ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional. Langkah-langkah yang diambil antara lain mewajibkan perusahaan-perusahaan asing memberikan latihan-latihan dan
tanggung jawab kepada tenaga-tenaga bangsa Indonesia agar dapat menduduki jabata-jabatan staf, mendirikan perusahaan-perusahan negara, menyediakan kredit
dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasioanal serta memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing yang ada. Kebijakan
pemerintah, terutama lisensi istimewa telah menimbulkan perdebatan di parlemen. Oleh Tjikwan dari Masyumi diajukan mosi tidak percaya terhadap Menteri
Perekonomian Iskaq. Meskipun mosi Tjikwan dapat dikalahkan, namun kabinet menjadi goyah, karena NU menyampaikan nota politik yang menghendaki perubahan
personalia kabinet, pada bulan November 1954 Iskaq digantikan oleh Ir. Rooseno Surjodikusumo. Megenai masalah pengolahan bank pemerintah dan swasta di
Indonesia, Sjafruddin Prawiranegara bukan Menteri Keuangan pada kabinrt RIS serta kemudian menjabat gubenur Bank Indonesia mengatakan keberhasilan bank sentral,
dalam hal ini bank pemerintah, tergantung kerjasama dengan bank-bank lainnya. Bank sentral demi keberlangsungan bank-bank yang lebih kecil harus dapat
mengurangi persaingan mereka.
4. Sistem Ekonomi Liberal
Setelah pengakuan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949, kita menanggung beban ekonomi dan keuangan sebagai akibat ketentuan-ketentuan KBM.
Beban hutang luar negri sebesar Rp. 1.500 juta dan hutang dalam negri sejumlah Rp. 2.800 juta. Struktur ekonomi yang kita warisi adalah berat sebelah. Ekspor kita masih
bergantung kepada berapa jenis hasil perkebunan. Produksi barang ekspor dibawah produksi sebelum perang Dunia II. Masalah jangka pendek yang harus diselesaikan
pemerintah adalah: mengurangi jumlah uang yang beredar dan mengatasi kenaikan biaya hidup. Sedangkan masalah jangka panjang adalah masalah pertambahan
penduduk dang tingkat hidup yang rendah. Beban yang berat ini merupakan konsekuensi daripada pengakuan kedaulatan. Defisit pemerintah pada waktu itu
sejumlah Rp. 5,1 miliyar. Defisit ini sebagian berhasil dikurangi dengan pinjaman pemerintah, yaitu dengan cara melakukan tindakan keuangan pada tanggal 20 Maret
1950. Jumlah pinjaman wajib sebesar Rp. 1,6 miliyar. Kemudian dengan kesepakan sidang menteri Uni Indonesia-Belanda diperoleh kredit sebesar Rp. 200 juta dari
Negara Belanda. Pada tanggal 13 Maret dibidang perdagangan diadakan usaha untuk memajukan ekspor dengan sistem sertifikasi devisa, tujuannya untuk merangsang
ekspor. Karena pecahnya perang Korea, ekspor RI pada tahun 1950 meningkat. Ekspor
Indonesia mencapai 187 pada bulan April 1950 dan 243 pada bulan Mei, atau sebesar 115 juta. Disamping usaha tersebut pemerintah juga berusaha mendapatkan
kredit luar negeri, kredit ini dimaksudkan untuk membangun prasarana ekonomi. Misi Mentri Kemakmuran Ir. Djuanda ke Amerika Serikat berhasil mendapat kredit
dari Exim Bank Wasington sebesar 52.245.000. Jumlah ini ditentukan untuk membangun
proyek-proyek pengangkutan
otomotif, pembangunan
jalan, telekomunikasi, pelabuhan, kereta api, dan perhubungan udara. Sejak tahun 1951
penerimaan mulai berkurang sebab menurunnya volume perdagangan internasional. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, tidak memiliki barang-barang ekspor lainnya selain hasil perkebunan. Perkembangan perekonomian Indonesia tidak
menunjukkan kearah yang stabil, bahkan sebaliknya. Pengeluaran pemerintah yang semakin meningkat akibat tidak stabilnya situasi politik. Perluasan program
pemerintah, biaya untuk operasi-operasi keamanan dalam negeri adalah sebab utama terjadinya defisit. Disamping itu pemerintah sendiri tidak berhasil meningkatkan
produksi dengan memanfaatkan sumber-sumber yang masih ada ntuk peningkatan pendapatan nasional. Kelemahan pemerintah lainnya adalah politik keuangan tidak
dibuat di Indonesia melainkan dirancang di Belanda. Jadi sebab-sebab ketidakstabilan perekonimian bukan semata-mata pada perluasan program, tetapi di pengaruhui oleh
dua faktor diatas. Dalam hal ini adalah akibat dari politik kolonial Belanda. Oleh pemerintah belanda kita tidak diwarisi tenaga yang terampil ynag cukup, sehingga
usaha mengubah dari sistem ekonomi kolonial ke ekonomi nasional tidak mengalami perubaha yang drastis.
Pada tahun berikutnya pemerintah berusaha keras untuk meningkatkan penghasilan negara. Kebijakan moneter ditinjau kembali, sesudah pada akhir tahun
1951 nasionalisasi De Javache Bank. Usaha pemerintah menurunkan biaya ekspor dan melakukan penghematan. Defisit pada tahun 1952 telah meningkat menjadi 3
miliyar. Oleh karena anggaran belanja pemerintah belum pernah disahkan oleh DPR, maka sejak 1952 rencana anggaran belanja dimintakan persetujuan DPR. Karena
defisit ini ada kencenderungan mencetak mata uang baru, yang menimbulkan inflasi. Sejak tahun 1953 defisit anggaran belanja pemerintah sebesar Rp. 3.047 dan
peredaran uang pada waktu itu berjumlah Rp. 7,6 miliyar, defisit berlanjut terus sampai tahun 1958. Defisit yang terus menerus sebagai akibat kebijakan budgeder
pemerintah yang mempunyai dua kelemahan yaitu tidak terdapat kontinuitas penerimaan dan pengeluaran . Besar kecilnya pengeluaran bergantung pada
perkembangan luar negeri dan pengeluaran meningkat sebagai akibat perluasan program pemerintah. Kebijakan yang kemudian ditempuh oleh pemerintah adalah
melaksanakan industrialisasi, yang dikenal sebagai rencana Sumitro. Sasaran rencana Sumiro ditekankan pada pembangunan indutri dasar, seperti pendirian industry pabrik
semen, pemintalan, karung, percetakan dan lain-lain. Kebijakan Kabinet Natsir ini diikuti pula dengan usaha peningkatan produksi pangan, perbaikan prasarana, dan
penanaman modal asing. Pada masa Kabinet Ali I, pemerintah membentuk Biro Perancangan negara. Biro
ini dibentuk dengan tugas merancang pembangunan jangka panjang, Karen pemerintah yang dahulu lebih menekankan program jangka pendek, sehingga
hasilnya belum bias dirasakan oleh masyarakat. Karena masa kerja masing-masing kabinet cenderung singkat dan programnya selalu berganti-ganti, maka tidak ada
stabilitas politik. Tidak adanya stabilitas politik ini merupakan faktor penyebab kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya pembangunan. Biro ini dipimpin oleh
Ir. Djuanda yang kemudian diangkat menjadi Menteri Peerancangan Nasional. Pada bulan Mei 1956, biro ini menghasilkan Rencana Pembangunan Lima Tahun RPLT
1956-1951. Rancangan undang-undang tentang RPLT terpaksa diubah prioritas dan sasarannya pada tahun 1957 sesudah diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan
Munap. Pembiayaan RPLT ini diperkirakan berjumlah Rp. 12,5 miliyar. Didasarkan harga barang dan upah buruh tidak berubah selama lima tahun. Tetapi karena adanya
depresi di Amerika Serikat dan Eropa Barat akhir tahun 1957 dan awal 1958, maka pendapatan negara menjadi mundur, karena harga ekspor negara merosot. Demikian
perjuanagan pembebasan Irian Barat yang mendorong pemerintah untuk melaksanakan tindakan nasionalisasi-nasionalisasi perusahaan milik Belanda di
Indonesia pada bulan Desember 1958. Faktor politik lainya yang memeberatkan pelaksanaan RPLT adalah ketegangan antara Pusat dan Daerah.
Ketegangan antara Pusat dan Daerah ini dapat diredakan untuk sementara waktu dengan diadakannya Musyawarah Nasional Pembangunan. Ir. Djuanda yang pada
saat itu sudah menjadi Perdana Menteri memberikan kesempatan kepada Munap mengubah rencana pembangunan itu, agar menghasilkan rancangan pembangunan
yang menyeluruh jangka panjang. Namun pelaksanaan pembangunan ini dihambat dengan kesulitan administratif, khususnya penentuan prioritas. Ketegangan politik
yang timbul tidak dapat diredakan lagi.
38
38
Ibid , hlm. 240-246.
87
BAB IV DAMPAK KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH RI
MASA DEMOKRASI LIBERAL 1950-1959
D. Bidang Politik
Masa Liberal di Indonesia 1950-1959 biasa pula disebut masa Kabinet parlementer. Kabinet parlementer adalah kabinet yang pemerintahan sehari-hari
dipegang oleh seorang Perdana Menteri. Dalam masa Kabinet Parlementer ini ternyata konflik partai di Indonesia sangat tinggi sehingga kabinet terpaksa jatuh
bangun. Kabinet disusun berdasarkan pertimbangan kekuatan kepartaian. Karena itu bila dianggap tidak berhasil, sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan. Sehubungan
dengan itu pada masa demokrasi liberal sering terjadi pergantian kabinet. Hal ini terjadi terutama karena sering terjadi konflik di antara partai-partai politik. Sebagai
contoh pertentangan antara Masyumi dan PNI. Pertentangan antara kedua partai besar ini dalam parlemen tidak pernah dapat didamaikan sehingga menjadi berlarut-larut.
Seringnya pergantian kabinet membuat masa yang singkat 1950-1959 dikuasai oleh beberapa kabinet. Kabinet-kabinet tersebut adalah : Kabinet Natsir Masyumi 1950-
1951, Kabinet Sukiman Masyumi 1951-1952, Kabinet Wilopo 1952-1953, Kabinet Ali Sastroamidjojo I PNI 1953-1955, Kabinet Burhanuddin Harahap
Masyumi 1955-1956, Kabinet Ali Sastroamidjojo II 1956-1957, dan akhirnya Kabinet Djuanda Zaken Kabinet 1957-1959. Jatuh bangunnya kabinet pada masa
Demokrasi Liberal disebabkan karena adanya konflik antara partai politik. Misalnya PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI