3. Memerintahkan kepada KTN agar memberikan laporan secara lengkap
mengenai situasi di Indonesia sejak 19 Desember 1948. Sementara itu TNI dari satu bulan telah selesai dengan konsilidasinya dan sudah
mulai memberikan pukulan pada tentara Belanda. Pertama kali yang menjadi sasaran adalah garis-gari komunikasi Belanda: kawat-kawat telepon diputuskan, jalan Kereta
Api dirusak, konvoi-konvoi Belanda dihadang dan diserang. Karena itu Belanda terpaksa mendirikan pos-pos disepanjang jalan besar yang menghubungkan kota-kota
yang telah didudukinya. Serangan 1 Maret 1949 pada siang hari terhadap kota Yogyakarta membuktikan pada dunia jauh dari kata hancur. Jalan buntu Belanda
dibidang militer disertai dengan Ameriaka Serikat memaksa Belanda untuk menerima KMB yang bermuara kepada pengakuan kedaulatan bangsa Indonesia atas bekas
wilayah Hindia Belanda.
17
C. Akhir Perang Dan Pengakuan Kedaulatan
1. Pendekatan RI Dengan Negaea-Negara Federal
Pada bulan pertama tahun 1949, karena didesak oleh Dewan keamanan PBB Belanda mengadakan pendekatan-pendekatan politis, Perdana Menteri Belanda
mengundang Prof. Dr. Supomo untuk berunding. Pertemuan yang sama diadakan tanggal 21 Januari 1949 antara negara-negara bagian buatan Belanda. Mr. Moh Room
memimpin delegasi Republik kemudian menyatakan bahwa RI bersedia berunding dengan BFO dengan syarat diawasi komisi PBB apabila telah mencapai tingkatan
formal. Pada tanggal 13 Februari Wakil Presiden Mohamad Hatta secara resmi
17
Ibid , hlm.157-162.
menyatakan bahwa perundingan dapat saja dimulai dengan syarat dikembalikannya pemerintah RI ke Yogyakarta dan pengunduran pasukan Belanda dari RI sesuai
dengan resolusi PBB. Berdasarkan kenyataan dan penjajakan politik oleh pihak Belanda pada
dasarnya pemimpin-pemimpin bersedia berunding, maka pada tanggal 26 Februari 1949 mereka mengumumkan akan mengadakan Konferesi Meja Bundar KMB
pada tanggal 12 Maret 1949, guna merundingkan masalah Indonesia dan merundingkan syrat-syarat penyatuan kedaulatan, serta pembentukan Uni Indonesia-
Belanda. Konferensi Meja Bundar diadakan di Den Hag, isi penjelasan yang disampaikan Ir. Soekarno adalah:
1. Pemerintah Belanda akan mengadakan KMB di Den Hag guna untuk
membahas penyerahan kedaulatan yang dipercepat. 2.
Penarikan pasukan Belanda secepat-cepatnya setelah penyerahan kedaulatan. 3.
Tentang pengembalian pemerintah ke Yogyakarta dinyatakan bahwa hal itu tidak mungkin dilaksanakan.
Pada tanggal 3 Maret 1949 presiden Soekarno mengadakan pembicaraan dengan dengan penghubung BFO, dan menegaskan adanya kedudukan pemerintah RI
dipulihkan sebagai syarat dilangsungkan perundingan yang selaras dengan resolusi Dewan Keamanan PBB. Selesai pertemuan itu keesokan harinya pada tanggal 4
Maret 1949 Soekarno membalas undangan Wakil Tinggi Mahkota yang berisi penolakan menghadiri KMB kecuali dengan syarat, yaitu:
1. Pengembalian kekuasaan RI adalah syarat mutlak untuk melakukan
perundingan. 2.
Kedudukan dan kewajiban PBB untuk Indonesia membantu melaksanakan resolusi PBB akan terganggu.
Dari BFO dikeluarkan pernyatan yang berisikan pemberitahuan bahwa BFO telah pada pendirian semula:
1. Supaya pemerintah RI dikembalikan ke Yogyakarta.
2. Komisi PBB agar membantu melaksanakan resolusi.
3. RI menerima gencatan senjata.
Dari pihak Dewan Keaman PBB pada tanggal 23 Maret 1949 dikirimkan surat pada perintah Belanda yang menyatakan bahwa komisi PBB untuk Indonesia telah bekerja
sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan tanggal 28 Januari 1949 dan tidak merugikan tuntutan kedua belah pihak. komisi PBB akan memberikan bantuan
terhadap: 1.
Tercapainya tujuan sebagai pelaksanaan resolusi Dewan Keamanan pada tanggal 28 Januari 1949 paragraf 1 dan 2 yang menghentikan aksi militer oleh
Belanda dan pengembalian pemimpin RI ke Yogyakarta. 2.
Menetapkan tanggal dan waktu serta syarat untuk mengadakan KMB agar dapat diselenggarakan.
Dengan adanya petunjuk dari Dewan Keamanan dan adanya pendekatan antara RI dan Belanda. Maka pada tanggal 19 April atas inisiatif komisisi PBB untuk
Indonesia diadakan perundingan RI dan Belanda. Perundingan diadakan di Jakarta. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Delegasi RI dalam pidatonya mengemukakan bahwa perundingan ini lebih dahulu menyetujuai pengembalian pemerintah RI ke Yogyakarta. Dengan pengembalian
pemerintah RI ke Yogyakarta, baru terbuka kemungkinan delegasi untuk mengambil keputusan bagi hal-hal lainya. Delegasi Belanda bersedia melakukan perundingan
dengan syarat-syarat untuk kemungkinan kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta, tetapi tiap kewajiban yang mengikat yang muncul dalam perundingan harus ditunda
sampai tercapai persetujuan tentang perintah penghentian gerilya dan membuat perjanjian mengenai waktu dan syarat KMB di Den Hag.
Karena Perundingan berjalan dengan lambat, bahkan hampir mengalami jalan buntu. Pada tanggal 24 April Mohammad Hatta datang ke Jakarta, pihak RI
menempuh cara lain yakni, mengadakan perundingan informal dan langsung dengan pihak Belanda dengan disaksikan Marle Cochran Amerika Serikat . Pada tanggal
25 April diadakan pertemuan pertama antara RI dan Belanda, hasil pertemuan ini tidak diumumkan, namun Hatta menyatakan perundingan informal itu untuk
membantu memberikan penjelasan pada delegasi Belanda. Pertemuan ini memberikan harapan untuk tercapai persetujuan, komisi PBB bersikap menunggu matangnya
perundingn informal tersebut. Pada dasarnya pihak Belanda tidak setuju tentang pengembalian pemerintah RI ke Yogyakarta dengan syarat perhentian perang gerilya,
masalah ini dapat diatasi tetapi mengenai luasnya kekuasaan RI. Delegasi RI menuntut daerah seluas daerah Istimewa Yogyakarta termasuk lapangan terbang
Maguwo dengan batas samudra Indonesia. Pihak Belanda sebaiknya menafsirkan resolusi Dewan Keamanan tentang pengembilan pemerintah RI ke Yogyakarta dan
daerah sekitarnya adalah seluas lima mil persegi, mereka juga menolak menyerahkan lapangan Maguwo.
Berkat usaha keras Marle Cochran anggota komisi PBB Amerika Serikat, pada tanggal 17 Mei 1949 telah tercapai persetujuan. Presiden Soekarno dan Wakil
Presiden Mohamad Hatta menyatakan kesanggupan mereka sesuai resolusi Dewan Keamanan tanggal 28 Januari 1949 serta petunjuk-petunjuk tanggal 23 Naret 1949
untuk memudahkan: 1.
Pengeluaran perintah terhadap pengikut RI yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya.
2. Kerja sama dalam pengembilan perdamaian dan menjaga keamanan dan
ketertiban. 3.
Turut serta KMB di Den Hag dengan maksut untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh-sungguh dan lengkap kepada negara Indonesia
Serikat tidak bersyarat. Selanjutnya delegasi Belanda Dr. Van Royen memberikan pernyataan yang berisikan
tentang: 1.
Delegasi Belanda menyetujui pembentukan panitia di bawah pengawasan komisi PBB dengan tujuan mengadakan penyelidikan dan persiapan yang
perlu dan sebelum kembalinya pemerintah RI ,dan mempelajari atau memberikan nasehat tentang tindakan yang diambil dalam pelaksanaan
penghentian perang gerilya dan kerja sama dalam hal pengembalian perdamaian serta menjaga keamanan dan ketertiban.
2. Pemerintah Belanda setuju bahwa pemerintah RI harus bebas dan leluasa
melakukan jabatan sepatutnya dalam satu daerah meliputi keresidenan Yogyakarta.
3. Pemerintah Belanda membebaskan dengan tidak bersyarat pemimpin-
pemimpin RI dan tahanan politik sejak tanggal 19 Desember 1949. 4.
Pemerintah Belanda menyetujuii RI sebagai bagian Negara Indonesia Serikat 5.
KMB di Den Hag akan diadakan setelah pemerintah RI ke Yogyakart. Pada konferensi tersebut diadakan pembahasan tentang bagaimana cara
mempercepat penyerahan kedaulatan kepada Indonesia Serikat. Dengan disepakati prinsip-prinsip Room-Royen pemerintah darurat RI sementara
memerintahkan kepada Sultan Hamengku Buwono IX untuk mengambil alih perintahan di Yogyakarta apa bila Belanda mulai mundur dari Yogyakarta. Partai
politik yang pertama kali menyatakan persetujuan adalah Masyumi. Pihak Angkatan Perang menyambut dengan adanya persetujuan itu dengan rasa curiga. Panglima
Besar Angkatan Perang pada tanggal 1 Mei 1949 mengingatkan pada komandan- komandan agar tidak memikirkan masalah perundingan. Pernyataan yang sama untuk
mempertegas pernyataan Panglinma Besar Angkatan Perang dikeluarkan juga oleh Panglima Tentara dan Tritorium Jawa Kolonel A.H. Nasution pada tanggal 5 Mei
1949. Pernyataan itu mengetengahkan bahwa perundingan yang dilaksanakan itu hanyalah taktik perjuangan, dan diperingatkan kepada semua komandan agar
membedakan antara gencatan senjata untuk kepentingan politik dan untuk PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kepentinagan militer. Pada pokoknya angkatan tidak percaya perundingan bisa berhasil karena melihat dari pengalaman yang ada, seperti Linggarjati dan Renville.
Sebagai tindak lanjut antara persetujuan Room-Royen pada tanggal 22 Juli diadakan perundingan formal antara, BFO dan Belanda di bawah pengawasan komisi
PBB, hasil perundingan itu adalah: Pengembalian pemerintah RI ke Yogyakarta dilaksanakan pada tanggal 24 Juni 1949, Keresidenan. Pada pokoknya angkatan tidak
percaya perundingan bias berhasil karena melihat dari pengalaman yang ada, seperti Linggarjati dan Renville. Sebagai tindak lanjut antara persetujuan Room-Royen pada
tanggal 22 Juli diadakan perundingan formal antara, BFO dan Belanda dibawah pengawasan komisi PBB, hasil perundingan itu adalah:
1. Pengembalian pemerintah RI ke Yogyakarta dilaksanakan pada tanggal 24
Juni 1949, Keresidenan Yogyakarta dikosongkan oleh Belanda dan pada tanggal 1 Juli 1949 dan pemerintah RI kembali ke Yogyakarta setelah TNI
menguasai keadan sepenuhnya di daerah itu. 2.
Mengenai permusuhan akan dibahas setelah kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta.
3. KMB diusulkan akan diadakan di Den Hag.
2. Menuju KMB