LATAR BELAKANG MASALAH PENDAHULUAN

2 Pasca Perang Dingin, stabilitas politik dan keamanan di Semenanjung Korea masih belum memperlihatkan keadaan yang membaik. Perang Korea berkembang menjadi perang internasional berskala penuh yang melibatkan 16 negara anggota PBB untuk berperang sebagai sekutu Korea Selatan melawan Cina dan Uni Soviet dari blok komunis. 3 Berakhirnya Perang Korea ditandai dengan gencatan senjata yang menghasilkan garis gencatan senjata sepanjang 155 mil yang membagi Semenanjung Korea. Masalah utama di Semenanjung ini pada umumnya adalah ancaman nuklir Korea Utara. Kegiatan reaktor nuklir yang tidak transparan menjadikan situasi di Semenanjung Korea menjadi tidak menentu. Pengembangan nuklir Korea Utara sudah dilakukan sejak akhir tahun 1970-an. Program nuklir yang dilakukan Korea Utara awalnya tidak menimbulkan perhatian dari dunia internasional, hingga pada tahun 1980-an, Korea Utara mulai menjalankan program pengembangan rudal, dimulai dengan rudal Hwangsong-5. 4 Program nuklir Korea Utara dipengaruhi dan didominasi oleh pemikiran Kim II Sung. Menurut Kim Il Sung, Korea Utara tidak perlu lagi tergantung dengan Negara lain untuk melindungi keamanan nasionalnya, Korea Utara percaya tindakan ini akan memberikan keuntungan strategis, simbolis, dan teknologi yang dibutuhkan dalam jangka panjang untuk mewujudkan Korea Utara yang kuat dan makmur. Sesuai dengan definisi strategi nuklir sebagai pemanfaatan senjata nuklir untuk meraih kepentingan politik internasional, nuklir bagi Korea Utara dapat menjadi alat penting dalam perundingan internasional. 5 Pada pertengahan dekade 1980an, intelijen Amerika Serikat mulai mendeteksi 3 Ibid . 4 Ibid, h. 121 5 Riri Dwianto,”kerjasama Keamanan Asia Timur”dalam Agenda dan Penataan Keamanan di Asia Pasifik , Bartarto Bandoro Penyuting, CSIS, Jakarta,1999-2000, h. 185 3 program nuklir Korea Utara dan tidak lama sesudahnya, tepatnya di tahun 1986, Korea Utara mulai memproduksi plutonium di reaktor. 6 Pada tahun 1990-an, ancaman nuklir Korea Utara semakin meningkat dengan penarikan diri Korea Utara dari perjanjian non-proliferasi nuklir pada bulan Maret 1993. Korea Utara menjadi ancaman bagi stabilitas regional dan dengan berkuasanya rezim militer tidak butuh pertimbangan untuk memulai konflik di kawasan dan permasalahan program nuklir selalu menyebabkan hampir terputusnya hubungan antar Korea. 7 Kerumitan dalam proses perdamaian di kawasan ini lebih dikarenakan oleh kompleknya permasalahan baik ditingkat bilateral maupun internasional. 8 Pada tingkat bilateral, penyelesaian konflik kedua Korea dipersulit oleh perbedaan-perbedaan ekonomi, sosial, dan politik yang berkembang dalam situasi masing-masing sejak berakhirnya Perang Dingin. Di sisi lain, Korea Utara sejak terpecahnya negara Korea, berubah menjadi sebuah negara yang sangat tertutup, sehingga komunikasi antara Korea Utara dan dunia luar terutama Korea Selatan sangat minim dan dikontrol dengan ketat. Usaha-usaha untuk meredakan ketegangan atau konflik kedua Negara tetap dilakukan mengingat posisi Korea Utara semakin terkucilkan dalam pergaulan internasional akibat pandangan negatif dunia internasional sejak Korea Utara mulai melakukan program nuklirnya yang diteruskan dengan pengembangan kemampuan rudal dengan serangkaian uji coba serta memburuknya situasi politik dan ekonomi Korea Utara pada saat itu. Melihat keadaan tersebut Korea Selatan 6 Hezel Smith, Bad, Sad or Rational Actor? Why the ‘Securitization’ Paradigma Makes for Poor Policy Analysis of North Korea, International Affairs, Vol. 76, No. 3, Europe: Where Does It Begin and End? Jul,2000, h. 610. 7 Fakta-fakta tentang Korea , Pelayanan Kebudayaan dan Informasi Korea, Kementerian Kebudayaan Olah Raga dan Pariwisata, 2002, hal 59 8 Rizal Sukma,”Dua Korea dan Prospek Perdamaian di Asia Timur”, dalam Analisa, CSIS, Jakarta, 1992-1993, h. 265. 4 mengambil sebuah kebijakan yang ingin memberikan terobosan yang revolusioner untuk mencairkan hubungan antara kedua Negara Korea dan merubah persepsi Korea Utara. Perubahan sikap Korea Selatan terhadap Korea Utara menjadi angin segar dalam proses transformasi kompleks keamanan di Semenanjung Korea. Salah satu landasan pembuatan kebijakan Korea Selatan adalah bahwa bangsa Korea adalah satu. Jika sebelumnya cara yang digunakan dalam peyelesaian permasalahan nuklir adalah dengan cara membawa permasalahan ke Dewan Keamanan PBB, memberikan embargo bagi Korea Utara dan mengucilkannya, namun kenyataanya tidak bisa menyelasaikan permasalahan tersebut. Lebih dari setengah abad, Korea Selatan berusaha mencari cara untuk menyatukan kembali daerah yang terbagi di sekitar Semenanjung Korea sejak berdirinya Republik Korea pada tahun 1948. Kebijakan reunifikasi Korea Selatan mempunyai tujuan yang sama, yaitu mengurangi atau menetralisir pengaruh komunis dalam pemerintahan pasca reunifikasi. Namun untuk menciptakan kesatuan, pemerintah Korea Selatan menggunakan bermacam-macam cara untuk mempersatukan kedua Korea yang secara reflek dapat mengubah lingkungan internasional dan beragam hubungan diantara orang-orang Korea Sendiri. 9 Korea Selatan memberikan cara pandang yang lain dengan menjadikan proses dialog yang bersahabat sebagai senjata utama dalam menghadapi Korea Utara. Dengan mengakrabkan hubungan diantara kedua rakyat Korea bertujuan untuk memberikan dorongan bagi perubahan cara pandang rejim otoriter Korea Utara terhadap dunia luar. Proses dialog antara Korea semakin intensif dilakukan, 9 Yang Seung-Yoon dan Aini Setiawati, sejarah Korea Awal Abad Hingga Masa Kontemporer , Ghajah Mada University Press, Yogyakarta, 2003, h. 190. 5 rangkaian pertemuan tingkat Perdana Menteri yang hingga akhir 1992 telah dilakukan sebanyak delapan kali, baik yang dilakukan di Seoul maupun di Pyongyang. Sebagai hasil dari rangkaian pertemuan-pertemuan tersebut, telah dibentuk berbagai komisi. Komisi-komisi ini sebagian telah melakukan beberapa kali pertemuan di Panmunjom yang dihadiri oleh para pejabat tinggi dari kedua belah pihak. Namun kegiatan-kegiatan tersebut akhirnya berhenti oleh protes Korea Utara terhadap Korea Selatan yang melakukan latihan militer bersama AS “Team Spirit”pada bulan Maret 1993. 10 Dalam melakukan proses transformasi keamanan di Semenanjung Korea, pemerintahan Korea Selatan sejak masa Presiden Roh Tae Woo, Kim Yong Sam, Kim Dae Jung dan Roh Moo Hyun selalu menggunakan tiga pondasi kebijakan yaitu melakukan kerjasama, rekonsiliasi, dan unifikasi. Ketiga pondasi tersebut dilakukan secara berkesinambungan dan dijadikan cetak biru kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara. Proses kerjasama dilakukan sebagai pemecah kebekuan dan kekakuan antara Korea Selatan dan Korea Utara. Kerjasama dilakukan dalam dua hal, yaitu kerjasama dalam bidang ekonomi dan kerjasama keamanan dengan menjadikan isu nuklir tidak lagi sebagai isu yang dominan di Semenanjung Korea. 11 Menyadari situasi keadaan dan perbedaan yang jelas diantara kedua Negara maka dari itu, dibawah pemerintahan Kim Dae Jung 1998-2002 dan Roh Moo Hyun 2003-2008, Korea Selatan membuat suatu kebijakan yang lebih menekankan pentingnya kebersamaan antar negara Korea. Upaya penyatuan 10 Pramudito, “Tinjauan Prospek Perdamian di Semenanjung Korea”, dalam Jurnal Caraka Vol.INo. 5, February-Maret 1998, h. 90. 11 Kim Young Sam, Three-Phase Unification Formula for Building Korean National Community, Pidato pada tanggal 15 Agustus 1994, didalam Korean Focus, Vol. 2, No. 4 July- Agustus 1994, h. 174 6 tersebut, tertuang didalam sebuah kebijakan yang dikenal dengan Sunshine Policy kebijakan Kim Dae Jung dan Policy Peace and prosperity Kebijakan Roh Moo Hyun. Melalui Sunshine Policy, Kim Dae Jung mencoba untuk mengikutsertakan Korea Utara didalam setiap kerjasama ekonomi. Untuk itu, pemerintahan Kim Dae Jung tidak henti-hentinya berusaha keras untuk lebih menciptakan suasana damai, rukun dan menuju kerjasama antar dua negara daripada hubungan yang tertekan dengan konflik, hubungan ketidakpercayaan antara Korea Selatan dan Korea Utara dan hubungan persaingan yang menelan biaya politik yang sia-sia. 12 Akan tetapi, perjalanan Sunshine Policy tidak berjalan dengan mudah seperti yang diharapkan, karena masih terhalang beberapa hambatan-hambatan sehingga kebijakan secara damai yang dicetuskan Kim Dae Jung tidak dapat berjalan sempurna. Beberapa kendala yang dihadapi dalam proses reunifikasi antara Korea Selatan dan Korea Utara adalah perbedaan ideologi yang dianut kedua Negara Korea. Hambatan lainnya yang dihadapi dalam mewujudkan reunifikasi antara kedua Negara adalah masalah senjata pemusnah masal nuklir, biokimia, dan peluru kendali yang sedang dikembangkan oleh Korea Utara. Selain itu, adanya ancaman kemanusiaan yang dihadapi Korea Utara seperti kelaparan, pembangkangan, dan pengungsian massal yang potensial, serta ancaman militer konvensional. Hambatan utama untuk mengatasi aneka tantangan ini muncul dari realitas bahwa tidak ada konsensus di antara negara-negara bertertangga yang mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung oleh tiap manuver Pyongyang. 13 12 Yang Seung-Yoon dan Mohtar Mas’oed, Politik Luar Negeri Korea Selatan: Penyesuaian Diri Terhadap Masyarakat Interasional . Ghajah Mada University Press, Yogyakarta, 2002, h. 41. 13 Diakses dari http:www.kompas.comkompas-cetak040602opini1056776.htm . “Menjawab Tantangan di Semenanjung Korea“,pada 16 Desember 2010 7 Dibawah kepemimpinan Roh Moo Hyun, upaya dialog dengan Korea Utara dilakukan dengan pendekatan Policy for Peace and Prosperity. Kebijakan tersebut merupakan lanjutan dari kebijakan sebelumnya yaitu kebijakan Sunshine Policy . Namun selama krisis Semenanjung Korea tahun 2003, dan Korea Utara bersikeras untuk meneruskan program-program nuklir dan sistem rudalnya, maka Amerika Serikat-Korea Selatan bisa menyatukan pendapat. Kim Jung Il bersikap bahwa Korea Utara menyatakan keluar dari perjanjian Non-Proliferasi Nuklir sejak 1 Januari 2003, setelah bertekad terus mengembangkan program nuklir dan persenjataannya. Masyarakat dunia kemudian kembali dikejutkan dengan aksi peluncuran peluru kendali Korea Utara, 5 Juli 2006. Peluncuran beberapa rudal di Semenanjung Korea itu kian mengkhawatirkan beberapa negara, bahkan Korea Selatan, Jepang, Amerika Serikat, dan Australia mengecam tindakan itu. Dewan Keamanan PBB pada 5 Juli 2006 telah membicarakan hal ini atas permintaan perwakilan Jepang di PBB. Peluncuran rudal itu dapat diartikan Korea Utara ingin mendapat posisi lebih kuat dalam perundingan damai soal nuklir Korea Utara bersama enam negara Six Party Talks, yang mengalami kebuntuan. Korea Utara juga kian frustrasi dengan jalan damai setelah mengikuti Six Party Talks bersama AS, Korea Selatan, Jepang, China, dan Rusia, dan hingga kini belum mendapat hasil. 14 Hal ini yang menyebabkan Roh Moo Hyun mengambil sikap tegas. Dengan diplomasi tajamnya adalah Seoul akan meneruskan bantuan-bantuan makanan, obat-obatan, pupuk, infrastruktur dan ekonomi, hanya bila Pyongyang menghentikan pengembangan nuklirnya. Pernyataan Roh sebenarnya merupakan 14 Suara Pembaruan , 30 Juli 2003,” Diplomasi Roh dan Stabilitas Semenanjung Korea”, h. 10 8 “ancaman” karena Jepang dan sekutu-sekutu Pyongyang, seperti Cina dan Rusia, juga mendesak Korea Utara untuk kembali mematuhi Pakta Non-Plorifederasi Nuklir, serta menghentikan semua program nuklirnya. 15 Dalam melaksanaan Policy for Peace and Prosperity , Roh mengadakan pertemuan dengan Kim Jung Il dalam Konferensi Tingkat Tinggi kedua antara pemimpin-pemimpin Korea Selatan dan Korea Utara yang berlangsung pada tanggal 2-4 Oktober 2007 di Pyongyang. 16 Di akhir masa kunjungannya selama tiga hari, kedua pemimpin menandatangani beberapa point kesepakatan. Isinya antara lain, membangun system perdamaian permanen, memperluas kerjasama ekonomi termasuk membuat galangan kapal bersama, mengembangkan kerjasama pendidikan, teknologi, budaya dan olehraga, dan mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi. Namun bila dilihat perospek yang ada, perbaikan hubungan yang langgeng diantara kedua Korea masih memerlukan perjalanan yang panjang, terutama perjalanan menuju arah unifikasi kedua Korea. Perbedaan tingkat kemapanan ekonomi dan perbedaan sistem pemerintahan yang berlaku, memerlukan penyesuian dalam jangka waktu yang lama. Sehingga rumusan unifikasi di Semenanjung Korea dilakukan dalam beberapa tahapan penyesuaian. Adanya bebrapa faktor yang mempengaruhi hubungan antar-Korea dalam proses reunifikasi di Semenanjung Korea baik dalam faktor Internal seperti faktor domestik kedua Negara Korea maupun faktor ekternal seperti hegemoni Amerika Serikat, dan kepentingan Cina, Jepang dan Rusia di Semenanjung Korea. Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam reunifikasi antar-Korea menjadi sebuah hal yang harus dicari penyelesaiannya. Rakyat Korea memang tidak 15 Diakses dari http:www.suarapembaruan.comNews20030206Editoredi01.html “Dambaan Presiden Korsel, Perdamaian, dan Pusat Ekonomi“ , pada 12 Desember 2010 16 Ibid . 9 seberuntung rakyat Jerman yang bersatu kembali tahun 1990, setelah terbagi hampir 30 tahun atas Jerman Barat dan Jerman Timur tahun 1961. Namun harapan untuk bersatunya kembali terus diwujudkan demi menjadi Korea yang satu.

1.2 PERTANYAAN PENELITIAN

Berdasarkan latar belakang diatas, maka pertanyaan mendasar penelitian ini adalah Bagaimana Perkembangan Dinamika Hubungan antara Korea Selatan dan Korea Utara tahun 2003-2008 dalam mewujudkan reunifikasi di Semenanjung Korea? Hambatan-hambatan apa yang mempengaruhi proses dialog reunifikasi kedua Negara di Semenanjung Korea?

1.3 TINJAUAN PUSTAKA

Ada sejumlah penelitian di mana unit analisanya adalah dinamika hubungan Korea Selatan dan Korea Utara terkait reunifikasi di Semenanjung Korea, namun banyak penelitian yang unit analisanya dikaitkan secara langsung dengan permasalahan reunifikasi di Semenanjung Korea. Meskipun demikian terdapat dua penelitian yang penulis anggap cukup relevan untuk dijadikan bahan tinjauan pustaka. Pertama, yaitu penelitian berjudul “Faktor-faktor Determinan yang menyebabkan Pergeseran Pola Hubungan Korea Utara-Korea Selatan dalam Isu Reunifikasi Pasca Perang Dingin ”, 2001, karya I Wayan Setia Jaya, Hubungan Internasional, FISIP Universitas Indonesia. I Wayan menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor-faktor determinan yang menyebabkan pergeseran pola hubungan Korea Utara-Korea Selatan dalam isu reunifikasi secara garis besar. 17 Dimana keberadaan faktor hegemoni Amerika Serikat, Cina, Jepang, dan Rusia menjadi penyebab pergeseran pola hubungan antar-Korea. pergeseran pola 17 I Wayan Setia Jaya, “Faktor-faktor Determinan yang menyebabkan Pergeseran Pola Hubungan Korea Utara-Korea Selatan dalam Isu Reunifikasi Pasca Perang Dingin ”, Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Ilmu Politik,Universitas Indonesia Jakarta, 2001 h. 15-30. 10 hubungan tersebut membuat beberapa kebijakan yang telah ada mengalami penyesuaian secara perlahan. Namun keberadaan aktor-aktor tesebut tidak menyebabkan pandang kedua Negara Korea tersebut menjadi berubah dalam mewujudkan reunifikasi di Semenanjung Korea. Selain itu, penelitian juga dilakukan oleh Lee young Sun, “Is Korean Reunification Possible?”, Vol. 3, No.3, Korean Focus, 1995. 18 Lee melihat permasalahan atau hambatan dalam mewujudkan reunifikasi Korea dari berbagai faktor baik dalam faktor domestik dua Negara Korea tersebut maupun hubungan antar Negara di Asia Timur dan hubungan dengan Negara besar seperti Amerika Serikat dan Uni Soviet. Tantangan dalam mewujudkan unifikasi di Semenanjung Korea memiliki kesulitan yang cukup tinggi mengingat perbedaan tersebut dilihat dari keadaan ekonomi maupun politik. secara garis besar penelitian ini melihat bagaimana keadaan Semenanjung Korea dalam mewujudkan reunifikasi. Adanya perbedaan kebijakan antar kedua pemerintah Korea menyebabkan susahnya mewujudkan reunifikasi di Semenajung Korea. Skripsi ini berupaya memberikan sumbangsih ilmu terkait hal yang melatarbelakangi susahnya mewujudkan reunifikasi di Semenanjung Korea. Jika penelitian I Wayan lebih memaparkan faktor determinan yang menyebabkan pola pergeseran hubungan antar Korea. Penulis skripsi ini lebih memfokuskan pada faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan Korea Selatan dan Korea Utara pasca krisis nuklir kedua pada tahun 2003 sampai 2008. Serta menekankan hambatan- hambatan yang terkait dalam proses reunifikasi di Semenanjung Korea. Penulis melihat dengan terjadinya krisis nuklir kedua pada tahun 2003 membuat pola 18 Lee young Sun, “Is Korean Reunification Possible?”, Vol. 3, No.3, Korean Focus, 1995, h. 15.