PERTANYAAN PENELITIAN SISTEMATIKA PENULISAN

10 hubungan tersebut membuat beberapa kebijakan yang telah ada mengalami penyesuaian secara perlahan. Namun keberadaan aktor-aktor tesebut tidak menyebabkan pandang kedua Negara Korea tersebut menjadi berubah dalam mewujudkan reunifikasi di Semenanjung Korea. Selain itu, penelitian juga dilakukan oleh Lee young Sun, “Is Korean Reunification Possible?”, Vol. 3, No.3, Korean Focus, 1995. 18 Lee melihat permasalahan atau hambatan dalam mewujudkan reunifikasi Korea dari berbagai faktor baik dalam faktor domestik dua Negara Korea tersebut maupun hubungan antar Negara di Asia Timur dan hubungan dengan Negara besar seperti Amerika Serikat dan Uni Soviet. Tantangan dalam mewujudkan unifikasi di Semenanjung Korea memiliki kesulitan yang cukup tinggi mengingat perbedaan tersebut dilihat dari keadaan ekonomi maupun politik. secara garis besar penelitian ini melihat bagaimana keadaan Semenanjung Korea dalam mewujudkan reunifikasi. Adanya perbedaan kebijakan antar kedua pemerintah Korea menyebabkan susahnya mewujudkan reunifikasi di Semenajung Korea. Skripsi ini berupaya memberikan sumbangsih ilmu terkait hal yang melatarbelakangi susahnya mewujudkan reunifikasi di Semenanjung Korea. Jika penelitian I Wayan lebih memaparkan faktor determinan yang menyebabkan pola pergeseran hubungan antar Korea. Penulis skripsi ini lebih memfokuskan pada faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan Korea Selatan dan Korea Utara pasca krisis nuklir kedua pada tahun 2003 sampai 2008. Serta menekankan hambatan- hambatan yang terkait dalam proses reunifikasi di Semenanjung Korea. Penulis melihat dengan terjadinya krisis nuklir kedua pada tahun 2003 membuat pola 18 Lee young Sun, “Is Korean Reunification Possible?”, Vol. 3, No.3, Korean Focus, 1995, h. 15. 11 hubungan antara kedua Negara Korea menjadi memanas. Sehingga kebijakan yang dibuat oleh kedua Negara Korea tersebut sering kali mengalami perubahan dikarenakan belum terjadinya kesepakatan antara kedua pihak. KERANGKA TEORI 1.4.1 Konsep Politik Luar Negeri Konsep politik luar negeri mengandung unsur tindakan, yaitu hal-hal yang dilakukan oleh suatu pemerintah tertentu kepada pihak lain untuk menghasilkan orientasi, memenuhi peran atau mencapai dan mempertahankan tujuan tertentu. Dalam kaitan ini, tindakan suatu Negara merupakan bentuk komunikasi yang dimaksudkan untuk mengubah atau mendukung tindakan pemerintah Negara lain yang berperan dalam menentukan berhasil tidaknya pencapaian tujuan Negara tersebut. 19 Chris Brown dalam bukunya Understanding International Relation memberikan pandangan sederhana dalam pandangan politik luar negeri, menurut Brown, politik internasional dapat dipahami sebagai cara untuk mengartikulasikan dan memperjuangkan kepentingan nasional terhadap dunia luar. 20 Dalam hal ini, penulis mengambil sebuah kesimpulan bahwa dalam sistem internasional pola perilaku Negara didasarkan pada kepentingan nasional serta strategi berdasarkan kalkulasi posisi mereka di dalam sistem internasionalnya. Namun dilihat dari bagaimana Negara merumuskan kepentingan nasionalnya dan aspek-aspek apa saja yang akan ditonjolkan serta kebijakan yang dihasilkan. Menurut H.J Morgenthau bahwa Negara sesungguhnya adalah aktor yang sepenuhnya rasional. Karena itu tindakan-tindakan Negara akan dilakukan secara 19 KJ. Holsti, Politik Internasional: Kerangka Untuk Analisa, M. Tahrir Azhary pent Erlangga, 1983, h. 158. 20 Chris Brown, Understanding International Relation , 2 nd edition, London, Palgrave,2001, h. 68-86, Dikutip dari Politik Luar Negeri Indonesia “Di Tengah Pusaran Politik Domestik” , Genewati Wuryandari ed, Pustaka Pelajar, Jakarta, 2008, h. 14. 12 perhitungan untung rugi yang jelas. 21 Menurut Kenneth Waltz, aktor diasumsikan melakukan suatu tindakan rasional yang telah dikalkulasikan. Singkatnya suatu Negara harus mempertahankan kelangsungan hidupnya survival agar tidak mudah diserangrawan vulnerability dalam sistem internasional anarki. Perilaku Negara ditunjukan kepada pencapaian kepentingan nasional dengan mempertimbangkan kapabilitas yang dimilikinya. 22 Politik luar negeri cenderung berubah dari waktu ke waktu tanpa indikasi yang jelas. Meskipun demikian, untuk memahami perilaku politik luar negeri yang dinamis, William D. Coplin mengidentifikasikan dalam empat determinan politik luar negeri. 23 Pertama , adalah konteks internasional, artinya, situasi politik internasional yang sedang terjadi pada waktu tertentu dapat mempengaruhi bagaimana Negara itu akan berperilaku. Dalam hal ini, Coplin menyatakan bahwa ada tiga elemen penting dalam membahas dampak konteks internasional terhadap politik luar negeri suatu Negara, yaitu geografis, ekonomis, dan politik. Geografi merupakan suatu hal yang konstan keberadaannya. Namun tidak lagi terpenting seperti yang diberikan oleh para pendukung geopolitik pada masa lalu. Sebagaimana halnya geografi, faktor ekonomi juga memainkan peran penting dalam menentukan kebijakan luar negeri. Faktor kedua yang menjadi determinan dalam politik luar negeri adalah perilaku para pengambil keputusan. Perilaku pemerintah yang dipengaruhi oleh persepsi, pengalaman, pengetahuan, dan kepentingan individu-individu dalam 21 Hans J. Morgenthau, Politik Antar Bangsa, S. maimon pent, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. 1990, h. 4-18. 22 Kenneth N. Waltz, Theory Of International Politics, New York: McGraw-Hill Inc, 1979, h. 125-127. 23 Lihat William D. Coplin, Pengantar Politik Internasional : Suatu Telaah Teoritis, Bandung, Penerbit Sinar Baru, 1992, h. 165. 13 pemerintahannya menjadi faktor penting dalam penentuan kebijakan luar negeri. Sementara itu, determinan ketiga adalah kondisi ekonomi dan politik. Kemampuan ekonomi dan politik suatu Negara dapat mempengaruhi Negara tersebut dalam interaksinya dengan Negara lain. Keempat, determinan terakhir yang memepengaruhi politik luar negeri adalah politik dalam negeri. Dalam hal ini, situasi politik yang terjadi dalam negeri akan memberikan pengaruh dalam perumusan dan pelaksanaan politik luar negeri. Dalam kaitannya dengan faktor yang ada Struktur dan pembuatan keputusan Korea Utara, Kim Jung II memainkan peran yang sangat penting. Sikap Kim Jung Il untuk memelihara rejim dan sekaligus membangun ekonomi nasional dengan memobilisasi militer. Untuk menjaga keamanan rejim maupun pertumbuhan ekonomi, Korea Utara secara efektif berubah menjadi “negara yang mengutamakan militer”. Salah satunya yaitu dengan mengembangkan program nuklir. Pengembangan program nuklir Korea Utara sebagai reaksi terhadap berubahnya sistem di lingkungannya. Pengembangan nuklir tersebut sebagai upayanya untuk mempertahankan Bargaining position atau posisi tawar menawar di dalam masyarakat internasional. Menurut Walter S Jones menegaskan bahwa kemungkinan pecahnya perang salah satunya dapat diakibatkan oleh adanya perlombaan senjata yang secara strategis tidak stabil dan secara politis tidak dapat terkendali. 24 Pengembangan persenjataan di Kawasan Asia Timur yang terus ditingkatkan akan menimbulkan pecahnya perselisihan dan konflik dari pihak lawan yang sudah terjadi sebelumnya. Dengan kata lain, kondisi yang ada akan memperparah konflik yang sudah ada sebelumnya. 24 Walter S. Jones, Logika Hubungan Internasional: Kekuasaan Ekonomi-Politik Internasional, Tatanan Dunia , Jilid 2, Gramedia Utama, Jakarta, 1993, h. 196-199. 14

1.4.2 Diplomasi

Dalam arti luas diplomasi meliputi seluruh kegiatan politik luar negeri suatu Negara dalam hubungannya dengan bangsa atau Negara lain. Diplomasi meliputi kegiatan: 1. Menentukan tujuan dengan mempergunakan semua daya dan tenaga untuk mencapai tujuan tersebut. 2. Menyesuaikan kepentingan dari bangsa lain dengan kepentingan dari bangsa lain dengan kepentingan nasional sesuai dengan daya dan tenaga yang ada padanya. 3. Menentukan apakah tujuan nasional sesuai atau berbeda dengan kepentingan bangsa dan Negara lain. 25 Pada umumnya, tujuan perundingan antara dua atau lebih pemerintahan ialah untuk mengubah atau mempertahankan tujuan, kebijaksanaan atau memperoleh persetujuan mengenai beberapa masalah tertentu. 26

1.4.3 Konsep Keamanan

Dalam teori keamanan, Barry Buzan menyebutkan perihal transformasi keamanan untuk merubah permusuhan enmity menjadi persahabatan amity. Transformasi keamanan tersebut bisa dilakukan melalui transformasi internal, dengan kata lain, permusuhan diantara Negara sekawasan bisa dihilangkan apabila terjadi integrasi. 27 Dalam konteks keamanan di Semenanjung Korea. selain proses rekonsiliasi juga di kemukakan proses unifikasi diantara kedua Negara Korea. 25 Soemarsono Mestoko, Indonesia dan Hubungan Antar Bangsa, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1985, h. 25-26 26 K.J Holsti, Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis, M. Tahrir Azhary pent, Erlangga, Jakarta, 1987, h.241 27 Barry Buzan, People States and Fear: An Agenda For International Security Studies in The Post Cold War Era , 2 nd edition, Harvester Wheatsheaf, London, 1991, h. 53. 15 Unifikasi ini merupakan hasil refleksi terhadap opini publik. Operasionalisasi dari konsep ini adalah melakukan unifikasi diantara kedua Negara secara bertahap dengan menempatkan kemerdekaan, perdamaian dan demokrasi sebagai prinsip utama. Kini dimensi keamanan pasca Perang Dingin mulai berkembang dari konsep tradisional menuju non-tradisional yang melibatkan aktor yang beragam non-state actor di bawah identitas negara. Isu keamanan secara tradisional dapat ditemukan dalam pemahaman keamanan militer-politik. Dalam konteks ini konsep keamanan berbicara bagaimana untuk bertahan hidup survive. 28 Definisi keamanan hanya terbatas pada pemahaman dimensi militer dalam hubungan antar negara yang berarti tidak adanya ancaman militer terhadap kedaulatan sebuah negara. Konsep keamanan tradisional menganggap negara lain sebagai pesaing di mana hubungan antar negara selalu bersifat zero-sum yaitu setiap upaya untuk meningkatkan keamanan mempunyai implikasi negatif terhadap keamanan yang mengganggu keseimbangan kekuatan atau yang disebut sebagai dilema keamanan security dilemma. 29 Namun pada pasca Perang Dingin pemahaman keamanan ini semakin meluas sehingga membuat spektrum permasalahan keamanan internasional dan faktor-faktor yang relevannya pun semakin melebar.

1.4.4 Reunifikasi

Reunifikasi merupakan suatu penyatuan atau menggabungkan kembali. Istilah reunifikasi berdasar dari kata unifikasi yang berarti hal menyatukan, 28 Barry Buzan, Ole Waefer, dan Jaap de Wilde, A New Frame Work For Analysis, London: Lynne Rienner Publisher.1998, h. 21 29 Yayan Moch. Yani, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, Bandung: Rosda Karya, 2006. h.126 16 menyatukan, hal yang menjadikan seragam. 30 Reunifikasi dari kata re + unify yaitu, “ to restore the unity or intergrity of As a divided country “. Dari kata dasar tersebut, kemudian Almond an Schuster memberi pengertian atau definisi mengenai reunifikasi yaitu “The act or process of reunifying advocating of the divided country” yang dapat diartikan sebagai tindakan atau proses penyatuan kembali atas suatu Negara yang pernah dipisahkan. 31 Sedangkan Thomas A. Baylis, dalam studinya mengenai reunifikasi menyatakan pendapatnya bahwa “in fact, the world reunification it self was often replaced by the term einheit or until. Einheit did not necessarily mean unification in a legal or political sense but rather in a larger moral sense”, dalam kenyataannya, kata reunifikasi sendiri sering digantikan dengan einheit atau persatuan. Einheit atau persatuan tidak perlu berarti penyatuan dalam pengertian hukum atau politik tetapi cukup pada pengertian moral yang lebih besar. 32 Munculnya keinginan unifikasi kedua Negara Korea untuk berunifikasi sebenarnya sudah sejak lama ada. Namun harapan itu terhalang oleh pemerintahan militer AS dan USSR dengan dalih pembagian Semenanjung Korea telah ditetapkan dalam perundingan sekutu, yakni Negara-negara pemenang Perang Dunia Kedua. Pada saat kekuatan besar tesebut meninggalkan Korea, usaha-usaha kongkret untuk mewujudkan Negara Korea yang bersatu kembali digiatkan oleh kedua Negara Korea. Terbukti reunifikasi secara damai melalui jalur diplomasi 30 Tim Penyusun Kamus Bahasa, Kamus Besar Indonesia, Edisi ke-3 Cetakan Pertama, Balai Pustaka, Jakarta, 2001, h. 954. 31 Almond and Schuster, Websters’s, New Twentieth Century Dictionary Of the English Language : unabridged, edisi ke-2, New York, 1983, h. 15. 32 Baca tulisan Thomas A. Baylis, The Germanys or One? The Return The “German Question”, dalam Ursula Hoffman-Lange ed, Social and Political Structure in The West Germany, “From Authori Tarianism to Post Industrial Democracy ”, West View Special Studies in West European Politics and Society, Munich, 1998, h.190. 17 dilakukan secara terang-terangan oleh Korea Selatan sejak terbentuknya Republik Korea tahun 1948 dan masih terus diupayakan sampai saat ini baik dilakukan dengan cara perundingan, kerjasama, maupun dialog. Hal yang sama juga dilakukan oleh Korea Utara dalam mewujudkan Negara Korea yang satu, walaupun dalam kenyataannya kebijakan luar negeri Korea Utara baik dengan Korea Selatan maupun dengan Negara-negara lainnya cenderung mengancam. Namun saat ini, Korea Utara mulai mempertimbangkan dan menjalankan upaya penyatuan melalui jalur diplomatik atau negosiasi. Terwujudnya reunifikasi Korea merupakan harapan rakyat di Semenanjung Korea karena pada awalnya mereka adalah bangsa yang satu namun terpisakan oleh persaingan antara Negara super power pada masa Perang Dingin. Namun ironisnya, hambatan-hambatan yang ada dalam peroses penyatuan kembali Korea justru dari dalam negeri dan berkaitan dengan upaya kedua Negara tersebut dalam menjaga dan mempertahankan kepentingan nasionalnya tersebut, seperti kesenjangan ekonomi yang cukup besar, perbedaan ideology dan adanya isu pengembangan nuklir yang semakin memperburuk keadaan maupun belum adanya formulasi yang tepat bagi Korea yang satu. METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat kualitatif yaitu jenis penulisan melalui pengumpulan data-data dan pemahaman data berupa data tertulis sepertu buku, jurnal, bulletin dan sumber tertulis lainnya. Sumber data yang digunakan penelitian ini adalah dengan menggunakan data-data skunder yakni ada dikumpulkan dan dipilih serta diolah sesuai dengan kebutuhan penelitian ini. adapun studi perpustakaan yaitu data diperoleh melalui perpustakaan. Data-data tersebut akan digunakan untuk 18 pembelajaran bagaimana dinamika hubungan kedua Negara Korea tahun 2003- 2008 dalam menuju reunifikasi di Semenanjung Korea dan data-data tersebut nantinya juga akan membuat sebuah satu pemikiran dalam memprediksi keadaan yang terjadi di Semenanjung Korea dalam menuju prospek perdamaian. Dan Permasalahan ini menjadi pusat penelitian yang cukup menarik bagi penulis yang nantinya akan ditulis dalam sebuah skripsi. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Memperoleh informasi tentang bagaimana dinamika hubungan Antara Korea Selatan dan Korea Utara dalam proses dialog reunifikasi di Semenanjung Korea tahun 2003-2008 2. Mengkaji secara mendalam tentang hubungan tersebut. 3. Mengidentifikasi faktor-faktor apa yang membuat proses reunifikasi antara kedua Negara masih mengalami kesulitan. 4. Bagaimana kebijakan Korea Selatan dalam menghadapi Korea Utara untuk mewujudkan reunifikasi antara kedua Negara Korea di Semenanjung Korea.

1.7 SISTEMATIKA PENULISAN

Adapun sistematika penulisan proposal ini adalah:

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1.2 Pertanyaan Penelitian 1.3 Tinjauan Pustaka 1.4 Kerangka Teori 1.5 Metode Penelitian 1.6 Tujuan Penelitian 19 1.7 Sistematika Penulisan

BAB II PASANG SURUT HUBUNGAN ANTARA KOREA SELATAN DAN KOREA UTARA

2.1 Hubungan Antara Korea Selatan dan Korea Utara Era Perang Dingin 2.2 Hubungan Antara Korea Selatan dan Korea Utara Pasca Perang Dingin 2.3 Kebijakan Sunshine Policy Kim Dae Jung

2.4 Kebijakan Policy for Peace and Prosperity Presiden Roh Moo Hyun

BAB III GAGASAN REUNIFIKASI DI SEMENANJUNG KOREA

3.1 Latar Belakang Reunifikasi di Semenanjung Korea 3.2 Kebijakan Reunifikasi di Semenanjung Korea 3.3 Perkembangan Reunifikasi di Semenanjung Korea

BAB IV FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HUBUNGAN ANTAR- KOREA DALAM PROSES REUNIFIKASI DI SEMENANJUNG

KOREA 4.1 Faktor Internal 4.1.1 Faktor Domestik Korea Selatan 4.1.2 Faktor Domestik Korea Utara 4.2 Faktor Eksternal 4.2.1 Hegemoni Amerika Serikat di Semenanjung Korea 4.2.2 Kepentingan Cina, Jepang, dan Rusia di Semenenjung Korea 4.3 Hubungan Korea Selatan dan Korea Utara dalam Menuju Proses Reunifikasi Di Semenanjung Korea periode 2003-2008 4.4 Hambatan-Hambatan Reunifikasi di Semenanjung Korea

BAB V KESIMPULAN