Analisis Biaya Satuan Pelayanan Di Unit Hemodialisis Rumah Sakit Umum Methodist Medan Tahun 2006

(1)

ANALISIS BIAYA SATUAN PELAYANAN DI UNIT HEMODIALISIS

RUMAH SAKIT UMUM METHODIST MEDAN

TAHUN 2006

TESIS

Oleh

YOHAN PRANATA

037013017/AKK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008

S E K

O L A H

P A

S C

A S A R JA

N


(2)

ANALISIS BIAYA SATUAN PELAYANAN DI UNIT HEMODIALISIS

RUMAH SAKIT UMUM METHODIST MEDAN

TAHUN 2006

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

YOHAN PRANATA

037013017/AKK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(3)

Judul Tesis : ANALISIS BIAYA SATUAN PELAYANAN DI UNIT

HEMODIALISIS RUMAH SAKIT UMUM

METHODIST MEDAN TAHUN 2006 Nama Mahasiswa : Yohan Pranata

Nomor Pokok : 037013017

Program Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Konsentrasi : Administrasi Rumah Sakit

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Prof. dr. Harun Rasyid Lubis, Sp.PD.KGH) Ketua

(Syahyunan, SE, M.Si) Anggota

(Drs. Syamsul Bahri TRB, Ak, MM) Anggota

Ketua Program Studi,

(Dr. Drs. Surya Utama, MS)

Direktur,

(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 27 Februari 2008

PANITIA PENGUJI TESIS:

Ketua : Prof. dr. Harun Rasyid Lubis, Sp.PD.KGH Anggota : 1. Syahyunan, SE, M.Si

2. Drs. Syamsul Bahri TRB, Ak, MM 3. Prof. Dr. Ritha F. Dalimunthe, M.Si 4. dr. Ria Masniari Lubis, M.Si


(5)

PERNYATAAN

ANALISIS BIAYA SATUAN PELAYANAN DI UNIT HEMODIALISIS RUMAH SAKIT UMUM METHODIST MEDAN TAHUN 2006

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Februari 2008


(6)

ABSTRAK

Banyak faktor yang merupakan ukuran keberhasilan manajemen rumah sakit. Salah satu faktor tersebut adalah masalah pembiayaan yang harus diatur oleh manajemen rumah sakit sehingga terdapat keseimbangan antara pendapatan dan biaya. Dalam hal ini penentuan tarif yang rasional yang berdasarkan biaya satuan menjadi penting. Dalam perhitungan biaya satuan dapat diketahui berapa persen investasi gedung, mesin hemodialisis, peralatan medis lain, peralatan non medis, biaya bahan habis pakai/obat, honorarium supervisor medis, insentif perawat, berapa persen biaya pemeliharaan dan operasional dan lain-lain yang berguna untuk menentukan kebijakan tarif pelayanan hemodialisis apakah bersubsidi sebagai salah satu satu fungsi sosial rumah sakit atau mengambil profit yang besarnya sesuai dengan kebijakan manajemen. Tujuan penelitian ini adalah menghitung biaya satuan, komponen yang terkait dalam biaya satuan pelayanan Unit Hemodialisis RSU Methodist Medan serta membandingkannya dengan tarif yang berlaku saat ini. Objek penelitian adalah data rekam medik di Unit Hemodialisis, data keuangan yang berhubungan dengan pelayanan Unit Hemodialisis, data tentang peralatan, gedung serta unit lainnya dan data tentang unit penunjang yang terkait dengan Unit Hemodialisis periode Januari 2006 sampai Desember 2006. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan penerapan analisis biaya dengan menggunakan metode distribusi ganda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pentarifan Unit Hemodialisis RSU Methodist Medan dilakukan tidak mengacu kepada kaidah ekonomi kesehatan yang berlaku, khususnya tidak dilakukan dengan menggunakan metode analisis biaya satuan. Walaupun biaya satuan yang didapat lebih kecil dari tarif hemodialisis yang berlaku di rumah sakit, tetapi secara keseluruhan Unit Hemodialisis RSU Methodist Medan tidak dapat memenuhi total financial requirements atau defisit, karena kebijakan pemberian potongan harga kepada pasien-pasien kurang mampu sebagai wujud fungsi sosial rumah sakit yang berbasis keagamaan. Dengan perhitungan berbasis biaya yaitu biaya satuan yang didapat tarif hemodialisis yang berlaku sekarang masih memberikan profit. Margin profit untuk single use 15,57% dan reuse 2,58%.

Untuk itu disarankan agar pihak manajemen RSU Methodist Medan dapat lebih selektif dalam memberikan potongan harga dengan menerapkan ketentuan dan kriteria yang lebih ketat, menentukan tarif pelayanan hemodialisis yang baru berdasarkan analisis biaya satuan terutama tarif hemodialisis reuse yang margin profitnya sangat sedikit, atau dengan tarif lama tetapi meningkatkan efisiensi pemakaian mesin hemodialisis.


(7)

Kata Kunci: Analisis Biaya, Biaya Satuan, Deskriptif, Metode Distribusi Ganda, Tarif.


(8)

ABSTRACT

Many factors can be used as measurement of success of a hospital management. One of them is financing which has to be controlled by the hospital management to balance cost and revenue. In this context, the determination of a rational tariff based on unit price becomes necessary. Unit cost calculation helps find out the percentage of building investment, haemodialysis machines, other medical instruments, non-medical instruments, consumable goods/medications, medical supervisor stipend, nurse insentive, maintenance and operational cost and so forth which is useful to determine the tariff of haemodialysis service whether it is subsidized as one of the social functions of the hospital or profit is taken in accordance with the policy of the hospital management.

The purpose of this descriptive study applying cost analysis with double distribution method is to calculate the unit cost and the component included in the unit cost of Haemodialysis Unit service of Methodist General Hospital Medan and compare it with the currently existing price. The data for this study were obtained from the medical record available in the Haemodialysis Unit, the financial reports related to the service provided by the Haemodialysis Unit, the instrument, building and other unit records, and the record of supporting unit related to Haemodialysis Unit for the period of January to December 2006.

The result of this study reveals that the application of tariff policy in Haemodialysis Unit of Methodist General Hospital is not based on the health economy norms, especially the unit cost analysis method. Even though the unit cost calculated is smaller than the haemodialysis currently existing tariff in the hospital, but aggregately the Haemodialysis Unit of Methodist General Hospital Medan cannot meet the total financial requirements or in other words, deficit, because of the hospital management policy to give discount to poor patients as a materialization of their religion-based social function. With cost-based calculation, the currently existing haemodialysis tariff can still bring profit. The profit margin for single use is 15,57% and for reuse 2,58%.

It is suggested that the management of Methodist General Hospital Medan be more selective in giving discount by applying the stricter terms and conditions and criteria, determining a new unit-cost-based tariff for haemodialysis service especially for the reuse haemodialysis whose profit margin is very small or applying the old tariff but increasing the efficiency use of haemodialysis machines.

Keywords: Cost Analysis, Unit Cost, Descriptive, Double Distribution Method, Tariff.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih atas rahmat dan karuniaNya yang begitu besar sehingga tesis yang berjudul:

“Analisis Biaya Satuan Pelayanan di Unit Hemodialisis Rumah Sakit Umum

Methodist Tahun 2006” ini dapat diselesaikan.

Penulisan tesis ini merupakan persyaratan dalam penyelesaian pendidikan Magister Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.

Selama proses penelitian ini penulis banyak mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sumono, MS., sebagai Pembantu Rektor I Universitas

Sumatera Utara Medan.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc., sebagai Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS., sebagai Ketua Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.

4. Bapak Prof. dr. Harun Rasyid Lubis, Sp.PD.KGH., sebagai Ketua Pembimbing yang telah memberikan banyak masukan pada penulisan tesis ini.

5. Bapak Syahyunan, SE, MSi., selaku Pembimbing II yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.


(10)

6. Bapak Drs. Syamsul Bahri TRB, Ak, MM., selaku Pembimbing III yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

7. Ibu Prof. Dr. Ritha F. Dalimunthe, MSi dan Ibu dr. Ria Masniari Lubis, MSi., selaku Penguji I dan II.

8. Alm. Prof. dr. Harwinta F. Eyanoer, MSc, MPH, Dr.PH., yang semasa hidup almarhum banyak memberikan bimbingan kepada penulis dan Bapak Drs. Amru Nasution, M.Kes yang terus memberikan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

9. Seluruh Staf dan Pegawai Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.

10.Ibu Kurniati Djuang, Ketua Yayasan dan seluruh anggota Yayasan Rumah Sakit Gereja Methodist Indonesia Gloria dan jajaran Direksi RSU Methodist Medan terutama dr. S. Tanizar selaku Direktur, dr. Leo Elmansyah mantan Direktur dan dr. Hendra W. Djuang, MARS sebagai Wakil Direktur Pelayanan Medis, beserta seluruh staf dan pegawai yang telah memberikan dukungan, bantuan dan dorongan dalam menyelesaikan studi ini.

11.Seluruh keluarga penulis, terutama kedua orang tua (Ayah Surya Pranata dan Ibu Joliana), Istri (Parida Lautan) dan Anak tercinta (Hanny Putri) yang senantiasa dengan sabar memberi semangat, perhatian, motivasi dan doa selama masa studi sehingga penulis tetap bersemangat dalam menyelesaikan studi ini.


(11)

12.Seluruh rekan-rekan mahasiswa Program Magister Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit yang telah saling memberikan semangat dan dorongan dalam menyelesaikan studi ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih memerlukan koreksi serta lanjutan penelitian agar nantinya dapat memberikan kontribusi yang berarti di bidang pengelolaan Administrasi Rumah Sakit khususnya dan ilmu pengetahuan umumnya.

Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang membalas segala kebaikan Bapak, Ibu dan Saudara-saudara dengan berlipat ganda. Amin.

Medan, Februari 2008


(12)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Yohan Pranata

Tempat/Tanggal Lahir : Batang Kuis, 31 Desember 1956

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Jl. Kirana No. 38 Medan

Ayah : Surya Pranata

Ibu : Joliana

Istri : Parida Lautan

Anak : Hanny Putri

Profesi/Jabatan : 1. Dokter

2. Wakil Direktur Administrasi dan Keuangan RSU Methodist Medan

3. Koordinator Unit Hemodialisis RSU Methodist Medan Organisasi Profesi : IDI

Riwayat Pendidikan :

1. 1964-1969 : SD Perguruan Kristen Methodist-2 Medan 2. 1970-1972 : SMP Perguruan Kristen Methodist-2 Medan 3. 1973-1975 : SMA Prayatna Medan

4. 1977-1984 : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan 5. 1990 : Latihan Kerja “Hemodialisis” di RS PGI Tjikini Jakarta

Riwayat Pekerjaan :

1. 1985-1999 : Staf Dokter Jaga RSU Methodist Medan

2. 2000-sekarang : Wakil Direktur Administrasi dan Keuangan RSU Methodist Medan


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I : PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perasalahan ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Hipotesis ... 9

1.5 Manfaat Penelitian ... 9

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1 Pelayanan Hemodialisis ... 10

2.2 Aspek Ekonomi Pelayanan Kesehatan... 15

2.3. Pengertian Biaya ... 17

2.4. Jenis Biaya ... 18

2.5. Analisis Biaya ... 21

2.6. Biaya Satuan (Unit Cost) ... 24

2.7. Biaya Kesempatan ... 26

2.8. Biaya Penyusutan (Depreciation Cost)... 26

2.9. Pusat Biaya (Cost Center) dalam Pelayanan Kesehatan.. 27

2.9.1. Pengertian Pusat Biaya ... 27

2.9.2. Pusat Biaya Sistem Rumah Sakit ... 28

2.10. Tarif Pelayanan ... 28

2.10.1.Pengertian Tarif Pelayanan Kesehatan ... 28

2.10.2.Kebutuhan terhadap Pelayanan Kesehatan... 29

2.10.3.Tujuan Penetapan Tarif ... 31

2.10.4.Strategi Penetapan Tarif ... 33

2.10.5.Langkah-langkah Penetapan Tarif ... 35

2.11. Landasan Teori... 37

2.12. Kerangka Pikir... 40


(14)

BAB III : METODE PENELITIAN ... 42

3.1. Jenis Penelitian... 42

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 43

3.3. Metode Pengumpulan Data... 43

3.4. Definisi Operasional ... 44

3.5. Metode Analisis Data ... 46

BAB IV : HASIL PENELITIAN... 50

4.1. Profil Umum RSU Methodist Medan ... 50

4.1.1 Sejarah Perkembangan. ... 50

4.1.2 Falsafah, Visi dan Misi... 51

4.1.3 Struktur Organisasi ... 52

4.1.4. Jenis Pelayanan ... 54

4.1.5. Ketenagaan/Sumber Daya Manusia (SDM).... 57

4.1.6. Tarif Hemodialisis ... 58

4.1.7. Produk Pelayanan Unit Hemodialisis... 59

4.2. Mekanisme Perhitungan Biaya Satuan ... 60

4.2.1 Biaya Langsung ... 61

4.2.2 Biaya Tidak Langsung ... 74

4.2.3. Biaya Total ... 81

4.2.4. Biaya Satuan ... 83

BAB V : PEMBAHASAN ... 84

5.1. Pendapatan Unit Pelayanan Hemodialisis RSU Methodist Medan ... 84

5.2. Total Financial Requirements Unit Hemodialisis RSU Methodist Medan ... 86

5.3. Biaya Satuan Versus Tarif ... 86

BAB VI : KESIMPULAN DAN SARAN ... 88

6.1. Kesimpulan ... 88

6.2. Saran ... 90


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1.1 Jumlah Pelayanan Hemodialisis di RSU Methodist Medan

Tahun 2003 – 2006 ... 4 1.2 Perbandingan Tarif Hemodialisis di RSU Methodist Medan

dengan Rumah Sakit Lain di Kota Medan Tahun 2006 ... 7 2.1 Berbagai Jenis Terapi Pengganti ... 10 3.1 Contoh Pembuatan Spreadsheet Metode Distribusi Ganda

dengan Dasar Alokasi Variabel - 01 ... 48 4.1 Distribusi Tempat Tidur RSU Methodist Medan Tahun

2006... 55 4.2. Data Kegiatan Pelayanan RSU Methodist Medan Januari –

Desember 2006... 57 4.3. Klasifikasi Ketenagaan RSU Methodist Medan Tahun 2006 58 4.4. Tarif Pelayanan Hemodialisis RSU Methodist Medan 2006 . 59 4.5. Jumlah Pelayanan Hemodialisis di RSU Methodist Medan

Tahun 2006... 59 4.6. Distribusi Luas Lantai di RSU Methodist Medan Tahun

2006... 62 4.7 Data Biaya Penyusutan Gedung RSU Methodist Medan

Tahun 2006... 63 4.8 Data Distribusi Pemakaian Listrik di Masing-Masing Unit

Kerja di RSU Methodist Medan Tahun 2006 ... 64 4.9 Data Biaya Penyusutan Peralatan Medis Lain RSU

Methodist Medan Tahun 2006 66

4.10 Data Biaya Penyusutan Peralatan Non-Medis RSU


(16)

4.11 Daftar Gaji Personel Unit Hemodialisis RSU Methodist

Medan Tahun 2006 ... 67 4.12 Biaya Tetap Unit Hemodialisis RSU Methodist Selama

Tahun 2006... 68 4.13 Data Distribusi Biaya Pemakaian Listrik di RSU Methodist

Medan Tahun 2006 ... 69 4.14 Data Distribusi Pemakaian Air di Masing-Masing Unit

Pelayanan di RSU Methodist Medan Tahun 2006 ... 70 4.15 Bahan Habis Pakai dalam Proses Sekali Hemodialisis Tahun

2006... 71 4.16 Data distribusi Cucian RSU Methodist Medan Tahun 2006.. 73 4.17 Biaya Variabel Unit Hemodialisis RSU Methodist Medan

Tahun 2006... 73 4.18 Biaya Langsung Unit Hemodialisis RSU Methodist Medan

Tahun 2006... 74 4.19 Alokasi Biaya Penyusutan Gedung dari Unit-unit Penunjang

ke Unit Hemodialisis RSU Metodist Medan Tahun 2006 ... 76 4.20 Alokasi Biaya Penyusutan Peralatan Medis Lain dari Unit

Penunjang ke Unit Hemodialisis Tahun 2006... 76 4.21 Alokasi Biaya Penyusutan Peralatan Non-Medis dari Unit

penunjang ke Unit Hemodialisis Tahun 2006 ... 77 4.22 Data Distribusi Gaji Berdasarkan Jumlah Pegawai di RSU

Methodist Medan Tahun 2006 ... 78 4.23 Alokasi Biaya Gaji Pegawai dari Unit penunjang ke Unit


(17)

4.24 Alokasi Biaya Listrik dari Unit Penunjang ke Unit

Hemodialisis Tahun 2006 ... 79 4.25 Alokasi Biaya Air dari Unit Penunjang ke Unit Hemodialisis

Tahun 2006... 80 4.26 Alokasi Biaya Tidak Langsung dari Unit-Unit Penunjang ke

Unit Hemodialisis RSU Methodist Medan Tahun 2006 ... 81 4.27. Biaya Total Unit Hemodialisis RSU Methodist Medan

Tahun 2006... 82 5.1 Pendapatan yang Seharusnya Unit Pelayanan Hemodialisis

RSU Methodist Medan, Periode Januari 2006 –

Desember 2006... 84 5.2 Pendapatan yang Sebenarnya Unit Hemodialisis RSU

Methodist yang Diperoleh dari Laporan Keuangan Rumah


(18)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Kerangka Konsep ... 41 4.1. Struktur Organisasi RSU Methodist Medan ... 53


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Alokasi Penyusutan Gedung ... 96

2. Alokasi Penyusutan Peralatan Medis Lain... 97

3. Alokasi Penyusutan Peralatan Non Medis ... 98

4. Alokasi Gaji Pegawai ... 99

5. Alokasi Biaya Listrik ... 100


(20)

ABSTRAK

Banyak faktor yang merupakan ukuran keberhasilan manajemen rumah sakit. Salah satu faktor tersebut adalah masalah pembiayaan yang harus diatur oleh manajemen rumah sakit sehingga terdapat keseimbangan antara pendapatan dan biaya. Dalam hal ini penentuan tarif yang rasional yang berdasarkan biaya satuan menjadi penting. Dalam perhitungan biaya satuan dapat diketahui berapa persen investasi gedung, mesin hemodialisis, peralatan medis lain, peralatan non medis, biaya bahan habis pakai/obat, honorarium supervisor medis, insentif perawat, berapa persen biaya pemeliharaan dan operasional dan lain-lain yang berguna untuk menentukan kebijakan tarif pelayanan hemodialisis apakah bersubsidi sebagai salah satu satu fungsi sosial rumah sakit atau mengambil profit yang besarnya sesuai dengan kebijakan manajemen. Tujuan penelitian ini adalah menghitung biaya satuan, komponen yang terkait dalam biaya satuan pelayanan Unit Hemodialisis RSU Methodist Medan serta membandingkannya dengan tarif yang berlaku saat ini. Objek penelitian adalah data rekam medik di Unit Hemodialisis, data keuangan yang berhubungan dengan pelayanan Unit Hemodialisis, data tentang peralatan, gedung serta unit lainnya dan data tentang unit penunjang yang terkait dengan Unit Hemodialisis periode Januari 2006 sampai Desember 2006. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan penerapan analisis biaya dengan menggunakan metode distribusi ganda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pentarifan Unit Hemodialisis RSU Methodist Medan dilakukan tidak mengacu kepada kaidah ekonomi kesehatan yang berlaku, khususnya tidak dilakukan dengan menggunakan metode analisis biaya satuan. Walaupun biaya satuan yang didapat lebih kecil dari tarif hemodialisis yang berlaku di rumah sakit, tetapi secara keseluruhan Unit Hemodialisis RSU Methodist Medan tidak dapat memenuhi total financial requirements atau defisit, karena kebijakan pemberian potongan harga kepada pasien-pasien kurang mampu sebagai wujud fungsi sosial rumah sakit yang berbasis keagamaan. Dengan perhitungan berbasis biaya yaitu biaya satuan yang didapat tarif hemodialisis yang berlaku sekarang masih memberikan profit. Margin profit untuk single use 15,57% dan reuse 2,58%.

Untuk itu disarankan agar pihak manajemen RSU Methodist Medan dapat lebih selektif dalam memberikan potongan harga dengan menerapkan ketentuan dan kriteria yang lebih ketat, menentukan tarif pelayanan hemodialisis yang baru berdasarkan analisis biaya satuan terutama tarif hemodialisis reuse yang margin profitnya sangat sedikit, atau dengan tarif lama tetapi meningkatkan efisiensi pemakaian mesin hemodialisis.


(21)

Kata Kunci: Analisis Biaya, Biaya Satuan, Deskriptif, Metode Distribusi Ganda, Tarif.


(22)

ABSTRACT

Many factors can be used as measurement of success of a hospital management. One of them is financing which has to be controlled by the hospital management to balance cost and revenue. In this context, the determination of a rational tariff based on unit price becomes necessary. Unit cost calculation helps find out the percentage of building investment, haemodialysis machines, other medical instruments, non-medical instruments, consumable goods/medications, medical supervisor stipend, nurse insentive, maintenance and operational cost and so forth which is useful to determine the tariff of haemodialysis service whether it is subsidized as one of the social functions of the hospital or profit is taken in accordance with the policy of the hospital management.

The purpose of this descriptive study applying cost analysis with double distribution method is to calculate the unit cost and the component included in the unit cost of Haemodialysis Unit service of Methodist General Hospital Medan and compare it with the currently existing price. The data for this study were obtained from the medical record available in the Haemodialysis Unit, the financial reports related to the service provided by the Haemodialysis Unit, the instrument, building and other unit records, and the record of supporting unit related to Haemodialysis Unit for the period of January to December 2006.

The result of this study reveals that the application of tariff policy in Haemodialysis Unit of Methodist General Hospital is not based on the health economy norms, especially the unit cost analysis method. Even though the unit cost calculated is smaller than the haemodialysis currently existing tariff in the hospital, but aggregately the Haemodialysis Unit of Methodist General Hospital Medan cannot meet the total financial requirements or in other words, deficit, because of the hospital management policy to give discount to poor patients as a materialization of their religion-based social function. With cost-based calculation, the currently existing haemodialysis tariff can still bring profit. The profit margin for single use is 15,57% and for reuse 2,58%.

It is suggested that the management of Methodist General Hospital Medan be more selective in giving discount by applying the stricter terms and conditions and criteria, determining a new unit-cost-based tariff for haemodialysis service especially for the reuse haemodialysis whose profit margin is very small or applying the old tariff but increasing the efficiency use of haemodialysis machines.

Keywords: Cost Analysis, Unit Cost, Descriptive, Double Distribution Method, Tariff.


(23)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada mulanya rumah sakit di Indonesia banyak didirikan dengan tujuan sosial tanpa terlalu mempertimbangkan segi ekonominya. Pada masa itu kebanyakan rumah sakit mendapat subsidi dari pemerintah maupun dari badan misi sosial keagamaan baik dari dalam negeri maupun bantuan dari luar negeri. Fungsi sosial berarti bahwa sebuah rumah sakit harus melayani pasien atas dasar kebutuhan mediknya dan tidak berdasarkan kemampuan pasien untuk membayar. Sedangkan fungsi ekonomi berarti rumah sakit harus memikirkan keuntungan dengan melaksanakan manajemennya, termasuk manajemen keuangan dan pembiayaannya mengikuti kaidah-kaidah ekonomi dengan memperhitungkan biaya yang realistik dan rasional.

Rumah sakit sebagai institusi kesehatan terikat PERMENKES No. 378 Tahun 1993 yang mengatur tentang pelayanan fungsi sosial rumah sakit swasta. Di dalam peraturan tersebut telah tertuang beberapa ketentuan yang harus dijalankan oleh rumah sakit sebagai sarana kesehatan umum dalam menjalankan usahanya. Bahwa rumah sakit wajib menjalankan fungsi sosialnya, seperti pengaturan tarif pelayanan dengan memberikan keringanan atau pembebasan pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang kurang mampu dan pelayanan gawat darurat 24 jam tanpa mensyaratkan uang muka, tetapi mengutamakan kesehatan (Depkes RI, 1997).


(24)

Dalam perkembangannya rumah sakit di samping menjalankan fungsi sosial juga menjalankan fungsi ekonomis sekaligus. Dengan demikian untuk mempertahankan operasional rumah sakit, maka rumah sakit harus mencari keseimbangan antara fungsi sosial dan fungsi ekonomi (Gani, 2002). Bahkan sejak tahun 2000 sudah 13 Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) menjadi Rumah Sakit Perusahaan Jawatan (RS Perjan) dan tiga Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) menjadi Perseroan Terbatas (PT) di Jakarta yang mengarah pada business oriented sebagai Badan Usaha Milik Negara atau Daerah (BUMN/BUMD). Ini sebenarnya bertentangan dengan dengan Pasal 34 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Negara bertanggung jawab atas persediaan fasilitas pelayanan

kesehatan dan fasilitas umum yang layak” (Kusnadi, 2006). Rumah sakit di Kota

Medan milik pemerintah seperti Rumah Sakit Pirngadi, milik Pemerintah Daerah Kota Medan dan Rumah Sakit Adam Malik, milik Pemerintah Pusat juga telah berubah status menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) dan Badan Layanan Umum Pusat (BLUP), diharapkan bisa swakelola dan swadana dalam menjalankan fungsinya.

Rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan untuk masyarakat umum dituntut untuk dapat menghadapi tantangan persaingan bebas rumah sakit dengan memberikan pelayanan yang baik, efisien, efektif dan tarif yang sesuai (rasional).

Masalah pembiayaan yang penting dan harus diatur oleh manajemen rumah sakit adalah keseimbangan antara pendapatan dan biaya, sehingga diketahui apakah rumah sakit itu dalam keadaan untung, kembali modal atau rugi. Hal lain yang berkaitan dengan pembiayaan rumah sakit adalah dilema subsidi dan survival. Di satu


(25)

sisi rumah sakit ingin menyediakan pelayanan yang murah bagi pasien, tetapi disisi lain rumah sakit perlu survive. Dalam hal ini penentuan tarif yang optimal menjadi sangat penting. Di mana “tarif optimal” adalah tarif yang masih “sanggup dibayar”

oleh masyarakat, akan tetapi masih “dapat ditoleransi” bagi kemampuan rumah sakit.

Dalam menghadapi era globalisasi yang juga merambah ke sektor kesehatan, manajemen rumah sakit harus menyadari adanya persaingan dalam memberikan pelayanan yang baik, efisien, efektif dan tarif yang rasional. Manajemen rumah sakit mengalami proses perubahan yang sangat dipengaruhi oleh pemerintah, investor baik lokal maupun asing, masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan dan industri perasuransian sebagai faktor pembiayaan. Jadi pembiayaan rumah sakit berasal dari berbagai sumber seperti dibiayai sendiri oleh pasien, asuransi kesehatan, bantuan pemerintah, bantuan asing serta dana-dana masyarakat.

Rumah sakit yang merupakan industri jasa, bila ingin tetap bertahan dan berkembang haruslah dapat mengupayakan agar biaya yang dikeluarkan untuk pelayanan kesehatan dapat dilampaui oleh pendapatan dari pelayanan yang diberikan. Dengan perkataan lain sedapat mungkin diusahakan semua unit kegiatan rumah sakit yang merupakan pusat pendapatan, termasuk Unit Hemodialisis, dapat ditingkatkan dan yang merupakan pusat biaya harus mengalami efisiensi agar tidak menjadi beban subsidi rumah sakit.

RSU Methodist Medan sejak tahun 2003 sudah mulai merintis pelayanan Unit Hemodialisis dengan 2 (dua) unit mesin hemodialisis. Dari tahun ke tahun pelayanan hemodialisis di RSU Methodist Medan menunjukkan peningkatan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.1 berikut ini.


(26)

Tabel 1.1. Jumlah Pelayanan Hemodialisis di RSU Methodist Medan Tahun 2003 – 2006

Tahun No Bulan

2003 2004 2005 2006

1 Januari - 7 30 67

2 Februari - 10 25 62

3 Maret - 28 49 75

4 April - 30 57 78

5 Mei - 30 61 100

6 Juni - 25 71 100

7 Juli - 40 79 125

8 Agustus - 12 81 144

9 September - 18 91 123

10 Oktober - 30 84 160

11 November - 24 82 146

12 Desember 1 30 67 131

Jumlah 1 284 777 1.311

Dari jumlah pelayanan hemodialisis tahun 2006 di RSU Methodist Medan yang berjumlah 1.311 kali pelayanan hemodialisis sebanyak 18 kali merupakan single

use sedangkan sisanya sebesar 1.293 kali merupakan reused.

Pada tahun 2006 Unit Hemodialisis RSU Methodist Medan sudah memiliki 4 (empat) unit mesin hemodialisis. Jumlah ini sudah bertambah dibandingkan tahun 2003 yang hanya memiliki 2 unit mesin hemodialisis.

Unit Pelayanan Hemodialisis (cuci darah) merupakan salah satu pelayanan yang cukup mahal, karena sangat dipengaruhi harga medical supply, obat dan bahan habis pakai, yang sangat dipengaruhi oleh krisis moneter yang terjadi saat ini.

Tarif hemodialisis merupakan suatu elemen yang amat esensial bagi rumah sakit yang tidak dibiayai penuh oleh pemerintah atau pihak ketiga. Rumah sakit swasta, baik yang bersifat mencari laba maupun yang nirlaba harus mampu


(27)

mendapatkan biaya atau keuntungan untuk membiayai segala aktivitasnya dan untuk dapat terus memberikan pelayanan kepada masyarakat. Rumah sakit pemerintah yang tidak mendapatkan dana yang memadai untuk memberikan pelayanan secara cuma-cuma kepada masyarakat, juga harus menentukan tarif pelayanan yang rasionil supaya bisa bertahan.

Di Indonesia, praktis seluruh rumah sakit, baik itu rumah sakit pemerintah, rumah sakit perusahaan ataupun rumah sakit swasta harus mencari dana yang memadai untuk membiayai pelayanannya.

Setiap rumah sakit akan menetapkan tarif unit pelayanan sesuai dengan misinya masing-masing. Akan tetapi ada pertimbangan yang relatif sama di dalam penetapan tarif tersebut yaitu mendapatkan pendapatan yang mencukupi untuk menjalankan fungsi rumah sakit, baik dari sumber pengguna jasa maupun dari sumber lain. Ada rumah sakit yang membutuhkan pendapatan untuk membeli bahan-bahan habis pakai saja, dan ada rumah sakit yang membutuhkan pendapatan untuk segala macam pengeluaran, termasuk keuntungan pemegang saham.

Pada era modernisasi ini biaya operasional dan investasi rumah sakit senantiasa terus bertambah mahal. Rumah sakit dituntut untuk menyediakan fasilitas, peralatan dan keahlian yang sesuai dengan pola penyakit yang makin canggih. Dalam kenyataan memang ada segmen masyarakat yang mempunyai kebutuhan yang lebih tinggi terhadap pelayanan dengan kualitas tinggi, terlepas dari kemungkinan bahwa kebutuhan tersebut sebetulnya adalah induced demand atau tidak. Kenyataan ini menyebabkan rumah sakit perlu memperhitungkan depresiasi investasi yang telah


(28)

dilakukan serta kemungkinan perlunya melakukan pengembangan dan peningkatan kualitas di masa yang akan datang. Penyesuaian tarif adalah salah satu alternatif menghadapi fenomena tersebut.

Pasar pelayanan kesehatan ternyata memiliki karakteristik tersendiri, yang sering kali tidak dapat mengikuti kaedah pasar bebas. Misalnya, pemakai jasa sektor kesehatan (pasien) selalu berada dalam posisi yang lemah untuk menentukan harga pelayanan yang diberikan. Pasien pada umumnya tidak mengetahui apakah harga pelayanan yang dibayarkan sesuai dengan nilai manfaat yang diterimanya. Selain itu, pasien biasanya tidak pernah tahu dengan tepat jenis pelayanan kesehatan yang diperlukannya.

Walaupun pasien berada dalam posisi yang lemah, pihak manajemen rumah sakit tidak boleh semena-mena menentukan tarif yang akan dikenakan kepada pasien. Rumah sakit harus mempunyai fungsi sosial terutama untuk golongan pasien yang miskin tetapi membutuhkan pelayanan di rumah sakit. Tarif yang terlampau tinggi akan membuat pasien merasa dirugikan dan mencari alternatif lain atau pindah ke rumah sakit yang lain, sedangkan tarif yang terlalu murah akan mengakibatkan rumah sakit mengalami kerugian atau bahkan membuat pasien berfikir bahwa pelayanan yang diberikan di bawah standar, sehingga mereka tidak mau memanfaatkan pelayanan tersebut. Semua ini menjadi dilema bagi pihak manajemen rumah sakit karena akan mengurangi jumlah pasien yang memakai jasa pelayanan rumah sakit, yang pada akhirnya akan memyebabkan pendapatan rumah sakit tidak mencukupi untuk dapat mempertahankan pelayanan dengan standar mutu tertentu.


(29)

Dalam menetapkan tarif, umumnya rumah sakit menggunakan cara yang praktis dan sederhana, serta dapat dilakukan dengan waktu yang singkat. Cara tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor pesaing, sebagai contoh pemeriksaan foto rontgen hampir seluruh rumah sakit swasta di Kota Medan menetapkan tarif yang relatif sama padahal biaya investasi, utilitas dan biaya lain-lain berbeda-beda atau dengan perkataan lain fixed cost dan variable cost-nya berbeda-beda. Dalam hal ini tarif yang ditetapkan tidak dihitung berdasarkan biaya satuan pelayanan yang ada pada rumah sakit tersebut. Demikian juga hal yang sama dalam menentukan tarif hemodialisis di RSU Methodist Medan sebesar Rp. 600.000.- (enam ratus ribu rupiah) per kali pelayanan hemodialisis untuk single use dan Rp. 520.000 (lima ratus dua puluh ribu rupiah) per kali pelayanan hemodialisis untuk reused ditentukan hanya dengan memperbandingkan dengan tarif hemodialisis rumah sakit lain yang setaraf di Kota Medan.

Adapun perbandingan tarif hemodialisis di beberapa rumah sakit di Kota Medan pada tahun 2006 adalah seperti pada Tabel 1.2 berikut ini:

Tabel 1.2. Perbandingan Tarif Hemodialisis di RSU Methodist Medan dengan Rumah Sakit Lain di Kota Medan Tahun 2006

Tarif Hemodialisis Per Kali Pelayanan

No Rumah Sakit Single Use

(Rp)

Reused (Rp)

1 A -- 420.000,-

2 B 750.000,- 650.000,-

3 C 935.000,- 687.500,-


(30)

Keterangan:

a. Rumah Sakit A adalah Rumah Sakit Pemerintah. Tarif tersebut untuk Pasien Non ASKES dan Non GAKIN.

b. Rumah Sakit B adalah Rumah Sakit Swasta berbentuk Yayasan Keagamaan. c. Rumah Sakit C adalah Rumah Sakit Swasta berbentuk Perseroan Terbatas.

d. Rumah Sakit Methodist Medan adalah Rumah Sakit Swasta berbentuk Yayasan Keagamaan.

Pelayanan Hemodialisis dapat berbentuk single use di mana dialyzer atau ginjal buatan hanya dipakai sekali tetapi jika dalam bentuk reused, dialyzer bisa dipakai berulang kali. Pada umumnya untuk reused, dialyzer dapat digunakan sebanyak 5 kali.

Salah satu kesulitan dalam menetapkan tarif yang rasional adalah langkanya informasi tentang biaya satuan pelayanan (unit cost).

1.2. Permasalahan

Permasalahan penelitian adalah apakah tarif pelayanan hemodialisis yang berlaku sekarang di RSU Methodist Medan sudah mampu mendanai atau menutupi biaya yang dikeluarkan di Unit Hemodialisis RSU Methodist Medan.


(31)

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah tarif pelayanan hemodialisis yang berlaku sekarang di RSU Methodist Medan sudah sesuai dengan biaya satuan (unit cost) pelayanan yang dikeluarkan.

1.4. Hipotesis

Tarif hemodialisis yang berlaku cukup untuk membiayai total financial

requirements Unit Hemodialisis di Rumah Sakit Umum Methodist Medan Tahun

2006.

1.5. Manfaat Penelitian

a. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pihak manajemen RSU Methodist Medan dalam penetapan tarif pelayanan hemodialisis yang rasional dan optimal yang berbasis biaya.

b. Sebagai bahan masukan bagi institusi pendidikan dalam hal memberikan cara dalam penetapan tarif pelayanan di rumah sakit berbasis biaya khususnya tarif pelayanan hemodialisis dan tarif pelayanan kesehatan lainnya sehingga dapat dikembangkan dan didapatkan formulasi yang lebih rasional dan optimal yang dapat diterapkan di rumah sakit lainnya.

c. Menambah wawasan peneliti dan aplikasi di bidang manajemen rumah sakit, khususnya mengenai penentuan biaya satuan unit hemodialisis di rumah sakit.


(32)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pelayanan Hemodialisis

Pada pasien penyakit ginjal dengan faal ginjal yang menurun atau yang masih tersisa sudah sangat sedikit sehingga usaha-usaha pengobatan biasa yang berupa diet, pembatasan minum, obat-obatan dan lain-lain tidak memberi pertolongan yang diharapkan lagi, maka pasien perlu mendapat pengobatan atau terapi pengganti. Keadaan pasien di mana faal ginjal sudah menurun, diukur dengan klirens kreatinin (KK) yang tidak lebih dari 15 ml/menit. Keadaan ini disebut Gagal Ginjal Terminal (GGT).

Penderita GGT, apapun etiologi penyakit ginjalnya, memerlukan pengobatan khusus yang disebut pengobatan atau terapi pengganti. Pada Tabel 2.1 di bawah ini dapat dilihat beberapa terapi pengganti yang lazim dilaksanakan dewasa ini.

Tabel 2.1. Berbagai Jenis Terapi Pengganti No Berbagai Jenis Terapi Pengganti

A Dialisis

1. Dialisis peritoneal (DP) 1.1. DP Intermiten (DPI)

1.2. DP Mandiri Berkesinambungan (DPMB) 1.3. DP Dialirkan Berkesinambungan (DPDB) 1.4. DP Nokturnal (DPN)

2. Hemoperfusi 3. Hemofiltrasi 4. Hemodialisis (HD) B Transplantasi Ginjal (TG)

1. TG Donor Hidup (TGDH) 2. TG Donor Jenazah (TGDJ) Sumber: Soeparman, 1990.


(33)

Dari beberapa terapi pengganti di atas, hemodialisis sampai sekarang masih merupakan pilihan utama (Soeparman, 1990).

Hemodialisis (cuci darah) diperlukan jika fungsi ginjal sudah sangat menurun atau pada keadaan GGT. Pada keadaan ini ginjal tidak dapat lagi menyaring/ membuang racun, sisa pembakaran/metabolisme, mengatur keseimbangan garam maupun cairan di dalam tubuh pasien. Dengan hemodialisis darah dibersihkan melalui mesin dengan menggunakan dialyzer (ginjal buatan) dan cairan pembersih khusus. Sewaktu “cuci darah”, sisa-sisa racun, sisa metabolisme dibuang dari tubuh, garam dan cairan diseimbangkan sehingga tubuh menjadi normal kembali. Pasien dengan gagal ginjal terminal perlu “cuci darah” 2-3 kali per minggu. Setiap kali cuci darah butuh waktu rata-rata 4 jam. Pengobatan dengan proses hemodialisis tersebut akan terus dibutuhkan jika pasien tidak menempuh proses pengobatan dengan cangkok ginjal.

Dalam melaksanakan pelayanan hemodialisis dibutuhkan beberapa prasarana dan sarana antara lain:

a. Fasilitas ruangan

1). Ruang Hemodialisis dengan segala perlengkapannya antara lain tempat tidur pasien, mesin hemodialisis, trolley, timbangan berat badan, meja makan pasien (overbad table), meja pasien (nakhas), meja perawat, kursi, kulkas obat, lampu tindakan, tiang infus, lemari obat, kursi, tempat sampah, tempat linen kotor dan lain sebagainya.


(34)

Demi kenyamanan pasien dan untuk mengusir kebosanan selama berlangsungnya terapi hemodialisis, umumnya ruang hemodialisis dilengkapi dengan alat pengatur suhu ruangan (AC) dan perangkat televisi.

2). Ruang Konsultasi Dokter. 3). Ruang Perawat.

4). Ruang Gudang Penyimpanan Consumable Goods.

5). Ruang Water Treatment di mana sistem pemurni air yang dipakai adalah Reverse Osmosis (RO) dengan perangkat seperti tangki air, pompa air,

multimedia-filter, activated carbon, softener, tabung reverse osmosis, ultra-violet filter, bacteria filter dan lain sebagainya. Air yang dihasilkan adalah air

murni yang bebas logam berat maupun bakteri yang sangat penting untuk dipakai dalam proses hemodialisis di mana pada umumnya rata-rata diperkirakan dibutuhkan sekitar 30 liter per jam.

6). Ruang reuse dialyzer di mana dialyzer yang sudah dipakai dibersihkan atau diproses untuk dapat dipakai kembali pada pasien yang sama pada terapi hemodialisis berikutnya.

7). Ruang Kamar Mandi (Pasien dan Perawat).

b. Bahan Habis Pakai (Consumable Goods) yang terdiri dari antara lain: 1). Dialyzer (ginjal buatan) dan blood-lines (selang darah).

2). Pada pasien GGT, hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah melalui selang darah kedalam dialyzer atau ginjal buatan yang terdiri dari dua


(35)

kompartemen. Kompartemen pertama adalah kompartemen darah yang di dalamnya mengalir darah dibatasi oleh selaput semipermeable buatan dengan kompartemen kedua berisi cairan untuk hemodialisis atau dialisat. Melalui membrane inilah proses pembersihan darah pasien berlangsung. 3). Cairan dialisat merupakan cairan dengan komposisi khusus yang dipakai

dalam proses hemodialisis, yang terdiri dari cairan acetate dan bicarbonate. Saat ini yang lebih banyak dipakai adalah bicarbonate dialysis, hemodialisis dengan menggunakan cairan bicarbonate karena efek samping pasca hemodialisis yang lebih minimal.

4). Bahan medis lain yang dibutuhkan seperti set infus, cairan infus, spuit, kapas alkohol, kassa steril, cairan antiseptik (seperti bethadine solution), powder

antibiotic, plester micropore, band-aid (pelekat), verban gulung, sarung

tangan dan lain sebagainya.

c. Peralatan medis yang dapat dipakai ulang antara lain: klem, gunting, piala ginjal (nierbeken), thermometer, alas perlak, senter, tourniquet, steteskop, mangkok, gelas ukur, tensimeter, ECG monitor, tabung oksigen, kertas observasi, status pasien, apron, masker, bantalan pasir berbagai ukuran dan lain sebagainya.

d. Untuk bahan linen dibutuhkan antara lain: selimut, sprei, sarung bantal, waslap, handuk kecil, serbet tangan, dan sebagainya lainnya.

e. Untuk perawatan mesin diperlukan cairan desinfectant seperti Sodium hypochloride 2.5%, Havox/Bayclin 5,25%, Citrosteril 3%, Puristeril 3%, Actril 0,7%, Citic Acid 50% (Fresenius Medical Care, 2001).


(36)

Proses hemodialisis merupakan proses pelayanan kesehatan yang cukup rumit sehingga diperlukan tenaga perawat khusus untuk melaksanakan pelayanan ini.

Di samping itu pelayanan hemodialisis (cuci darah) merupakan salah satu pelayanan yang cukup mahal, karena sangat dipengaruhi harga medical supply, obat dan bahan habis pakai, yang sangat dipengaruhi oleh krisis moneter yang terjadi saat ini. Salah satu cara untuk mengurangi cost dalam pelayanan hemodialisis ini adalah dengan cara reuse di mana dialyzer yang harganya cukup mahal tersebut dipakai berulang kali. Ada juga pusat-pusat dialisis tertentu selain reuse dialyzer juga melakukan reuse blood-lines. Reuse jelas dapat memberikan keuntungan secara ekonomis (Brown, 2001).

Cara reuse dipakai dilebih dari 80% pusat-pusat dialysis di Amerika Serikat. Proses pemakaian berulang dialyzer untuk pasien terbukti aman dan clearance

characteristics dialiyzer reuse tidak berubah jika proses pembersihan dializer

dilaksanakan dengan benar. Reuse selain menghemat biaya, juga dapat meningkatkan

biocompatibility dan mengurangi frekwensi first-use-syndrome pada pasien

hemodialisis (Pasten dan Bailey, 1998).

Ariono dalam penelitiannya: Analisis Biaya dan Alternatif Tarif Hemodialisis di Unit Renal RSPAD Gatot Soebroto selama Tahun Anggaran 1997/1998 mendapatkan bahwa biaya satuan hemodialisis yang didapat dari analisis biaya lebih tinggi dari tarif yang berlaku, sehingga diketahui selama Tahun Anggaran 1997/1998 sebenarnya terjadi defisit yang merupakan subsidi rumah sakit kepada pasien swasta.


(37)

2.2. Aspek Ekonomi Pelayanan Kesehatan

Tugas dan tanggung jawab manajemen berkisar pada perencanaan dan pengawasan. Perencanaan mencakup penentuan serta penggarisan cara-cara bagaimana tujuan akan dicapai. Pengawasan mencakup langkah-langkah maupun metode-metode yang digunakan untuk menjamin pencapaian tujuan dimaksud. Agar perencanaan dan pengawasan dapat dilaksanakan dengan baik, manajemen memerlukan informasi-informasi mengenai kegiatan organisasi. Dari segi akuntansi informasi yang diperlukan oleh manajer sering berupa biaya-biaya yang berkaitan dengan kegiatan usaha (Tambunan, 2001).

Salah satu subsistem yang terdapat dalam sistem kesehatan ialah subsistem pembiayaan kesehatan, maka untuk dapat memahami dengan lengkap sistem kesehatan, perlulah dipahami pula tentang subsistem pembiayaan kesehatan tersebut.

Pembicaraan subsistem pembiayaan kesehatan ini juga tidak mudah. Sebagai akibat dari luasnya pengertian sehat, maka yang termasuk dalam subsistem pembiayaan kesehatan, mencakup bidang yang amat luas pula. Jika ditinjau dari definisi sehat sebagaimana yang dirumuskan oleh WHO yang berbunyi: Sehat adalah suatu keadaan dan kualitas dari organ tubuh yang berfungsi secara wajar dengan segala faktor keturunan dan lingkungan yang dipunyainya, maka pembiayaan pembangunan perumahan dan atau pembiayaan pengadaan pangan, yang juga memiliki dampak terhadap kesehatan, seharusnya turut pula diperhitungkan.


(38)

Hanya saja, seperti juga pada subsistem pembiayaan kesehatan, peninjauan yang luas seperti ini tidaklah mungkin dilakukan. Sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki, maka dalam membicarakan subsistem pembiayaan kesehatan, pembahasan dibatasi hanya pada pembiayaannya untuk program kesehatan saja, yakni program-program yang berhubungan erat dengan penerapan langsung ilmu dan tekhnologi kedokteran.

Pada akhir-akhir ini, dengan makin kompleksnya pelayanan kesehatan serta makin langkanya sumber dana yang tersedia, maka perhatian terhadap subsistem pembiayaan kesehatan makin meningkat saja. Pembahasan tentang subsistem pembiayaan kesehatan ini tercakup dalam suatu cabang ilmu khusus yang dikenal dengan nama ekonomi kesehatan atau health economic (Azwar, 1988).

Dari aspek pembiayaan, secara makro dijumpai beberapa hal yang menarik di mana didapati bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan suatu negara semakin besar negara itu mengeluarkan biaya kesehatan, baik dilihat dari segi angka absolut maupun relatif dari tingkat pendapatan negara tersebut (Sulastomo, 2003).

Pembiayaan rumah sakit yang semakin besar, sedangkan subsidi semakin sedikit atau bahkan sama sekali tidak ada, menyebabkan rumah sakit harus melakukan pengendalian biaya operasional seefektif mungkin dan menetapkan tarif rasional berdasarkan perhitungan biaya satuan (unit cost).

Dalam menghadapi persaingan bebas, rumah sakit dituntut dapat memberikan pelayanan yang baik, efisien, efektif dan tarif yang sesuai. Pelayanan Hemodialisis (cuci darah) merupakan salah satu layanan yang cukup mahal, karena sangat


(39)

dipengaruhi harga medical supply, obat, dan bahan habis pakai. Untuk itu perlu dilakukan penetapan tarif yang berbasis biaya.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 582/Menkes/SK/ 1997 tentang Pola Tarif Rumah Sakit Pemerintah, telah ditetapkan bahwa tarif rumah sakit pemerintah diperhitungkan atas dasar biaya satuan.

2.3. Pengertian Biaya

Untuk menghasilkan biaya suatu produk (output) diperlukan sejumlah input. Biaya adalah nilai dari sejumlah input (faktor produksi) yang dipakai untuk menghasilkan suatu produk (Gani, 1995). Output atau produk bisa berupa barang atau jasa pelayanan kesehatan. Untuk menghasilkan pelayanan kesehatan di rumah sakit, misalnya diperlukan sejumlah input yang antara lain berupa obat, alat kedokteran, tenaga medis maupun non medis, listrik, gedung dan sebagainya.

Biaya juga sering diartikan sebagai nilai dari suatu pengorbanan untuk memperoleh suatu output tertentu. Pengorbanan itu bisa berupa uang, barang, tenaga, waktu, maupun kesempatan (Supriyono, 1999). Dalam analisis ekonomi nilai kesempatan untuk memperoleh sesuatu yang hilang karena melakukan suatu kegiatan juga dihitung sebagai biaya yang disebut dengan biaya kesempatan (opportunity


(40)

2.4. Jenis Biaya

Biaya dikelompokkan berdasarkan kriteria-kriteria untuk keperluan analisis biaya. Klasifikasi biaya berdasarkan beberapa kriteria antara lain (Gani, 1995):

2.4.1. Berdasarkan pada Perubahan Jumlah Produk (Output)

a. Biaya tetap (fixed cost)

Biaya tetap adalah biaya yang secara relatif tidak dipengaruhi oleh besarnya jumlah produksi (Sjaaf, 1994). Biaya ini harus tetap dikeluarkan terlepas dari persoalan apakah pelayanan diberikan atau tidak. Contoh biaya tetap adalah nilai dari gedung yang digunakan, nilai dari mesin hemodialisis, nilai dari peralatan kedokteran lainnya, nilai peralatan non medis, gaji personel dan sebagainya. Jadi dalam klasifikasi ini termasuk barang-barang investasi, sehingga biaya tetap ini juga disebut biaya investasi.

b. Biaya variabel (variable cost)

Biaya variabel adalah biaya yang besarnya dipengaruhi oleh banyaknya

output/produksi (Gani, 1996). Contoh yang termasuk dalam biaya variabel

adalah biaya listrik, biaya air, biaya bahan habis pakai/obat, biaya honor supervisor medis, insentif perawat, biaya cucian dan sebagainya.

c. Biaya total (total cost)


(41)

2.4.2. Berdasarkan Sifat Kegunaannya

a. Biaya investasi (invesment cost)

Biaya investasi adalah biaya yang kegunaannya dapat berlangsung dalam waktu yang relatif lama. Biasanya batas waktu untuk biaya investasi ditetapkan lebih dari satu tahun. Batas satu tahun ditetapkan atas dasar kebiasaan bahwa anggaran biasanya direncanakan dan direalisir untuk satu tahun. Biaya investasi ini biasanya berhubungan dengan pembangunan atau pengembangan infrastruktur fisik dan kapasitas produksi. Contoh yang termasuk dalam biaya investasi antara lain biaya pembangunan gedung dan sebagainya (Shepard et al, 2000).

b. Biaya pemeliharaan

Biaya pemeliharaan adalah biaya yang fungsinya untuk mempertahankan atau memperpanjang kapasitas barang investasi. Contoh biaya pemeliharaan gedung, biaya pemeliharaan alat medik, biaya pemeliharaan alat non medik (FKM UI, 1998).

c. Biaya operasional

Biaya operasional (operational cost) adalah biaya yang diperlukan untuk melaksanakan, memfungsikan atau mengoperasikan barang investasi. Termasuk dalam klasifikasi ini adalah gaji, biaya obat, biaya makan, biaya alat tulis kantor biaya umum seperti listrik, air, telepon, perjalanan dan lain-lain (FKM UI, 1998). Biaya operasional ini memiliki sifat habis pakai


(42)

dalam kurun waktu yang relatif singkat atau kurang dari satu tahun (Sjaaf, 2000). Antara biaya operasional dan biaya pemeliharaan dalam praktek sering disatukan menjadi biaya operasional dan pemeliharaan (Operational and Maintainance Cost).

2.4.3. Berdasarkan Fungsinya dalam Proses Produksi

Terdiri dari biaya langsung dan biaya tidak langsung. Konsep biaya lansung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost) sering dipergunakan ketika menghitung satuan (unit cost).

Biaya langsung adalah biaya yang secara jelas penggunaannya dilakukan dalam suatu unit kegiatan tertentu sedangkan biaya tak langsung adalah biaya yang penggunaannya dilakukan bukan di unit kegiatan yang bersangkutan (Sjaaf, 1994).

Dalam suatu unit usaha, misalnya di rumah sakit terdapat jenis kegiatan yaitu unit produksi seperti rawat jalan, rawat inap, unit hemodialisis dan sebagainya dan unit penunjang seperti instalasi gizi, bagian administrasi, bagian keuangan dan sebagainya yang semua kegiatan ini memerlukan biaya dan saling menunjang untuk berjalannya suatu kegiatan (Supriono, 1999).

Mengingat ada unit penunjang maka untuk menghitung biaya satuan hemodialisis misalnya, biaya yang dihitung bukan saja biaya yang ada di unit produksi yang secara langsung (direct) berkaitan dengan pelayanan (output), tetapi harus dihitung juga biaya yang ada di unit penunjang meskipun biaya di unit penunjang tidak secara langsung (indirect) berkaitan dengan pelayanan hemodialisis tersebut.


(43)

Biaya-biaya yang dikeluarkan pada unit-unit yang langsung melayani pasien disebut biaya langsung (direct cost).

Dengan demikian penggolongan biaya langsung dan biaya tidak langsung didasarkan pada penempatan biaya tersebut, apakah biaya itu ditempatkan di unit yang berhubungan dengan pelayanan (produk) secara langsung atau secara tidak langsung.

2.5. Analisis Biaya

Analisis biaya adalah proses menata kembali data atau informasi yang ada dalam laporan kuangan untuk memperoleh usulan biaya pelayanan rumah sakit. Dengan perkataan lain analisis biaya merupakan pendistribusian biaya dari unit pemeliharaan, unit operasional dan unit pelayanan umum lainnya ke bagian perawatan, gawat darurat, atau pendapatan rumah sakit dari layanan yang diberikan kepada pasien (Berman, 1996).

Analisis biaya lebih luas daripada penelusuran biaya, karena penelusuran biaya hanya terbatas pada upaya mencari besarnya biaya layanan kesehatan di pusat layanan kesehatan. Upaya ini dilakukan secara sederhana dengan metode pengalokasian yaitu pemindahan biaya tidak langsung menjadi biaya langsung (Sjaaf, 1991)

Berman (1996) melengkapi dengan persyaratan dalam melakukan analisis biaya, yaitu:


(44)

a. Harus dapat organogram rumah sakit yang menyatakan pusat-pusat pertanggungjawaban.

b. Harus jelas identifikasi semua pusat biaya penunjang dan biaya produksi.

c. Harus ada sistem akuntansi yang dapat menyediakan data keuangan pada setiap biaya.

d. Harus ada sistem yang memenuhi kebutuhan data non keuangan pada masing-masing pusat biaya, sebagai dasar alokasi dari pusat biaya penunjang ke pusat biaya produksi dan perhitungan biaya satuan pada pusat biaya produksi.

e. Metode perhitungan yang dipilih harus dapat dipergunakan sesuai dengan situasi rumah sakit.

Dalam analisis biaya juga memiliki keterbatasan, seperti yang diungkapkan Braganza (1982) dalam hal-hal sebagai berikut:

a. Asumsi tentang keseragaman

Dengan asumsi bahwa ukuran dasar alokasi yang dipergunakan untuk mendistribusikan biaya asli dari pusat penunjang ke pusat biaya produksi adalah seragam. Sebenarnya biaya untuk produk yang dihasilkan akan berbeda menurut bentuk dan jenisnya, seperti perbedaan biaya antara makanan diet dan biasa, jenis dan ukuran linen yang dicuci.

b. Tidak dapat memperhitungkan faktor kualitatif, seperti etos kerja yang dapat berpengaruh pada efisiensi penggunaan biaya.


(45)

c. Idealnya pengambilan data dilakukan berdasarkan observasi pada masing-masing pusat biaya, tetapi karena adanya keterbatasan waktu, biaya dan tenaga, maka dasar alokasi berdasarkan luas lantai atau jumlah karyawan yang dianggap memadai dalam mengalokasikan biaya (Isanov, 2003).

Salah satu hasil akhir analisis biaya adalah penghitungan biaya satuan. Dalam memproduksi suatu output tertentu, misalnya pelayanan hemodialisis, diperlukan dukungan dari unit-unit penunjang, maka biaya-biaya yang dikeluarkan di unit penunjang tersebut perlu didistribusikan ke unit produksi. Dengan perkataan lain, analisis biaya memerlukan distribusi biaya tidak langsung ke biaya-biaya langsung ini dilakukan baik terhadap biaya operasional maupun biaya investasi.

Tehnik analisa biaya untuk rumah sakit dikembangkan secara khusus, oleh karena sebagai suatu unit produksi jasa pelayanan kesehatan, rumah sakit mempunyai keunikan.

a. Begitu banyak jenis input yang diperlukan, seperti berbagai jenis tenaga, obat, bahan, makanan dan lain-lain.

b. Rumah sakit terdiri dari demikian banyak unit, dan antara unit-unit tersebut terjadi tranfer jasa yang sangat kompleks.

c. Rumah sakit menghasilkan produk yang sangat banyak jenisnya.

Prinsip dasar analisis biaya rumah sakit adalah mendistribusikan biaya tidak langsung ke pusat-pusat produksi di mana biaya langsung dikeluarkan. Maksudnya adalah agar dalam perhitungan biaya satuan, biaya tidak langsung juga sudah diperhitungkan.


(46)

Di rumah sakit dalam konteks analisis biaya, yang disebut biaya tidak langsung adalah biaya yang dikeluarkan pada pusat biaya penunjang, seperti direksi, Instalasi Pemeliharaan Sarana Rumah Sakit (IPSRS), laundry dan lain-lain. Sedangkan biaya langsung adalah biaya yang dikeluarkan di pusat biaya produksi, yaitu unit-unit rumah sakit yang langsung melayani pasien.

Konsep biaya penyusutan penting diketahui dalam analisis biaya, terutama dalam upaya menyebar biaya investasi pada beberapa satuan waktu. Sebagaimana diketahui bahwa biaya yang timbul dari barang-barang investasi berlangsung untuk dalam satu kurun waktu yang lama (lebih dari satu tahun). Padahal lazimnya analisis biaya dilakukan untuk suatu kurun waktu tertentu, misalnya satu tahun anggaran. Apabila analisis biaya dilakukan dalam satuan kurun waktu satu tahun anggaran, maka perlu dicari nilai biaya investasi satu tahun. Nilai biaya investasi satu tahun ini disebut nilai tahunan biaya investasi (Annualized Invesment Cost atau AIC).

2.6. Biaya Satuan (Unit Cost)

Biaya satuan adalah biaya yang dihitung untuk satu satuan produk (pelayanan). Biaya satuan diperoleh dari biaya total (TC) dibagi jumlah produk (Q) atau TC/Q. Dengan demikian dalam menghitung biaya satuan harus ditetapkan terlebih dahulu besaran produk (cakupan pelayanan). Perdefinisi biaya satuan seringkali disamakan dengan biaya rata-rata (average cost).


(47)

Di rumah sakit misalnya, apakah satuan produk dihitung dalam satuan rawat jalan atau dapat diperinci lagi. Penetapan besaran satuan produk itu dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Makin kecil satuan produk/pelayanan akan makin rumit dalam menghitung biaya satuan.

Dengan melihat rumus biaya satuan (TC/Q) tersebut, maka jelas tinggi rendahnya biaya satuan suatu produk tidak saja dipengaruhi oleh besarnya biaya total tetapi juga dipengaruhi oleh besarnya produk atau pelayanan. Pada rumah sakit penghitungan biaya satuan dengan rumus di atas banyak dipengaruhi oleh tingkat utilisasi. Makin tinggi tingkat utilisasi akan makin kecil biaya satuan pelayanan. Sebaliknya makin rendah tingkat utilisasi akan makin besar satuan pelayanan.

Biaya satuan ada 2 macam, yaitu: a. Biaya satuan actual

Yaitu biaya yang dikeluarkan unit produksi pelayanan kesehatan untuk menghasilkan satu output berdasarkan besaran produk pelayanan kesehatan. b. Biaya satuan normative

Yaitu biaya yang diperlukan untuk menghasilkan satu jenis pelayanan kesehatan menurut standar baku dengan melihat kapasitas dan utilitasnya.

Penetapan tarif yang rasional mutlak memerlukan informasi tentang biaya satuan. Dalam kenyataan tidak mudah menghitung biaya satuan, antara lain karena produk rumah sakit sangat banyak.


(48)

2.7. Biaya Kesempatan

Biaya kesempatan adalah biaya yang terjadi dari suatu kesempatan yang hilang akibat melakukan suatu pilihan kegiatan. Setiap pilihan yag diambil akan membawa resiko (biaya) untuk tidak menikmati pilihan lain yang tidak diambil. Dengan kata lain, biaya kesempatan adalah biaya yang timbul akibat pengabaian terhadap pilihan-pilihan yang tidak diambil.

Konsep biaya kesempatan biasanya dipakai dalam kaitan menghitung nilai investasi suatu usaha. Misalnya di rumah sakit ada sejumlah dana yang akan digunakan apakah untuk membeli stetoskop atau membeli tensimeter. Jika dana tersebut diinvestasikan untuk membeli stetoskop, maka ada kesempatan yang hilang yaitu tidak bisa menggunakan tensimeter. Sebaliknya bila dana tersebut digunakan untuk membeli tensimeter maka ada kesempatan yang hilang yaitu tidak bisa menggunakan stetoskop.

2.8. Biaya Penyusutan (Depreciation Cost)

Biaya penyusutan adalah biaya yang timbul akibat terjadinya pengurangan nilai barang investasi (aset) sebagai akibat penggunaannya dalam proses produksi. Setiap barang investasi yang dipakai dalam proses produksi akan mengalami penyusutan nilai, baik karena makin usang atau karena mengalami kerusakan fisik. Nilai penyusutan dari barang investasi seperti gedung, kendaraan, peralatan disebut biaya penyusutan.


(49)

Ada beberapa metode yang dipakai untuk menghitung penyusutan yaitu metode garis lurus (straight line), metode saldo menurun (declining balance), jumlah angka-angka tahun (sum of the years digit) dan metode unit produksi (unit of

production). Salah satu metode yang paling umum digunakan adalah penyusutan

menurut metode garis lurus di mana jumlah historis yang sama dikurangi setiap tahun.

2.9. Pusat Biaya (Cost Center) dalam Pelayanan Kesehatan 2.9.1. Pengertian Pusat Biaya

Pusat biaya adalah unit-unit yang ada dalam sistem pelayanan kesehatan bersangkutan di mana biaya dipakai. Semua unit di mana kegiatan spesifik dilakukan dapat disebut pusat biaya.

Ada pusat biaya tertentu yang sekaligus merupakan unit di mana disebut sebagai pusat pendapatan. Unit dapur dan rawat jalan di sebuah rumah sakit adalah pusat biaya. Dalam hal ini rawat jalan tersebut sekaligus juga berfungsi sebagai pusat pendapatan (revenue center).

Secara umum pusat biaya dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:

a. Pusat produksi yaitu unit di mana output rumah sakit dihasilkan berupa pelayanan kesehatan.


(50)

2.9.2. Pusat Biaya Sistem Rumah Sakit

Dalam sistem rumah sakit pusat produksi terdiri dari unit-unit yang menghasilkan pelayanan sebagai berikut:

a. Rawat inap. b. Rawat jalan.

c. Tindakan diagnostic.

d. Tindakan medis (pengobatan) antara lain Unit Hemodialisis. Sedangkan pusat biaya penunjang meliputi:

a. Unit-unit administrasi dan manajemen. b. Unit-unit pemeliharaan.

c. Unit penunjang khusus seperti laundry.

2.10. Tarif Pelayanan

2.10.1.Pengertian Tarif Pelayanan Kesehatan

Sekalipun tarif dan harga menunjuk pada besarnya biaya yang harus dikeluarkan konsumen, namun pengertian tarif tidaklah sama dengan harga (Gani, 1992b). Tarif ternyata lebih terkait pada besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh jasa pelayanan, sedangkan pengertian harga lebih terkait pada besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh barang. Sekalipun perbedaan antara tarif dengan harga cukup jelas, namun bagi kebanyakan anggota masyarakat, perbedaan yang seperti ini sulit untuk dimengerti oleh masyarakat pemakai jasa kesehatan, tarif diartikan sama dengan seluruh biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh


(51)

pelayanan kesehatan. Adanya pengertian yang seperti ini jelas tidak sesuai. Karena dalam pengertian seluruh biaya tersebut, telah termasuk harga barang, dan untuk Indonesia misalnya obat-obatan, yang memang pengelolaan sering dilakukan terpisah dengan pengelolaan sarana pelayanan kesehatan.

Namun terlepas dari adanya perbedaan pengertian, peranan tarif dalam pelayanan kesehatan memang amat penting. Untuk dapat menjamin kesinambungan pelayanan, setiap sarana kesehatan harus dapat menetapkan besarnya tarif yang dapat menjamin total yang lebih besar dari pengeluarannya.

Sesungguhnya pada saat ini sebagai akibat dari mulai berkurangnya pihak-pihak yang mau menyumbang dana pada pelayanan kesehatan misal Rumah Sakit, maka sumber keuangan utama kebanyakan sarana kesehatan hanyalah dari pendapatan saja. Untuk ini jelaslah bahwa kecermatan menetapkan besarnya tarif memegang peranan yang amat penting. Apabila tarif tersebut terlalu rendah dapat menyebabkan total pendapatan (income) yang rendah pula, yang apabila ternyata juga lebih rendah dari total pengeluaran (expenses), pasti menimbulkan kerugian dan sebagai akibatnya akan menimbulkan kesulitan keuangan (Azwar, 1988).

2.10.2.Kebutuhan terhadap Pelayanan Kesehatan

Secara umum pengertian kebutuhan (demand) adalah jumlah suatu komoditi yang mau dan mampu dibeli oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu tertentu (Gani, 1992b). Kebutuhan terhadap suatu komoditi tertentu dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain adalah harga komoditi, tingkat pendapatan dan faktor


(52)

faktor, antara lain seperti ada tidaknya komoditi pengganti (substitutive goods) dan selera atau preferensi pasien.

Untuk pelayanan kesehatan di rumah sakit, faktor harga (tarif) biasanya dinyatakan dengan konsep elastisitas kebutuhan yang tidak berlaku secara murni, karena:

a. Pasien umumnya tidak tahu tentang jenis pelayanan apa yang diperoleh dari rumah sakit dan berapa banyak yang diperlukan (consumer ignorance).

b. Banyak orang berobat ke rumah sakit sebagai pasien rujukan, di sini pengambil keputusan adalah pihak ketiga yaitu provider (tenaga kesehatan).

c. Biasanya orang berobat ke rumah sakit adalah karena penyakitnya memang tidak dapat diatasi oleh fasilitas pelayanan kesehatan primer seperti Puskesmas atau Poliklinik.

2.10.3.Tujuan Penetapan Tarif

Dalam pelayanan jasa kesehatan di rumah sakit terdapat kompensasi biaya, berupa nilai jasa pelayanan atau tarif. Berdasarkan nilai tarif tersebut, rumah sakit bersedia memberikan jasa pelayanannya kepada pasien.

Tarif dapat ditetapkan dengan berbagai tujuan, antara lain:

a. Peningkatan pemulihan biaya (cost recovery). Terutama untuk rumah sakit yang berorientasi non profit di mana subsidi semakin lama semakin berkurang, dan mulai berupaya untuk menswadanisasikan pelayanannya. Untuk dapat menutupi biaya yang dikeluarkan pada tingkat cost recovery yang diharapkan, tarif rumah sakit harus dihitung berdasarkan analisis biaya satuan (Depkes RI, 1992).


(53)

b. Subsidi silang (cross subsidy)

Penetapan tarif juga bertujuan untuk keseimbangan pemanfaatan pelayanan bagi masyarakat ekonomi atas, dasar pemanfaatan kelas, atau pelayanan profit dan non

profit dapat dilakukan dalam 2 bentuk:

1). Subsidi silang dalam rumah sakit.

2). Subsidi silang di luar rumah sakit berupa pelayanan oleh perusahaan asuransi atau perusahaan pengguna jasa kesehatan rumah sakit.

Dalam pelayanan rumah sakit, aplikasi konsep subsidized seperti pada rumah sakit pemerintah ini menyebabkan tarif rumah sakit dapat ditekan (Gani, 1996a). c. Maksimal pemanfaatan pelayanan

Untuk memaksimalkan pemanfaatan pelayanan kesehatan, tidak jarang rumah sakit melakukan penekanan tarif serendah mungkin, terutama ditekan tarif pelayanan yang mempunyai biaya tetap yang kecil. Kondisi yang ingin dicapai minimal adalah total biaya sama dengan pendapatan total. Pada keadaan di mana rumah sakit memiliki tingkat hunian yang rendah, tarif juga ditekan serendah mungkin. Seringkali kondisi ini menimbulkan persepsi bahwa harga murah identik dengan mutu rendah (Depkes RI, 1992; Thabrany, 1996).

d. Maksimalkan pendapatan

Penetapan tarif yang memaksimalkan pendapatan sehingga lebih besar dari biaya yang dikeluarkan, akan menghasilkan surplus. Total biaya yang jauh terlampaui akan berdampak baik untuk menutupi biaya tetap. Maksimalisasi pendapatan juga bisa merupakan minimalisasi subsidi. Misalnya pada keadaan pasar yang dikuasai


(54)

satu rumah sakit (monopoli), tanpa kehadiran pesaing, serta suasana kebutuhan yang tinggi, maka tarif dapat dipasang pada level yang setinggi-tingginya. Pada akhirnya rumah sakit memperoleh surplus maksimal (LPPM, 1996). Bila diharapkan akan laba/sisa hasil usaha yang maksimal, penetapan tarif ini dapat direkonstruksi berdasarkan tingkat permintaan yang tentunya terkait langsung dengan besarnya biaya produksi. Biasanya penetapan tarif ini dibuat secara teoritis dengan menyusun model persamaan matematika (Trisnantoro, 1994). e. Mengurangi pesaing

Penetapan tarif dapat dilakukan dengan tujuan mengurangi pembangunan rumah sakit baru yang akan menjadi pesaing. Rumah sakit yang sudah terlebih dahulu beroperasi menyusun strategi sedemikian rupa agar tarif tidak dapat disamai oleh rumah sakit baru (Trisnantoro, 1994).

f. Menciptakan corporate image

Tarif dapat ditetapkan dengan tujuan meningkatkan citra sebagai rumah sakit untuk golongan masyarakat kelas atas yang berkenan seolah-olah berlomba untuk mendapatkan citra rumah sakit paling mewah.

Kotler dan Clarke mengemukakan tujuan penetapan tarif juga berkaitan dengan pemasaran yakni dengan maksud publisitas yang dilakukan rumah sakitnya (Kotler, 1987). Bila ada unit yang dipublikasikan, maka penetapan tarif disesuaikan dengan persepsi pasien yang menjadi pangsanya berdasarkan nilai publisitasnya. Oleh karenanya dalam penetapan tarif unit yang dipublikasikan


(55)

harganya lebih rendah dari pada yang tidak dipublikasikan, tetapi memang rumah sakit tidak mengharapkan pendapatan yang tinggi, tetapi memang sesungguhnya untuk penciptaan image rumah sakit tersebut dalam pelayanan kesehatan.

g. Market Skimming

Penetapan tarif ini bertujuan untuk meraih volume besar. Biasanya dipasang tarif tinggi pada permulaan, kemudian perlahan-lahan diturunkan. Persyaratan untuk dapat dilaksanakannya market skimming hádala:

1). Pasar sangat price sensitive, atau pasien cukup sensitif terhadap harga.

2). Biaya produksi dan distribusi tidak bervariasi besar, sehingga tarif dapat ditekan ketingkat yang terjangkau pasien dalam volume besar.

Kemungkinan pesaing masuk dalam waktu singkat sangat kecil sebab adanya hambatan-hambatan yang cukup besar seperti perlunya hak paten, investasi yang besar, adanya kontrol kualitas pelayanan, serta biaya promosi. Dengan harga terendah, diharapkan penetrasi menjadi lebih mudah.

Persyaratan dapat dilaksanakannya siasat penetrasi pasar ini adalah: 1). Pasar sangat price sentive, atau pasien cukup sensitif terhadap harga.

2). Biaya produksi dan distribusi turun dengan cepat bilamana produksi dinaikkan atau volume bertambah (LPPM, 1996).


(56)

2.10.4.Strategi Penetapan Tarif

Dasar strategi penetapan tarif adalah antara lain: a. Berorientasi kepada biaya

Penetapan tarif biasanya dilakukan berdasarkan biaya ditambah mark-up yaitu dilebihkan dari biaya yang dikeluarkan. Strategi ini banyak digunakan karena sifatnya lebih pasti daripada berdasarkan kebutuhan (Gani, 1992a). Penetapan tarif dengan cara ini dianggap wajar oleh konsumen dan persaingan.

b. Berorientasi kepada kebutuhan

Penetapan tarif lebih menekankan kebutuhan dari pada biaya dan harga ditetapkan berdasarkan preferensi pasien terhadap produk tersebut. Bentuk strategi ini adalah diskriminasi harga tetap produk, atau waktu layanan. Untuk melaksanakan strategi ini, perlu diidentifikasi segmen pasar yang sensitif terhadap perubahan harga. Masalahnya dalam pelayanan kesehatan dengan mekanisme pembayaran

out-of-pocket, walaupun terjadi perubahan harga, prioritas utama adalah pada

aspek kuratifnya dan persepsi bahwa mutu simetris dengan harga. Ada uang ada pelayanan berkualitas.

c. Berorientasi kepada pesaing

Penetapan tarif ini tidak berorientasi pada biaya ataupun permintaan-permintaan, tetapi menetapkan tarif apakah di atas, di bawah atau dengan tarif pesaing. Bentuk strategi adalah dengan menghitung rata-rata antarpesaing (average rate


(57)

atau kecenderungan pembagian pasar antarpesaing untuk mendapatkan penghasilan yang adil.

d. Berdasarkan pembayaran maksimal

Penetapan tarif ini dilakukan berdasarkan batas atas yang mampu dibayar pihak ketiga. Sebenarnya cara ini merupakan bentuk penyimpangan dari penetapan tarif berdasarkan permintaan dan seringkali mencerminkan keinginan prodiver untuk mendapatkan penghasilan lebih banyak secara sepihak (Trisnantoro, 1994).

2.10.5.Langkah-langkah Penetapan Tarif

Dalam penetapan tarif rumah sakit mungkin tidak selalu dapat melakukan analisis biaya dengan satu metode tertentu, karena perlu berbagai faktor atau modifikasi yang memerlukan judgement tersendiri. Di bawah ini akan diuraikan langkah-langkah penentuan tersebut:

a. Tahap analisis biaya satuan (unit cost)

Setiap produk layanan baik yang homogen dan produk heterogen perlu dianalisis besaran biaya satuannya. Produk layanan rumah sakit ada dua jenis yaitu produk layanan homogen dan produk layanan heterogen. Untuk produk layanan yang homogen dapat dihitung langsung besarannya dengan memperhatikan total biaya, kapasitas, dan output layanan. Sedangkan untuk produk layanan yang heterogen dilakukan penghitungan dan pembobotan Relative Value Unit (RVU). Untuk hemodialisis yang homogen, tidak perlu dilakukan perhitungan RVU.


(58)

Analisis biaya ini menghasilkan daftar biaya satuan untuk berbagai produk rumah sakit. Pada rumah sakit yang mendapatkan subsidi, maka produk-produk yang mendapatkan subsidi tersebut nilai biaya satuan pelayanan perlu dikurangi dengan elemen biaya yang disubsidi (Shuver et al, 1995).

b. Perkiraan posisi pendapatan impas (break even) dengan biaya satuan tanpa subsidi silang.

Kondisi ini dikenal sebagai kondisi impas jika keadaan posisi di mana pendapatan menyamai biaya. Perhitungan jumlah pendapatan diawali dengan perkiraan tingkat utilisasi untuk masa mendatang, berdasarkan tingkat utilisasi pada tahun-tahun sebelumnya. Angka-angka tersebut dikalikan dengan tarif yang nilainya sama dengan biaya satuan. Hasilnya adalah pendapatan per tahun yang akan dihasilkan setiap unit produktif (revenue centres) atau jumlah total pendapatan tanpa subsidi kemudian dibandingkan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan. c. Penentuan tingkat pendapatan yang diinginkan

Tahap berikutnya rumah sakit dapat menentukan jumlah pendapatan yang perlu diperoleh untuk tahun mendatang, agar dapat memberi insentif tenaga medis, insentif tenaga penunjang, mendanai biaya perbaikan dan pemeliharaan fisik pelayanan dan sebagainya. Untuk itu, disusun dulu distribusi biaya menurut masing-masing unit produksi, dengan mempertimbangkan proyeksi utilisasi pelayanan dari setiap unit yang bersangkutan.


(1)

masih dapat menutupi biaya satuan yang dibutuhkan per kali hemodialisis. Untuk

single use tarif masih lebih besar Rp. 94.286,28 (15,72%) di atas biaya satuan per

kali hemodialisis sedangkan untuk reuse tarif berada sedikit di atas biaya satuan yaitu Rp. 14.286,28 (2,75%) per kali hemodialisis, tetapi secara keseluruhan Unit Hemodialisis mengalami defisit atau rumah sakit memberikan subsidi kepada pasien karena pemberian potongan khusus kepada pasien tertentu atas permintaan pihak yayasan sebagai wujud fungsi sosial sebagai rumah sakit keagamaan. 5. Dari penelitian ini didapatkan bahwa rata-rata satu mesin hanya melayani 1,05

pasien per hari kerja. Dengan waktu hemodialisis yang rata-rata 3,4 jam per pasien per kali hemodialisis ditambah waktu persiapan (priming time) serta waktu mengakhiri hemodialisis (ending time) maka diperkirakan satu pasien memerlukan waktu rata-rata 4-5 jam per pasien per kali hemodialisis. Dengan demikian sebenarnya mesin akan sangat efisien jika dapat dipakai untuk minimal 2 tindakan per hari per mesin hemodialisis.

6. Walaupun pelayanan hemodialisis di RSU Methodist Medan untuk tahun 2006 secara keseluruhan mengalami defisit tetapi dengan adanya Unit Hemodialisis dan pasien-pasiennya ini telah memberikan intangible benefits kepada rumah sakit antara lain pemanfaatan unit produksi lain seperti laboratorium klinik, radiology, kamar obat, pemanfaatan kamar untuk opname dan lainnya. Unit Hemodialisis juga sebagai pelengkap pelayanan terhadap pasien yang membutuhkan. Dengan demikian walaupun mengalami defisit Unit Hemodialisis ini semestinya tetap dipertahankan sambil dicari jalan perbaikan kinerja dan tarif yang berlaku.


(2)

6.2. Saran

6.2.1. Saran untuk Pihak Manjemen Rumah Sakit

a. Meningkatkan kinerja Unit Hemodialisis dengan meningkatkan efisiensi pemakaian mesin atau dengan perkataan lain jumlah pasien yang dilayani diperbanyak, sehingga mesin tidak “idle” (menganggur).

b. Untuk menutupi defisit, tarif tindakan hemodialisis reuse yang memiliki margin keuntungan yang sangat tipis (2,75%) disarankan untuk ditetapkan lebih jauh di atas harga biaya satuan yang didapat dalam penelitian ini sesuai dengan profit yang diinginkan pihak rumah sakit.

c. Disarankan pihak rumah sakit lebih selektif dalam pemberian subsidi atas permintaan pihak yayasan dengan lebih memperketat ketentuan dan kriteria dalam memberikan potongan khusus kepada pasien kurang mampu.

6.2.2. Saran untuk Peneliti Lain

a. Penelitian yang sama dapat dilakukan di unit-unit pelayanan rumah sakit yang lain sehingga tarif yang berlaku adalah berdasarkan unit cost sehingga tarif yang ditentukan memberikan profit sesuai dengan keinginan pihak manajemen rumah sakit.

b. Penelitian ini dapat lebih dikembangkan lagi sehingga didapatkan suatu formulasi tarif yang benar-benar dapat bersaing di era globalisasi.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Adomakoh, S.A, Adi C.N, Fraser, H.S, Nicholson, G.D,. 2004. Dialysis in Barbodos: the Cost of Hemodialysis Provision at Queen Elizabeth Hospital. Rev. Panam Salud Publica.

Arikunto, S, 2000. Manajemen Penelitian, Cetakan Kelima, Penebit Rineka Cipta, Jakarta.

Ariono, RPS, Analisis Biaya dan Alternatif Tarif Hemodialisis di Unit Renal RSPAD Gatot Subroto selama Tahun Anggaran 1997/1998.

Azwar, A, 1988. Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi Ketiga, Penerbit Binarupa Aksara. Jakarta.

Berkowizt, E. N., 1996. Essentials of Health Care Marketing, Aspen Publishers, Inc, Gaithersburg.

Berman, H. J. et.al, 1986, The Financial Management of Hospital. 6th edt. Health Administration Press. Michigan.

Biro Perencanaan Depkes RI, Indoconsult, FKM, 1997. Analisis Biaya dan Penetapan Tarif Rumah Sakit, Jakarta.

Brown, C. 2001. Current Opinion and Controversies of Dialyzer Reuse. Saudi Journal of Kidney Diseases and Transplantation. Vol 12;Issue 3;Page 352-363

Cleverley, W.O, 1986. Essentials of Health Care Finance, Aspen Publishers, Inc, Rockville, Aryland.

Depkes RI., 1992, Modul Pelatihan Rumah Sakit, Penganggaran dan Penetapan Tarif. Vo. 3. Jakarta.

Depkes RI., 1997. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang Pola Tarif Rumah Sakit Pemerintah, Jakarta.

Depkes RI. 1999. Modul Pelatihan Perhitungan Unit Cost Rumah Sakit, Ditjen Pelayanan Medik, Jakarta.


(4)

Finkler, S A. 1994. Cost Accounting for Health Care Organizations, Aspen Publishers, Inc., Gaithersburg, Mirlenand.

FKM UI. 1998. Ekonomi Layanan Kesehatan, Program Studi Kajian Administrasi Rumah Sakit Universitas Indonesia, Jakarta.

Fresinius Medical Care. 2001, Manual Prosedur Klinis Hemodialisis

Gani, A. 1990. Pricing Policy untuk Rumah Sakit, Kursus Manajemen Rumah Sakit Pasca Kongres PERSI 1990, IRSJAM, Jakarta.

Gani, A. 1992a. Pentarifan Rumah Sakit, Pelatihan Pelaksanaan RS. Unit Swadana di 5 Rumah Sakit, Dirjen Yanmed Depkes RI

Gani, A. 1992b. Analisis Biaya Rumah Sakit, FKM UI. Jakarta.

Gani, A., 1996. Analisa Biaya dan Break Even Point Rumah Sakit, Cisarua, Bogor. Gani, A., 2002a. Rumah Sakit Sebagai Public Enterprise, Jurnal Manajemen &

Administrasi Rumah Sakit Indonesia, Vol 3, No.2.

Gani, A., 2002b. Perimbangan Pembiayaan Rumah Sakit Dalam Konteks Kebijaksanaan Desentralisasi, Jurnal Manajemen & Administrasi Rumah Sakit Indonesia, Vol 3, No.2.

Gani, A, 1995, Teori Biaya. Buku Panduan Analisis Biaya dan Penyesuaian Tarif Pelayanan Kesehatan di Indonesia, FKM UI.Jakarta.

Hansen, DR, Mowen, MM., 2000. Manajemen Biaya Akuntansi dan Pengendalian, Edisi Pertama Penerbit Salemba Empat, Jakarta.

Isanov, D., 2003, Analisis Biaya Satuan Kamar Operasi Rumah Sakit Umum Daerah Kota Dumai, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan. Kotler, P., 2002. Management Pemasaran, Edisi Milenium, Prenhallindo, Jakarta. Kusnadi, D, Mencari Bentuk dan Kelembagaan Rumah Sakit, Harian Pikiran Rakyat,


(5)

Lameire, N., 2002. Management of Hemodialysis Patient: A Europen Perpective. Blood Purification.

Lazuardy, L., Penetapan Tarif Rasional Berdasarkan Biaya Satuan dan Kemampuan Membayar Masyarakat di Poliklinik Kesehatan Gigi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Tahun Anggaran 1996/1997

Ludigdo, U., 2001. Strategic Cost Management: Suatu Perspektif Perkembangan Akuntansi Management, Lintas Ekonomi, Vol. XVIII, No.1.

Muninjaya, A.A.G, 2004. Manajemen Kesehatan, Edisi Kedua, Penerbit Kedokteran EGC.

Pasten,S., Bailey,J. 1998. Medical Progress: Dialysis Therapy. New England Journal of Medicine, 338 (20), 1428-1437

Porter. ME. 1994. Keunggulan Bersaing, Binarupa Aksara, Jakarta.

Shepard, DS, et al. 2000. Analysis of Hospital Cost: A Manual for Managers, World Health Organization, Geneva.

Sjaaf, AC. 1994. Pengawasan Biaya di Rumah Sakit; Keputusan Manajerial dalam Lingkup Akuntansi Biaya, Jurnal Administrasi Rumah Sakit, Vol 1, No.4. Sjaaf, AC., 2000. Analisis Biaya Layanan Kesehatan Rumah Sakit, Program studi

Kajian Administrasi Rumah Sakit, Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

Sjaaf, AC., 1998. Analisis Biaya-Volume-Profit (Cost-Volume-Profit), Program Studi Kajian Administrasi Rumah Sakit, Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

Supriyono, RA., 1999. Akuntansi Manajemen I, Konsep Dasar Akuntansi Manajemen dan Proses Perencanaan, Edisi Pertama, Penerbit BPFE, Yogyakarta.

Sulastomo. 2003. Manajemen Kesehatan, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta.


(6)

Soeparman, Waspadji, S., 1990. Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Balai Penerbit FKUI-Jakarta.

Suver, JD., 1995. Management Accounting for Healthcare Organizations, Fourth edition, Healthcare Financial Management Association and Precept Press, Westchester, Illionis.

Tambunan, L. 2001. Akuntansi Biaya, Konsep, Sistem dan Metode, Edisi 2, Penerbit Universitas HKBP Nommensen, Medan.

Thabrany, H dan Najib, M. 1996. Penetapan Tarif Rumah Sakit.Buku Rujukan Analisis Biaya dan Penyesuaian Tarif Pelayanan Kesehatan di Indonesia, FKM UI, Jakarta.

Tim LPPM. 1996. Penetapan Tarif Dalam Manajemen Pemasaran. LPPM. Jakarta. Trisnantoro, L. 1994. Konsep Penetapan Tarif Dalam Manajemen Rumah Sakit, MM.

UGM.

Trisnantoro, L. 2004. Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi dalam Manajemen Rumah Sakit, Cetakan Pertama, Penerbit Gajah Mada University Press. Trisnantoro, L. 2006. Tarif Pelayanan Kesehatan: Sekarang dan Kecenderungannya,