih berkemungkinan menyerang orang lain Krahe, 2005. Sebagian peneliti mendukung konsepsi ini, namun Baumeister dan Boden dalam Krahe, 2005 menyatakan bahwa individu-individu dengan harga diri yang tinggilah yang lebih rentan terhadap perilaku agresif, terutama saat stimulus agresi berupa umpan balik negatif yang dipersepsikan sebagai ancaman terhadap harga diri mereka yang tinggi. Untuk aspek kepribadian terakhir yang dijelaskan krahe 2005 sebagai faktor yang mempengaruhi perbedaan individu dalam agresi adalah gaya atribusi bermusuhan hostile atributional style. Variabel ini merupakan satu-satunya yang ditemukan peneliti sebagai aspek kepribadian yang juga dinyatakan tokoh lain sebagai faktor kepribadian yang menjelaskan perbedaan individu dalam agresi. Seperti Baron 2003 yang menyatakan 4 faktor personal yang menjelaskan perbedaan individu dalam agresi, yaitu tipe kepribadian A dan B, Narcissism, perbedaan gender, serta gaya atribusi bermusuhan. Kemudian Baumeister 2008 menyatakan ada 3 faktor dari dalam diri yang menyebabkan agresi, yaitu frustasi, mood yang tidak baik, dan terakhir ia juga menyatakan gaya atribusi bermusuhan sebagai salah satu faktor agresi. Universitas Sumatera Utara Berdasarakan pemaparan diatas, peneliti menemukan 3 faktor yang dinyatakan paling dekat sebagai penyebab agresi yakni kontrol diri, harga diri dan gaya atribusi bermusuhan. Selanjutnya peneliti ingin melihat adakah peran ketiga faktor ini dalam perilaku agresif satpol PP pada kasus-kasus agresi saat melaksanakan penertiban yang sering terjadi.

H. Hipotesa