Penggunaan metode red flags untuk mendeteksi kecurangan dalam perusahaan : studi terhadap persepsi eksternal dan internal auditor di wilayah Jakarta dan sekitarnya

(1)

PENGGUNAAN METODE RED FLAGS UNTUK MENDETEKSI KECURANGAN DALAM PERUSAHAAN

(Studi Terhadap Persepsi Eksternal dan Internal Auditor di Wilayah Jakarta dan Sekitarnya)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Untuk Memenuhi Syarat Guna Meraih Gelar Sarjana Ekonomi

Oleh:

Kartika Aisyah Rahman NIM: 1111082000049

JURUSAN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

1. Nama : Kartika Aisyah Rahman 2. Tempat, Tanggal Lahir : Makassar, 06 Agustus 1994 3. Alamat : Jl. Alternatif Cibubur, Kompleks

Legenda Wisata, Zona Mozart Blok G5 No. 2, Cibubur, Jakarta Timur, 16495 4. Telepon : 0812-8455-6145

5. Email : kartikaaisyahr@mhs.uinjkt.ac.id

II. PENDIDIKAN

1. SDN 008 Berau : Tahun 2002 – 2005 2. SMPN 21 Makassar : Tahun 2005 – 2008 3. SMA 01 Sejahtera Depok : Tahun 2008 – 2011 4. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta : Tahun 2011 – 2015

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Jurusan Akuntansi

III. PENGALAMAN ORGANISASI

1. Anggota Divisi CCA (Cerdas Cermat Accounting) untuk Accounting Fair UIN Jakarta 2013 (Tahun 2012 – 2013)

2. 1st Winner for Accounting Debate Competition in UIN Jakarta Accounting Fair 2014


(7)

IV. PENGALAMAN KERJA

1. Accounting Freelancer in PT Mitra Handal Mandiri (General Contractor)

April – Juni 2012

2. Owner in Missjung Online Shop September 2011 - sekarang 3. Social Media Content Planner in Unltd

Indonesia

November 2014 – April 2015

4. Research Assistant for Doctoral Student of Padjajaran University

Oktober 2014 – sekarang

V. LATAR BELAKANG KELUARGA

1. Ayah : Ir. Abdul Rahman NK 2. Ibu : Nengzih, SE.,M.Si.,Ak.,CA. 3. Anak ke : 1 dari 2 Bersaudara


(8)

PENGGUNAAN METODE RED FLAGS UNTUK MENDETEKSI KECURANGAN DALAM PERUSAHAAN

(Studi terhadap Persepsi Eksternal dan Internal Auditor di Jakarta dan Sekitarnya)

ABSTRAK

Penelitian ini menguji bagaimana perbedaan persepsi eksternal dan internal auditor di Jakarta dan sekitarnya terhadap efektivitas metode red flags untuk mendeteksi kecurangan dalam perusahaan. Responden dalam penelitian ini adalah auditor yang bekerja di Kantor Akuntan Publik, BUMN, Institusi Negara, dan beberapa perusahaan swasta. Jumlah auditor yang menjadi sampel dalam penelitian ini sebanyak 94 auditor. Metode penentuan sampel yang digunakan adalah purposive sampling, dan metode penelitian yang digunakan adalah Independent Sample T-test.

Hasil penelitian ini menunjukkan perbedaan persepsi di beberapa indikator red flags yang terbagi atas 4 dimensi red flags, dimana eksternal auditor secara keseluruhan menilai red flags lebih efektif untuk mendeteksi kecurangan di perusahaan.


(9)

THE USE OF RED FLAGS METHOD TO DETECT FRAUD WITHIN THE COMPANIES

(Study on the Perception of External and Internal Auditor in Jakarta and Its Surrounding Areas)

ABSTRACT

The purpose of this study is to examine how differences in the perception of the external and internal auditors in Jakarta and its surrounding areas on the effectiveness of red flags method to detect fraud within the company. Respondents in this study are the auditors who work in public accounting firm, state-owned enterprises, state institutions, and several private companies. Number of auditors sampled in this study were 94 auditors. The sampling method for this study is purposive sampling, and the research method used for this study is independent sample T-test.

The results of this study showed that there are differences in the perception of red flags in some of its indicators which divided into four dimensions of red flags. This study also find that overall external auditors assessed the red flags more effectively to detect fraud within the company.


(10)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Segala puji bagi Allah SWT, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang telah memberikan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Penggunaan Metode Red Flags Untuk Mendeteksi Kecurangan Dalam Perusahaan (Studi terhadap Persepsi Eksternal Auditor dan Internal Auditor di Jakarta dan Sekitarnya)” dengan baik. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih atas bantuan, bimbingan, dukungan, semangat dan do’a, baik langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini, kepada:

1. Mama yang tersayang dan tercinta, yang selalu mencurahkan perhatian, cinta dan sayang, saran, kritikan, dukungan serta do’a yang tertuju untukku.

2. Bapak yang tersayang, terimakasih atas semua masukan, saran, dorongan dan kritik, perhatian dan doanya yang tidak pernah putus.

3. Adikku Hazairin yang tersayang, yang terkadang menyusahkan tapi selalu membantu dan menemaniku ketika susah dan gembira.

4. Bapak Dr. M. Arief Mufraini LC., MA selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak Hepi Prayudiawan, SE.,MM., Ak selaku Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Bapak Dr. Amilin, M.Si.,Ak.,CA.,QIA.,BKP selaku Dosen Pembimbing Skripsi I yang telah bersedia meluangkan waktu untuk berdiskusi, memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih atas ilmu yang telah Bapak berikan selama ini.


(11)

dan memberikan pengarahan kepada penulis. Terima kasih atas semua saran dan pembelajaran yang Ibu berikan selama proses penulisan skripsi sampai terlaksananya sidang skripsi.

8. Seluruh dosen yang telah memberikan ilmu dan karyawan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan bantuan kepada penulis. 9. Akuntansi B UIN 2011, teman terbaik, terimakasih atas memori empat tahun kita

bersama-sama menghadapi kehidupan kampus yang penuh warna. Semoga kita semua mencapai kesuksesan di masa depan.

10. Seluruh teman-temanku UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Angkatan 2011, terima kasih atas do’a, semangat dan dukungan yang diberikan kepada penulis selama ini, semoga kita semua meraih kesuksesan yang diinginkan, amin.

11. Ka iyan, Amanah, Yudho, Fakhri, Eva, terimakasih banyaaaak atas semuanya, you guys are definitely the best!

12. Yang jauh di Birmingham, terimakasih atas semua perhatian, do’a dan saran serta kritikannya yang walaupun seringkali pedas, tapi sebenarnya masuk akal semua, haha.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dikarenakan keterbatasan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki penulis.

Oleh karena itu, penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, Mei 2015


(12)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Lembar Pengesahan Skripsi ... ii

Lembar Pengesahan Ujian Komprehensif ... iii

Lembar Pengesahan Ujian Skripsi ... iv

Lembar Pernyataan Keaslian Karya Ilmiah ... v

Daftar Riwayat Hidup ... vi

Abstract………...viii

Abstrak ... ix

Kata Pengantar ... x

Daftar Isi... xii

Daftar Tabel ... xi

Daftar Gambar ... xv

Daftar Lampiran ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12

1. Tujuan Penelitian ... 12

2. Manfaat Penelitian ... 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 14

A. Tinjauan Literatur ... 14

1. Fraud Triangle Theory ... 14

2. Fraud Diamond Theory ... 17

3. Jenis – jenis Auditor ... 20

4. Red Flags ... 21


(13)

B. Keterkaitan antar Variabel dan Perumusan Hipotesis ... 27

1. Persepsi eksternal dan internal auditor terhadap efektivitas red flags untuk mendeteksi kecurangan ... 27

C. Hasil-hasil Penelitian Terdahulu ... 29

D. Kerangka Pemikiran ... 33

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 35

A. Ruang Lingkup Penelitian ... 35

B. Metode Pemilihan Sampel ... 35

C. Metode Pengumpulan Data ... 36

D. Metode Analisis Data ... 38

1. Statistik Deskriptif ... 38

2. Uji Kualitas Data ... 38

a. Uji Reliabilitas ... 38

b. Uji Validitas ... 39

3. Uji Normalitas Data ... 40

4. Uji Hipotesis ... 40

E. Operasionalisasi Variabel Penelitian... 42

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 49

A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian ... 49

B. Hasil Uji Instrumen Penelitian ... 54

C. Pembahasan ... 65

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 72

A. Kesimpulan ... 72

B. Implikasi ... 76

C. Keterbatasan ... 77


(14)

DAFTAR PUSTAKA ... 79 LAMPIRAN ... 83


(15)

DAFTAR TABEL

NO. KETERANGAN HALAMAN

1.1 Kasus Penyimpangan Akuntansi di Indonesia ... 2

1.2 10 Penyimpangan Akuntansi Besar di Dunia ... 5

2.1 Hasil-hasil Penelitian Terdahulu ... 29

3.1 Operasionalisasi Variabel Penelitian ... 47

4.1 Data Sampel Penelitian ... 50

4.2 Distribusi Sampel Penelitian ... 50

4.3 Hasil Uji Deskripsi Responden Berdasarkan Jenis Auditor ... 52

4.4 Hasil Uji Deskripsi Responden Berdasarkan Jabatan Auditor ... 52

4.5 Hasil Uji Deskripsi Responden Berdasarkan Pengalaman Audit ... 53

4.6 Hasil Uji Statistik Deskriptif ... 54

4.7 Hasil Uji Validitas Opportunity ... 56

4.8 Hasil Uji Validitas Pressure ... 56

4.9 Hasil Uji Validitas Rationalization ... 57

4.10 Hasil Uji Validitas Capability ... 57

4.11 Hasil Uji Reliabilitas ... 58

4.12 Hasil Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov ... 59

4.13 Hasil Uji Hipotesis untuk Dimensi Opportunity ... 60

4.14 Hasil Uji Hipotesis untuk Dimensi Pressure ... 62

4.15 Hasil Uji Hipotesis untuk Dimensi Rationalization ... 63


(16)

DAFTAR GAMBAR

NO. KETERANGAN HALAMAN 2.1 Tiga Elemen Fraud Triangle Theory ... 15 2.2 Empat Elemen Fraud Diamond Theory ... 18 2.3 Skema Kerangka Pemikiran ... 33


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran - Lampiran ... 83

Surat Penelitian Penyebaran Kuesioner ... 84

Surat Keterangan Dari Responden ... 87

Kuesioner Penelitian ... 92

Jawaban Responden ... 93


(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Owojiri dan Asaolu (2009: 183) menyebutkan fakta bahwa banyak bisnis menghadapi kebangkrutan karena tekanan ekonomi dan konsekuensi akibat pengawasan karyawan yang kurang memadai yang kemudian meningkatkan risiko terjadinya kecurangan (fraud) setiap harinya. Ozkul dan Pektekin (2009: 59) juga menambahkan penggunaan teknologi dalam akuntansi dan sulitnya mengendalikan kecurangan yang muncul dari media elektronik menjadikan risiko terjadinya kecurangan dalam perusahaan menjadi semakin tinggi.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh ACFE (Association of Certified Fraud Examiners) dalam Widjaja (2011) menunjukkan bahwa 58% dari total kasus kecurangan yang dilaporkan dilakukan oleh karyawan perusahaan pada tingkat manajerial, 36% dilakukan oleh manajer perusahaan tanpa melibatkan pihak lain (stand-alone fraudster) dan 6% sisanya dilakukan oleh manajer melalui kolusi bersama karyawan perusahaan. Koroy (2008) lalu menambahkan bahwa dari keseluruhan kasus kecurangan yang terjadi, jenis kecurangan yang paling banyak terjadi adalah asset misappropriations sebesar 85%, yang kedua adalah kasus kecurangan jenis korupsi dengan presentase sebesar 13%, sisanya adalah kasus kecurangan dalam laporan keuangan (fraudulent statements).


(19)

Kasus kecurangan di perusahaan - perusahaan dalam satu dekade terakhir, diantaranya Enron dan Worldcom di Amerika Serikat menyebabkan kerugian besar di pasar modal.

Tabel 1.1

Kasus Penyimpangan Akuntansi di Indonesia

No Nama Perusahaan Tuduhan Kasus Kecurangan

1.

PT Kimia Farma Tbk (2001)

Kementerian BUMN dan pemeriksa Bapepam (Bapepam, 2002) menemukan indikasi adanya salah saji dalam laporan keuangan yang mengakibatkan overstatement net profit untuk periode berakhir 31 Desember 2001 sebesar 32,7 miliar dimana 24,7% adalah dari net profit dan 2,3% berasal dari penjualan

(Koroy, 2008) Salah saji ini terjadi dengan melebihsajikan penjualan dan persediaan pada 3 unit usaha, dan kemudian mengelembungkan harga persediaan pada unit distribusi PT Kimia Farma Tbk. Manajemen PT Kimia Farma Tbk melakukan pencatatan ganda atas penjualan 2 unit usaha, pencatatan ganda dilakukan pada unit – unit yang tidak termasuk dalam sampling yang diambil auditor eksternal

2.

PT Kereta Api Indonesia (2005)

Piutang PPN per 31 Desember 2005 senilai Rp 95,2 M, menurut Komite Audit harus dicadangkan penghapusannya pada tahun 2005 karena diragukan kolektibilitasnya, tetapi tidak dilakukan oleh manajemen dan tidak dikoreksi oleh auditor.

Saldo beban yang ditangguhkan per 31 Desember 2005 sebesar Rp 6 M yang merupakan penurunan nilai persediaan tahun 2002 yang belum di amortisasi, menurut Komite Audit harus dibebankan sekaligus pada tahun 2005 sebagai beban usaha. Berkaitan dengan pengalihan persediaan suku cadang RP 1,4 M yang dialihkan dari satu unit kerja ke unit kerja lainnya di lingkungan PT KAI yang belum selesai proses akuntansinya per 31 Desember 2005, menurut Komite Audit seharusnya telah menjadi beban tahun 2005.


(20)

3.

PT Sari Husada (2005) Terjadi indikasi praktek insider trading yang dilakukan oleh direksi Sari Husada. Akar dari kasus ini adalah ketika manajemen Sari Husada mengeluarkan kebijakan ESOP (Empoyee Stock Option Program, yaitu kebijakan penjualan saham perusahaan kepada karyawan dengan harga yang lebih murah) sebesar 5% (94 juta lembar) dari keseluruhan sahamnya. Saham dari ESOP yang seharusnya dibeli oleh karyawan, malah mayoritas dibeli pihak komisaris, direksi, dan manajer senior (dengan rincian 3 komisaris (44,8%), 5 direksi (42,5%), dan para manajer (12,7%)

4. Citibank Indonesia (2011) Terjadi praktik kecurangan yang dilakukan oleh

Relationship Manager kepada nasabah A-List

Citibank. Masalah berakar dari pelaku yang mendapat kepercayaan dari para nasabah yang kemudian disalahgunakan. Kerugian nasabah diperkirakan 17 miliar lebih.

Sumber: Martin, Michael, Journal of Business Cases and Applications, 2011. Dalam mekanisme pelaporan keuangan, suatu audit dirancang untuk memberikan keyakinan bahwa laporan keuangan tidak dipengaruhi salah saji (misstatement) yang material dan memberikan keyakinan yang memadai atas akuntabilitas manajemen terhadap aktiva perusahaan (Koroy, 2008:1). Perusahaan kemudian mengandalkan auditor eksternal maupun internal untuk memberikan keyakinan pada pemegang saham dan calon investor bahwa laporan keuangan yang dibuat adalah laporan keuangan yang relevan dan dapat dipercaya. Untuk itu, dibutuhkan kemampuan, integritas, dan independensi yang tinggi, karena jika hasil audit terbukti salah dan ditemukan indikasi kecurangan, maka kepercayaan masyarakat terhadap profesi auditor bisa berangsur -angsur hilang.


(21)

Selain itu, bila seorang auditor tidak mampu mendeteksi kecurangan yang terjadi dalam perusahaan melalui pelaporan keuangan yang materil, dapat dipastikan pihak perusahaan dan pemegang saham akan merugi. Menelisik kembali di tahun – tahun sebelumnya, banyaknya variasi kecurangan dan skandal – skandal manipulasi atas laporan keuangan perusahaan tak pelak mendatangkan persepsi negatif kepada para akuntan publik maupun internal. Kecurangan dan skandal manipulasi yang besar memang biasanya hanya terjadi pada perusahaan dengan skala besar.

Fakta ini sesuai dengan pernyataan Thomas dan Gibson, dan PricewaterhouseCoopers (2003) bahwa bisnis yang lebih besar lebih mungkin mengalami tindakan kejahatan ekonomi, namun tindakan kecurangan mungkin lebih mahal untuk usaha kecil. Selain itu, kerusakan yang ditimbulkan oleh tindakan kecurangan melampaui kerugian keuangan langsung. Kerusakan tersebut termasuk merugikan hubungan eksternal bisnis, semangat kerja karyawan, reputasi perusahaan, dan branding. Bahkan, beberapa efek dari tindakan kecurangan, seperti reputasi perusahaan yang buruk, dapat memiliki dampak jangka panjang (Pricewaterhouse Coopers, 2003). Kecurangan yang dilakukan oleh perusahaan ini skalanya cukup bervariasi, mulai dari pemalsuan informasi di laporan keuangan, konspirasi yang terjadi antara manajemen dan akuntan publiknya sendiri, dan lain – lain. Melihat dari tren penyimpangan yang terjadi selama beberapa tahun ini, penyimpangan akuntansi yang terjadi lebih banyak pada bentuk manajemen laba yang tidak sah dan opini auditor eksternal yang tidak benar. Berikut ini disajikan tabel berisi daftar penyimpangan akuntansi yang terjadi dari tahun 2000 – sekarang.


(22)

Tabel 1.2

10 Penyimpangan Akuntansi Besar di Amerika

No Nama Perusahaan Tuduhan Kasus Kecurangan

1. Bank of Credit and Commerce International (BCCI)

Skandal BCCI adalah salah satu skandal terbesar dalam sejarah keuangan dengan total kecurangan sekitar USD 20 milyar lebih. Tuduhan – tuduhan lain yang disangkakan kepada BCCI termasuk penyuapan, mendukung terorisme, pencucian uang, penggelapan, menjual teknologi nuklir, dan lain – lain.

2. Enron Corporation Hutang dari Enron Corporation disembunyikan dan keuntungan perusahaan meningkat menjadi lebih dari USD 1 miliar. Enron Corporation juga menawarkan suap terhadap pemerintah luar negeri untuk memenangkan kontrak mereka yang ada di luar negeri.

3. WorldCom Cash Flow perusahaan dinaikkan pada laporan posisi keuangan dan USD 3.8 miliar dicatat sebagai capital expenses bukan sebagai operating expenses.

4. Tyco International CEO Dennis Kozlowski dan mantan CFO Mark H. Swartz dituduh melakukan pencurian sebesar USD 600 juta dari perusahaan Tyco International di tahun 2002.

5. Kanebo Limited Mendongkrak keuntungan perusaahan sebesar USD 2 miliar selama 5 tahun berturut – turut.

6. Waste Management,Inc Laba didongkrak naik sekitar USD 1.7 miliar dengan menaikkan umur manfaat penyusutan untuk property dan perlengkapan perusahaan tersebut di tahun 2002. 7. Parmalat Total utang perusahaan berjumlah lebih dari dua kali lipat dari total neraca. Tuduhan lainnya adalah pemalsuan dan kebangkrutan.

8 Health South Corporation Pemasukan perusahaan dilebihkan sebesar 4700% dan mendongkrak USD 1.4 miliar agar memenuhi ekspektasi para investor.


(23)

Tabel 1.1 (Lanjutan)

No. Nama Perusahaan Tuduhan Kasus Kecurangan

9. American International Group (AIG)

Perusahaan mempertahankan perjanjian dengan

payoff yang menguntungkan, melakukan

kecurangan dalam proses tawar-menawar untuk kontrak asuransi dan melambungkan nilai neraca sebesar USD 2.7 miliar di 2005.

10. Satyam Computer Service Melambungkan kas dan saldo bank lebih dari USD 1.5 miliar, melakukan overstated pada nilai piutang, dan melakukan understated pada utang perusahaan sebesar USD 250 juta yang dilakukan untuk kepentingan pemilik perusahaan sendiri.

Sumber: The Top 10 Embezzlement Cases in US Modern History by Marquet Kesimpulan yang dapat diambil dari 10 kasus kecurangan diatas adalah perusahaan yang terlibat rata – rata adalah perusahaan dengan skala nasional dan internasional, dan sudah melakukan Initial Public Offering (IPO) yang berarti perusahaan harus mempekerjakan akuntan internal yang bertanggungjawab atas pembuatan laporan keuangan perusahaan dan auditor independen yang bertanggungjawab atas hasil opini audit terhadap laporan keuangan perusahaan. Jika oknum dalam perusahaan melakukan kecurangan, dan tidak terdeteksi oleh auditor, maka publik akan menempatkan kesalahan pada auditor karena dinilai telah gagal mendeteksi kecurangan yang terjadi.


(24)

Pandangan ini berlaku tidak hanya pada auditor eksternal namun juga auditor internal, misalnya jika auditor internal tidak berhasil mendeteksi kecurangan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan, maka dewan komisaris adan pemegang kepentingan akan kehilangan kepercayaannya kepada divisi auditor internal. Kesimpulannya adalah auditor eksternal dan internal harus berusaha untuk bisa mendeteksi kecurangan yang terjadi dalam perusahaan dengan menggunakan berbagai pendekatan, teknik dan metode.

(Moyes, Young dan Faizal, 2013) menyatakan bahwa standar professional tidak meminta auditor internal untuk berasumsi bahwa tanggung jawab utama mereka adalah untuk mendeteksi dan melakukan investigasi terhadap kecurangan. Auditor internal diminta untuk melakukan due professional care dengan mempertimbangkan dan mengevaluasi probabilitas dari kesalahan yang signifikan atau kecurangan terjadi. Auditor internal sendiri bertanggungjawab langsung kepada dewan komisaris, komite audit. Faktor utama yang membedakan kesalahan dan kecurangan adalah kecurangan terjadi karena tindakan yang disengaja untuk mengakibatkan salah saji material dalam laporan keuangan suatu perusahaan.

Kecurangan biasanya dipoles sedemikian rupa agar salah saji yang material sulit untuk ditemukan oleh auditor (SAS 82 Paragraf 31). Untuk itu, auditor perlu untuk mempertimbangkan kejadian atau fakta yang ada dan menimbulkan indikasi adanya kecurangan dalam perusahaan. Auditor, dikarenakan sifat alamiah dari pekerjaannya, tidak bisa menghindar dari fakta bahwa mereka adalah satu dari beberapa pihak yang mampu mendeteksi terjadinya kecurangan bahkan dari tahap awal proses audit


(25)

dilaksanakan, namun tanggungjawab untuk mendeteksi kecurangan tidak hanya dimiliki auditor.

Manajemen perusahaan juga memiliki tanggungjawab yang tidak berbeda, dikarenakan fakta bahwa mereka seharusnya bisa mendeteksi kecurangan di dalam perusahaan melalui pengendalian internal yang diterapkan (Smith dan Baharuddin, 2005). Lain halnya, apabila kecurangan tersebut justru dilakukan oleh manajemen puncak yang duduk di posisi yang tepat dan memiliki kemampuan untuk melakukan kecurangan.

Ada beberapa metode, pendekatan dan teknik – teknik yang auditor biasa lakukan dalam usahanya mendeteksi kecurangan dalam laporan keuangan, mulai dari critical point auditing (CPA), job sensitivity analysis (JSA), analisis vertikal, analisis horizontal, analisis rasio, red flags, dan sebagainya. Sebagai contoh, critical point auditing adalah teknik dimana melalui pemeriksaan atas catatan pembukuan, gejala sebuah kecurangan dapat diidentifikasi. Hasil dari teknik ini berupa gejala atau indikasi – indikasi terjadinya kecurangan, dimana tindakan yang biasanya perusahaan ambil adalah penyelidikan lebih rinci.

Red flags ini dapat digunakan pada setiap perusahaan dan semakin akurat dan komprehensif catatan pembukuan yang dimilki perusahaan, semakin efektif teknik ini dalam mendeteksi gejala kecurangan. Lalu ada metode red flags dimana red flags

menurut DiNapoli adalah ”a set of circumstances that are unusual in nature or vary


(26)

aktivitas normal. SAS 99 menekankan pentingnya auditor untuk bisa mendeteksi indikasi kecurangan dalam melakukan pekerjaan auditnya.

SAS 99 mengharuskan auditor menilai risiko salah saji yang disebabkan oleh kecurangan, dan menyediakan pedoman operasional dalam mempertimbangkan indikasi kecurangan saat melakukan audit laporan keuangan. Metode red flags adalah salah satu metode yang relatif mudah untuk dilakukan oleh auditor dalam mendeteksi kecurangan. Banyak penelitian yang telah dilakukan di tahun – tahun sebelumnya mengenai metode ini, misalnya persepsi auditor sebagai pengguna metode ini, tingkat efektivitas metode red flags dibandingkan dengan metode deteksi kecurangan lainnya, bagaimana efektivitas penggunaan metode red flags sebagai metode deteksi kecurangan baik itu di perusahaan kecil maupun perusahaan besar, dan lain sebagainya.

Penelitian-penelitian mengenai red flags ternyata menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Hal tersebut disebabkan adanya perbedaan persepsi dalam menilai red flags. Perbedaan karakteristik pribadi dapat mengakibatkan perbedaan persepsi (Robbins dan Judge, 2008). Persepsi tersebut dapat mempengaruhi keputusan dan langkah yang diambil oleh auditor dalam proses pelaksanaan audit. Persepsi auditor yang berbeda dapat mengakibatkan perbedaan dalam menilai tingkat efektivitas red flags dalam mendeteksi fraud.

Penelitian ini membahas mengenai bagaimana persepsi auditor eksternal dan internal terhadap efektivitas metode red flags dalam mendeteksi terjadinya kecurangan atau salah saji yang disengaja dalam laporan keuangan. Hegazy dan Kassem, (2010);


(27)

Moyes et., al (2006) dalam Moyes., et al (2013) mengklaim dalam penelitian mereka bahwa metode red flags efektif untuk digunakan dalam mendeteksi kecurangan.

Sementara penelitian Heiman-Hoffman et al., (1996); Moyes, (2006) dalam Moyes et al., 2013 menyatakan bahwa tidak semua indikator dalam metode red flags

mempunyai tingkat efektivitas yang sama dalam mendeteksi kecurangan, dan bahwa auditor eksternal dan internal mempunyai pandangan yang berbeda terhadap efektivitas pendeteksian kecurangan melalui metode red flags.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Albrecht dan Romney (1986) yang menemukan bahwa partner audit beranggapan bahwa red flags yang berkaitan dengan karakter personal dari manajemen perusahaan itu efektif untuk digunakan mendeteksi kecurangan, sedangkan red flags yang berkaitan dengan karakter perusahaan tidak efektif untuk digunakan mendeteksi kecurangan.

Apostolou et., al (2001) menyatakan bahwa auditor melihat red flags yang terkait dengan karakter personal manajemen dan pengaruh dari lingkungan pengendalian sebagai metode yang paling efektif untuk mendeteksi kecurangan. Terlihat dengan jelas perbedaan pendapat dari beberapa penelitian terdahulu mengenai metode red flags, ada yang menyatakan efektif, beberapa menyatakan efektif dengan kondisi tertentu, beberapa menyatakan metode red flags tidak efektif digunakan untuk mendeteksi kecurangan.

Ini yang menjadi dasar pemikiran dari penelitian kali ini, penelitian ini ingin meneliti mengenai “Persepsi auditor eksternal dan internal mengenai metode red flags


(28)

internal di wilayah Jakarta, Indonesia”. Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian sebelumnya, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Moyes dan Faizal (2013), Objek penelitian ini adalah auditor eksternal dan internal di KAP dan lembaga pemerintahan di Jakarta, sementara objek penelitian sebelumnya adalah auditor eksternal dan internal, yang merupakan auditor di institusi pemerintahan di Malaysia.

Variabel dalam penelitian ini sama dengan variabel penelitian sebelumnya, namun penelitian ini menambahkan satu variabel dimana penelitian sebelumnya telah memiliki tiga variabel yang mengacu pada teori fraud triangle dengan berfokus pada

red flags untuk kecurangan, yaitu pressure atau tekanan, opportunity atau kesempatan, dan rationalization atau rasionalisasi. Penelitian ini menambahkan indikator individual capability atau kemampuan individual untuk membuat kecurangan dalam laporan keuangan perusahaan terjadi. Alasan penambahan indikator pada variabel ini karena diyakini bahwa kasus – kasus kecurangan terjadi tidak cukup hanya karena adanya tekanan, kesempatan atau rasionalisasi melainkan ada seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kemampuan yang cukup untuk menggabungkan ketiga faktor terjadinya kecurangan tersebut menjadi kecurangan yang nyata.


(29)

B. Perumusan Masalah

Terdapat banyak penelitian yang mengangkat isu kecurangan dalam laporan keuangan perusahaan yang memang menjadi tren di beberapa tahun belakangan ini, begitu juga dengan penelitian mengenai teknik apa yang menurut auditor adalah paling efektif dalam mendeteksi kecurangan, dan metode red flags adalah satu dari banyaknya metode yang ada, ditambah penelitian yang mengangkat efektivitas dari metode red flags untuk mendeteksi kecurangan masih sangat sedikit di Indonesia.

Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan di atas, maka perumusan masalah yang hendak diteliti untuk penelitian ini adalah:

1. Bagaimana persepsi auditor eksternal terhadap efektivitas metode red flags

dalam mendeteksi kecurangan?

2. Bagaimana persepsi auditor internal terhadap efektivitas metode red flags

dalam mendeteksi kecurangan?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian mengenai persepsi auditor internal, auditor eksternal, efektivitasi metode

red flags untuk mendeteksi kecurangan ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui dan memperoleh bukti empiris mengenai persepsi auditor internal terhadap efektivitas metode red flags dalam mendeteksi kecurangan.

2. Mengetahui dan memperoleh bukti empiris mengenai persepsi auditor eksternal terhadap efektivitas metode red flags dalam mendeteksi kecurangan.


(30)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian mengenai persepsi auditor internal, auditor eksternal, efektivitasi metode red flags untuk mendeteksi kecurangan ini adalah:

1. Untuk mahasiswa jurusan Akuntansi, penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat sebagai bahan referensi penelitian selanjutnya dan pembanding untuk menambah ilmu pengetahuan.

2. Untuk masyarakat, penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat untuk sarana informasi tambahan mengenai bagaimana persepsi auditor internal dan eksternal terhadap metode red flags dalam mendeteksi kecurangan dalam laporan keuangan perusahaan.

3. Untuk peneliti berikutnya, sebagai bahan referensi bagi pihak-pihak yang akan melaksanakan penelitian lebih lanjut mengenai topik ini.


(31)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Literatur

1. Teori Segitiga Kecurangan (Fraud Triangle Theory)

Teori segitiga kecurangan ini pertama kali oleh Cressey (1953) dalam Tuanakotta (2013:45). Tuanakotta menyebutkan bahwa Cressey tertarik pada embezzlers yang disebutnya sebagai “trust violators” atau pelanggar kepercayaan, yakni mereka yang melanggar kepercayaan atau amanah yang dititipkan kepada mereka. Penelitian Cressey diterbitkan dengan judul Other People’s Money: A Study in the Social

Psychology of Embezzlement (1950), hipotetis penelitiannya adalah:

Trusted person become trust violator when they conceive of themselves as having financial problem which is non-shareable, are aware this problem can be secretly resolved by violation of the position of financial trust, and are able to apply to their own conduct in that situation verbalizations which enable them to adjust their conceptions of themselves as trusted person with their conceptions of themselves as users of the entrusted funds or property.”

Terjemahan:

“Orang yang dipercaya menjadi pelanggar kepercayaan ketika ia melihat dirinya sendiri sebagai orang yang mempunyai masalah keuangan yang tidak dapat diceritakannya kepada orang lain, sadar bahwa masalah ini secara diam – diam dapat diatasinya dengan menyalahgunakan wewenangnya sebagai pemegang kepercayaan di bidang keuangan, dan tindak – tanduk sehari – harinya memungkinkannya


(32)

menyesuaikan pandangan mengenai dirinya sebagai seseorang yang bisa dipercaya dalam menggunakan dana atau kekayaan yang dipercayakan”. Dalam teori segitiga kecurangan, terdapat model segitiga kecurangan yang dibuat untuk menjawab pertanyaan, mengapa orang melakukan kecurangan, atau mengapa kecurangan terjadi? Berikut ini adalah tiga elemen yang terdapat dalam teori segitiga kecurangan yang dikemukakan Cressey (1953):

Gambar 2.1 a. Pressure (Tekanan)

Sudut paling atas, adalah pressure atau tekanan yang dirasakan pelaku kecurangan yang dipandangnya sebagai kebutuhan keuangan yang tidak dapat diceritakannya kepada orang lain (perceived non-shareable financial needs), maka dari itu si pelaku kecurangan mulai mempertimbangkan tindakan illegal seperti menyalahgunakan aset perusahaan atau melakukan salah saji yang

Fraud Triangle

Opportunity

Pressure


(33)

disengaja pada laporan keuangan untuk menyelesaikan masalah keuangannya. Lister (2007: 63) mendefinisikan pressure sebagai “sumber panas untuk api” namun tidak berarti karena ada tekanan dalam diri seseorang, lantas orang tersebut akan melakukan fraud. Menurut Lister (2007: 63), terdapat tiga jenis tekanan yang memotivasi individu untuk melakukan fraud di perusahaan tempatnya bekerja, yaitu:

1. Personal pressure, yaitu kondisi dimana individu melakukan kecurangan karena gaya hidup,

2. Employment pressure, dimana individu tertekan untuk melakukan kecurangan karena tuntutan pekerjaan atau target kerja, atau karena kepentingan keuangan yang dimiliki manajemen perusahaan, 3. External pressure, misalnya ancaman terhadap stabilitas keuangan

perusahaan, ekspektasi pasar, dan sebagainya. b. Opportunity (Kesempatan)

Sudut kedua adalah opportunity atau kesempatan yang didefinisikan Tuanakotta (2013:46) sebagai peluang untuk melakukan kecurangan seperti yang dipersepsikan pelaku kecurangan. ACFE mendefenisikan kesempatan pada model segitiga kecurangan ini sebagai metode yang bisa digunakan untuk melaksanakan kecurangan. Pelaku kecurangan harus bisa melihat celah untuk bisa melakukan kecurangan dengan menghindari risiko sekecil mungkin tindakan kecurangannya tersebut diketahui orang lain. Lister (2007: 63) mendefinisikan kesempatan sebagai “bahan bakar yang terus membuat api”


(34)

atau dengan kata lain, walaupun individu memiliki tekanan dalam dirinya untuk melakukan fraud, itu tidak akan bisa dilakukan jika tidak ada kesempatan. Contoh opportunity yang membuat fraud bisa terjadi misalnya; tingginya tingkat turnover di divisi manajemen yang memegang peranan penting di perusahaan, atau pemisahan tugas yang tidak memadai, atau transaksi yang sifatnya kompleks, atau bahkan struktur manajemen.

c. Rationalization (Rasionalisasi)

Sudut terakhir dari segitiga kecurangan ini adalah rasionalisasi. Rasionalisasi adalah pembenaran yang “dibisikkan” untuk melawan hati nurani si pelaku kecurangan. ACFE mengklaim bahwa kebanyakan pelaku kecurangan adalah

first-time offender atau orang – orang yang baru pertama kali melakukan praktik kecurangan, dan tidak melihat diri mereka sebagai pelaku kriminal. Mereka melihat diri mereka sebagai individu yang jujur yang terjebak dalam situasi yang buruk, dan mereka menjustifikasi praktik kecurangan mereka sebagai tindakan yang legal atau bisa diterima secara umum. Vona (2008) menjabarkan contoh rasionalisasi yang biasanya dilakukan; manajer akan beralasan bahwa mereka melakukan kecurangan karena dituntut untuk memenuhi target margin perusahaan tahun ini, dan ketika mereka gagal, usaha terakhirnya adalah melakukan kecurangan untuk memberikan comfortness kepada para


(35)

2. Teori Fraud Diamond (Fraud Diamond Theory)

Teori fraud diamond merupakan pandangan baru mengenai kecurangan dimana teori ini adalah penyempurnaan dari teori segitiga kecurangan yang dicetuskan Cressey di tahun 1953. Teori fraud diamond ini dikemukakan oleh Wolfe dan Hermanson (2004) dimana teori ini menambahkan satu elemen yaitu individual capability, elemen ini diyakini memiliki pengaruh signifikan dalam kecurangan. Dengan demikian ada total empat elemen, dimana tiga elemen sebelumnya adalah pressure, opportunity dan

rationalization yang sudah ada dalam teori fraud triangle Cressey. Gambar 2.2

2.1. Elemen Fraud Diamond

Secara keseluruhan, teori fraud diamond merupakan penyempurnaan dari teori

fraud triangle yang dikemukakan Cressey, adapun elemen – elemen dari fraud diamond adalah:

1. Pressures/Incentives

2. Opportunity

3. Rationalization

4. Capability

Pressures Opportunity


(36)

a. Capability (Kemampuan)

Teori fraud triangle menjelaskan bahwa elemen opportunity atau kesempatan yang terbuka di dalam sistem perusahaan yang memungkinkan kecurangan tersebut dilakukan, sementara elemen pressure atau tekanan timbul karena kondisi – kondisi tertentu dalam perusahaan, lifestyle, tuntutan finansial, dan lain – lain. Elemen terakhir, yaitu rationalization atau rasionalisasi adalah tindakan pembenaran yang dilakukan oleh pelaku kecurangan atas kecurangan yang dilakukannya dalam perusahaan.

Menurut Wolfe dan Hermanson (2004), orang yang melakukan kecurangan tersebut harus memiliki capability atau kapabilitas untuk menyadari pintu yang terbuka sebagai peluang emas dan untuk memanfaatkanya bukan hanya sekali namun berkali-kali, inilah elemen yang ditambahkan dalam teori fraud diamond dan dianggap memberikan pengaruh yang signifkan dalam studi tentang bagaimana sebenarnya kecurangan dalam perusahaan bisa terjadi.

Wolfe dan Hermanson (2004) juga mengemukakan bahwa pada saat mendesain suatu sistem deteksi, sangat penting untuk mempertimbangkan siapa saja yang ada di perusahaan yang memiliki kapabilitas untuk melakukan kecurangan atau berpotensi menyebabkan tugas yang seharusnya dilakukan oleh auditor internal dialihkan kepada auditor eksternal, Wolfe dan Hermanson (2004) juga menjelaskan bahwa kunci dalam memitigasi kecurangan adalah dengan fokus pada situasi khusus yang terjadi selain


(37)

3. Jenis – jenis Auditor

Dalam Boynton, et al (2006) menyatakan orang – orang yang ditugaskan melakukan audit atas kegiatan dan peristiwa ekonomi baik itu untuk perorangan atau perusahaan, pada umumnya diklasifikasikan dalam tiga kelompok, antara lain:

a. Auditor Independen (External Auditor)

Auditor independen atau yang di USA biasa disebut dengan Certified Public Accountant (CPA), dimana mereka adalah praktisi individual atau auditor yang bekerja di KAP yang memberikan jasa auditing professional kepada klien, atau biasa disebut juga dengan eksternal auditor. Klien dapat berupa badan pemerintah, perusahaan berorientasi laba, entitas nirlaba, maupun perseorangan. Lisensi untuk dapat melakukan suatu audit diberikan kepada mereka yang bersertifikasi CPA serta memiliki pengalaman praktik dalam bidang audit. Auditor ini juga bertanggung jawab atas pemeriksaan atau mengaudit laporan keuangan dengan memberikan opini atas entitas yang diauditnya.

b. Auditor Internal (Internal Auditor)

Auditor internal merupakan karyawan suatu perusahaan, baik itu perusahaan milik negara maupun swasta, tempat mereka melakukan pekerjaan audit. Tugas utama auditor internal adalah menentukan apakah kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh manajemen puncak telah dipatuhi, menentukan baik atau tidaknya pengamanan terhadap aset perusahaan, menentukan efisiensi dan efektivitas setiap prosedur kegiatan perusahaan, serta menentukan kendala informasi yang dihasilkan oleh berbagai bagian dari perusahaan.Sehingga


(38)

dukungan dari manajemen informasi dari sisi auditor internal tidak banyak dimanfaatkan oleh pihak eksternal karena independensinya terbatas. Hal inilah yang membedakan auditor internal dan auditor eksternal.

4. Red Flags

Istilah red flags atau bendera merah sudah sering digunakan dalam berbagai literatur audit, maknanya adalah tanda bahaya, tanda bahwa ada hal yang tidak sesuai pada tempatnya dan perlu mendapat perhatian. Tuanakotta (2013) menyebutkan bahwa auditor dan investigator menggunakan tanda bahaya (red flags) sebagai petunjuk atau indikasi terjadinya fraud atau kecurangan pada sebuah laporan keuangan. Red flags juga bisa dikatakan sebagai suatu kondisi yang janggal atau berbeda dengan keadaan normal.

Dengan kata lain, red flags adalah petunjuk atau indikasi adanya sesuatu yang tidak biasa dan memerlukan penyidikan lebih lanjut. Red flags tidak mutlak menunjukan apakah seseorang bersalah atau tidak tetapi merupakan tanda-tanda peringatan bahwa kecurangan sedang atau telah terjadi. Red flags dikatakan penting sebagaimana dikutip dalam SAS 99 – Consideration of Fraud in a Financial Statement Audit yang menyatakan bahwa auditor diminta untuk secara spesifik menilai risiko salah saji yang disebabkan oleh kecurangan dan SAS 99 ini juga menyediakan pedoman operasi bagi auditor saat menilai kecurangan ditengah proses audit.


(39)

Tidak hanya akuntan publik yang harus bisa mengenali red flags, akuntan yang bekerja di sektor publik juga perlu memiliki kemampuan untuk mengenali red flags

karena potensi kecurangan tidak hanya ada pada perusahaan swasta. DiNapoli (2012) dalam Red Flags for Fraud menyebutkan bahwa banyak studi yang membahas kecurangan, dimana saat kecurangan tersebut sedang terjadi, red flags pun muncul, baik itu di laporan keuangan perusahaan, atau terlihat pada saat auditor sedang melakukan pemeriksaan, tapi tidak disadari atau mungkin disadari namun tidak ada tindakan yang diambil.

DiNapoli mengatakan bahwa pada saat red flag telah muncul, seseorang harus mengambil tindakan untuk mengivestigasi situasi dan menentukan apakah memang kecurangan telah terjadi. Memang sudah seharusnya jika ada indikasi kecurangan dilakukan tindakan untuk memeriksa apakah kecurangan terindikasi tersebut terjadi, namun terkadang kesalahan salah saji dalam laporan, perubahan lifestyle karyawan, volume penjualan yang tiba – tiba naik drastis, dan sebagainya tidak selalu mengindikasikan adanya kecurangan.

Untuk itu, akuntan publik dan auditor harus bisa mengetahui perbedaannya dan mengingat bahwa tanggung jawab untuk melakukan follow-up investigation untuk sebuah tanda bahaya harus berada di tangan orang yang dapat dipercaya dan bertanggungjawab. Agar akuntan publik dan auditor dapat mengenali red flags dengan baik maka mereka perlu mengetahui kategori red flags.


(40)

Red flags dikategorikan menjadi tiga menurut Moyes (2007:10) dan terdiri atas: 1. Kesempatan atau (opportunities),

2. Tekanan atau (pressures/incentives), dan

3. Perilaku (attitudes) atau rasionalisasi (rationalization).

Tiga kategori red flags ini telah dijelaskan pada bagian mengenai teori segitiga kecurangan, dimana red flags memang diciptakan dengan berdasarkan konsep teori segitiga kecurangan.

5. Kecurangan (Fraud)

Istilah fraud merupakan istilah hukum yang diserap ke dalam disiplin ilmu akuntansi, dan menjadi bagian penting dalam kosa kata akuntansi forensik. Fraud jika diartikan secara harfiah, artinya adalah kecurangan. Namun, pengertian ini telah berkembang dan sekarang mempunyai cakupan yang luas. Black Law Dictionary mendefinisikan fraud sebagai “Segala macam yang dapat dipikirkan manusia, dan yang

diupayakan oleh seseorang atau beberapa orang, untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain dengan saran yang salah atau pemaksaan kebenaran, dan mencakup semua cara yang tidak terduga, penuh siasat, serta menggunakan setiap cara yang tidak jujur yang menyebabkan orang lain tertipu”. Secara singkat dapat dikatakan bahwa fraud

adalah perbuatan curang yang berkaitan dengan sejumlah uang atau properti.

Sementara itu, The Institute of Internal Auditor (IIA) menyatakan bahwa

fraudadalah “An array of irregularities and illegal acts characterized by intentional deception” atau sekumpulan tindakan yang tidak diizinkan dan melanggar hukum yang ditandai dengan adanya unsur kecurangan yang disengaja. ISA 240 – The auditor’s


(41)

responsibility to consider fraud in an audit of financial paragraf 6 mendefenisikan

fraud sebagai “Tindakan yang disengaja oleh anggota manajemen perusahaa, pihak yang berperang dalam governance perusahaan, karyawan, atau pihak ketiga yang melakukan kebohongan, atau penipuan untuk memperoleh keuntungan yang tidak adil atau illegal”.

Kesimpulan dari beberapa pendapat diatas adalah bahwa fraud atau kecurangan dilakukan atas tujuan yang sama, yaitu untuk memperkaya diri sendiri/golongan dan cara yang dilakukan dalam tujuan memperkaya diri sendiri/golongan tersebut adalah dengan cara yang illegal. Adapun SAS No.99 menyatakan bahwa fraud adalah “Tindakan yang disengaja untuk menghasilkan salah saji material dalam laporan keuangan yang merupakan subjek audit”.

Fraud berbeda dengan robbery (perampokan). Perampokan umumnya terjadi secara paksa, biasanya disertai dengan ancaman dan tindakan kekerasan dari satu orang atau sekelompok orang kepada orang lain, dan yang menjadi perbedaan mendasar, perampokan ini diketahui oleh pihak korban secara langsung pada saat kejadian berlangsung. Tidak demikian halnya dengan kasus – kasus fraud, pada kasus – kasus ini, fraud dilakukan dengan cara yang halus, terencana, dan terstruktur sehingga pihak korban hampir tidak mengetahui bahwa dia sedang atau telah dibohongi. Selain itu, jumlah kerugian yang timbul dari perampokan tidak seberapa jika dibandingkan dengan kerugian yang timbul jika terjadi fraud pada sebuah perusahaan.


(42)

Fraud biasanya terjadi pada perusahaan dengan skala besar, walaupun kasus fraud

menunjukkan fakta bahwa perusahaan kecil pun rentan terhadap fraud karena berbagai faktor. Sebagai contoh fraud pada perusahaan besar adalah perusahaan Enron, dimana jumlah kerugian yang timbul sangatlah besar, dan kerugian ini tidak hanya timbul dari uang para investor yang disalahgunakan oleh manajemen perusahaan dibantu dengan auditor eksternal dan internal yang dibawahi oleh KAP Arthur Andersen saat itu, namun juga dana pensiun para karyawan juga lenyap disalahgunakan.

Bagan Uniform Occupational Fraud Classification System, The ACFE (Association of Certified Fraud Examiner, 2000) membagi fraud kedalam tiga jenis, yaitu:

a. Penggelapan aset (asset misappropriation), tindakan penipuan ini meliputi penyalahgunaan aset atau pencurian aset perusahaan. Tindakan penggelapan aset adalah tindakan penipuan yang paling mudah dideteksi karena sifatnya yang tangible atau dapat dihitung.

b. Pernyataan yang salah (fraudulent misstatement), dimana tindakan ini dilakukan melalui rekayasa terhadap laporan keuangan (financial engineering) untuk memperoleh keuntungan dari berbagai pihak. Jika ada tindakan penggelapan aset, maka dapat berujung pada penyajian laporan keuangan yang tidak sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan akhirnya menghasilkan laba yang atraktif (window dressing).

c. Korupsi (corruption), tergolong fraud yang paling sulit dideteksi karena biasanya tidak dilakukan oleh satu orang, melainkan dilakukan berkelompok.


(43)

Adapun kerjasama yang disiratkan disini adalah berupa penyalahgunaan wewenang, penyuapan, penerimaan hadiah yang ilegal dan pemerasan secara ekonomi.

Seorang auditor, baik itu auditor internal maupun eksternal harus mampu mengenali tiga jenis kecurangan ini, untuk itu, auditor harus mengetahui apa saja yang termasuk gejala – gejala awal terjadinya fraud dalam sebuah perusahaan. Ada dua kategori gejala awal terjadinya fraud, yaitu:

a. Gejala fraud pada manajemen

Gejala awal fraud pada manajemen yang dapat dijadikan sebagai red flags, misalnya ada ketidakcocokan antara manajemen puncak dalam menentukan kebijakan perusahaan, menurunnya motivasi karyawan karena ketidakpercayaan terhadap manajemen, tingkat keluhan yang tinggi dari pelanggan, vendor atau badan otoritas terkait terhadap perusahaan, terjadi kekurangan kas yang tidak terstruktur karena ada pengeluaran yang tidak dicatat atau tanpa bukti, terjadi penurunan kinerja perusahaan, terjadi peningkatan utang dan piutang yang tidak wajar, dan lain sebagainya.

b. Gejala fraud pada karyawan

Gejala awal fraud pada karyawan yang muncul dan dapat dijadikan sebagai red flags bagi auditor adalah misalnya, pengeluaran keuangan tanda dokumen pendukung, sering terjadi kesalahan pencatatan atau catatan transaksi tidak akurat, bukti transaksi yang merupakan dokumen sumber seringkali tidak dapat diperlihatkan dengan alasan hilang, persediaan yang dibeli perusahaan seringkali


(44)

tidak sesuai kuantitas dan kualitasnya, harga persediaan yang terlalu tingi dari yang sebelumnya, terjadi penyesuaian dalam pembukuan perusahaan tanpa ada bukti otorisasi dari manjamen.

B. Keterkaitan antar Variabel dan Perumusan Hipotesis

Hubungan atau keterkaitan antara variabel independen dan variabel dependen dalam penelitian ini, dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Persepsi eksternal dan internal auditor terhadap efektivitas red flags untuk mendeteksi kecurangan.

Terdapat empat dimensi dalam efektivitas metode red flags untuk mendeteksi kecurangan. Moyes dan Faizal (2013:95) menjabarkan tiga dimensi tersebut, yaitu dimensi opportunity, dimensi pressure, dan dimensi rationalization, dimana ketiga dimensi ini diperoleh dari fraud triangle theory atau teori segitiga kecurangan yang dikemukakan oleh Cressey (1953). Selanjutnya, Wolfe dan Hermanson (2004) mengemukakan teori terbaru yang merupakan pengembangan selanjutnya dari fraud triangle theory dimana di teori ini, ditambahkan satu dimensi lagi, yaitu dimensi capability (Omar, 2010:3).

Penelitian Apostolou et al. (2001) mengenai persepsi auditor terhadap efektivitas indikator kecurangan tidak menemukan adanya perbedaan persepsi dari eksternal auditor dan internal auditor. Heiman-Hoffman et al. (1996) dan Moyes (2006) dalam Moyes (2013:95) menyebutkan bahwa dari semua red flags, tidak semuanya mempunyai efektivitas yang sama dalam mendeteksi fraud, selain itu


(45)

eksternal dan internal auditor juga melihat efektivitas red flag dengan persepsi yang berbeda.

Moyes et al. (2009:12) menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan pendapat antara eksternal, internal dan auditor pemerintah mengenai efektivitas red flags

dalam mendeteksi kecurangan di Malaysia dan Amerika, hasil penelitiannya menunjukkan perbedaan persepsi, baik itu signifikan atau tidak di tiap indikator atas efektivitas setiap dimensi red flags. Moyes dan Faizal (2013: 103) mengungkapkan bahwa secara umum, terdapat perbedaan persepsi antara eksternal dan internal auditor untuk masing – masing dimensi efektivitas red flags. Faktanya, eksternal auditor menilai bahwa red flags lebih efektif untuk mendeteksi kecurangan, dan hal sebaliknya dengan internal auditor.

Adanya pro dan kontra atas persepsi eksternal dan internal auditor atas efektivitas opportunity red flags dalam mendeteksi kecurangan di berbagai negara merupakan hal yang lumrah dikarenakan berbagai faktor, mulai dari budaya yang berbeda, kondisi ekonomi negara yang berbeda, dan lainnya. Penelitian ini mengajukan hipotesis bahwa di Indonesia, khususnya DKI Jakarta, tidak terdapat perbedaan persepsi eksternal dan internal auditor yang signifikan atas efektivitas

opportunity red flags dalam mendeteksi kecurangan.

Ho: Tidak terdapat perbedaan persepsi yang mencolok antara eksternal dan internal auditor terhadap efektivitas red flags untuk mendeteksi kecurangan.

H1: Terdapat perbedaan persepsi antara eksternal dan internal auditor terhadap efektivitas red flags untuk mendeteksi kecurangan.


(46)

C. Hasil Penelitian Sebelumnya

Tabel 2.1

Hasil – hasil Penelitian Terdahulu No Peneliti

(Tahun)

Judul Penelitian Metodologi Penelitian Hasil Penelitian Persamaan Perbedaan

1. Moyes & Young dan Hezri Faizal (2013)

Malaysian internal and external auditor perceptions of the effectiveness of red flags for detecting fraud

Variabel persepsi eksternal dan internal auditor, lalu variabel efektivitas red flags

untuk mendeteksi kecurangan,

pengukuran variabel menggunakan skala Likert, dan metode analisis menggunakan

Independent T-test

Perbedaan grand theory pada penelitian, yang berujung pada penambahan satu dimensi yaitu

Capability yang disebutkan dalam

Fraud Diamond Theory

Secara umum, auditor di Malaysia memiliki persepsi yang berbeda mengenai efektivitas red flags untuk mendeteksi kecurangan, dimana setiap indikator red flags

memiliki tingkat

efektivitas yang berbeda-beda, namun eksternal auditor berpersepsi bahwa

red flags lebih efektif mendeteksi kecurangan daripada internal auditor. Bersambung di halaman selanjutnya


(47)

Tabel 2.1 (Lanjutan) No Peneliti

(Tahun)

Judul Penelitian Metodologi Penelitian Hasil Penelitian

Persamaan Perbedaan

2. Yucel (2013)

Effectiveness of Red Flags in Detecting Fraudulent Financial Reporting: An

Application in Turkey

Variabel persepsi eksternal auditor, dan variabel efektivitas

red flags, pengukuran variabel menggunakan skala Likert.

Perbedaan grand theory pada penelitian, yang berujung pada penambahan satu dimensi yaitu

Capability yang disebutkan dalam

Fraud Diamond Theory

Auditor di Turki berpersepsi

red flags cukup efektif sebagai metode deteksi kecurangan, namun

opportunity red flags adalah yang paling efektif untuk mendeteksi kecurangan.

Opportunity untuk

melakukan kecurangan lebih berpotensi menimbulkan kecurangan dibandingkan kategori red flags lainnya. 3. Rukmawati

dan Chariri (2011)

Persepsi Manajer dan Auditor Eksternal Mengenai Efektivitas Metode Pendeteksian dan Pencegahan Tindakan Kecurangan Keuangan Variabel Persepsi Auditor Eksternal, Pengukuran variabel menggunakan skala Likert. Tidak terdapat variabel persepsi internal auditor, dan efektivitas metode red flags.

Ada persamaan persepsi antara manajer dan auditor eksternal, dari total 34 indikator metode pendeteksian dan pencegahan tindakan kecurangan, hanya 8 indikator yang memiliki persepsi yang berbeda. Bersambung pada halaman selanjutnya


(48)

Tabel 2.1 (Lanjutan) No Peneliti

(Tahun)

Judul Penelitian Metodologi Penelitian Hasil Penelitian

Persamaan Perbedaan

Adanya persamaan maupun perbedaan persepsi antara manajer dan auditor eksternal dapat disebabkan karena adanya perbedaan tingkat pendidikan dari setiap responden, selain itu juga dipengaruhi oleh pengalaman kerja, serta latar belakang dari setiap

responden. 4. Moyes et al.

(2009)

The Effectiveness of The Auditing

Standards To Detect Fraudulent Financial Reporting Activities in Financial Statements Audits in Malaysia

Variabel efektivitas

red flags untuk mendeteksi kecurangan,

Pengukuran variabel menggunakan skala Likert, Ada unit analisis yang sama (eksternal dan internal auditor) Menguji efektivitas red flags berdasarkan demografi, terhadap setiap kategori red flags.

Level efektivitas dari setiap kategori red flags berbeda menurut setiap jenis auditor, ini bisa terjadi karena adanya perbedaan pengalaman kecurangan menggunakan red flags

untuk setiap jenis auditor, selain itu dipengaruhi oleh kultur budaya, tingkat pendidikan, gender dan beberapa faktor lainnya. Bersambung ke halaman selanjutnya


(49)

Tabel 2.1 (Lanjutan) No Peneliti

(Tahun)

Judul Penelitian Metodologi Penelitian Hasil Penelitian

Persamaan Perbedaan

5. Moyes, (2007)

The Differences in Perceived Level of Fraud-Detecting Effectiveness of SAS No.99 Red Flags Between External and Internal Auditors

Variabel efektivitas red flags untuk mendeteksi kecurangan, variabel eksternal auditor dan internal auditor, pengukuran variabel dengan skala Likert, dan metode analisis data menggunakan

Independent T-test.

Grand theory

berbeda, penelitian Moyes menggunakan

fraud triangle theory

sementara penelitian ini menggunakan

fraud diamond theory. Info demografis yang berbeda yang kemudian dipakai sebagai pertimbangan analisis hasil penelitian.

Persepsi auditor eksternal dan internal auditor memang bervariasi, namun konsisten dengan penelitian-penelitian terdahulu, dimana eksternal auditor melihat red flags

sebagai metode deteksi kecurangan yang lebih efektif dibandingkan dengan internal auditor.


(50)

D. Kerangka Pemikiran

Skema kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam gambar 2.1

Bersambung ke halaman selanjutnya

Maraknya Kecurangan dan Pelanggaran yang Dilakukan Manajemen Terhadap Perusahaan

Tanggungjawab Eksternal dan Internal Auditor untuk Bisa Mendeteksi Kecurangan Dalam Perusahaan

Efektivitas Metode Red Flags untuk Mendeteksi Kecurangan Dalam Perusahaan

Grand Theory: Fraud Diamond Theory, Fraud Triangle Theory, dan Teori – teori Audit

Variabel Independen Variabel Dependen Persepsi Internal

Auditor (X1)

Persepsi Eksternal Auditor (X2)

Efektivitas Red Flags Dalam Mendeteksi Kecurangan (Y) Metode Deteksi Kecurangan yang Digunakan Auditor


(51)

Gambar 2.1 (Lanjutan)

Gambar 2. 1

Skema Kerangka Pemikiran

Metode Pengujian Hipotesis: Independent T-test

Hasil Pengujian Data dan Analisis Data

Kesimpulan, Implikasi, Keterbatasan dan Saran Penelitian


(52)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana persepsi auditor independen dan persepsi auditor internal terhadap efektivitas red flag untuk mendeteksi kecurangan dalam perusahaan. Populasi dalam penelitian ini adalah auditor yang bekerja di kantor akuntan publik, auditor yang bekerja di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan auditor yang bekerja di institusi negara yang berlokasi di Jakarta.

B. Metode Pemilihan Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah auditor yang bekerja pada kantor akuntan publik, BUMN dan institusi negara yang berlokasi di wilayah Jakarta. Metode pemilihan sampel yang digunakan adalah metode purposive sampling. Metode

purposive sampling menurut Sugiyono (2011:66) adalah teknik pemilihan sampel dimana tidak dilakukan generalisasi terhadap sampel yang diambil. Bungin (2005:125) menjelaskan bahwa teknik purposive sampling lebih digunakan pada penelitian – penelitian yang lebih mengutamakan tujuan penelitian daripada sifat populasi dalam menentukan sampel penelitian.


(53)

Populasi dalam penelitian ini adalah eksternal auditor yang bekerja di kantor akuntan publik di DKI Jakarta dan BPKP Pusat dan internal auditor yang bekerja di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan BPK Pusat yang semuanya berlokasi di DKI Jakarta.

Kriteria pemilihan sampel dalam penelitian ini ditetapkan sebagai berikut: 1. Auditor yang bekerja pada Kantor Akuntan Publik (KAP) yang ada di Jakarta

dan sesuai dengan Directory KAP per Februari 2015 yang dipublikasikan oleh Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI).

2. Auditor yang bekerja di BUMN yang ada di Jakarta dan sesuai dengan Daftar BUMN yang diterbitkan oleh Kementrian BUMN per Februari 2015.

3. Auditor yang bekerja di BPK dan BPKP wilayah Jakarta per Februari 2015. 4. Auditor memiliki nomor register akuntan atau tidak, pernah melaksanakan

pekerjaan audit dengan pengalaman minimal dua tahun.

C. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua cara, yaitu penelitian pustaka dan penelitian lapangan. Berikut penjelasannya:

1. Penelitian Pustaka (Library Research)

Peneliti memperoleh informasi yang berkaitan dengan topik yang sedang diteliti melalui buku, jurnal, tesis, skripsi, website resmi dan perangkat lain yang berkaitan dengan judul penelitian.


(54)

2. Penelitian Lapangan (Field Research)

Pada penelitian ini, yang menjadi subjek penelitian adalah auditor yang bekerja di KAP wilayah Jakarta dan BPKP Pusat yang biasa dikenal dengan sebutan eksternal auditor, dan auditor yang bekerja di BUMN wilayah Jakarta dan BPK Pusat yang dikenal dengan sebutan internal auditor. Metode pengumpulan data lapangan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode angket atau kuesioner, Bungin (2011:133) menjelaskan bahwa metode angket merupakan serangkaian atau daftar pertanyaan yang disusun secara sistematis, kemudian dikirim untuk diisi oleh responden, setelah diisi, kuesioner dikirim kembali atau dikembalikan kepada peneliti.

Waktu pengumpulan data dimulai dengan penyebaran kuesioner pada tanggal 16 April 2015 dan batas pengumpulan kuesioner adalah tanggal 16 Mei 2015. Peneliti memperoleh data dengan memberikan kuesioner secara langsung maupun melalui perantara. Sebelum kuesioner diberikan kepada responden sesungguhnya, terlebih dahulu dilakukan pre-test kuesioner terhadap 20 mahasiswa S1 akuntansi yang dipilih secara random. Pre-test kuesioner bertujuan untuk mengetahui apakah kuesioner yang digunakan dalam mengumpulkan data dapat dengan mudah dipahami, dan responden tidak mengalami kesulitan dalam menangkap maksud yang diajukan dalam kuesioner.

Data primer diperoleh dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah terstruktur dengan tujuan untuk mengumpulkan informasi dari sampel sebagai responden penelitian.


(55)

D. Metode Analisis Data

Metode analisis data menggunakan statistik deskriptif, uji kualitas data, uji

non-response bias, uji normalitas data dan uji hipotesis. 1. Statistik Deskriptif

Statistik deskriptif diperlukan untuk memberikan gambaran umum, mengenai responden yang dilihat dari nilai rata – rata (mean), standar deviasi, varian, maksimum, sum, range, kurtosis, dan skewness

(kemencengan distribusi) (Imam Ghozali. 2009:19). 2. Uji Kualitas Data

Untuk mengetahui keandalan suatu kuesioner yang merupakan indikator dari variabel penelitian, maka diperlukan uji reliabilitas dan validitas (Hair, Black, Balbin, dan Anderson, 2009: 75). Untuk menguji kualitas data yang diperoleh dari kuesioner yang disebarkan, maka diperlukan uji validitas dan reliabilitas. Terdapat dua jenis uji kualitas data yang dilakukan dalam penelitian ini:

a. Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah alat untuk mengukur suatu kuesioner yang merupakan indikator dari variabel. Suatu kuesioner dikatakan reliable atau andal jika jawaban seseorang terhadap pernyataan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu (Imam Ghozali, 2009:45). Imam Ghozali (2009:46) menyebutkan bahwa pengukuran reliabilitas dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:


(56)

1) Repeated Measure atau pengukuran ulang: Disini seseorang akan disodori pertanyaan yang sama pada waktu yang berbeda, dan kemudian dilihat apakah ia tetap konsisten dengan jawabannya. 2) One Shot atau pengukuran sekali saja: Disini pengukurannya hanya

sekali dan kemudian hasilnya dibandingkan dengan pertanyaan lain atau mengukur korelasi antar jawaban pertanyaan. Kriteria pengujian dilakukan dengan menggunakan pengujian Cronbach Alpha (α). Suatu variabel dikatakan andal jika memberikan nilai Cronbach Alpha > 0.70.

b. Uji Validitas

Uji validitas digunakan untuk mengukur valid atau tidaknya suatu kuesioner. Kuesioner dikatakan dikatakan valid jika pertanyaan pada kuesioner mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut (Imam Ghozali, 2009:49). Pengujian validitas dalam penelitian ini menggunakan Pearson Correlation, yaitu dengan cara menghitung korelasi antara nilai yang diperoleh dari pertanyaan – pertanyaan. Apabila Pearson Correlation yang didapat memiliki nilai di bawah 0.05 dimana artinya data yang diperoleh adalah valid (Imam Ghozali, 2009).


(57)

3. Uji Normalitas Data

Screening terhadap normalitas data merupakan langkah awal yang harus dilakukan untuk setiap analisis multivariat, khususnya jika tujuannya adalah inferensi. Jika terdapat normalitas, maka residual akan terdistribusi secara normal dan independen (Imam Ghozali, 2009:27). Pada penelitian ini, pengujian terhadap normalitas data akan dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov, dimana syarat sekelompok data dikatakan normal apabila probabilitasnya diatas 0.05.

4. Uji Hipotesis

Pengujian hipotesis untuk penelitian ini adalah dengan menggunakan

Independent Sample t-Test atau uji t dua sampel. Uji t dua sampel digunakan untuk menentukan apakah dua sampel yang tidak berhubungan memiliki nilai rata – rata (mean) yang berbeda. Uji t dua sampel dilakukan dengan cara membandingkan perbedaan antara dua nilai mean dengan standar error dari perbedaan mean dari kedua sampel (Imam Ghozali, 2009:60).

Pada prinsipnya, tujuan uji t dua sampel ini adalah ingin mengetahui apakah ada perbedaan mean antara dua populasi, dengan melihat mean dua sampelnya (Singgih Santoso, 2014:248). Uji t dua sampel dilakukan dalam dua tahapan; tahapan pertama adalah menguji apakah varians dari dua populasi bisa dianggap sama atau tidak melalui nilai levene test.


(58)

Selanjutnya dilakukan pengujian untuk melihat nilai t-test untuk menentukan apakah terdapat perbedaan nilai rata – rata secara signifikan atau tidak (Imam Ghozali, 2009:61). Pada dasarnya, uji t mensyaratkan adanya kesamaan varians dari dua populasi yang diuji (Singgih Santoso, 2014:61).

Menurut Singgih Santoso (2014: 253), dasar pengambilan keputusan adalah sebagai berikut:

1) Jika probabilitas > 0.05, maka Ho diterima, atau Ha ditolak. Ini berarti, tidak terdapat perbedaan persepsi yang mencolok antara eksternal auditor dan internal auditor terhadap efektivitas red flags

untuk mendeteksi kecurangan di perusahaan.

2) Jika probabilitas < 0.05, maka Ho ditolak, atau Ha diterima. Jika ini terjadi, berarti terdapat perbedaan persepsi yang mencolok antara eksternal auditor dan internal auditor terhadap efektivitas red flags


(59)

E. Operasionalisasi Variabel Penelitian

Pada sub-bab ini akan diuraikan definisi dari masing – masing variabel yang digunakan, berikut dengan operasional dan cara pengukurannya.

1. Persepsi Auditor

a. Persepsi Eksternal Auditor

Mahmud (1990) dalam Rukmawati dan Chariri (2011) mengungkapkan bahwa persepsi merupakan faktor psikologis yang mempunyai peranan penting dalam mempengaruhi perilaku seseorang. Perbedaan persepsi sangat dipengaruhi oleh interpretasi yang berbeda pada setiap individu atau kelompok.

Robbins (2008) menyatakan bahwa persepsi adalah proses dimana individu mengatur dan menginterpretasikan kesan sensoris mereka, guna memberikan arti bagi lingkungan mereka. Sama halnya dengan ketika auditor baik itu independen maupun internal, mereka dapat memiliki persepsi yang sama atau berbeda terhadap beberapa jenis metode deteksi kecurangan, bahkan walaupun metode yang digunakan sama persis, pasti akan terjadi perbedaan persepsi atas tingkat efektivitas metode tersebut.

Variabel ini diukur dengan membedakan jenis respondennya yaitu auditor eksternal yang bekerja baik itu di KAP dan BPK Pusat yang berlokasi di DKI Jakarta, dengan menggunakan acuan instrumen dari Moyes dan Faizal (2013).


(60)

b. Persepsi Internal Auditor

Seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa walaupun auditor eksternal dan internal menggunakan metode deteksi kecurangan yang sama, yaitu metode red flags, persepsi yang dimiliki auditor tersebut bisa saja sama atau berbeda. Persamaan persepsi bisa terjadi karena ruang lingkup pekerjaan yang tidak jauh berbeda, dimana auditor eksternal sebagai pihak independen bertanggungjawab untuk mendeteksi kecurangan.

Sementara, auditor internal sebagai pihak yang bertanggungjawab untuk mengawasi pengendalian internal dalam perusahaannya. Namun, perbedaan persepsi juga sangat mungkin terjadi di tingkat efektivitas setiap metode, karena auditor eksternal dan internal memiliki pertimbangannya masing – masing, dan pertimbangan ini dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya insting, pengalaman, kondisi perusahaan, dan lain – lain.

Variabel ini diukur dengan membedakan jenis respondennya yaitu auditor internal yang bekerja baik itu di BUMN dan BPKP Pusat yang berlokasi di DKI Jakarta, dengan menggunakan acuan instrumen dari Moyes dan Faizal (2013).

2. Efektivitas Red Flags

Analisis mengenai red flags pasti akan dikaitkan dengan pemahaman mengenai fraud. Tuanakotta (2013) menyebutkan bahwa auditor dan investigator menggunakan tanda bahaya (red flags) sebagai petunjuk atau indikasi terjadinya fraud atau kecurangan pada sebuah laporan keuangan.


(61)

Red flags juga bisa dikatakan sebagai suatu kondisi yang janggal atau berbeda dengan keadaan normal. Variabel efektivitas red flags dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Moyes dan Faizal (2013) dan instrumen terbaru yang dikembangkan oleh Omar (2010). Variabel ini kemudian diukur dengan menggunakan skala interval (Likert) yang terdiri atas 5 poin, dimulai dari sangat tidak efektif (1), tidak efektif (2), netral (3), efektif (4) dan sangat efektif (5).

a. Opportunity (Kesempatan/Peluang)

Tuanakotta (2013:46) mendefinisikan opportunity atau kesempatan sebagai peluang untuk melakukan kecurangan seperti yang dipersepsikan pelaku kecurangan. Lister (2007: 63) mendefinisikan kesempatan sebagai “bahan bakar yang terus membuat api” atau dengan kata lain, walaupun individu memiliki tekanan dalam dirinya untuk melakukan fraud, itu tidak akan bisa dilakukan jika tidak ada kesempatan.

Contoh opportunity yang membuat fraud bisa terjadi misalnya; tingginya tingkat turnover di divisi manajemen yang memegang peranan penting di perusahaan, atau pemisahan tugas yang tidak memadai, atau transaksi yang sifatnya kompleks, atau bahkan struktur manajemen.

Opportunity diukur dengan menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Moyes dan Faizal (2013), dengan menggunakan skala interval Likert

1 sampai 5. Jawaban yang didapat memiliki skor, yaitu; (1) sangat tidak efektif, (2) tidak efektif, (3) netral, (4) efektif, dan (5) sangat efektif.


(62)

b. Pressure (Tekanan/Insentif)

Pressure atau tekanan yang dirasakan pelaku kecurangan yang dipandangnya sebagai kebutuhan keuangan yang tidak dapat diceritakannya kepada orang lain (perceived non-shareable financial needs), maka dari itu si pelaku kecurangan mulai mempertimbangkan tindakan illegal seperti menyalahgunakan aset perusahaan atau melakukan salah saji yang disengaja pada laporan keuangan untuk menyelesaikan masalah keuangannya. Lister (2007:63) juga mendefinisikan pressure sebagai “sumber panas untuk api” namun tidak berarti karena ada tekanan dalam diri seseorang, lantas orang tersebut akan melakukan fraud.

Dalam penelitian ini, pressure diukur dengan menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Moyes dan Faizal (2013), dengan menggunakan skala interval Likert 1 sampai 5. Jawaban yang didapat memiliki skor, yaitu; (1) sangat tidak efektif, (2) tidak efektif, (3) netral, (4) efektif, dan (5) sangat efektif.

c. Rationalization (Rasionalisasi)

Rae dan Subramaniam (2008) melihat pressure berkaitan dengan motivasi karyawan untuk melakukan fraud sebagai akibat dari kerakusan atau tekanan keuangan pribadi, sementara opportunity adalah kelemahan di dalam sistem yang membuat karyawan mampu memanfaatkan celah tersebut dan kemudian melakukan fraud, dan rasionalisasi adalah justifikasi dari praktik kecurangan yang dilakukannya.


(63)

Rasionalisasi ini akan timbut apabila karyawan tersebut tidak memiliki integritas atau alasan moral lainnya. Dalam penelitian ini, rationalization

diukur dengan menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Moyes dan Faizal (2013), dengan menggunakan skala interval Likert 1 sampai 5. Jawaban yang didapat memiliki skor, yaitu; (1) sangat tidak efektif, (2) tidak efektif, (3) netral, (4) efektif, dan (5) sangat efektif.

d. Capability (Kemampuan)

Wolfe dan Hermanson (2004) memperkenalkan capability sebagai dimensi yang terbaru untuk melengkapi fraud triangle theory yang diusung Cressey (1953) yang sekarang dikenal dengan nama fraud diamond theory.

Capability didefinisikan sebagai karakter pribadi dari si pelaku kecurangan, secara teoritis kecurangan akan lebih mudah dilakukan apabila si pelaku cenderung agak memaksa, memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan memiliki kuasa untuk membuat keputusan langsung.

Dalam penelitian ini, capability diukur dengan menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Omar (2010), dengan menggunakan skala interval

Likert 1 sampai 5. Jawaban yang didapat memiliki skor, yaitu; (1) sangat tidak efektif, (2) tidak efektif, (3) netral, (4) efektif, dan (5) sangat efektif.


(64)

Tabel 3.1

Operasionalisasi Variabel Penelitian

Variabel Dimensi Indikator Butir

Pertanyaan Skala Pengukuran Efektivitas red flags (Y) (Moyes et al., 2013)

Opportunity

(Moyes et al., 2013)

Penerimaan dalam kas perusahaan

1 Interval Pengawasan terhadap

pengendalian internal

2 Pemisahan tugas 3 Pengawasan terhadap

aset perusahaan

4 Pencatatan transaksi 5 Rekonsiliasi aset 6 Turnover karyawan dan

kinerja staf

7 Sistem otorisasi

transaksi

8 Transaksi tidak biasa 9 Karakteristik

persediaan

10

Pressure

(Moyes et al., 2013)

Regulasi baru 1 Interval Kompensasi

manajamen

2 Kompetisi bisnis dan

kejenuhan pasar 3 Pertumbuhan dan profitabilitas perusahaan 4 Kemampuan margin perusahaan 5 Kebutuhan terhadap utang/tambahan biaya modal 6 Permintaan barang/jasa menurun 7 Kerentanan perusahaan terhadap kondisi eksternal bisnis 8 Penyetujuan terhadap utang perusahaan 9 Kepentingan manajemen terhadap keuangan perusahaan. 10


(65)

Rationalization

(Moyes et al., 2013)

Meningkatkan harga saham/tren pendapatan

1 Interval Perselisihan antar

auditor

2 Memperbaiki margin 3 Indikasi ketidakpuasan

karyawan

4 Pendapatan terlapor 5 Catatan pelanggaran

hukum oleh perusahaan

6 Usaha pengurangan

risiko

7 Dominasi manajemen 8 Pengendalian internal 9 Perilaku & lifestyle 10

Capability

(Moyes et al., 2013)

Posisi dalam perusahaan

1 Interval Mampu memanfaatkan

pengendalian internal perusahaan

2 Ego dan kepercayaan

diri yang besar

3 Kepribadian yang

persuasive

4 Perilaku tidak jujur /

menghindari auditor


(1)

113

OP

9

Equal variances

assumed .608 .438 1.437 92 .154 .234 .163 -.089 .557

Equal variances

not assumed 1.437

89.00

7 .154 .234 .163 -.089 .558

OP 10

Equal variances

assumed .544 .462 2.121 92 .037 .362 .171 .023 .700

Equal variances

not assumed 2.121

91.69

0 .037 .362 .171 .023 .700

*Hasil Uji Hipotesis untuk Dimensi

Pressure

Group Statistics

Auditor N Mean Std. Deviation Std. Error Mean PR1

Eksternal 47 3.57 .651 .095

Internal 47 3.43 .927 .135

PR2 Eksternal 47 3.74 .736 .107

Internal 47 3.47 .687 .100

PR3 Eksternal 47 3.74 .706 .103

Internal 47 3.36 .568 .083

PR4 Eksternal 47 3.81 .680 .099

Internal 47 3.72 .682 .099

PR5 Eksternal 47 3.72 .826 .121

Internal 47 3.38 .709 .103

PR6 Eksternal 47 3.45 .746 .109

Internal 47 3.40 .681 .099

PR7 Eksternal 47 3.70 .749 .109

Internal 47 3.68 .594 .087

PR8 Eksternal 47 3.91 .803 .117

Internal 47 3.02 .897 .131

PR9 Eksternal 47 4.11 .759 .111

Internal 47 3.79 .623 .091

PR10

Eksternal 47 4.21 .657 .096


(2)

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of Variances

t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig. (2-tailed)

Mean Differenc

e

Std. Error Differenc

e

95% Confidence Interval of the

Difference Lower Upper

PR 1

Equal variances

assumed 3.812 .054 .902 92 .370 .149 .165 -.179 .477

Equal variances

not assumed .902

82.51

2 .370 .149 .165 -.180 .477

PR 2

Equal variances

assumed .001 .980 1.883 92 .063 .277 .147 -.015 .568

Equal variances

not assumed 1.883

91.56

0 .063 .277 .147 -.015 .568

PR 3

Equal variances

assumed .405 .526 2.897 92 .005 .383 .132 .120 .646

Equal variances

not assumed 2.897

87.97

3 .005 .383 .132 .120 .646

PR 4

Equal variances

assumed .002 .967 .606 92 .546 .085 .141 -.194 .364

Equal variances

not assumed .606

91.99

9 .546 .085 .141 -.194 .364

PR 5

Equal variances

assumed .844 .361 2.144 92 .035 .340 .159 .025 .656

Equal variances

not assumed 2.144

89.91

6 .035 .340 .159 .025 .656

PR 6

Equal variances

assumed .875 .352 .289 92 .773 .043 .147 -.250 .335

Equal variances

not assumed .289

91.23

5 .773 .043 .147 -.250 .335

PR

Equal variances


(3)

115

Equal variances

not assumed 5.090

90.90

3 .000 .894 .176 .545 1.242

PR 9

Equal variances

assumed 2.268 .135 2.229 92 .028 .319 .143 .035 .604

Equal variances

not assumed 2.229

88.66

8 .028 .319 .143 .035 .604

PR 10

Equal variances

assumed .649 .423 1.754 92 .083 .255 .146 -.034 .544

Equal variances

not assumed 1.754

90.42

5 .083 .255 .146 -.034 .544

*Hasil Uji Hipotesis untuk Dimensi

Rationalization

Group Statistics

Auditor N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

RA1 Eksternal 47 3.77 .758 .111

Internal 47 3.64 .845 .123

RA2 Eksternal 47 3.51 .804 .117

Internal 47 3.36 .965 .141

RA3 Eksternal 47 4.06 .604 .088

Internal 47 3.89 1.005 .147

RA4 Eksternal 47 3.60 .876 .128

Internal 47 3.79 .832 .121

RA5 Eksternal 47 3.96 .806 .118

Internal 47 3.96 .908 .132

RA6 Eksternal 47 3.91 .880 .128

Internal 47 3.74 .920 .134

RA7 Eksternal 47 4.09 .747 .109

Internal 47 4.04 .884 .129

RA8 Eksternal 47 3.68 .783 .114

Internal 47 3.79 .931 .136

RA9 Eksternal 47 4.17 .761 .111

Internal 47 3.26 1.073 .156

RA10 Eksternal 47 3.94 .763 .111


(4)

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances

t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig. (2-tailed)

Mean Differenc

e

Std. Error Differenc

e

95% Confidence Interval of the

Difference Lower Upper

RA 1

Equal variances

assumed .034 .855 .771 92 .443 .128 .166 -.201 .457

Equal variances

not assumed .771

90.93

2 .443 .128 .166 -.201 .457

RA 2

Equal variances

assumed 2.680 .105 .813 92 .418 .149 .183 -.215 .513

Equal variances

not assumed .813

89.09

6 .419 .149 .183 -.215 .513

RA 3

Equal variances

assumed 4.947 .029 .995 92 .322 .170 .171 -.170 .510

Equal variances

not assumed .995

75.42

8 .323 .170 .171 -.171 .511

RA 4

Equal variances

assumed 1.823 .180

-1.086 92 .280 -.191 .176 -.542 .159 Equal variances

not assumed

-1.086

91.75

9 .280 -.191 .176 -.542 .159

RA 5

Equal variances

assumed .001 .978 .000 92 1.000 .000 .177 -.352 .352

Equal variances

not assumed .000

90.73

8 1.000 .000 .177 -.352 .352

RA 6

Equal variances

assumed .002 .965 .916 92 .362 .170 .186 -.199 .539

Equal variances

not assumed .916

91.82

3 .362 .170 .186 -.199 .539

RA 7

Equal variances

assumed .015 .903 .252 92 .801 .043 .169 -.293 .378

Equal variances

not assumed .252

89.51


(5)

117

Equal variances

not assumed 4.769

82.94

1 .000 .915 .192 .533 1.296

RA 10

Equal variances

assumed 1.002 .320 .980 92 .330 .170 .174 -.175 .515

Equal variances

not assumed .980

89.17

2 .330 .170 .174 -.175 .515

*Hasil Uji Hipotesis untuk Dimensi

Capability

Group Statistics

Auditor N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

CA1 Eksternal 47 4.04 .721 .105

Internal 47 4.04 .908 .132

CA2 Eksternal 47 4.15 .691 .101

Internal 47 3.85 1.083 .158

CA3 Eksternal 47 3.64 .870 .127

Internal 47 3.49 .748 .109

CA4 Eksternal 47 3.43 .744 .109

Internal 47 3.45 .619 .090

CA5 Eksternal 47 4.15 .751 .110


(6)

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of Variances

t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig. (2-tailed)

Mean Differenc

e

Std. Error Differenc

e

95% Confidence Interval of the

Difference Lower Upper

CA 1

Equal variances

assumed .108 .744 .000 92 1.000 .000 .169 -.336 .336

Equal variances

not assumed .000

87.51

3 1.000 .000 .169 -.336 .336

CA 2

Equal variances

assumed 2.452 .121 1.590 92 .115 .298 .187 -.074 .670 Equal variances

not assumed 1.590

78.11

9 .116 .298 .187 -.075 .671

CA 3

Equal variances

assumed 1.624 .206 .890 92 .376 .149 .167 -.184 .481

Equal variances

not assumed .890

89.96

8 .376 .149 .167 -.184 .482

CA 4

Equal variances

assumed 1.146 .287 -.151 92 .881 -.021 .141 -.302 .259 Equal variances

not assumed -.151

89.03

1 .881 -.021 .141 -.302 .259

CA 5

Equal variances

assumed .321 .573 .894 92 .373 .149 .167 -.182 .480

Equal variances

not assumed .894

90.37