Masalah ini muncul karena terkadang biarawati tidak rela melepaskan posisinya pada biarawati lebih muda.
Masa biara lanjut usia. Biasanya terjadi pada usia 60-65 tahun. Pada masa ini krisis yang dihadapi adalah bagaimana mereka menghadapi
masa pensiun dan masalah kesehatan yang dialaminya. Hal ini terjadi karena keterbatasan fisiknya yang semakin tua dan hal tersebut wajar
dialami dimasa tua oleh semua orang. Melihat begitu banyaknya masalah yang dialami biarawati dalam
menjalani panggilannya, seperti masalah krisis identitas pada masa biara awal, krisis ingin memiliki keturunan pada masa biara tengah, krisis
kesehatan pada masa lanjut usia, dan masih banyak masalah lainnya maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang subjective well-being pada
biarawati.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana tingkat subjective well-being pada biarawati?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui subjective well- being
pada biarawati atau suster biara.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk ilmu psikologi,
khususnya pada
bidang perkembangan
tentang kesejahteraan diri atau subjective well-being, terkhusus pada biarawati.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi tentang kondisi kesejahteraan diri atau subjective well-being pada biarawati.
7
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Subjective Well-Being
1. Pengertian Subjective Well-Being
Subjective well-being merupakan evaluasi atau penilaian terhadap
kehidupan individu, penilaian terhadap kepuasan hidupnya dan evaluasi terhadap suasana hati dan emosi individu tersebut Diener
Lucas, 1999. Diener dan Larsen dalam Edington, 2005 mengungkapkan definisi subjective well-being adalah kondisi yang
cenderung stabil sepanjang waktu dan sepanjang rentang kehidupan. Diener, Lucas dan Oishi 2009 mendefinisikan subjective well-
being atau kesejahteraan subjektif sebagai hasil evaluasi atau penilaian
seseorang secara kognitif dan afektif terhadap seluruh pengalaman hidup seseorang. Evaluasi kognitif merupakan penilaian terhadap
kepuasan hidup seseorang dan evaluasi afektif merupakan respon emosional yang timbul dari setiap pengalaman hidup seseorang.
Kepuasan hidup terdiri dari kepuasan hidup secara global dan kepuasan hidup dalam domain khusus, seperti pendapatan, keluarga
dan relasi sosial, pekerjaan, dan kesehatan. Kemudian, respon emosional terdiri dari respon emosional positif misalnya perasaan
senang dan respon emosional negatif misalnya perasaan sedih atau cemas.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan diatas maka dapat disimpulkan bahwa subjective well-being adalah hasil evaluasi individu secara
kognitif kepuasan hidup dan afektif positive negative affect terhadap seluruh pengalaman hidup individu.
2. Komponen-Komponen yang Membentuk Subjective Well-Being
Terdapat 2 komponen pembentuk subjective well-being Andrews Robinson, 1992 ; Argyle, 2001; Diener, 2000; Diener et al., 1999 :
a. Komponen Kognitif Komponen kognitif merupkan hasil evaluasi terhadap
kepuasan hidup individu. Terdapat dua bentuk evaluasi terhadap kepuasan hidup yaitu kepuasan hidup secara global dan kepuasan
hidup dalam domain khusus. Diener, Sandvik, dan Seidltizt 1993 menggambarkan kepuasan hidup secara global dengan kehidupan
seseorang yang dekat dengan kehidupan ideal yang diinginkan, mampu menikmati hidup, merasa puas dengan hidupnya yang
sekarang, merasa puas dengan hidupnya dimasa lalu, dan ada tidaknya keinginan untuk merubah hidupnya yang sekarang.
Kemudian, Diener menjelaskan kepuasan hidup yang dalam domain khusus yang terdiri dari :
1. Pendapatan Pendapatan adalah sejumlah uang atau barang yang
diterima seseorang dari hasil pekerjaannya yang didigunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut hasil
wawancara informal dengan biarawati KSFL, ketercukupinya kebutuhan bulanan sudah cukup memberikan kepuasan bagi
diri biarawati. 2. Relasi dengan lingkungan sosial
Relasi yang positif ditandai dengan adanya kemampuan individu untuk membangun relasi yang baik dengan individu
lain. Biarawati yang memiliki relasi yang baik dapat dilihat dari sejauh mana biarawati tersebut mampu menunjukkan
sikap yang hangat, menunjukkan perhatian, memiliki rasa percaya, memiliki empati, merasakan perasaan nyaman, dan
mampu membangun keakraban dengan biarawati sekomunitas, biarawati diluar komunitas, dan orang umum.
3. Pekerjaan Menurut hasil wawancara informal dengan biarawati
KSFL, kongregasi
pusat memiliki
wewenang untuk
memberikan tugas dan kewajiban pada biarawatinya. Biarawati yang merasakan kepuasan terhadap tugas yang
diberikan kongregasi akan menunjukkan semangat dalam mengerjakan
tugas yang
diberikan dan
berusaha menyelesaikannya dengan sebaik mungkin.
4. Kesehatan Kesehatan erat kaitannya dengan kondisi fisiologis
seseorang. Kondisi tubuh yang segar dan tidak mengalami
keluhan sakit saat melakukan tugas pelayanannya membuat biarawati mengalami kepuasan.
b. Komponen Afeksi Komponen afeksi merupakan hasil evaluasi perasaan
terhadap pengalaman yang pernah terjadi. Komponen afeksi dibagi kedalam dua jenis, yaitu positive affect dan negative affect.
Positive Affect berbicara tentang perasaan yang menyenangkan
dialami oleh
seseorang. Watson
dan Tellegen
1985 mengklasifikasikan perasaan positif dalam PANAS-X Positive
Affect and Negative Affect Schedule. Mereka mengklasifikasikan
positive affect ke dalam tiga bagian, yaitu :
1. Joviality
Joviality merupakan perasaan bahagian yang dirasakan
seseorang. Perasaan ini terdiri dari rasa bersemangat dan antusias yang ditunjukan biarawati dalam melakukan sesuatu.
2. Self Assurace Self Assurace
merupakan perasaan aman yang dirasakan seseorang. Perasaan ini terdiri atas perasaan proud rasa
bangga dan confident ketenangan atau kenyamanan menjadi seorang biarawati.
3. Attentiveness Attentiveness
merupakan rasa diperhatikan oleh orang lain. Perasaan ini terdiri atas perasaan attentive perhatian dan
kasih sayang yang diperoleh biarawati, baik dari biarawati sekomunitas ataupun orang lain diluar komunitasnya.
Menurut Diener 1993 terdapat beberapa perasaan yang muncul untuk menjelaskan tentang postitive affect yaitu :
1. Ketenangan Ketenangan adalah keadaan dimana biarawati merasa
tenang baik secara hati, batin, dan pikiran. 2. Kasih sayang
Kasih sayang adalah perasaan cinta kasih yang dirasakan biarawati.
3. Kedermawana Kedermawanan adalah kebaikan hati untuk membantu
sesamanya. 4. Pengampunan
Pengampunan adalah
memberikan maaf
terhadap kesalahan yang dilakukan orang lain.
Perasaan yang positif atau perasaan yang menyenangkan dengan frekuensi yang tinggi akan membuat seseorang mengalami
subjective well-being dalam kehidupannya. Mereka cenderung
akan mampu menikmati perjalanan hidupnya dan memandang masa depannya lebih baik.
Negative affect merupakan kebalikan dari positive affect ,
yaitu perasaan yang tidak menyenangkan dalam kehidupannya,
baik itu perasaan yang sedih atau cemas. Watson dan Tellegen 1985 mengklasifikasikan perasaan negatif dalam PANAS-X
Positive Affect and Negative Affect Schedule. Mereka mengklasifikasikan negative affect ke dalam empat bagian, yaitu :
1. Fear
Fear merupakan perasaan takut yang muncul dalam diri
seseorang. Perasaan ini terdiri dari perasaan takut, perasaan gugup, dan perasaan gelisah yang pernah dialami oleh
biarawati. 2.
Hostility Hostility
merupakan perasaan permusuhan yang dialami dalam diri seseorang yang secara umum disebut dengan
perasaan angry atau marah. 3.
Guilty Guilty
merupakan rasa bersalah yang dialami seseorang. Pada biarawati, perasaan ini muncul saat dirinya melakukan
suatu kesalahan atau melanggar suatu aturan. 4.
Sadness Sadness
adalah perasaan sedih yang dialami seseorang. Pada biarawati, perasaan ini muncul saat dirinya teringat akan
pengalaman yang tidak menyenangkan dimasalalu dan berada pada kondisi yang tidak menyenangkan atau disaat tertekan
dalam hidupnya.
Menurut Diener 1993 terdapat beberapa perasaan yang muncul untuk menjelaskan tentang perasaan negatif yaitu :
1. Marah
Marah adalah perasaan tidak senang karena diperlakukan tidak semestinya.
2. Rasa Bersalah
Perasaan tidak nyaman karena melakukan sesuatu yang tidak benar atau melanggar peraturan.
3. Egois
Egois adalah perasaan yang selalu mementingkan kehendak atau keinginan diri sendiri.
4. Kekecewaan
Kekecewaan adalah
perasaan tidak
puas karena
keinginannya tidak terpenuhi. 5.
Sedih Sedih adalah perasaan pilu didalam hati karena suatu
keadaan yang tidak nyaman. 6.
Frustrasi Frustrasi adalah rasa kecewa akibat kegagalan dalam
melakukan sesuatu atau mencapai sesuatu. Perasaan negatif atau perasaan yang cenderung tidak
menyenangkan dengan
frekuensi yang
tinggi akan
mengindikasikan seseorang tidak merasakan subjective well-being
dalam hidupnya. Mereka akan merasa bahwa hidupnya berjalan dengan buruk. Hal ini mengakibatkan seseorang akan mengalami
gangguan efektivitas keberfungsian hidup, misalnya memandang dirinya tidak berguna dan tidak berarti.
Berdasarkan rincian diatas terdapat dua aspek yang berpengaruh dalam pembentukan subjective well-being, yaitu
aspek kognitif dan emosi. Aspek kognitif tersebut dapat dilihat dari hasil evaluasi terhadap kepuasan hidup atau life satisfaction. Life
satisfaction dapat diukur dengan melihat kepuasan hidup secara
global dan kepuasan hidup dalam domain khusus. Kepuasan hidup secara global dapat diukur melalui kehidupan seseorang yang dekat
dengan kehidupan ideal yang diinginkan orang tersebut, menikmati kondisi hidupnya sekarang, puas dengan hidupnya yang sekarang,
puas dengan hidupnya dimasa lalu, dan seberapa besar keinginan untuk merubah hidup mereka sekarang. Kepuasan hidup dalam
domain khusus dapat diukur dari tingkat pendapatan, relasi dengan lingkungan sosial, kesesuanan pekerjaan, dan kesehatan.
Kemudian, aspek emosi dapat dilihat dari banyaknya positive affect dan rendahnya negative affect yang dirasakan seseorang. Positive
affect ditandai dengan seberapa sering mereka merasakan
ketenangaan, kasih sayang, kedermawanan, pengampunan, perhatian, rasa bersemangat, antusias, dan rasa bangga. Negative
affect dapat dilihat dari seberapa sering merasakan perasaan marah,
rasa bersalah, egois atau mementingkan dirisendiri, kekecewaan, sedih, kegagalan atau frustasi, takut, gugup, gelisah, dan rasa
tertekan.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Subjective Well-Being
Menurut Diener dalam jurnalny a berjudul “Subjective Well-Being:
The Science of Happiness and a Proposal for a National Index ”,
terdapat 3 aspek yang mempengaruhi pembentukan subjective well- being
, yaitu: a. Emosi
Temperamen dan kepribadian terlihat menjadi salah satu faktor kuat yang mempengaruhi subjective well-being. Lykken dan
Tellegen dalam Diener Lucas, 1999 menjelaskan bahwa kepribadian memberikan pengaruh sebesar 50 dalam
pembentukan subjective well-being dan berpengaruh sebesar 80 pada jangka panjang.
b. Kognitif Nilai-nilai dan tujuan mempengaruhi seseorang dalam
melihat apa yang terjadi atau melihat peristiwa sebagai hal baik atau buruk.
c. Sosial Budaya dan kondisi sosial mempengaruhi subjective well-
being seseorang. Pertama, apakah lingkungan sosial dapat
memenuhi kebutuhan mendasar manusia, seperti makan, air bersih,
dan kesehatan. Kedua, budaya berkorelasi pada pembentukan tujuan dan nilai-nilai seseorang. Kondisi sosial dan budaya tersebut
mempengaruhi level subjective well-being. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi pembentukan subjective
well-being antar lain adalah :
a. Finansial Kondisi finansial erat kaitannya dengan pendapatan yang
diterima seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut hasil penelitian Gross National Happiness Survey Findings, 51
responden menjawab bahwa keamanan finansial menjadi faktor utama dalam pembentukan kebahagiaan. Kondisi finansial yang
baik memberikan jaminan terhadap kelayakan hidup bagi mereka. b. Pendidikan
Pendidikan merupakan kunci bagi seseorang untuk bergerak ke masa depan. Menurut hasil penelitian Gross National
Happiness Survey Findings, pendidikan memperoleh 26 suara
responden dalam pembentukan kebahagiaan. Fasilitas, sarana prasarana pendidikan yang memadai, dan kualitas pendidik
merupakan hal-hal yang mempengaruhi kebahagiaan dalam hal pendidikan.
c. Kesehatan Kondisi tubuh yang sehat juga berpengaruh dalam
pembentukan kebahagiaan.
d. Keluarga dan relasi sosial Keluarga merupakan faktor penting dalam pembentukan
kebahagiaan seseorang. Perasaan nyaman, aman, dan hangat dapat diperoleh dari keluarga yang baik. Menurut hasil penelitian Gross
National Happiness Survey Findings, memperoleh 26 suara
responden yang menyatakan bahwa hubungan keluarga yang baik menjadi salah satu potensi yang besar dalam pembentukan
kebahagiaan. e. Pekerjaan
Pekerjaan juga
menjadi salah
satu faktor
yang mempengaruhi kebahagiaan. Kesempatan kerja dan lingkungan
kerja yang baik berpengaruh dalam pembentukan kebagiaan. f. Kepercayaan dan spiritulalitas
Mengikuti acara keagamaan, mengunjungi rumah ibadah, dan beribadah dapat menjadi sarana untuk meningkatkan
kebahagiaan. Menurut hasil penelitian Gross National Happiness Survey Findings,
kurang lebih 9 responden mengatakan bahwa agama dan kegiatan spiritual dapat meningkatkan kebahagiaan
hidup mereka. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga
aspek yang dapat mempengaruhi subjective well-being seseorang, yaitu aspek emosi, kognitif, dan sosial. Temperamen dan kepribadian adalah
faktor emosi yang dapat mempengaruhi pembentukan subjective well-
being. Kemudian, faktor kognitif yang mempengaruhi subjective well-
being adalah nilai-nilai dan tujuan hidup seseorang. Budaya dan
kondisi sosial merupakan faktor sosial yang mempengaruhi subjective well-being
seseorang. Selain itu terdapat beberapa faktor lain yang juga mempengaruhi pembentukan subjective well-being atau
kebahagiaan seseorang, yaitu kondisi finansial, pendidikan, kesehatan, keluarga dan relasi sosial, pekerjaan, dan kepercayaan dan spiritualitas
seseorang.
4. Perwujudan Tinggi dan Rendahnya Subjective Well-Being
Biarawati yang memiliki subjective well-being yang tinggi memiliki kepuasan terhadap hidupnya. Secara umum, mereka akan
cenderung menggambarkan kehidupan mereka dekat dengan kehidupan ideal yang diinginkannya, mampu menikmati hidup, merasa
puas dengan hidupnya yang sekarang, merasa puas dengan hidupnya dimasa lalu, dan ada tidaknya keinginan untuk merubah hidupnya yang
sekarang Diener, Sandvik, dan Seidltizt, 1993. Selain itu, biarawati dengan subjective well-being yang tinggi akan merasa puas dengan
ketercukupinya kebutuhan hidup yang diberikan kongregasi, memiliki relasi yang baik dengan lingkungan sosialnya, baik itu biarawati
sekomunitas dan orang di luar komunitas, mampu menikmati tugas pelayanannya sebagai seorang biarawati, dan merasakan kepuasan
terhadap kondisi kesehatannya.
Ketika biarawati memiliki subjective well-being yang tinggi, mereka cenderung sering merasakan perasaan yang menyenangkan.
Perasaan ini dapat dialami saat mereka merasakan ketenangan dalam dirinya, merasakan kasih sayang, merasakan kepuasan, melakukan
kedermawanan, dan memberikan pengampunan pada orang lain. Biarawati dengan subjective well-being yang rendah memiliki
kecenderungan sering merasakan perasaan yang tidak menyenangkan. Perasaan ini dialami saat mereka marah, merasa bersalah, egois,
merasa iri, merasakan kecewa, sedih, dan merasa frustrasi karena kegagalan dalam menjalankan tugas pelayanannya sebagai biarawati.
B. Biarawati
1. Pengertian Biarawati
Dalam Kamus Besar Indonesia edisi 4 dijelaskan bahwa biarawati berasal dari kata dasar biara yang berarti bangunan tempat tinggal laki-
laki atau perempuan yang memfokuskan diri terhadap ajaran dibawah pimpinan seorang ketua menurut aturan alirannya.
Dalam buku Iman Katholik 1996, biarawati diartikan sebagai anggota kelompok yang memfokuskan diri mereka dalam kehidupan
kebiaraan dan bertugas untuk membantu uskup. Meski begitu, biarawati atau suster tidak termasuk dalam hierarki gereja Katolik. Hal
ini dipertegas oleh Konsili Vatikan II yang mengajarkan “Meskipun
status yang terwujudkan dengan pengikraran nasihat-nasihat Injil, tidak termasuk susunan hierarki Gereja, namun juga tidak dapat
diceraikan dari kehidupan dan kesucian Gereja LG44, sebab hidup membiara berkembang dari kehidupan Gereja sendiri, bahkan
“nasihat-nasihat Injil didasarkan pada sabda dan teladan Tuhan” LG43” dikutip dari Konferensi Waligereja Indonesia dalam
bukunya yang berjudul Iman Katolik, 1996, hal.375. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa biarawati
adalah wanita yang memfokuskan hidupnya dalam kehidupan membiara dan hidup dengan memegang teguh kaul suci yang mereka
hayati.
2. Gaya Hidup Biarawati
Gaya hidup seorang biarawati atau suster adalah hidup untuk lebih melayani sesama dan menghayati ajaran-ajaran Injil dalam hidup
berdoa. Melayani sesama ini diwujud nyatakan dalam semangat kerasulan ordo atau tarikat yang mereka ikuti, baik dibidang
pendidikan, sosial, kesehatan, ataupun pastoral. Semangat kerasulan di bidang pendidikan diwujud nyatakan biarawati dengan menjadi
pengelola dan pendidik di sekolah Katholik yang dimiliki kongregasi, seperti sekolah Ursulin yang dimiliki Ordo Santa Ursula OSU.
Semangat kerasulan di bidang sosial diwujud nyatakan biarawati dengan memberikan pendampingan dan konseling, seperti yang
dilakukan Ordo Klaris Kapusines OSC Cap. yang memberikan perhatian khusus untuk melayani para wanita yang tersesat, tertindas,
dan tersingkir. Semangat kerasulan dibidang kesehatan diwujud
nyatakan biarawati dengan mengelola rumah sakit, poliklinik, dan pusat kesehatan di desa-desa yang dimiliki kongregasi. Hal ini juga
dilakukan oleh para biarawati Carolus Borromeus CB. Selain itu, semangat kerasulan dibidang pastoral diwujud nyatakan dengan
pengelolaan rumah retret dan aktif dalam kegiatan gereja http:www.indonesianpapist.com201104situs-ordo-dan-
kongregasi-suster-di.html. Kemudian,
menghayati ajaran-ajaran Injil dalam hidup berdoa diwujud nyatakan para biarawati dengan
melakukan doa, baik itu dilakukan secara pribadi ataupun secara bersama.
Selain itu, hidup dengan memegang teguh kaul suci yang mereka hayati dan peraturan-peraturan biara menurut ordo mereka masing-
masing. Selain itu dalam menghidupi kaul-kaul suci, suster atau biarawati memilih hidup membiara dan menjaga kesucian mereka
dengan tidak menikah. Hal ini dilakukan sebagai komitmen mereka akan kaul selibat atau keperawanan. Kaul selibat atau keperawanan
berbicara tentang totallitas dalam melayani Tuhan dan terus menerus berusaha mengarahkan hidup mereka kepada Kristus, khususnya
dalam hidup doa Iman Katolik, 1996. Biarawati atau suster dituntut untuk taat dan hidup sesuai dengan aturan-aturan. Hal ini dilakukan
dengan berpegang pada janji suci atau kaul ketaatan. Kaul ketaatan berbicara tentang melayani satu sama lain diantara mereka antara
biarawati atau suster dengan biarawati atau suster dan hidup taat
terhadap ajaran-ajaran Injil, yang secara khusus diajarkan oleh masing-
masing “lembaga-lembaga religius” atau yang sering kita dengar sebagai Ordo Iman Katolik, 1996. Biarawati atau suster yang
dituntut untuk hidup dalam kesederhanaan bahkan hidup dalam kemiskinan. Hal ini dilakukan mereka sebagai wujud komitmen
mereka terhadap kaul kemiskinan yang mereka hidupi. Kaul kemiskinan berbicara tentang meninggalkan segala yang dimiliki
untuk hidup seperti “hamba” seperti ajaran Yesus Iman Katolik, 1996. Hal ini diwujud nyatakan dengan gaya hidup sederhana yang
dilakukan oleh biarawan atau suster dan nampak jelas dari gaya berpakaian, hidup keseharian di biara, dan hidup membantu mereka
yang lemah, miskin, sakit, dan dipandang tidak berguna di masyarakat.
Berdasarkan penjelasan diatas maka gaya hidup biarawati adalah hidup untuk melayani sesama dan menghayati ajaran-ajaran Injil
dalam hidup berdoa. Melayani sesama ini diwujud nyatakan dalam semangat kerasulan ordo atau tarikat yang mereka ikuti, baik dibidang
pendidikan, sosial,
kesehatan, ataupun
pastoral. Kemudian,
menghayati ajaran-ajaran Injil dalam hidup berdoa diwujud nyatakan para biarawati dengan melakukan doa, baik itu dilakukan secara
pribadi ataupun secara bersama. Selain itu, hidup mereka sangat memegang teguh kaul suci yang mereka hayati dan peraturan-
peraturan biara menurut Ordo mereka masing-masing.
3. Tahapan Dalam Menjadi Biarawati
Menurut hasil wawancara informal dengan salah biarawati dari Kongregasi Suster Fransiscan St. Lusia 17 Agustus, 2014, terdapat 4
tahapan dalam seseorang menjadi seorang biarawati secara umum,
yaitu:
1. Aspiran atau juvenis Aspiran
atau juvenis merupakan tahapan awal untuk menjadi seorang biarawati. Mereka adalah wanita yang baru
beberapa bulan masuk dalam kehidupan membiara. 2. Postulant atau novice
Postulant atau novice adalah mereka sudah hidup membiara
selama 1 hingga 2 tahun. 3. Junior atau biarawati mediator
Pada tahap ini mereka memiliki para biarawati sudah diberikan kepercayaan untuk menjalankan tugas kerasulan ordo
atau kongregasi. Bisa dikatakan mereka adalah tonggak dalam pekerjaan misi sebuah ordo atau kongregasi karena mereka
memiliki peran dan tanggung jawab dalam menjalankan misi ordo, baik itu disekolah-sekolah, dibiara, ataupun ditempat
pelayanan mereka yang lain. 4. Kaul kekal
Pada tahapan ini para biarawati mengucapkan janji setia pada kehidupan yang akan dijalaninya selama hidup sebagai
seorang biarawati. Kaul kekal juga berbicara tentang penyerahan total pada kehidupan pada pelayanan sesuai ajaran
Kristus.
C. Reward
Hukum Thorndike 1911 menjelaskan bahwa pemberian reward atau hadiah meningkatkan frekwensi dan intensitas seseorang untuk
melakukan sesuatu. Pavlov 1927 mendefinisikan reward sebagai sebuah objek yang menghasilkan perubahan perilaku subjek. Kemudian, Skinner
dalam jurnal Behavioral Theories and The Neurophysiology of Reward tahun 2006 menjelaskan bahwa reward sebagai suatu penguat jalur
stimulus dan respon dalam perilaku individu. Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa reward merupakan suatu imbalan
yang diberikan untuk mengubah atau menguatkan suatu perilaku manusia. Schultz 2006 menuliskan terdapat dua persepsi umum untuk
menjelaskan tentang reward atau imbalan. Pertama adalah seseorang akan melakukan sesuatu dengan baik untuk mendapatkan hadiah. Kedua adalah
seseorang akan melakukan perilaku yang sama untuk mendapatkan kesenangan yang sama seperti saat individu melakukan perilaku yang
sama dimasa yang lalu. Selain itu, Schultz juga menjelaskan terdapat beberapa bentuk umum reward pada manusia, antara lain adalah uang,
kedudukan atau kekuasaan, perasaan aman, pujian, pengakuan, dan masih banyak lagi.
D. Subjective Well-Being Pada Biarawati
Subjective well-being adalah penilaian individu secara kognitif dan
afektif terhadap keseluruhan pengalaman hidup. Subjective well-being ini dapat tercipta saat seseorang merasakan kepuasan di dalam hidupnya life
satisfaction. Life satisfaction tentang bagaimana seseorang memandang
atau menilai kehidupannya sekarang. Selain itu, disaat seseorang lebih banyak mengalami pengalaman dan merasakan perasaan yang
menyenangkan dalam hidupnya positive affect dan mengalami sedikit perasaan yang tidak menyenangkan negative affect. Perasaan positif
mencangkup perasaan seseorang yang mengalami ketenangaan, kasih sayang, kedermawanan, kepuasan, dan pengampunan. Serta perasaan
negative yaitu marah, rasa bersalah, egois atau mementingkan dirisendiri, iri, kekecewaan, sedih,dan kegagalan atau frustasi yang cenderung lebih
sedikit yang dirasakan dan dialami seseorang dalam hidupnya. Untuk dapat mencapai subjective well-being, orang pada umumnya
terus mengusahakan diri mereka untuk mencapai kondisi financial yang baik, pendidikan yang tinggi, menjaga kesehatan yang baik dengan hidup
sehat atau bahkan mengikuti asuransi kesehatan, membangun keluarga dan membangun relasi sosial yang baik dengan lingkungannya, mendapatkan
dan meraih posisi pekerjaan yang baik, dan ikut dalam kegiatan keagamaan dan spiritual. Mungkin bagi orang pada umumnya beberapa
hal tersebut dapat dilakukan untuk meraih dan mecapai subjective well- being
dan kebahagiaan dalam hidupnya. Tapi bagaimana dengan kelompok masyarakat tertentu yang hidup dengan cara berbeda dengan
orang-orang pada umumnya seperti biarawati. Biarawati adalah cerminan kelompok masyarakat yang ada dan
tetap ada hingga sekarang, memilih hidup dengan cara hidup berbeda dengan orang pada umumnya. Biarawati adalah wanita yang
memfokuskan diri untuk hidup membiara dan bertugas untuk membantu uskup serta hidup dengan menghayati ajaran-ajaran Injil. Selain itu, cara
hidup yang mereka lakukan cenderung berbeda dengan orang-orang pada umumnya. Tercermin nyata dalam tiga kaul-kaul suci yang mereka
pegang dan mereka hayati. Kaul selibat atau kesucian adalah kaul yang mengharuskan mereka untuk hidup tidak menikah dan membangun
keluarga. Hal ini dilakukan sebagai komitmen mereka akan kaul selibat atau keperawanan. Kaul selibat atau keperawanan berbicara tentang
totallitas dalam melayani Tuhan dan terus menerus berusaha mengarahkan hidup mereka kepada Kristus, khususnya dalam hidup doa. Kaul ketaatan
berbicara tentang melayani satu sama lain diantara mereka antara biarawati atau suster dengan biarawati atau suster dan hidup taat terhadap
ajaran-ajaran Injil, yang secara khusus diajarkan oleh masing-masing “lembaga-lembaga religius” atau yang sering kita dengar sebagai Ordo.
Kemudian yang ketiga adalah kaul kemiskinan berbicara tentang
meninggalkan segala yang dimiliki untuk hidup seperti “hamba” seperti ajaran Yesus.
Untuk mewujud nyatakan panggilan hidupnya, biarawati nantinya akan mengikrarkan janji sucinya yang disebut kaul kekal. Untuk mencapai
kesana, seorang biarawati harus melalui proses yang lama dan tidak mudah. Secara umum, terdapat empat tahapan yaitu aspiran atau juvenis,
postulan atau novice, junior atau mediator, hingga nantinya mencapai kaul kekal.
E. Kerangka Berpikir