Sementara itu, ulama Hanabilah berpendapat, bahwa hilangnya hak kepemilikan hartanya bukanlah semata-mata karena perbuatan murtad, oleh
sebab itu batas hilangnya kepemilikan hartanya setelah ia di hukum mati, menurut Imam Hambali hilangnya keterpelihraan dirinya tidak semata-mata
menghilangkan kepemilikannya terhadap hartanya. Bandingannya seperti muslim yang dihukum rajam karena zina tidak menghilangkan kepemilikan hartanya,
akan tetapi jika orang murtad yang kembali pada musuh Islam kepemilikannya hartanya tidak hilang tetapi boleh disita dirampas jika orang tersebut tergolong
kafir harbi. Dan menurut Imam Hambali ia boleh di bunuh tanpa diberi kesempatan untuk bertaubat.
63
Dalam pada itu, Imam Malik dan Syafii berpendapat, hilangnya kepemilikan pelaku murtad terhadap hartanya berlaku terhadap seluruh hartanya,
sementara pendapat Abu Hanifah bahwa hilangnya kepemilikan harta orang yang melakukan tindak pidana murtad hanya berlaku pada harta yang dihasilkan
setelah ia murtad adapun hartaS yang dihasilkan sebelum ia murtad, menjadi hak ahli warisnya.
64
D. Perbedaan Pendapat para ulama Tentang Orang Yang Murtad
63
Syekh al-Allamah Muhammad bin abdurahman ad-Dimasyiqi, diterjemahkan oleh: Abdullah Zaky Alkaf, Fiqih Empat Mazhab Hasyimi, Bandung,2004, cet ke, 2 h. 451
64
Abdul Qodir Audah, al-Tasyrii al-Jinai al-Islami. Maktabah, Dar Al-Urubah, 1963 Juz I h. 662
Para imam mazhab sepakat bahwa orang yang keluar dari Islam wajib di hukum mati. Tetapi, mereka berbeda pendapat, tentang apakah kewajiban
hukuman mati bagi pelaku murtad itu harus segera dilakukan ataukah disuruh bertaubat terlebih dahulu. apakah perintah bertaubat itu wajib hukumnya atau
sunnah, Apabila pelaku murtad meminta ditangguhkan untuk bertaubat, tetapi ia tetap tidak bertaubat, apakah boleh diberi kesempatan untuk ditangguhkan
kembali, hal ini yang menjadi perdebatan para ulama mazhab fiqih. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa, pelaku murtad dianjurkan untuk
diberi kesempatan bertaubat sebelum di eksekusi mati. Sementara jumhur ulama menyatakan, wajib hukumnya memberi kesempatan untuk bertaubat pada pelaku
murtad.
65
Mengenai tenggang waktunya, ulama Malikiyyah memberi tempo selama tiga hari. Sementara menurut Imam Abu Hanifah tidak membatasinya, hanya
secara berulang-ulang menyuruh pelaku murtad untruk bertaubat sampai ada dugaan kuat bahwa pelaku tetap teguh dalam kemurtadannya dan pada saat itulah
hukuman mati dilaksanakan. Taubatnya orang yang murtad cukup dengan mengucapkan dua kalimah Syahadah. Selain itu, ia harus mengakui bahwa apa
yang dilakukannya ketika ia murtad sangat bertentangan dengan agama Islam.
66
65
Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahidin Wa Nihayah Al-Muktasid, Mesir,: Mustafa Al- babi-Halabi, 1966, Juz II h. 343.
66
Djazuli, Fiqih Jinayah, Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada cet. 1 h. 116
Imam Malik berpendapat, wajib hukumnya pelaku murtad untuk bertobat, dan jika ia segera tobat maka diterima tobatnya. Sedangkan jika ia tidak mau
bertobat, lalu ia bertaubat, maka diterima tobatnya, tetapi jika ia tidak mau bertobat maka wajib dihukum mati. Imam Syafii dalam hal ini mempunyai dua
pendapat, pendapat yang lebih kuat yaitu wajib di perintah berobat sebelum di hukum mati. Dalam masalah pemberian penangguhan pendapat Imam Syafii
ialah tidak boleh diberikan penangguhan walaupun pelaku memintanya, melainkan harus dihukum mati dengan segera jika ia sudah terbukti murtad dan
bersikeras untuk keluar dari Islam. Dari Imam Hambali diperoleh dua riwayat, pertama, seperti pendapat
Imam Malik. Kedua, tidak wajib diperintah bertobat terlebih dahulu. Mengenai pemberian penangguhan, dari mazhab Hanbali diperoleh tiga pendapat yang
berbeda, pertama Al-Hasan Al-Bashri berkata: orang yang murtad tidak disuruh bertaubat terlebih dahulu, melainkan wajib di hukum mati dengan segera, tetapi
Atha berkata jika ia dilahirkan dalam keadaan Islam, lalu ia murtad maka ia tidak diperintahkan untuk bertaubat melainkan harus segera di hukum mati,
sedangkan jika ia asalnya kafir, lalu menjadi Islam kemudin murtad, maka ia diperintahkan bertaubat sebelum di hukum mati. Menurut Ats-Tsawuri bahwa
semua orang yang murtad hendaknya diperintahkan untuk bertaubat.
67
67
Syekh al-Allamah Muhammad bin abdurahman ad-Dimasyiqi, diterjemahkan oleh: Abdullah Zaky Alkaf,Fiqih Empat Mazhab, Bandung,: Hasyimi, 2004, cet ke, 2 h. 451
Menurut pendapat Maliki, SyafiI dan Hambali perempuan yang murtad hukumannya sama dengan laki-laki yang murtad yaitu dihukum mati, sedangkan
menurut pendapat Hanafi hukuman perempuan yang murtad tidak sama dengan hukuman lak-laki yang murtad, jika perempuan yang murtad hukumannya
dipenjarakan, tidak di hukum mati. Kemurtadan anak kecil yang telah mumayyiz menurut Imam Hanafi dan Maliki serta pendapat Hambali kemurtadannya sah,
tetapi menurut Imam SyafiI tidak sah kemurtadan anak kecil yang sudah mumayyiz.
68
Para Imam Mazhab sepekat bahwa orang Zindiq, yaitu orang yang penampilan lahiriahnya Islam tetapi hatinya kafir, orang seperti ini harus dihukum
mati. Para Iman Mazhab berbeda pendapat tentang taubatnya orang zindiq, menurut pendapat Hanafi dari riwayat yang paling jelas, diterima taubat oarng
zindiq, hal ini sama dengan apa yang di sebutkan oleh Imam Syafii, tetapi menurut Maliki dan Hambali, dibunuh, tidak diperintah untuk bertaubat.
Jika penduduk satu wilayah semuanya murtad, dan berlaku hukuman mati bagi mereka, menurut Hanafi berkata: satu daerah baru bias di katakana dar al-
harab negeri yang diperangi ketika terpenuhi tiga Syarat, yaitu: 1.
sudah nyata dan jelas di wilayah tersebut hukum-hukum kekufuran 2.
tidak ada seorangpun yang Islam atau dzimmi yang terjamin kehidupannya didaerah tersebut.
68
Abdul Qodir Audah, al-Tasyrii al-Jinai al-Islami. Maktabah: Dar Al-Urubah, 1963 Juz I h. 662
3. berbatasan dengan dar alharab
Sedangkan menurut pendapat yang jelas dari Maliki, jika sudah jelas bahwa penduduk didaerah tersebut semuanya murtad, maka daerah tersebut
menjadi dar al-harab.demikian pula pendapat Syafii dan hambali.
69
Para Imam mazhab sepakat bahwa harta orang yang murtad dihukumi sebagai harta rampasan, Imam Hanafi dan Maliki mengatakan, bahwa anak-anak
yang orang tuanya murtad tidak boleh dijadikan hamba sahaya. Tetapi, mereka harus masuk Islam ketika usinya sudah baligh, jika mereka menolak masuk Islam
Imam Hanafi dan Maliki mengatakan mereka harus dipenjarakan dan diancam dipukuli jika tidak mau masuk Islam. Tetapi menurut Imam Hmbali bahwa anak-
anak yang orang tuanya murtad sah untuk dijadikan budak, dan menurut Imam Syafii anak-anak yang orang tuanya murtad tidak boleh dijadikan budak karena
mereka dianggap tidak bersalah atas kemurtadan orang tuanya, masih ada kesempatan untuk mendidik anak-anak tersebut menjadi anak-anak yang baik
secara Islam.
70
69
Muhammad Ibn Ismail Al-Khalani, Subulus Salam, Mesir: Mustafa al-Babi, Al-Halabi Awladuhu, 1950, h. 266
70
Syekh al-Allamah Muhammad bin abdurahman ad-Dimasyiqi, diterjemahkan oleh: Abdullah Zaky Alkaf, Fiqih Empat Mazhab, Bandung : Hasyimi, , 2004, cet ke, 2, h. 452-453
BAB IV KORELASI PEMIKIRAN KEBEBASAN BERAGAMA ISLAM