Pemikiran Islam liberal tentang tindak pidana murtad (Riddah)

(1)

PEMIKIRAN ISLAM LIBERAL

TENTANG TINDAK PIDANA MURTAD

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Gelar Sarjana Hukum Islam pada Fakultas Syari'ah dan Hukum

Disusun Oleh : Yusuf Mahdani

103045128166

JURUSAN KEPIDANAAN ISLAM

FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

PEMIKIRAN ISLAM LIBERAL TENTANG TINDAK PIDANA

MURTAD (

RIDDAH

)

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai

Gelar Sarjana Hukum Islam

Oleh:

Yusuf Mahdani NIM : 103045128166

Pembimbing

. MA , Abdurrahman Dahlan .

H . Dr

NIP. 150 234 496

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi berjudul PEMIKIRAN ISLAM LIBERAL TERHADAP TINDAK PIDANA MURTAD (Riddah) telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 28 Maret 2008. skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam

(S.HI) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Kepidanaan Islam.

Jakarta, 28 Maret 2008 Mengesahkan Dekan, . MM , . MA , . Amin Suma SH . M . H . DR . Prof NIP: 150.210.422 Ketua Ag . M , Asmawi : ( ) NIP. 150.282.394 Sekretaris Ag . M , Sri Hidayati : ( ) NIP. 150.282.403 Penguji I Ag . M , Asmawi : ( ) NIP. 150.282.394 Penguji II ( Ag . M . Mujar Ibnu Syarif . H . DR : ) NIP. 150.275.509 Pembimbing A . Abdurrahman M . H . DR : ( ) NIP. 150.282.403


(4)

ا

ﻦ ﺣ

ﺮ ا

ا

ا

KATA PENGANTAR

Segala puja puji bagi Allah SWT, Tuhan Semesta Alam, shalawat beserta

salam semoga tercurah atas utusan yang paling utama dan mulia, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya. Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat, hidayah dan taufiknya, sehingga penulisan skripsi dengan judul, PEMIKIRAN ISLAM LIBERAL TENTANG TINDAK PIDANA

MURTAD, dapat diselesaikan dengan baik. Munculnya berbagai hambatan dan kesulitan seakan terasa ringan berkat

bantuan dan dorongan berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak tertentu, tanpa mengurangi penghormatan penulis bagi pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam pengantar yang

singkat ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, penulis

sampaikan kepada: 1. Bapak Prof. DR. H. M. Amin Suma SH., MA., MM., Dekan fakultas Syari’ah dan

Hukum beserta para pembantu Dekan.

2. Bapak Asmawi M.Ag. selaku Ketua Jurusan SJS/Pidana Islam, beserta Ibu Sri Hidayati M.Ag. selaku Sekretaris Jurusan SJS/Pidana Islam yang selalu


(5)

memberikan semangat kepada penulis dan banyak membantu penulis dalam menyelesaikan persoalan akademis dan administrasi

3. Bapak Dr. H. Abdurahman Dahlan MA, yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan rela meluangkan waktu ditengah kesibukannya untuk memberikan pengarahan dan mengoreksi penyusunan skripsi ini sehingga tulisan ini dapat diselesaikan dengan baik.

4. Seluruh Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum syarif Hidayatullah, pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Al-Marhum Abah dan Emah tercinta serta kakak-kakak dan saudara-saudara yang

slalu memberikan semangat, motivasi, nasehat dan dorongan doa, moral dan moril kepada penulis.

6. Seluruh pengurus Jaringan Islam Liberal yang telah banyak membantu dan memberikan data serta informasi dalam penyusunan skripsi.

7. Sahabat-sahabat mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum angkatan 2003, khususnya temen-temen Jurusan SJS/PI (Ma'rufudin, Wildan, Margana, Lina, Mansiah, lela, Anita, Adien, Jabar, One’al, Adjhon, Katon, afandi, beben) dan yang lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Mudah-mudahan jasa dan amal baik tersebut mendapatkan balasan yang

setimpal dari Allah SWT. Sebagai amal saleh dan senantiasa berada dalam maghfirah-Nya. Akhirnya penulis hanya bisa mengembalikan segala sesuatunya kepada Allah


(6)

membantu ke arah kemajuan pendidikan, khususnya masalah hukum Islam. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, hal ini merupakan keterbatasan dan kekhilafan penulis sebagai seorang hamba, maka untuk itu, saran, komentar dan kritik dari semua pihak amat diharapkan bagi penyempurnaan skripsi ini. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi orang banyak dan membawa

keberkahan di dunia dan akhirat. Semoga Allah SWT. memberikan petuntuk ke jalan yang benar dan mencurahkan taufik serta hidayah-Nya kepada kita semua. Amiin.

Jakarta, 25 Maret 2008


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...

... ...

.... i

DAFTAR ISI ... ... ... ... iv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Tinjauan Pustaka ... 9

E. Metode Penelitian ... 10

F. Sitematika Penulisan ... 13

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG ISLAM LIBERAL A. Pengertian... 15

B. Akar Islam Liberal ... 18

C. Bentuk-bentuk Islam Liberal ... 22

D. Tema-tema Pemikiran Islam Liberal... 25

E. Peta pemikiran Islam Liberal ... 33

BAB III MURTAD MENURUT HUKUM ISLAM SECARA UMUM A. Definisi dan Dasar Hukum Murtad ... 36


(8)

C. Sanksi Hukum Bagi Pelaku Murtad. Dan Anjuran Bertaubat Menurut Para Ulama Mazhab Fiqih... 47 a. Hukuman Pokok... 47 b. Hukuman Tambahan ... 49 D. Perbedaan Pendapat Para Ulama Tentang

Orang Yang Murtad ... 51

BAB IV KORELASI PEMIKIRAN KEBEBASAN BERAGAMA

TERHADAP KEMURTADAN

A. Konsep Kebebasan beragama Islam Liberal ... 56 B. Pandangan Islam Liberal Terhadap Orang Yang Murtad .. 69 C. Implikasi Kebebasan Beragama Terhadap Kemurtadan. ... 79 D. Hukum Murtad di Negara-negara Islam ... 82 E. Analisis Kritis Terhadap Hukuman Murtad……… 87

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 92 B. Saran-saran... 93

DAFTAR PUSTAKA

... ...

... 94


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Islam lahir sebagai agama penegak keadilan dan pembebasan manusia dari

berbagai bentuk dehumanisasi seperti perbudakan, penindasan, kemiskinan, kebodohan. Dengan semangat Rahmatan lil alamin, Islam selalu mengajak pengikutnya untuk selalu bisa dan mampu menjawab tantangan kehidupan dan membangun peradaban Islam pada masa dan tempat dimanapun Islam berada. Konsekuensi logis dari prinsip tersebut adalah terbukanya ruang ijtihad secara luas, bagi umat Islam sebgai upaya perenungan kembali secara mendalam atas doktrin keagamaan, teologi, ajaran moral, sosial, politik, ekonomi dan hukum untuk bisa menempatkan Islam sebagai ajaran yang selalu aktual dan relevan dengan zaman dan tempat dimana Islam hidup. Tetapi, tetap tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang ingin dicapai Islam sejak pertama diturunkan. Dewasa ini, Negara-negara Barat dengan mengusung globalisasi berusaha

mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat dunia, mulai dari kehidupan politik, hukum, ekonomi, budaya, bahkan agama. Maka Islam sebagai agama yang menyejarah berupaya merespon persoalan globalisasi dengan serius supaya umat Islam tidak menjadi umat yang terbelakang. Sebagai agama yang sangat


(10)

besar, agama Islam membuka ruang interpretasi atas doktrin keagamaannya (ijtihad) yang menyebabkan pandangan umat Islam menjadi beragam1. Sebenarnya, dalam dunia Islam telah mengalami perdebatan-perdebatan

yang pararel, selama lebih dari dua abad yang lalu yang menjadikan umat Islam berkelompok-kelompok dan tentunya dengan tradisi yang berbeda. Diantaranya terdapat tiga tradisi interpretasi sosio-religius, tradisi ini saling melengkapi, dan memberikan sudut pandang yang cukup signifikan bagi sejarah wacana Islam

masa kini. Ketiga tradisi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Tradisi pertama adalah tradisi "Islam Adat" (Costommary Islam), yang

ditandai oleh kombinasi kebiasaan kedaerahan dan kebiasaan yang juga dilakukan di seluruh dunia Islam. Seperti, tradisi penghormatan terhadap tokoh-tokoh yang dianggap suci dimana sebagian umat Muslim merasa tidak mengetahui pengetahuan dasar tentang Al-Qur'an. Di Indonesia tradisi-tradisi seperti ini mencakup juga pertunjukan pertunjukan ritual keagamaan dan kekuatan yang mengekspresikan tradisi-tradisi budaya-budaya daerah,2 suara bedug di Islam Afrika Selatan, dan kepercayaan orang-orang Kurdi dan umat Islam lainnya terhadap roh-roh, perayaan tahun baru Islam dan hari-hari besar Islam lainnya di Iran. Tradisi-tradisi tersebut merepersentasikan mayoritas terbesar umat Islam diberbagai tempat. Namun. Tradisi seperti yang telah dikutip diatas tadi bukan merupakan sebuah fenomena pemersatu, karena 1

Dikutip dari http://www..Islamlib. com tentang Islam Liberal 02 Desember 2007 2

Cliford Geertz, Islam Observed: Religius Devlopment in Morocco and Indonesian (Chicago: University of Chicago Press, 1968)


(11)

setiap wilayah daerah Islam memiliki budaya dan tradisi yang berbeda-beda maka, tradisi adat semacam ini cenderung dijustifikasi pada tingkat lokal saja, tidak pada tingkat global. berbeda dengan prilaku yang dibenarkan secara global, seperti, kehati-hatian, kebijaksanaan, adil dan sebagainya.3

2. Tradisi kedua, dan alternatif terpenting dari Islam adat, adalah "Islam revivalis" juga bisa dikenal dengan Islamisme, fundamentalisme, atau wahabisme. Tradisi ini menyerang interpretasi adat yang kurang memberi perhatian terhadap inti doktrin Islam. Menghadapi penyimpangan lokal, kelompok revivalis ini menginginkan penekanan yang paling penting kepada kemurnian ajaran Islam tanpa ada campuran adat dan budaya lokal, menghilangkan kurafat-kurafat yang berkembang pada masyarakat Islam.4 Kebangkitan prakti-praktik keagamaan pada priode awal Islam ditandai dengan Gerakan Muhammad Ibnu Abdul Wahab pada abad ke18, gerakan ini merupakan prototipe untuk semua gerakan yang bertujuan membersihkan pusat-pusat strategis Islam adat, dan memberantas praktik yang tidak Islami yang berkembang setelah Islam diwahyukan. Mengembalikan kemurnian Islam dan ajaran-ajarannya sebagaimana masa Islam berjaya.5

3. Banyak analisis Islam terfokus pada dua kelompok diatas, Islam tradisional dan Islam Revivalis, dan mengabaikan kelompok ketiga, yaitu "Islam Liberal"

3

Charlez Khurzman, Islam Liberal dan konteks keislmannya-Wacana Islam Liberal :Pemikiriran Islam Tentang Isu-isu Global, (Jakarta: Paramadina, 2001) cet. II, hal. xv-xvii

4

Charlez Khurzman, Islam Liberal dan konteks keislmannya-Wacana Islam Liberal :Pemikiriran Islam Tentang Isu-isu Global, (Jakarta: Paramadina, 2001) cet. II, hal xv-xvii

5


(12)

(Liberal Islam), dimana kelompok ini mendefinisikan dirinya berbeda secara kontras dengan Islam Adat dan kaum Revivalis yang menyerukan keutamaan priode paling awal Islam, dan menegaskan ketidak absahan praktik-praktik keagamaan masa kini. Tetapi, Islam liberal menghadirkan masa lalu untuk kepentingan modernitas. Berbeda dengan revivalis yang menyebutkan bahwa moderenitas dalam Islam adalah kembali kepada masa lalu, yang oleh kaum Liberal disebut "keterbelakangan" (backwardness). Kaum Revivalis hanya menghalangi dunia Islam untuk menikmati buah modernitas yaitu kemajuan ekonomi, demokrasi, hak asasi manusia, hukum, dan sebagainya. Disamping itu Islam Liberal berpendapat bahwa jika difahami secara benar, Islam Liberal adalah printis jalan bagi Liberalime barat.6

Ketiga bentuk pemahaman dalam Islam ini berupaya merespon globalisasi

dan kemoderenan supaya Islam tidak kehilangan identitasnya sebagai rahmatan lil alamin. Dari ketiga model pemikiran Islam yang disebut diatas, pemikiran Islam Liberal lebih berani memasuki area teologis yang oleh sebagian umat Islam adalah hal yang masih dianggap tabu. Islam Liberal pun berani melakukan penafsiran kontekstual atas doktrin sejarah dan ajara-ajaran Islam yang terkadang terlihat aneh bagi sebagian muslim. Sering kali gagasan-gagasan yang di bawa kelompok ini jauh berbeda dari pemikiran-pemikiran yang sudah sangat mengakar dan di sakralkan oleh sebagaian umat Islam seperti tidak perlu menegakan syari'at

6

Charlez khurzman, Islam Liberal dan konteks keislmannya-Wacana Islam Liberal :Pemikiriran Islam Tentang Isu-isu Global, (Jakarta: Paramadina, 2001) cet. II, hal. xv-xvii


(13)

Islan secara inplisit, pemikiran tentang kebebasan beragama, Islam Liberal melakukan penafsiran liberal untuk memaknai pluralisme dan kebebasan beragama. Berbagai ayat suci Al-Qur'an yang menjelaskan kebebasan beragama dikaji secara mendalam, semua itu dilakukan sebagai upaya untuk melahirkan konsep kesetaraan antar pemeluk agama untuk mewujudkan keadilan sebagai salah satu nilai universal yang diajarkan Islam. Karena Islam adalah agama yang

relevan untuk zaman manapun. Panadangan pluralisme agama dan kebebasan beragama ini yang menjadi

topik hangat yang dibicarakan sebab menyangkut wilayah yang cukup fundamental bagi kalangan umat Islam secara umum. Dengan konsep Tauhid, dan konsep Syari'ah yang liberal, identitas muslim dan keselamatan yang ditawarkan Islam Liberal sangat terbuka, wajar jika kemudian muncul pro dan kontra di kalangan umat Islam secara umum. karena pandangan Islam secara umum bahwa

orang yang murtad hukumannya adalah hukuman mati.7 Islam Liberal melihat bahwa semua agama itu setara. Sebuah agama,

selama mempunyai konsep ketuhanan, mengajarkan kebaikan dan percaya pada hari akhir. Maka, tidak bisa dikatakan salah atau sesat. Jadi, menurut mereka bahwa agama yang telah memenuhi tiga kriteria tadi akan membawa penganutnya

pada keselamatan.

7

Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, Fiqih Jinayah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), cet. 1, h. 103


(14)

Terdapat dua pandangan masyarakat muslim tentang hal ini, yaitu sebagai berikut: a. Bagi kalangan Muslim inklusif pemikiran seperti ini memberikan jalan keluar

terhadap problem diskriminasi atas eksistensi non Muslim dan sebagai teologi baru dan menyelesaikan konflik dan ketegangan antara pemeluk agama

b. Kalangan Muslim ekslusif melihat gagasan ini sebagai upaya untuk mengacaukan tauhid, mengaburkan identitas muslim dan menggugat otoritas fiqih.

Dalam hal ini kelompok Islam Liberal memiliki pandangan fiqih yang

berbeda dengan pandangan yang selama ini berkembang dalam tradisi fiqih Islam secara umum. Menurut hukum Islam secara umum, seseorang yang keluar dari agama

Islam tanpa paksaan kepada kekafiran dengan menyatakan atau melakukan sesuatu yang menyebabkan seseorang itu kafir, umpamanya mengingkari adanya Tuhan, mendustakan Rasulullah dan lain-lain, maka orang tersebut telah

melakukan tindak pidana murtad dan hukumannya adalah hukuman mati 8. Jika pandangan Islam Liberal tentang kebebasan beragama artinya tidak

ada paksaan untuk memeluk agama, maka apakah pandangan ini akan mendekonstruksi hukum bagi pelaku murtad yang selama ini menjadi kajian

8

Hasanudin, Murtad persepektif Islam Pidana Islam di Indonesia peluang, prospek, dan tantanga. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), cet. 1, h. 64


(15)

dalam fiqih jinayah dan bagaimana respon para pemikir hukum Islam mengenai hal ini secara umum. Maka dari itu, sebagai mahasiswa fakultas Syari'ah penulis merasa

berkepentingan untuk membahas persoalan ini, dan dari itu menjadi alasan bagi penulis untuk untuk memberi judul "Pemikiran Islam Liberal Terhadap Tindak Pidana Murtad" dalam sebuah sekripsi yang menjadi tugas akhir dari

jenjang S1 yang ditempuh penulis.

B.

Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

sebelum beranjak lebih jauh penulis mencoba mengidentifikasi

permasalah-permasalahan yang akan muncul pada kajian ini secara luas. Yang menjadi objek kajian skripsi ini adalah Islam Liberal dan Hukum Islam secara umum, akan banyak sekali masalah menyangkut Islam Liberal dan hukum Islam secara umum, diantaranya sebagai berikut: a. Bagaimana konsep hak asasi manusia menurut Islam Liberal dan hukum Islam

secara umum?

b. Bagaimana menurut Islam Liberal tentang demokrasi?

c. Apakah kaum Islam Liberal dihukumi murtad oleh hukum Islam secara umum?

d. Apa yang dimaksud dengan murtad menurut faham Liberal? e. Bagaimana konsep kebebasan beragama dalam Islam Liberal?


(16)

f. Bagaimana pemikiran Islam tentang murtad?

g. Bagaimana hukum Islam secara umum memandang pluralisme?

h. Bagaimana pandangan Islam Liberal tentang komunisme dan ateisme? Untuk memudahkan pembuatan skripsi ini, penulis mengidentifikasi hanya pada masalah-masalah yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini, yaitu

sebagai berikut: a. Bagaimana pemikiran Islam Liberal tehadap murtad?

b. Apa yang dimaksud murtad murtad menurut Islam Liberal?

Agar jangkauan pembuatan sekripsi ini lebih terarah, maka penulis akan membatasi masalah pada : 1. Islam Liberal, dibatasi pada tema konsep kebebasan beragama, dan

pandangannya terhadap murtad

2. Hukum Islam secara umum dibatasi hanya pada kajian tindak pidana murtad dan hukumannya.

Maka kemudian, untuk memperjelas masalah yang akan dibahas

penulis merumuskan masalah-masalah tersebut sebagai berikut : 1. Bagaimana pandangan hukum Islam secara umum terhadap konsep kebebasan

beragama dikaitkan dengan tindak pidana murtad? 2. Bagaimana pandangan Islam Liberal tentang murtad?


(17)

C.

Tujuan dan Manfaat Penulisan

Dalam penulisan ini ada dua signifikansi yang akan di capai, yaitu sebagai berikut: a. Untuk mengetahui bagaimana pemikiran Islam Liberal tentang murtad b. Untuk menambah wawasan keilmuan.

c. Sebagai syarat untuk memenuhi gelar sarjana di Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sedangkan manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: a. Menambah kasanah keilmuan hukum Islam.

b. Diharapkan menjadi alternatif lain untuk menyelesaikan konflik antar agama, karena ketika konsep teologisnya yang keliru, maka dalam mengaplikasikannya pun akan salah.

c. Untuk menegaskan kembali bahwa betapa luasnya ilmu Allah Swt.

D.

Tinjauan Pustaka

Sepanjang pengetahuan penulis, ada beberapa individu yang telah

melakukan kajian dan penelitian terhadap pemikiran-pemikiran Islam Liberal, dari sejumlah tulisan yang ada itu, penulis belum mendapatkan satu karya pun yang membahas secara khusus tentang konsep kebebasan beragama yang


(18)

Salah satu dari mereka yang menelaah pemikiran Islam Liberal ialah

skripsi milik Muhammad Ismail di Fakultas Syari'ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul Pemikiran Islam Liberal Tentang pluralisme Agama dan Implikasinya terhadap Pernikahan Beda agama. Skripsi ini mengemukakan hanya pada pemikiran pluralisme dalam Islam Liberal yang akan berpengaruh pada kebolehannya nikah beda agama di Indonesia, yang notabennya undang-undang di Indonesia tidak memperbolehkan pernikahan beda agama. Masih dalam pemikiran Islam Liberal salah satu skripsi milik

Hasanudin mahasiswa syiasah syari'ah di UIN Syarif Hidayatullah yaitu tentang penafsiran Islam Liberal terhadap ayat-ayat politik, skripsi ini coba menjelaskan bagaiman Islam Liberal memandang satu kekuasaan dalam Islam. Jadi sejauh pengamatan penulis sejauh ini, sampai saat ini belum ada

satu tulisan yang membahas tentang konsep kebebasan beragama Islam Liberal yang dikaitkan dengan tindak pidana murtad.

E.

Metode Penelitian

1. Metode dan Jenis Data

Metode yang digunakan penulis pada dasarnya metode deskriptif dalam

hal pengungkapan secara jelas masalah-masalah yang akan dibahas. Yang mana metode deskriptif ini bertujuan untuk menjelaskan secara sistematis fakta tertentu secara faktual dan cermat. Metode deskirptif adalah menjelaskan secara cermat


(19)

sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala kelompok tertentu atau untuk menentukn suatu frekuensi atau juga penyebab suatu gejala, frekuensi yang berhubungan tertentu suatu gejala dengan gejala yang lain dalam suatu masyarakat. Dalam hal ini penulis mencoba menjelaskan secara cermat pemikiran Islam Liberal tentang kebebasan beragama yang dihubungkan dengan kemurtadan yang telah menjadi kajian dalam fiqih Islam secara umum. Adapun jenis data yang dikumpulkan adalah data yang bersifat kualitatif

yaitu berupa kata-kata atau ungkapan, norma-norma atau aturan dari objek fenomena yang akan diteliti. Yaitu Al-Qur’an, kitab-kitab Hadis, kitab fiqih empat mazhab, buku-buku Islam Liberal, Undang-undang dan lain sebagainya. Oleh karena itu penulis berupaya untuk mengupas secara cermat dan ilmiah mengenai pemikiran Islam Liberal tentang kebebasan beragama yang di

hubungkan dengan tindak pidana Murtad menurut hukum Islam secara umum.

2. Sumber Data

Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Sumber data primer, yaitu sumber data pokok yang akan memaparkan

masalah yang akan dikaji, sumber data ini dihasilkan dengan cara wawancara secara langsung pada objek kajian, yaitu wawancara pribadi penulis dengan ibu Novirianti dan Ulil Abasr Abdalah mereka adalah salah satu koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) Indonesia, dan kajian terhadap buku-buku yang


(20)

relevan dengan masalah yang akan diangkat, seperti buku-buku atau artikel tentang pemikiran Islam Liberal, kitab-kitab fiqih, dan lain sebagainya.

b. Sumber data skunder, yaitu data yang dihasilkan dari kajian literatur seperti dari Al-Qur'an, Al-Hadits, kamus bahasa Arab dan Inggris, KUHP, artikel-artikel yang relevan dengan objek kajian dan lain sebagainya.

3. Teknik Analisi Data

Ada pun teknik analisi data yang penulis gunakan dalam penelitian ini

adalah teknik analisis domain yaitu mencoba menggambarkan objek penelitian pada tingkat permukaan. Jadi dalam penelitian ini hanya bersifat Analisis deskrptif, artinya, analisis hasil penelitian hanya ditargetkan untuk mendeskripsikan objek, hanya penelitian secara global tanpa menyelam lebih

dalam dan terperinci pada objek kajian. Alasan mengapa penulis menggunakan metode analisis ini adalah karena

metode ini relevan dengan objek kajian yang akan diteliti dan akan lebih memudahkan penulis, yaitu menggambarkan secara umum mengenai pemikiran kebebasan beragama Islam Liberal dan pengaruhnya terhadap tindak pidana

murtad. Mengenai teknik penulisan, metode penelitian penulis berpedoman pada

buku "Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari'ah dan Hukum", terbitan Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2008.


(21)

F.

Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini akan disusun dalam beberapa bab. Tiap-tiap bab

terdiri dari beberapa sub-bab sesuai dengan kebutuhan kajian yang akan dilakukan. Yakni sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. Mencakup latar belakang masalah, yaitu hal-hal

apa saja yang melatar belakangi permasalahan yang dibahas, identifikasi, pembatasan, perumusan masalah, yaitu mengidentifikasi masalah yang dibahas agar tidak melebar pemaparannya, tujuan penulisan, yaitu menjelaskan tujuan mengangkat permasalahan Pemikiran Islam Liberal Terhadap Murtad, metode penelitian dan sistematika penulisan, dalam suatu penelitian harus adanya metode

penelitian agar penelitian tersebut dapat terarah dan sistematik.

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG ISLAM LIBERAL. Bab ini

berawal membahas tentang apa itu Islam Liberal, diteruskan dengan membahas Akar Islam Liberal, dari mana kelompok ini lahir dan apa yang melatar belakangi kemunculannya, Macam-macam Islam Liberal, Pemikiran-pemikirannya, dan

diakhiri dengan Peta pemikiran Islam Liberal.

BAB III MURTAD MENURUT HUKUM ISLAM SECARA UMUM. Bab

tiga ini Terdiri dari: Definisi Murtad, konsep kebebasan menurut Islam, sanksi hukum bagi pelaku murtad dan anjuran bertaubat sebelum di hukum mati, menyangkut hukuman pokok dan tambahan, dan yang terakhir perbedaan


(22)

pendapat ulama mazhab fikih tentang kemurtadan dan syarat-syarat hukuman mati bagi pelaku murtad.

BAB IV KORELASI PEMIKIRAN KEBEBASAN BERAGAMA TERHADAP KEMURTADAN. Bab ini dimulai dari menjelaskan Konsep Kebebasan beragama Islam Liberal, Pandangan Kaum Islam Liberal Terhadap orang yang murtad dan yang terakhir membahas tentang Implikasi Pemikiran Kebebasan Beragama Terhadap Kemurtadan secara umum, bagaimana Negara-negara Islam merespon atas problematika kemurtadan. Dan penulis berupaya

menganalisis terhadap dua pemikiran Islam tentang Murtad.

BAB V PENUTUP, Bab ini merupakan sebuah Kesimpulan dari bab-bab sebelumnya atau konklusi dari penelitian tentang pemikiran Islam Liberal "kebebasan beragama" dan implikasinya terhadap konsep tindak pidana murtad secara umum dan bab terakhir ini pun berisi Saran-saran penulis, dengan apa yang telah penulis simpulkan.


(23)

BAB II

GAMBARAN UMUM ISLAM LIBERAL

A.

Pengertian

Istilah Islam Liberal secara eksplisit muncul dalam karya Greg Barton

yang dterbitkan oleh Paramadina pada tahun 1999, dan setelah itu muncul buku Charles Khuzman, yang diterbitkan oleh Paramadina pada tahun 2001, yang berjudul "Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, isu Islam Liberal kian marak, termasuk kontroversinya. Kontroversi yang keras dipuncaki dengan fatwa hukuman mati terhadap kaum Islam Liberal oleh beberapa ulama yang menganggap sesat terhadap ajaran dan pemikiran Islam Liberal dan setelah itu juga muncul buku-buku yang mendukung dan mengkritik

Islam Liberal9 Terdapat beberapa terminologi yang menjelaskan tentang Islam Liberal.

Charles Khurzman dalam pengantar editorialnya dalam buku "Liberal Islam: A Sourcebook" menjelaskan bahwa Islam Liberal merupakan sebuah penafsiran

9

Buku-buku yang mendukung diantaranya : buku yang disunting oleh Luthfi Asaukani dengan judul Wajah Islam Liberal di Indonesia, dan disertasi abd A'la, MA, dengan judul Dari Neo Moderenisme ke Islam Liberal, Jejak Fazlurahman dalam Wacana Islam Liberal. Sementara buku-buku yang mengkritik adalah : Buku Hartono Ahmad Jaiz yang berjudul Bahaya Islam Liberal dan juga buku Aliran dan Faham Sesat di Indonesia. Dan buku Adian Husaini yang berjudul: Penyesatan Opini dalam Islam Liberal : sejarah, konsepsi, penyimpangan. Dan jawabannya.


(24)

progresif terhadap teks Islam yang secara otentik berangkat dari kasanah tradisi awal Islam untuk berdialog agar dapat menikmati kemajuan moderenitas, seperti kemajuan ekonomi, demokrasi, hak-hak asasi manusia, dan lain lainya. Pandangan ini mempercayai bahwa Islam apabila secara otentik sejalan dengan

Liberalisme bahkan printis bagi Liberalisme barat.10 Berbeda dengan terminologi yang disebut diatas Leonard Binder memahami bahwa terminologi Islam Liberal berbeda dengan terminologi Islam Tradisionalis. Dalam penelitiannya, Islam Tradisional menjadikan bahasa Al-Qur'an sebagai basis pengetahuan yang absolut tentang dunia, sedangkan Islam Liberal memahami bahwa wahyu berkoordinasi dengan esensi dari wahyu, namun isi dari wahyu tidak bersifat harfiah verbal. Mengingat kata-kata dari Al-Qur'an tidak mencakup dari seluruh pemahman makna tentang wahyu Tuhan, sehingga perlu upaya untuk memahami apa yang disajikan dan menjadi dasar dalam bahasa Al-Qur'an, melampauinya, mencari apa yang direpersentasikan dan ditampakan oleh bahasa wahyu, tetapi tetap tidak bertentangan dengan semangat dasar Islam itu sendiri.11 Diskursus rasional yang radikal dalam Islam yang disebut dengan wacana

Islam Liberal berupaya untuk membawa pada level praksis penafsiran terhadap

10

Charlez Khurzman (ed), Wacana Islam Liberal : pemikiran Islam kontemorer tentang Isu-isu Global, Penerjemah, Bahrul Ulum, et, al,. (Jakarta:Paramadina, 2001), cet. 1, h. xxxii-xxxiii.

11 Leonard Binder,

Islam Liberal, Kritik Terhadap Ideologi Pembangunan, Penerjemah,

Imam Mutaqien: dari buku yang berjudul: Islam Liberalism: a Critique of Development Ideologies (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2001), cet. 1, h. 36.


(25)

Islam secara integral berhubungan dengan esensi wahyu, konteks historis, ruang dan waktu berdasarkan atas penafsiran yang bersifat liberalitatif dan rasionalistik untuk mencapai dialog bagi pencarian terhadap kebenaran Al-Qur'an.12

Lutfy Asyaukani mengatakan:

Bahwa Islam Liberal adalah perlawanan atau pemberontakan, dan atau Islam yang bebas dari otoritas masa silam dan bebas menafsirkan secara kritis atas otoritas tersebut.13

Menurut Ulil Abasr Abdalah beliau adalah salah satu pendiri Jaringan Islam Liberal di Indonesia. Ia mengatakan bahwa:

Dengan membubuhkan kata "Liberal" pada "Islam", sesungguhnya ia hendak menegaskan kembali dimensi kebebasan Islam yang jangkarnya adalah "niat"

atau dorongan-dorongan emotif-subyektif dalam manusia itu sendiri.14

Sebaiknya dan seharusnya kata "Liberal" dipahami dengan objektif dan

tidak ada sangkut pautnya dengan kebebasan tanpa batas, dengan sifat-sifat permisif yang melawan kecendrungan "intrinsik" (hakiki) dalam akal manusia itu sendiri. Dengan menekankan kembali kebebasan manusia, dan menempatkan manusia pada fokus penghayatan keagamaan, maka sesungguhnya itu semua telah

menghidupkan kembali integritas wahyu dan Islam itu sendiri. Mohammad Nasih berpendapat bahwa Islam Liberal merupakan suatu bentuk penafsiran baru terhadap agama Islam dan keterbukaan pintu ijtihad pada

12

Leonard Binder, Islam Liberal-kritik terhadap ideologi pembangnan , penerjemah Imam Mutaqien: dari buku: Islam Liberalism: a Critique of Development Ideologies (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2001), cet ke-1, h. 5-6.

13

http://www.islamlib.com, tentang Islam Liberal, 16 oktober 2007 14


(26)

semua bidang juga penekanan pada semangat penafsiran kontekstual, bukan pada makna literal teks, kebenaran yang relatif, terbuka, pluralistik, dan keberpihakan pada minoritas dan tertindas.15 Jadi Islam Liberal menurut Mohammad Nasih suatu bentuk ijtihad yang kaya akan ijtihad, penyelaman kembali pada bunyi teks Al-Quran dan hadis, yang pada kenyataannya Islam adalah agama bagi seluruh alam, agama penyelamat manusia. Bukan hanya diperuntukan untuk kaum Islam saja, tetapi untuk semua manusia didunia ini.

B.

Akar Islam Liberal

Islam liberal hadir diantara kaum revivalis dibawah komando Abdullah

bin Wahab, dan kaum Islam Tradisionalis pada abad ke 18, masa ini adalah masa yang subur bagi perdebatan Islam. Secara politis saat itu kerajaan Islam dilembah sungai Meditrania (Kerajaan Turki Usmani), Asia Barat-Daya (Dinasti Safawi), dan Asia Selatan (Dinasti Mongol), berada pada masa kerutuhan secara teragis, pada saat itu pula Islam mengalami kemenangan berkelanjutan diwilayah Afrika Barat, dan Asia Tenggara diwilayah Timur. Secara teologis, pengalihan pengetahuan ilmiah mengalami percepatan, dan melahirkan suatu komunikasi ulama internasional, baik yang belajar dipusat-pusat pengajaran di Arabia ataupun

yang dibawah bimbingan seseorang yang telah belajar disana.

15

Mohammad Nasih, Memahami Konsep Islam Liberal, http://www.islamlib.com, 16 Oktober 2007


(27)

Dari sinilah bibit Islam Liberal lahir melalui pintu seorang revivalis yaitu

Syeh Waliyullah yang pemikirannya cukup maju dibandingkan dengan tokoh revivalis lainnya, dia memberikan tanggapan yang lebih humanistik terhadap tradisi Islam adat. Beliau menunjukan dukungannya terhadap revivlaisme yang dikumandangkan kemudian oleh kaum Liberal belakangan sebagai "nenek

moyang" intelektual Islam Liberal. Perkembangan yang sama dialami oleh Islam Syi'ah, dimana Aqa Muhammad Baqir Bihbihani (Iran, 1790) memainkan peran yang sama seperti Waliyullah, Bihbihani juga menganut sikap yang terbuka yang kemudian dikenal dengan mazhab usul'i, ia menekankan pentingnya ijtihad, seperti juga Waliyullah, Bihbihani juga menggabungkan konsep taklid yang konservatif dengan konsep ijtihad yang liberal dengan cara membatasi praktik-praktik ijtihad hanya pada ulama yang berkemampuan untuk itu. Tetapi pandangan seperti ini akan berkembang menjadi pandangan bahwa setiap zaman harus mematuhi seorang

ulama saja (Marja'i Taklid).16

Akan tetapi, baru pada abad ke-19 Islam Liberal mulai membedakan

dirinya secara lebih jelas dari revivalisme, baik secara intelektual maupun institusional. Pada tataran intelektual Islam Liberal mulai memisahkan ijtihad dari taklid, akal dari otoritas. Taklid menjadi tema yang tidak populer bagi kaum Islam Liberal pada awal abad ke-20, dan pada abad inilah kaum Islam Liberal mencapai puncak kekuasaannya. Reformasi Liberal di mulai oleh printah raja-raja yang

16


(28)

berpandangan modern, seperti Raja Mahmet di Mesir, Mahmud II di kerajaan Utsmani, Ahmad Bey di Tunisia, dan reformasi berlanjut oleh perdana menteri diberbagai daerah seperti Perdana Menteri Amir Kabir di Persia, Mithat di Kerajaan Utsmani, dan Khairudin di Tunisia. Ia yang memperkenalkan reformasi dibidang pendidikan dan politik yang liberal, tetapi hanya bertahan beberapa tahun saja. Akan tetapi pada abad ke-20 Islam Liberal mencapai kesuksesan yang cukup signifikan. Di wilayah-wilayah yang terjajah, komunitas muslim kemudian direfersentasikan oleh organisasi liberal seperti Itifaq Almuslimin di Rusia, dan pendirian Ali garh di India, sedangkan ditanah-tanah yang merdeka kaum liberal memproleh kekuasaan Negara melalui revolusi konstitutional di Iran tahun 1906, dan kerajaan Utsmani tahun 1908. diantara pendukung utama gerakan revolusi konstitutional adalah Sayyid Muhammad Tabataba'I di Iran tahun 1843-1921, Sayid Abdullah Behbehani di Iran Tahun 1846-1910. dan para ulama yang turut dalam mobilitas revulusioner yang penting bagi pemerintahan parlementer.17 Di tempat lain kaum revivalis menuduh kaum Islam Liberal sebagai

golongan yang ingkar terhadap agama Islam (murtad), sebagaimana terlihat dalam ucapan pemimpin Islam Rusia yang menyebutkan

"Siapapun yang mempercayai Tuhan dan Muhammad mestilah ia musuh kelompok moderenis, syari'ah menuntut mereka dengan hukuman mati".

Tuduhan-tuduhan seperti itu memang tidak bisa dihindarkan, karena upaya-upaya kaum liberal yang belajar tentang dan dari orang Barat membuat

17

Janet Afary, The Iranian Constitutional Revolution, 1906-1911 (new york: Columbia University perss, 1996).cet. 1 h. 145


(29)

mereka dituduh tidak otentik dan mengkhianati tradisi kultural mereka sendiri. Menurut Fazlur Rahman:18

"kaum moderenis memunculkan kecurigaan bahkan menyangkut loyalitas mereka terhadap Islam, dan mereka dituding sebagai revleksi barat yang lemah dengan mengorbankan Islam dialtarnya.”

Memang ironis bahwa Islam Liberal dituduh sebagai sekularisme, karena

sekularisme bertanggung jawab seluruhnya atas penyusutan dunia Islam, dimulai pada tahun 1920, sejumlah besar kaum muslim terpelajar yang dulunya menganut Islam Liberal beralih pada ideologi-ideologi sekular, seperti Ideologi Nasionalisme dan Sosialisme. Pada saat inilah kelompok Islam liberal mulai menyusut meskipun banyak upaya yang telah dilakukan untuk mencegah keadaan

seperti ini. Namun sejak tahun 1970-an, Islam liberal memperoleh popularitas baru,

mungkin waktunya bertepatan dengan kaum revivalisme juga memperoleh banyak penganut. Maka kedua tradisi itu berbenturan dalam banyak kesempatan, biasanya dalam perdebatan intelektual yang berlangsung keras. Tetapi optimisme kaum Islam Liberal makin meningkat karena meningkatnya taraf pendidikan dalam dunia Islam, literatur telah memungkinkan umat Islam untuk membaca Al-Quran dan sumber-sumber lainya yang mendukung pemikiran liberal, dari pada harus tergantung pada ulama dan karena mazhab-mazhab telah kehilangan monopolinya terhadap dunia pendidikan dengan meningkatnya jumlah muslim

18

Charlez Khurzman (Ed), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tehadap Isu-isu Global. (Jakarta: Paramadina, 2001). Cet, 1 h.xxv-xxvi.


(30)

yang yang menerapkan pendidikan non-agama untuk meningkatkan pendekatan-pendekatan baru terhadap Islam. Dan penyebab optimisme Islam Liberal juga

adalah kemunculan infrastuktur organisasi bagi Islam Liberal.19 Hamid Basyaid salah seorang tokoh pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL)

di Indonesia menyebutkan:

“Bahwa, akar Islam Liberal dapat kita temukan pada diri Umar bin Khattab, kaum Mu'tazilah, bahkan Nabi Muhammad Saw pun merupakan sosok yang liberal.”

Karena banyak sekali contoh-contoh bagaimana Umar Bin Khattab berijtihad, bagaimana pemikiran liberalnya kaum Mu’tazilah. sebenarnya benih Islam Liberal terdapat pada Islam itu sendiri, bahwa Islam adalah agama yang liberal yaitu agama yang membebaskan kaumnya untuk memilih, bersikap, yang bebas, sebab semua akan dipertanggungjawabkan dihari akhir.20

C.

Bentuk-bentuk Islam Liberal

Islam Liberal berjalan dalam dua konteks intelektual, yaitu Islam dan

Barat. Banyak literatur akademis tentang Islam Liberal dengan mengambil pendekatan, pertama: seberapa liberalkah kaum Liberal Islam? apakah varian-varian Islam liberal sesuai dengan standar liberalisme Barat? Analisis Leonard Binder dalam bukunya Islamic Liberalism, menggunakan pendekatan ini secara luas dengan mempertimbangkan unsur-unsur para penulis Mesir terkemuka

19

www.islamlib.com, tentang sejarah Islam Liberal, 25 Oktober 2007. 20

Luthfi Asyaukani, (Ed). Wajah-wajah Islam Liberal di Indonesia, (Jakarat, Teater Utan Kayu, 2002), cet ke-1, h 162-164.


(31)

dalam menghadapi tradisi-tradisi barat, dan analisis ini sebaliknya menguji pemikiran Muslim Liberal dipandang dari sudut tradisi Islam. Dengan menggunakan pendekatan-pendekatan diatas sebagai konteks,

Islam Liberal dapat diidentifikasi pada tiga bentuk (modus) utama Islam Liberal, hal ini melibatkan liberalisme dan sumber-sumber utama Islam, Al-Qur'an dan Sunnah, yang secara bersamaan menetapkan hukum Islam (Syari'ah).

1. Bentuk pertama, menggunakan posisi atau sikap liberal sebagai sesuatu yang secara eksplisit didukung oleh Syari'ah, bentuk ini menyatakan bahwa Syari'ah itu bersifat liberal pada dirinya sendiri jika difahami secara tepat. Sebagai contoh adalah Piagam Madina, dimana Rasulullah menjamin hak-hak non-Muslim untuk hidup dibawah pemerintahan Muslim. 21

2. Menyatakan bahwa kaum Muslim bebas mengadopsi sikap liberal dalam hal-hal yang oleh Syari'ah dibiarkan terbuka untuk difahami oleh akal budi dan kecerdasan manusia, bentuk argumentasi Islam Liberal yang kedua ini berpandangan bahwa Syari'ah tidak memberi jawaban jelas terhadap satu persoalan seperti tidak adanya perintah dalam Al-Qur'an ataupun Sunnah untuk memberlakukan bentuk pemerintahan tertentu, hal ini mengisyaratkan bahwa Syari'ah memberikan peluang pada akal budi manusia dan kecerdasan pemikiranya untuk menentukan mana yang terbaik dan yang maslahat. Dalam hal ini, Al-Qur'an dan hadis memang tidak secara konkrit, menjelaskan

21

Charlez Khurzman (Ed), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tehadap Isu-isu Global. (Jakarta, Paramadina, 2001). Cet, 1 h.xxvii-xxviii.


(32)

tentang bentuk Negara. Tetapi, garis besarnya Al-Qur'an telah memaparkan tentang tata Negara ini. Karena semua persoalan yang ada didunia ini, jawabannya terdapat dalam sumber dasar Islam.

3. Memberikan kesan bahwa Syari'ah, yang bersifat Ilahiyah, di tujukan bagi berbagai penafsiran manusia yang sangat beragam. Bentuk Islam Liberal ini memandang bahwa Syari'ah ditengahi oleh penafsiran manusia yang memang rentan pada perpecahan dan menimbulkan konflik, namun, menurut kaum liberal banyak dasar hukum yang menyatakan tentang perbedaan pendapat seperti hadis Rasulullah Saw. "Perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan umatku yang terpelajar adalah rahmat". Oleh karena itu tafsirkanlah menurut kemungkinan cara yang terbaik".22

Tiga bentuk ini disebut juga, syari'ah Liberal, Syari'ah yang diam, dan

Syari'ah yang ditafsirkan.23 Dari ketiga bentuk liberal dalam Islam ini bentuk Syari’ah Islam yang ditafsirkan inilah yang rentan akan perpecahan, walaupun Rasulullah telah menyatakan bahwa perbedaan adalah rahmat tetapi disisi lain perbedaan pendapat juga akan menimbulkan perpecahan dalam umat Islam.

Sebab tidak semua umat Islam faham dan mengerti akan keIslamannya.

22

Mahmoud Ayoub, the Al-Qur'an and it's Interpreters, Volume 1 (Albany: State University Of New York Press, 1998), h. 23

23

Charlez Khurzman (ed), Wacana Islam Liberal : pemikiran Islam kontemorer tentang Isu-isu Global, Penerjemah, Bahrul Ulum, et, al,. (Jakarta:Paramadina, 2001), cet ke -1, h. xxxii-xxxiii


(33)

D.

Tema-tema Pemikiran Islam Liberal

1. Menentang Teokrasi

Kaum Muslim Liberal sangat keberatan dengan pemberlakuan Syari'at Islam, karena beberapa alasan, argumen traditional yang diplopori oleh Ali Abdul al-Raziq dengan menerapkan bentuk silent shari'a: wahyu ilahi menyerahkan bentuk pemerintahan pada konstruksi pemikiran manusia. Nabi Muhammad merupakan pimpinan pemerintahan, sekligus pemimpin agama, tetapi tidak membangun prinsip-prinsip tertentu bagi pemerintahan selanjutnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Khaldun Society: "karena Al-Qur'an lebih menekankan pada penciptaan masyarakat yang adil ketimbang ideologi Negara,

bentuk Negara yang dipilih bukanlah sesuatu yang diamanatkan". Menurut Islam Liberal bahwa, kaum Muslim seharusnya memandang Al-Qur'an sebagai sebuah bangunan moral yang besar ketimbang sebuah kitab hukum, dengan demikian Negara Muslim sesungguhnya Negara Sekular, dengan ketentuan bahwa istilah Negara sekular tidak difahami dengan pengertian yang negatif, karena demikian dapat melindungi agama dari manipulasi politik oleh kekuasaan negara.24 Keberatan lain dengan teokrasi tertuju pada pengaruh pada kekuatan

politik yang bersifat merusak bagi mereka yang memerintah atas nama Tuhan, seperti yang diungkapkan oleh Taleqani seorang pemimpin revolusi Iran mengatakan bahwa "larangan-larangan kepolisian yang dibebankan pada rakyat

24

Charlez Khurzman (ed), Wacana Islam Liberal : pemikiran Islam kontemorer tentang Isu-isu Global, Penerjemah, Bahrul Ulum, et, al,. (Jakarta:Paramadina, 2001), cet ke -1, h. xIiv


(34)

atas nama agama adalah suatu yang menakutkan". Sama halnya dengan pendapat matori Abdul Jalil seorang tokoh politik Islam Indonesia mengatakan bahwa

"kapanpun manusia bertindak sebagai wakil Tuhan, disitu tidak akan ada

demokrasi dan teokrasi akan merusaknya, sekelompok orang telah mengatakan

sudah mendapat legitimasi Tuhan untuk memerintah, maka mereka akan

menggunakan Tuhan sebagai alat untuk melawan kelompok lainnya, dan pada

dasarnya hal ini jauh dari kemaslahatan."25

Keberatan lain menegaskan bahwa tuntutan hukum Syari'ah mengalihkan

perhatian kaum Muslim dari isu-isu yang substantif, dan Keberatan terakhir kaum Islam Liberal terhadap keberlakuan Syari'at Islam adalah bahwa orang-orang yang ingin memberlakukan syari'at Islam pada dasarnya salah dalam memahami status Syari'ah. Karena menurut Islam Liberal keberlakuan Syari'at Islam selalu didukung oleh pemerintahan Teokrasi.26 2. Demokrasi

Tema kedua Demokrasi, secara luas diperdebatkan dalam model "liberal

sharia", dengan penekanan pada konsep musyawarah, yang dipakai untuk memberikan kesempatan atau menuntut pernyataan kehendak umum dalam masalah-masalah kenegaraan. Demokrasi tidak hanya dibatasi dengan

25

Pengantar ini ditulis, charles khurzman pada tahun 1998, dimana Matori Abdul Jalil masih menjadi pemimpin Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Pasca reformasi di Indonesia.

26

Artikel Muhammad Sa'id al-Ashmawi. Islam and the political order, disunting oleh George F. McLean, D.C:Council for Research in Values Philosophy, 1993, h 95-110. Diterbitkan pertama kali dengan judul Al-Islam as-I-siyasi (Politik Islam)di Mesir tahun 1997.


(35)

bentuk institusional khusus yang telah dipakai oleh Amerika Serikat atau ditempat lain. Pendekatan mengenai demokrasi adalah sebuah versi "silent shair'a" yang pragmatis, sebagaimana dicontohkan Muhammad Natsir di Indonesia, (1908-1993), dan Dimasancay A. Pundato (Pilipina, 1947). Semuanya mengutip Al-Qur'an, tetapi argumen utama mereka adalah pentingnya demokrasi dalam kondisi-kondisi nasional tertentu. Bagi Natsir prasyarat itu adalah pembentukan republik Indonesia karena melihat keberagaman daerah suku, budaya bekas jajahan Belanda itu. Pundato melihat koalisi-koalisi demokratis dan oarng-orang Kristen sebagai cara terbaik untuk mengawal hak-hak minoritas muslim di

kepulauan Philipina.27 Pendekatan terakhir Islam Liberal terhadap demokrasi adalah melibatkan

bentuk "interpreted shari'a", Zaky Ahmad misalnya mengidentifikasi empat macam tradisi pluralisme didalam Islam, pertama peraktik dari generasi Islam paling awal, perdebatan para cendikiawan selama beberapa abad tentang yurisprudensi Islam, ajaran-ajaran kebebasan dalam Syari'ah, dan seruan pragmatis untuk hidup berdamai dan berdampingan dengan non muslim dalam

masyarakat plural.28.

27

Charlez Khurzman (ed), Wacana Islam Liberal : pemikiran Islam kontemorer tentang Isu-isu Global, Penerjemah, Bahrul Ulum, et, al,. (Jakarta:Paramadina, 2001), cet ke -1, h. xIv

28

Charlez Khurzman (ed), Wacana Islam Liberal : pemikiran Islam kontemorer tentang Isu-isu Global, Penerjemah, Bahrul Ulum, et, al,. (Jakarta:Paramadina, 2001), cet ke -1, h. xIviii


(36)

3. Hak-hak Kaum Perempuan

Posisi Islam Liberal tentang hak-hak perempuan tidak seperti demokrasi,

jika hak-hak perempuan harus berhadapan dengan pernyataan Al-Qur'an dan sunnah yang kelihatanya menunjukan kotradiksi langsung. Seperti ayat-ayat tentang poligami hak unilateral kaum pria untuk bercerai, hak-hak kewarisan, dan otoritas kesaksian hukum pria lebih besar, hadits-hadits yang berbicara tentang jilbab, pemisahan gender, dan ketidak sesuaian kaum perempuan untuk menjadi pemimpin dalam sebuah komunitas Muslim. Para cendikiawan liberal menentang kebijakan Al-Qur'an dan Sunnah dengan berbagai cara. Pertama mereka memeriksa kembali pernyataan-pernyataan tersebut dan menyimpulkan bahwa pernyataan tersebut tidak mengurangi hak-hak perempuan sebagaimana anggapapan sebelumnya. Pendekatan ini mengaitkan eksploitasi kaum perempuan dalam Islam dengan adat istiadat sebelum dan sesudah pristiwa pewahyuan,

bukan dengan pesan Islam itu sendiri.29 Pendekatan ini terkadang dikombinasi dengan argumen lain yang menyatakan bahwa pernyataan-pernyataan yang anti perempuan merujuk pada Arabia abad ke-7 dan tidak cocok diterapkan pada waktu dan tempat yang lain. Nazira Zein-en-Din (Libanon, lahir 1905), dalam artikelnya dia mengungkapkan bahwa Al-Qur'an memperbolehkan kelangsungan kebiasaan-kebiasaan Arab pra-Islam, seperti poligami dan perbudakan itu hanya untuk mempermudah transisi

29


(37)

masyarakat Arab kedalam Islam, dan bahwa Nabi Muhammad saw wafat sebelum ia memberantas kebiasaan-kebiasaan ini secara tuntas.30 Sebuah pendekatan yang lebih lanjut, versi silen shari'a, menerima

pernyataan pernyataan anti perempuan, tetapi berpendapat bahwa pernyataan tersebut tidak melarang kaum perempuan untuk mengorganisir perlindungan terhadap hak-hak mereka. Sebagai contoh kaum Feminis di republik Islam Iran telah berhasil mewujudkan legislasi yang menghendaki setiap pasangan untuk menyetujui sebuah kesepakatan pra-perkawinn yang menjamin kesamaan hak-hak perceraian kaum wanita yang sama dengan kaum pria. Asghar Ali Engineer mengkritik para pemimpin Islam yang berpegang pada unsur-unsur Syari'ah yang tidak liberal demi keberlangsungan komunal karena Islam memperbolehkan

ijtihad (penafsiran kreatif).31 Pendekatan terakhir Islam Liberal adalah pernyataan-pernyataan tentang

perempuan dalam Syari'ah selalu menimbulkan penafsiran ganda dari pada menggantikan penafsiran yang tidak benar dengan penafsiran yang lebih dapat dipercaya, pendekatan ini lebih menekankan asumsi bahwa semua penafsiaran bersifat manusiawi dan memiliki kemungkinan untuk salah.32

30

Artikel Nazira Zein-en-Din. Univeiling and Veiling: On the Liberation of the Women and social Renewal in the Islamic World, diterjemahkan oleh Ali Badran dan Margot Badran, dalam opening the Gates: Acentury of Arab Feminist Writing, disunting oleh Margot Badran dan Miriam cooke (London Virago Press; Bloomington : Indiana University Press, 1990), h. 272-276

31

Asghar Ali Engineer, The Right of Women in Islam (New York: St. Martin's Press, 1992) h.170

32

Charlez Khurzman (ed), Wacana Islam Liberal : pemikiran Islam kontemorer tentang Isu-isu Global, Penerjemah, Bahrul Ulum, et, al,. (Jakarta:Paramadina, 2001), cet ke -1, h xIix


(38)

4. Hak-hak Non Muslim

Isu tentang hubungan antar agama muncul ditahun pertama Islam dalam

konteks penaklukan Muslim terhadap Non-Muslim, Syari'ah menjamin hak-hak non-Muslim, terutama Ahlul Kitab untuk tetap menjalankan agama mereka, sepanjang mereka memberikan kesetiaan dan membayar pajak pada pimpinan Muslim yang berkuasa. Hal ini merupakan semangat perlakuan yang humanis terhadap non-Muslim diwilayah Muslim untuk dunia kontemporer. Muhammad Talbi (Tunisia, lahir 1921), menggunakan pendekatan teoritis

terhadap masalah hubungan antar agama, dan mengemukakan pendapatnya menurut tiga model Islam Liberal, : Talbi mengutip ajaran-ajaran positif mengenai perlakuan yang baik terhadap Non-Muslim. Dia berpendapat bahwa ajaran tentang toleransi yang memungkinkan pembentukan dialog antar komunikasi, tanpa memperhatikan contoh-contoh masa lalu. Dan dia sangat menentang unsur-unsur Syari'ah yang tidak toleran, khususnya mengenai hukuman mati terhadap orang yang murtad, sebagai sesuatu yang dapat menimbulkan keragu-raguan. Sebagaimana Pundato dan yang lainnya Talbi pun menerjemahkan pandangan-pandangannya terhadap aksi politik, yang bergabung dengan kaum liberal agama lain dalam dialog umum dan menyerukan untuk

mengurangi ketegangan antar agama.33

33

Mumammad Talbi, Religius liberty: A Muslim Perspective, liberty and

Conscience.Aldershot, Inggris :Comunitteefor the Defense of religious liberty, musim semi 1989, Volume. 1, h. 12


(39)

5. Kebebasan Berfikir

Tema ini mencakup semua topik mengenai ketidak sepakatan intelektual,

yang merupakan inti persoalan Islam Liberal. Kebebasan berfikir tentu saja, secara logis merupakan pangkal dari prinsip-prinsip Liberal lainnya, sebab kaum liberal harus mempertahankan kebebasan berfikir agar dapat memberikan dasar pembenaran terhadap pengungkapan pemikiran-pemikiran yang lain. Pembicaraan tentang kebebasan berfikir berarti membicarakan ijtihad. Maka siapa yang boleh berbicara dan apa yang boleh dibicarakan? Pertanyaan siapa yang boleh bicara merupakan orang yang sah melakukan ijtihad ini merupakan hal yang sangat penting bagi kaum liberal yang tidak mengecap pendidikan agama yang ortodoks. Misalnya seorang ahli kimia pun bisa menafsirkan Al-Quran dengan metode ilmiah. Para kaum liberal mengklaim bahwa Islam adalah agama yang rasional, sebuah klaim yang membuktikan bahwa Islam itu terbuka terhadap ide-ide, kreativitas dan kemajuan baru. Ini merupakan hasil dari tekanan kebutuhan untuk meyakinkan kebudayan manusia modern, yang meragukan kemampuan Islam sebagai pembingbing kehidupan modern, karena itu, mereka menulis karya-karya yang menempatkan rasionalitas pada posisi penting dalam

pembahasan-pembahasan teologis.34 Pendekatan liberal syari'a tentang kebebasan berfikir menyatakan bahwa

Tuhan mencipatakan manusia untuk menjadi pemikir, dan bahwa syari'ah 34

Thoha Hamim, Paham Keagmaan Kaum Reformis, penyunting Imron Rosyidi, (Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya 2000), Cet. 1, h. 19


(40)

mendorong kaum Muslim untuk melakukan refleksi dan penyelidikan. Kata "kebebasan" ini merupaka kata yang dipilih Tuhan bagi orang-orang yang diberkahi di surga.35 Pendekatan silent shari'a, berdasakan alasan-alasan pragmatis memperlihatkan bahwa kebebasan-kebebasan berfikir berguna bagi kemajuan intelektual dunia Muslim karena ajaran-ajaran yang bersifat umum yang berkaitan dengan wujud komunikasi Mukmin yang baik. Bentuk ini berargumen bahwa berfikir adalah sumber dari kemajuan dalam hal apapun dan Syari'ah tidak pernah

melarang atau membatasi pemikiran seseorang. Jika dilihat dari Model interpreted shari'a, dengan pemikiran bahwa penafsiran keagamaan boleh jadi merupakan produk dari kondisi-kondisi historis tertentu, menurut Husain Ahmad Amin (mesir, lahir 1932), para ulama hukum Muslim pada abad-abad permulaan Islam telah melangkah begitu jauh untuk menemukan hadits-hadits yang memperkuat pendapat mereka dan dapat mengatasi perkembngan-perkembangan saat itu, dan kemudian

menghubungkannya dengan Rasulallah.36

6. Gagasan Tentang Kemajuan

Memaksakan penyeragaman penafsiran secara absolut adalah tidak mungkin dan tidak diperlukan, perbedaan pendapat yang keberadaannya sangatlah

35

Dikutip dari http://www.islamlib.com tentang Islam Liberal, 07 Desember 2007 36


(41)

berarti, maka harus diberi nilai positif yang tinggi, tidak seperti pemikiran tradisional yang lebih terikat pada penafsiran-penafsiran masa lalu ketimbang menghadapi tantangan perubahan. Islam Liberal cenderung mengembangkan penafsiran baru atas sumber-sumber asli, saat mempelajari penafsiran masa lalu, baik untuk mengambil wawasan maupun untuk memahaminya sebagai produk dari konteks historisnya sendiri. Islam Liberal begitu menyadari kesulitan-kesulitan yang menyertai proses pembaharuan pemikiran Islam dan kegagalan kaum reformis pertama. Islam Liberal mengusulkan agar reformasi itu dilakukan fokus pada Institusi-institusi pendidikan, ini merupakan pekerjaan besar yang

membutuhkan ide-ide dan reformis yang kritis.37

E.

Peta Pemikiran Islam Liberal

Pemahaman yang hanya menyandarkan pada teks-teks dengan ketentuan

normatif agama dan pada bentuk-bentuk formalisme sejarah Islam paling awal jelas sangat kurang memadai, dan dikalangan sebagian besar umat Islam, pola semacam inilah yang berkembang dengan sangat subur. Jika ini terus-menerus dipertahankan, Islam akan membayarnya dengan harga yang sangat mahal, karena dengan pola pikir seperti ini, Islam akan menjadi agama yang ahistoris dan

eksklusif. Inilah yang menjadi keprihatinan Islam liberal.38

37

Dikutip dari, www islamlib.com, tentang Islam Liberal, 07 Desember 2007 38


(42)

Islam dalam perkembangan dan perjalanan sejarahnya yang sudah sedemikian lama menyejarah, seringkali Islam hadir dengan adjektif, tanpa kata sifat, dan karena itu tidak ada Islam saja. Sebab pada kenyataannya Islam mengalami penafsiran yang dinamis dan berbeda-beda sesuai dengan konteks sosio-historis yang melingkupinya dan siapa yang menjadi penafsirnya. Karena itu, kemudian muncul Islam dengan seabrek nama dibelakangnya seperti Islam modern, neo-modern, post-modern, tradisional, post-tradisional, konservatif, lunak, garis keras, Islam kiri, kanan, tengah, atau bahkan nanti - bukan tidak

mungkin - akan muncul lagi Islam kiri luar atau Islam kanan luar.39 Dengan demikian, tak perlu heran kalau yang menempel menjadi adjektif

sangat beragam dan aneh-aneh atau bahkan bisa jadi terasa kontradiktif. Dalam Islam sejarah yang lebih awal saja sudah muncul sekte-sekte yang cukup banyak. Ada Khawarij, Syari'ah, Murji'ah, Mu'tazilah dan lain sebagainya. Paham tentang kebebasan sekte-sekte tersebut secara diametral dapat

ditarik ke dalam dua kutub Jabariyah (fatalisme) dan Qadariyah (kebebasan). Karena itu, tidak salah kalau untuk memahami Islam, seseorang atau sebuah komunitas mengambil adjektif tertentu. Dalam konteks seperti ini ada beberapa aktivis Islam yang menghendaki adanya pembaharuan dengan cara mengibarkan bendera dengan adjektif liberal dibelakang Islam untuk menegaskan identitas

guna membungkus misi yang diembannya.40 39

Muhammad Nasih, Aktivis Jaringan Islam Liberal, wawancara pribadi, 09 Januari 2008 40


(43)

Misi Islam liberal, menurut Charles Kurzman, bertitik tolak pada suatu

rasionalitas untuk selalu menjaga kesinambungan Ssyariah Islam dengan tuntutan sejarah. Dengan kerangka seperti ini, perkembangan diseminasi pemikiran Islam yang diproduksi oleh Islam liberal sebenarnya tak perlu dianggap aneh, apalagi dicurigai. Sebab meskipun dalam Islam melekat watak universalitas, tetapi pada dataran praktisnya, Islam tetap memerlukan sebuah kerangka pandang, epistem, yang selaras dan senafas dengan semangat zaman.41

41

Charlez Khurzman (ed), Wacana Islam Liberal : pemikiran Islam kontemorer tentang Isu-isu Global, Penerjemah, Bahrul Ulum, et, al,. (Jakarta:Paramadina, 2001), cet ke -1, h. xIix


(44)

BAB III

MURTAD MENURUT HUKUM ISLAM

A.

Dasar Hukum dan Pengertian Murtad

(al-Riddah)

Dasar hukum yang menjadikan murtad sebagai tindak pidana adalah ayat

Al-Qur'an yang dengan tegas menyebutkan bahwa, orang yang keluar dari agama Islam (murtad), adalah orang kafir, dan terhapuslah seluruh amal ibadahnya, dan mereka kekal didalam Neraka. Sebagaimana surat Al-Baqarah ayat 217,

menyebutkan:

) .

ةﺮ ا

:

(

Artinya: barangsiapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya didunia

dan diakhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.(QS. Al-Baqarah: 217). Bukan hanya itu, Al-Qur'an juga mendefinisikan Murtad dengan kembali

kepada kekafiran setelah orang tersebut beriman, dan orang tersebut akan mendapatkan azab dan kemurkaan dari Allah Swt. Seperti yang telah disebut


(45)

.

)

ا

(

Artinya: Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (Dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir

padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (Dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.(Q.S.

Al-Nahl: 106)

)

ﺎ ا

ةﺪ

:

(

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang

murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah Lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang


(46)

dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.(QS. Al-Maa'idah: 54) Dari ayat-ayat Al-Qur'an diatas, disebut dengan jelas bahwa Al-Qur'an

menjelaskan tentang murtad yaitu orang yang berpindah agama atau orang yang kafir setelah mereka beriman. Walaupun Al-Qur'an tidak menjelaskan dengan tegas hukuman bagi orang yang murtad, tetapi Al-Qur'an menyebutkan bahwa orang yang keluar dari agama Islam adalah orang yang kafir, yaitu orang yang akan membahayakan Islam dan menjadi musuh Islam secara jelas. Bukan hanya Al-Qur'an yang mendasari murtad sebagai tindak pidana,

tetapi Hadis Rasulullah dengan tegas menyebutkan bahwa murtad termasuk tindak pidana dan hukumannya adalah hukuman mati, seperti hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, sebagai berikut:

ا

سﺎ

لﺎ

لﻮ ر

ﷲا

ﷲا

و

:

لﺪ

د

ﻮ ﺎ

.

)

اور

ىرﺎ ا

(

42

Artinya: Dari Ibnu Abbas Rasullah Saw bersabda: Barang siapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah ia. (HR. Muslim).

Dan hadis yang berbunyi:

ﺎ ﺪ

ﺪ ا

و

ﻰ ا

)

ﻆ او

(

لﺎ

:

ﺎ ﺪ

ﺮ ا

يﺪﻬ

,

نﺎ

,

ا

,

ﷲا

ةﺮ

,

قوﺮ

,

ﷲاﺪ

,

لﺎ

:

مﺎ

لﻮ ر

ﷲا

ص

.

م

.

لﺎ

)) :

يﺬ او

ا

!

ﷲا

لﻮ ر

او

ﷲا ا

ا

نا

ﺪﻬ

ر

مد

,

ا

42

Muhammad Ibn Ismail Al-Khalani, Subulus Salam, (Mesir: Mustafa al-Babi, Al-Halabi Awladuhu, 1950), h. 265


(47)

:

م

ا

كرﺎ ا

,

ﺔ ﺎ ا

وا

ﺔ ﺎ

قرﺎ ا

,

اﺰ ا

ا

و

او

.((

ّ

)

اور

(

Artinya : Telah berbicara pada kami Ahmad Bin Hanbal, dan Muhammad Bin Mutsanna, telah berbicara: Abdurrahman Bin Mahdy, dari Sufyan,

dari A'mas, dari Abdullah Bin Murrah, dari Masruk, dari Abdullah, telah berbicara: telah berdiri Rasulullah Saw dan bersabda: Demi Allah tiada Tuhan selain Allah, Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Aku (Muhammad) utusan Allah, kecuali tiga golongan: orang yang meninggalkan Islam yang memecah belah masyarakat, zinnah

muhsan, dan orang yang membunuh orang lain.(H.R. Muslim)43

Bukan hanya itu, tetapi ada Hadis Nabi dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa ada seorang yang buta, ibu kandungnya seorang hamba sahaya, dia menghina Rasulullah, sudah diperingatkan tetapi tetap saja orang tersebut melakukannya, dan pada suatu malam anaknya yang buta tersebut mengambil benda tanjam yang ditaruh diperut ibunya dan anaknya yang buta tersebut membunuh ibunya, pada waktu itu Rasul menyaksikan, lalu Rasul berkata: lihatlah wanita itu halal darahnya. Hadis lain yang yang menjelaskan tentang orang yang murtad adalah hadis

yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nas'I yang menyebutkan bahwa "tidak halal darah orang muslim kecuali tiga: orang yang berzinah Muhsan, orang yang

membunuh dan laki-laki yang keluar dari Islam dan memerangi Allah dan

43

Imam Abi Husen Muslim Bin Hajaji, Sahih Muslim, (Libanon. Bairut,: Daar Ihya Al-Thurasi Al-Arabi), h. 751


(48)

Rasulnya maka dibunh ia atau disalib ia atau dibuang dari tanah airnya (HR. Abu Dawud dan Nasa'i).44 Sahabat Abu Bakar mendefinisikan orang yang murtad bukan hanya orang

yang meninggalkan agama Islam, tetapi orang yang tidak mengerjakan apa-apa yang telah diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya pun oleh Abu Bakar dianggap murtad, terbukti ketika Abu Bakar memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat, pada waktu ia menjadi khalifah pertama setelah Nabi wafat. Maka

pembahasan murtad terus berkembang melalui para ulama-ulama ahli fiqih. Menurut para ulama, secara etimologis, kata Murtad merupakan isim fa'il

dari kata sebagai berikut:

ﺪ را

ﺪ ﺮ

ﺪ ﺮ

yang berarti mundur, kembali ke belakang, menurut sayyid sabiq pengertian

riddah secara etimologis adalah

ةدﺮ ا

ﻮه

عﻮ ﺮ ا

ﺮﻄ ا

ا

ي

ءﺎ

45

Artinya : Riddah (Murtad) adalah kembali atau mundur dari jalan dimana dia datang.

Dan Wahbah al-Zuhaili juga mendefinisikan Murtad secara etimologis sebagai berikut:

46

ا

ﻰ ا

ا

ﻮه

ةدﺮ ا

عﻮ ﺮ ا

44

Ahmad Hasan, Bulughul Maram (terjemahan), (Bandung: CV. Diponegoro1967), jilid. II, h. 164

45


(49)

Artinya : Riddah adalah kembali dari sesuatu kepada yang lainya.

Sementara secara terminologi, para ulama sebagai berikut:

عﻮﺟﺮ ا

ﻦ د

م

ا

ﻰ ا

ﺮ ﻜ ا

ءاﻮ

ﺔ ﺎ

وا

ﺮ ﻜ ا

وا

لﻮ ﺎ

Artinya : keluar dari agama Islam menjadi kafir , baik dengan niat, atau dengan perbuatan yang menunjukan kekafiran atau dengan ucapan.47

عﻮ ر

ا

ﺎ ا

ﺎ ا

م

ا

ﻰ ا

ا

ﺮ ﻜ

رﺎ ﺎ

نود

اﺮآا

ﺪ ا

48

Artinya : keluarnya seorang Muslim yang telah dewasa dan berakal sehat dari agama Islam pada kekafiran, dengan kehendak sendiri tanpa paksaan

dari siapapun.

Dengan demikian, yang dimaksud dengan Murtad adalah keluarnya

seorang muslim dari agama yang dianutnya (agama Islam) kepada kekafiran dengan menyatakan atau melakukan sesuatu yang menyebabkan orang tersebut kafir, misalnya mengingkari adanya Tuhan, mendustakan Rasulallah, menghalalkan yang jelas-jelas haram, menyembah pada berhala, atau juga

melemparkan kitab suci Al-Qur'an pada kotoran dengan maksud penghinaan.49 Dari definisi diatas dapat di tarik benang merah, bahwa tidak

semena-mena orang dapat dikatakan murtad tetapi ada syarat tertentu yang dapat menyebabkan kemurtadan, yaitu sebagai berikut :

46

Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adilatuh, (Bairut: Darul Al-Fikri, 1977), juz. VII, h. 183

47

Muhammad Ibn Ismail Al-Khalani, Subulus Salam, (Mesir: Mustafa al-Babi, Al-Halabi Awladuhu, 1950), h. 261

48

Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunnah, (Bairut: Darul Al-Fikri, 1977), h. 451 49

Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adilatuh, (Bairut: Darul Al-Fikri, 1977), juz. VII, h. 183


(50)

1. Orang yang berakal, karena tidak sah murtadnya orang gila.

2. Mencapai usia baligh (dewasa), sebab anak dibawah umur belum ada pertanggung jawaban hukum, dan juga tidak sah murtadnya anak kecil yang telah mencapai usia mumayyiz menurut ulama Syafi'iyyah, sementara jumhur ulama berpendapat sebaliknya.

3. Dilakukan atas kehendak sendiri, sebab tidak sah murtad seseorang karena paksaan, dengan catatan hati orang tersebut bersiteguh dalam keimanan. Dalam hal ini seorang sahabat Nabi yang bernama Ammar Ibn Yasir pernah dipaksa mengucapkan kata-kata kekufuran, sehingga dia terpaksa mengucapkannya, maka sesudah kejadian tersebut turunlah ayat 106, surat al-Nahl :

.

)

ا

(

Artinya: Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (Dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir

padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (Dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.(Q.S. Al-Nahl: 106)


(51)

Seorang muslim tidak dianggap keluar dari agama Islam kecuali apabila

yang bersangkutan menyatakan atau melakukan sesuatu yang menyebabkan dia kufur serta diyakini dalam hatinya, atau dengan terang-terangan dia berpindah agama pada agama lain.50 Adapun pernyataan atau perbuatan yang menyebabkan kekufuran seorang

muslim antara lain:51 1. Mengingkari keesaan Allah Swt, mengingkari adanya malaikat atau kenabian

Muhammad Saw, mengingkari hari kiamat, mengingkari wajibnya shalat, zakat puasa, dan haji.

2. Menghalalkan yang haram, seperti menghalalkan minuman khamar

(minuman keras), zina, riba, dan menghalalkan makan daging babi dan anjing.

3. Mengharamkan yang halal, seperti mengharamkan makanan yang sudah jelas kehalalannya.

4. Mencaci dan menghina Nabi Muhammad Saw, atau para Nabi sebelumnya. 5. Menghina atau melecehkan kitab suci Al-Qur'an dan Sunnah Nabi.

6. Mengaku bahwa dirinya telah menerima wahyu. 7. dan Berpindah agama kepada agama lain.

Orang-orang yang terbukti melakukan hal-hal tersebut dengan

syarat-syarat tertentu diatas tadi, maka orang tersebut telah termasuk melakukan 50

Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adilatuh, (Bairut: Darul Al-Fikri, 1977), juz. VII, h. 183

51


(52)

kemurtadan. Tentu saja, hal ini melalui proses pembuktian apakah orang tersebut terbukti ataupun tidak melakukan tindak pidana murtad, karena dalam hukum

Islam menganut asas praduga tidak bersalah.52

B.

Konsep Kebebasan dalam Islam

Sejak pertama, Islam menghargai kebebasan berakidah, dan Rasul tidak

berdakwah kepada kaum kafir Makkah dengan kekerasan, tetapi Beliau berdakwah dengan didasarkan pada hujjah (argumentasi yang jelas), bersifat memuaskan akal dan fitrah kemanusiaan, dan melalui nasihat kebaikan dan petunjuk kebenaran, bukan dengan peperangan. Seandainya Islam memaklumkan kekerasan tidak mungkin mayoritas kaum paganis di India hidup berdampingan dengan Muslim selama hampir delapan abad, juga tidak mungkin minoritas Kristen dapat hidup di Negara-negara Islam sampai saat ini. Hal ni menunjukan

bahwa Islam sangat menghargai perbedaan.53 Islam adalah agama yang jauh dari sikap fanatik dan memaksakan umat

agama lain untuk menjadi seorang Muslim, (sebagaimana yang telah dituntun oleh Al-Qur'an) yang menegaskan bahwa tidak ada paksaan untuk memeluk agama. Dan apabila melihat Negara-negara muslim mulai dari Arab Saudi, Iran, Turki, dan Negara-negara muslim lainnya yang telah menganut Islam selama 14 abad, disana tetap ada masyarakat Non-Muslim, disana ada penganut Budha,

52

Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam.(Jakarta, Bulan bintang 2005) cet. 6, h.202 53

Abdul Halim Uways, Fiqih statis Dinamis, (Jakarta, Pustaka Hidayah, 1998), cet, 1. h. 30


(53)

Hindu, Keristen, bahkan Yahudi yang telah hidup di Negara Islam tersebut berabad-abad. Ini membuktikan bahwa Islam tidak pernah memaksakan manusia untuk menganut agama Islam. Dengan demikian siapapun yang mengatakan bahwa orang yang tidak memeluk agama Islam halal darahnya, itu bukan datang dari Islam karena Rasulullah pun hidup berdampingan dengan agama lain di

Makkah dan di Madinah. Kita dapat menemukan ketentuan-ketentuan dalam Al-Qur'an mengenai

hal ini, dalam surat Al- Baqarah ayat 256 :

Artinya : Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Karna itu

barang siapa yang ingkar kepada Thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS, 2:256)

Bukan hanya itu Allah menjelaskan dalam Al-Qur'an, ada ayat lain yang

menunjukan bahwa Islam tidak pernah memaksa satu orang untuk memeluk agama Islam seperti yang tertulis dalam Al-Qur'an :


(54)

Artinya : "Dan tidak ada seorangpun yang beriman kecuali dengan iziin Allah, dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak

menggunakan akalnya" (Q.S. 10: 100)

Ayat ini dengan tegas mengatakan bahwa seandainya Allah hendak menjadikan manusia seluruhnya muslim, Allah pasti dan yakin bisa, tapi Allah tidak berkehendak, artinya Allah tidak ingin menjadikan manusia seluruhnya Iman kepada Allah, sebab kalaupun manusia di bumi ini menjadi muslim mereka tetap akan berkelahi dan berbeda pendapat. Karena itu, Allah menciptakan manusia dengan berbeda-beda, bersuku-suku, berbangsa-bangsa, berbagai macam

bahasa, ras, ini bertujuan untuk saling mengenal satu sama lain.54 Dengan memberikan jaminan terhadap kebebasan dalam keyakinan kepada semua manusia, ini berarti Syari'ah telah menunjukan tingkat tertinggi dari kesempurnaannya. Syari'ah Islam memberi kebebasan kepada Non-Muslim untuk menjalankan ritual agamanya dan mengekspresikan keyakinannya, menjaga

tempat beribadah dan sarana untuk belajar agama non-Muslim tersebut. Tetapi, tidak lantas kebebasan diartikan tanpa ada batasan, Islam tentunya,

memberikan batasan yaitu bagi umat Islam sendiri tidak boleh keluar dari agama Islam, jika umat Islam keluar dari agama Islam dan memeluk agama lain, maka harus dikenakan hukuman mati, karena oarng tersebut telah dianggap murtad dan

54

Ayang Utriza, Kebebasan Beragama Dalam Islam dan Praktiknya di Negara-negara Islam, (mimbar agama dan budaya, vol 2) No 4 h. 2 th 2005


(55)

menjadi musuh Islam, dan pula akan membahayakan Islam sendiri ketika orang tersebut berbelot pada musuh Islam sebab ditakutkan akan membocorkan rahasia Islam. Hal inilah yang menyebabkan orang yang keluar dari ajaran Islam harus di hukum mati. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah Saw.55

لﺪ

د

ﺘ ﺎ

اور

ىرﺎﺨ ا

Artinya : Barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah ia. (HR. Bukhari).

C.

Sanksi Hukuman Pelaku Murtad

(Riddah,)

Menurut Para Ulama

Mazhab

Fiqih.

Ada dua sanksi pidana yang ditimpakan pada orang yang melakukan kemurtadan, yaitu sebagai berikut: 56

a.

Hukuman Pokok.

Syari'at Islam menghukum perbuatan murtad, karena perbuatan tersebut

ditujukan terhadap agama Islam yang sekaligus sebagai sistem sosial bagi masyarakat Islam. Maka ketidak tegasan menghukum jarimah murtad tersebut akan berakibat pada goncangnya tatanan sistem sosial masyarakat Islam dan oleh karena itu pelakunya harus ditumpas sama sekali, artinya pelaku harus dihukum mati untuk melindungi masyarakat umum dan sistem kehidupan secara Islami,

55

Djazuli, Fiqih Jinayah, Upaya Menamggulangi Kejahatan Dalam Islam,( Jakarta, Raja Grafindo Persada), cet 1. h. 114

56

.Hasanuddin, Pidana Islam Di Indonesia. Peluang, Prospek dan Tantangan. (Jakarta, Pustaka Pirdaus, 2001)cet 1, h, 66


(56)

dan akan menjadi alat pencegahan umum, sudah barang tentu hanya hukuman mati saja yang mencapai tujuan tersebut.57 Para ulama sepakat bahwa pelaku murtad wajib dikenakan hukuman mati

sesuai dengan hadits Nabi Muhammad Saw,

لﺪ

د

ﺘ ﺎ

)

اور

ىرﺎﺨ ا

(

Artinya : Barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah ia. (HR. Bukhari).

Bukan hanya itu tetapi ada riwayat lain yang menyatakan hukuman bagi

pelaku murtad adalah di hukum mati seperti apa yang telah dipaparkan oleh sahabat Nabi yaitu Mu'adz bin Jabal yang menceritakan tentang adanya seorang laki-laki yang masuk agama Islam kemudian dia kembai pada agama Yahudi, (lalu Mu'adz berkata) aku tidak akan duduk sampai orang tersebut di hukum mati, itulah ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Lalu orang tersebut diperintah di hukum mati.58 Ada juga hadis yang menjadi salah satu dasar hukum bagi pelaku murtad,

yaitu sebagai berikut:

لﺎ

و

ﷲا

ﻰ ﺻ

ﷲا

لﻮ ر

نا

ﷲا

ﺿر

دﻮ

ﻰ ا

:

ماد

ا

ا

نا

ﺪﻬ

ﷲا

لﻮ ر

ناو

ﷲا

,

ا

ث

اﺪ

:

ا

كرﺎ او

او

اﺰ ا

) .

اور

(

Artinya : Dari Abi Masud, sesungguhnya Rasulullah bersabda, tidak halal darah seorang muslim yang mengucapkan shadah tiada Tuhan selain Allah

57

Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam.(Jakarta, Bulan bintang 2005) cet. 6, h.207 58

Hasanuddin. Pidana Islam Di Indonesia. Peluang, Prospek dan Tantangan. (Jakarta, Pustaka Pirdaus, 2001)cet 1, h, 66


(57)

dan Nabi Muhammad Saw adalah utusan Allah, kecuali dengan salah satu yang tiga: orang yang melakukan zinah muhsan, orang yang membunuh dan orang yang meninggalkan agamanya.(HR. Muslim).

Sementara itu, ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukuman

apabila pelaku murtad itu seorang wanita, Abu Hanifah berpendapat tidak dikenakan hukuman mati apabila pelaku murtad tersebut adalah wanita. Dia hanya wajib dikurung dan wajib bertaubat sampai dia kembali Iman. karena Abu Hanifah memakai dasar Hadits Nabi yang menyatakan larangan membunuh wanita tatkala Rasul melihat wanita terbunuh, lalu Nabi berkata : kenapa wanita ini harus dibunuh?. Disamping itu juga Abu Hanifah beralasan bahwa diwajibkannya hukuman mati itu terhadap pelaku murtad bukan disebabkan kekufuran, melainkan menghindari kejahatan atau perlawanannya terhadap kaum

muslimin.59 Tetapi Jumhur ulama berpendapat bahwa pelaku murtad yang notabennya

kaum wanita itu tetap di hukum mati, alasannya dampak madharat riddah kaum wanita sama dampak madaratnya riddah kaum laki-laki Dalam pada itu, ulama Syafi'iyyah berpendapat bahwa seorang yang

beragama Yahudi yang keluar dari agamanya dan memeluk agama Nasrani contohnya itu pun dikatakan Murtad berbeda dengan pendapat Abu Hanifah yang

59

Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adilatuh, (Bairut: Darul Al-Fikri, 1977), juz V., h. 187


(58)

menyebutkan bahwa yang dikategorikan murtad disini adalah orang yang keluar dari agama Islam saja. 60

b.

Hukuman Tambahan

Adapun sanksi tambahan terhadap pelaku murtad adalah hilangnya

kepemilikan terhadap hartanya.61 Para ulama telah bersepakat bahwa apabila pelaku murtad kembali memeluk agama Islam, setatus kepemilikan hartanya seperti semula ketika dia muslim. Demikian pula, para ulama juga sepakat bahwa apabila pelaku murtad meninggal dunia, atau telah di hukum mati, atau bergabung pada pihak musuh Islam, maka hilanglah hak kepemilikan hartanya. Namun demikian, para ulama berbeda pendapat apakah hilangnya kepemilikan harta tersebut terhitung sejak yang bersangkutan murtad atau setelah orang tersebut di hukum mati. Abu Hanifah, Malik dan Syafi'i berpendapat bahwa hilangnya kepemilikan harta tersebut terhitung sejak, pelaku berbuat murtad. Oleh karena itu ketika ia dinyatakan murtad maka hartanya harus disita, Tetapi, apabila ia bertaubat dan kembali masuk agama Islam, kepemilikan hartanya kembali seperti semula, dan apabila ia meninggal dunia karena hukuman mati, maka hak kepemilikan hartanya hilang sebab semata-mata ia murtad, dan karenanya menjadi hilang pula keterpeliharaan akan hartanya.62

60

Muhammad Ibn Ismail Al-Khalani, Subulus Salam, (Mesir: Mustafa al-Babi, Al-Halabi Awladuhu, 1950), h. 265

61

Abdul Qodir Audah Al-Tasyri' Al-Jina'I Al-Islami, (Maktabah: Dar Al-Urubah, 1963) juz I h. 662

62

Syekh al-'Allamah Muhammad bin abdurahman ad-Dimasyiqi, diterjemahkan oleh: Abdullah Zaky Alkaf, Fiqih Empat Mazhab (Hasyimi, Bandung,2004), cet ke, 2 h. 451


(1)

BAB V

PENUTUP

A.

Kesimpulan.

Kesimpulan dari pembahasan yang cukup panjang diatas, yang penulis simpulkan adalah sebagai berikut: 1. Murtad menurut hukum Islam secara umum, yaitu murtad termasuk kepada

jarimah hudud, dengan dasar hukum yang telah disebutkan dalam

pembahasan diatas. Dan terdapat dua hukuman bagi pelaku murtad tersebut yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan. Hukuman pokok bagi pelaku murtad adalah hukuman mati dan hukuman tambahannya yaitu perampasan harta milik orang yang murtad tersebut.

2. Dan murtad menurut pandangan Islam Liberal yaitu murtad tidak termasuk kepada jarimah, dan tidak ada hukuman apapun bagi pelakunya di dunia, hukumannya diserahkan kepada Tuhan di Akhirat nanti, karena tidak ada dasar hukum dalam Al-Qur'an dan Al-Hadis yang menyebutkan tentang hukuman bagi pelaku murtad, dan alasan-alasan lain yang telah penulis sebutkan diatas.


(2)

B.

Saran-saran.

Dari pembahasan diatas, penulis mencoba memberikan sedikit kontribusi saran bagi masyarakat umum dan bagi kepentingan keilmuan, sebagai berikut: 1. Tidak melakukan tindakan-tindakan anarkis terhadap, orang-orang yang

berbeda pendapat dengan kita. Karena kebenaran hakiki hanya milik Tuhan semata.

2. Mengupayakan penyuluhan tentang bagaimana menghormati agama lain dan keyakinan sesorang. Agar tidak terjadi kesalah fahaman persepsi.

3. Meredam sekecil mungkin ketegangan antar umat beragama, karena hal ini akan membahayakan ketentraman umum.

4. Menjadikan pemikiran Islam Liberal sebagai salah satu wacana keilmuan, dan tidak hanya dipandang sebelah mata. Bagaimanapun sumbangsih kelompok ini, dalam segi pemikiran hanya untuk tatanan masyarakat yang baik dan toleran.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur'anul Karim

A'la, Abd, Dari Neo-Moderenisme ke Islam Liberal, Jakarta, Paramadina, 2003

Abdalah, Ulil Abshar, Tentang Islam Liberal, Wawancara pribadi, 20 September 2007.

Afary, Janet, The Iranian Contitutional Revolution, 1906-1911, New York, Columbia University Press, 1996.

Ali Engineer, Asghar, The Right of Women in Islam, New York:St. Martin's Press, 1992.

Al-Kahlani, Muhammad Ibn Ismail, Subul al-Salam, Mesir, Mustafa Babi, Al-Halabi Awladuhu, 1950.

Alwa, Muhammad Salim, fi Usul Anizam al-Jina'I al-Islami. Kairo, Daar Al-Ma'ruf, 1979.

Al-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adilatuh, juz VII , Beirut, Darul Al-Fikri, 1977.

Artikel Muhammad Sa'id al-Ashmawi. Islam and the political order, disunting oleh George F. McLean, D.C:Council for Research in Values Philosophy, 1993, h 95-110. Diterbitkan pertama kali dengan judul Al-Islam as-I-siyasi (Politik Islam), di Mesir tahun 1997.

Artikel Nazira Zein-en-Din. Univeiling and Veiling: On the Liberation of the Women

and social Renewal in the Islamic World, diterjemahkan oleh Ali Badran

dan Margot Badran, dalam opening the Gates: Acentury of Arab Feminist

Writing, disunting oleh Margot Badran dan Miriam cooke (London Virago

Press; Bloomington : Indiana University Press, 1990)

Audah, Abd Al-Qodir, al-Tasyrii' al-Jinai al-Islami.Maktabah Dar Al-Urubah, Juz I, 1963.


(4)

Ayoub, Mahmoud, Religious Freedom And The Law of Apostasy in Islam, Roma, Islamochistiana,1994.

Barton, Greg, Gagasan Islam Liberal, Jakarta, Paramadina, 1999.

Binder, Leonard, Islam Liberal, Kritik Terhadap Ideologi Pembangunan, Penerjemah, Imam Mutaqien, Jakarta, Pustaka Pelajar, 2001.

Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari'ah dan Hukum, Jakarta: Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Jakarta, 2008.

Cliford, Geertz, Islam Observed: Religius Devlopment in Morocco and Indonesian, Chicago: University of Chicago Press, 1968.

Djazuli, Ahmad, Fiqih Jinayah, Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1996.

Fakih, Mansur, Jalan Lain, Manifesto Intelektual Organik, Yogyakarta:Pustaka pelajar, 2002.

Hakim, Rahmat, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), Bandung, CV Pustaka Setia, 2000.

Hanafi, Ahmad, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta, PT Bulan Bintang, 2005. Hasanudin, Makar dan Murtad Sebuah Perbandingan, Pidana Islam Di Indonesia,

Peluang, Prospek dan Tantangan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001. http//www.islamlib.com, tentang Islam Liberal, 2007.

Injil Matius.

Jaringan Islam Liberal (JIL), Syari'at Islam Pandangan Muslim Liberal, Jakarta, Paramadina, 2003.

Khaldun, Ibn, Society- Common Ground, Trans State Islam, Volume 03, 1997. Khurzman, Charlez, Wacana Islam Liberal, Jakarta, Paramadina, 2001.

Luthfi, Assyaukani, wajah-wajah Islam Liberal Di Indonesia, Jakarta, Teater Utan Kayu, 2002.


(5)

Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, KUHP, Jakarta, Bumi Aksara 2006.

Muslim Bin Hajaji, Imam Abi Husen, Sahih Muslim, Libanon, Bayrouth, Daar Ihya Al-Thurasi Al-Arabi, 1420 h

Nasih, Mohammad, Memahami Konsep Islam Liberal, http://www.islamlib.com, 16 Oktober 2007

Noviriantoni, Anggota Jaringan Islam Liberal. Wawancara Pribadi. 2008. Rahman, Fazrul, Hukum dan Etika Dalam Islam, Jakarta, Al-Hikmah, 1993.

Russel, Bertrand, Serpih-serpih Pemikiran, Ed, Robert E. Egner, Yogyakarta, Sadasiva, 2003.

Rusyd, Ibn, Bidayat al-Mujtahidin Wa Nihayah Al-Muqtasid, Mesir, Mustafa Al- Babai-Halabi, Juz II, 1966.

Sabiq, As-Sayid, Fiqih al-Sunnah, Beirut, Darul Al-Fikri, 1977.

Syaltut, Muhammad, Al-Islam Aqidah wa Syari'ah. Mesir, Dar Al-Kalam t.t.

Syekh al-'Allamah Muhammad bin abdurahman ad-Dimasyiqi, Fiqih Empat Mazhab, diterjemahkan oleh: Abdullah Zaky Alkaf, Hasyimi, Bandung,2004.

Talbi, Mohamed, Religius Liberty: A Muslim Persepective Liberty and conscience, (Inggris, Committee for the defense of Religious Liberty, Musim Semi, 1998), penerjemah: Bahrul Ulum, Heri Junaedi, Kebebasan beragama, Jakarta Paramadina,2003.

Thoha, Hamim, Paham Keagmaan Kaum Reformis, penyunting Imron Rosyidi, Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya 2000.

Santoso, Topo, Menggagas Hukum Pidana Islam, Penerapan Syari'at dalam Konteks Moderenitas, Bandung, Assy Syaamil, 2000.

Utriza, Ayang, Kebebasan Beragama Dalam Islam dan Praktiknya di Negara-negara Islam, (mimbar agama dan budaya, vol 2) No 4 h. 2 th 2005


(6)