Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Reward Subjective Well-Being Pada Biarawati

Masalah ini muncul karena terkadang biarawati tidak rela melepaskan posisinya pada biarawati lebih muda. Masa biara lanjut usia. Biasanya terjadi pada usia 60-65 tahun. Pada masa ini krisis yang dihadapi adalah bagaimana mereka menghadapi masa pensiun dan masalah kesehatan yang dialaminya. Hal ini terjadi karena keterbatasan fisiknya yang semakin tua dan hal tersebut wajar dialami dimasa tua oleh semua orang. Melihat begitu banyaknya masalah yang dialami biarawati dalam menjalani panggilannya, seperti masalah krisis identitas pada masa biara awal, krisis ingin memiliki keturunan pada masa biara tengah, krisis kesehatan pada masa lanjut usia, dan masih banyak masalah lainnya maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang subjective well-being pada biarawati.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana tingkat subjective well-being pada biarawati?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui subjective well- being pada biarawati atau suster biara.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk ilmu psikologi, khususnya pada bidang perkembangan tentang kesejahteraan diri atau subjective well-being, terkhusus pada biarawati.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi tentang kondisi kesejahteraan diri atau subjective well-being pada biarawati. 7 BAB II LANDASAN TEORI

A. Subjective Well-Being

1. Pengertian Subjective Well-Being

Subjective well-being merupakan evaluasi atau penilaian terhadap kehidupan individu, penilaian terhadap kepuasan hidupnya dan evaluasi terhadap suasana hati dan emosi individu tersebut Diener Lucas, 1999. Diener dan Larsen dalam Edington, 2005 mengungkapkan definisi subjective well-being adalah kondisi yang cenderung stabil sepanjang waktu dan sepanjang rentang kehidupan. Diener, Lucas dan Oishi 2009 mendefinisikan subjective well- being atau kesejahteraan subjektif sebagai hasil evaluasi atau penilaian seseorang secara kognitif dan afektif terhadap seluruh pengalaman hidup seseorang. Evaluasi kognitif merupakan penilaian terhadap kepuasan hidup seseorang dan evaluasi afektif merupakan respon emosional yang timbul dari setiap pengalaman hidup seseorang. Kepuasan hidup terdiri dari kepuasan hidup secara global dan kepuasan hidup dalam domain khusus, seperti pendapatan, keluarga dan relasi sosial, pekerjaan, dan kesehatan. Kemudian, respon emosional terdiri dari respon emosional positif misalnya perasaan senang dan respon emosional negatif misalnya perasaan sedih atau cemas. Berdasarkan pernyataan-pernyataan diatas maka dapat disimpulkan bahwa subjective well-being adalah hasil evaluasi individu secara kognitif kepuasan hidup dan afektif positive negative affect terhadap seluruh pengalaman hidup individu.

2. Komponen-Komponen yang Membentuk Subjective Well-Being

Terdapat 2 komponen pembentuk subjective well-being Andrews Robinson, 1992 ; Argyle, 2001; Diener, 2000; Diener et al., 1999 : a. Komponen Kognitif Komponen kognitif merupkan hasil evaluasi terhadap kepuasan hidup individu. Terdapat dua bentuk evaluasi terhadap kepuasan hidup yaitu kepuasan hidup secara global dan kepuasan hidup dalam domain khusus. Diener, Sandvik, dan Seidltizt 1993 menggambarkan kepuasan hidup secara global dengan kehidupan seseorang yang dekat dengan kehidupan ideal yang diinginkan, mampu menikmati hidup, merasa puas dengan hidupnya yang sekarang, merasa puas dengan hidupnya dimasa lalu, dan ada tidaknya keinginan untuk merubah hidupnya yang sekarang. Kemudian, Diener menjelaskan kepuasan hidup yang dalam domain khusus yang terdiri dari : 1. Pendapatan Pendapatan adalah sejumlah uang atau barang yang diterima seseorang dari hasil pekerjaannya yang didigunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut hasil wawancara informal dengan biarawati KSFL, ketercukupinya kebutuhan bulanan sudah cukup memberikan kepuasan bagi diri biarawati. 2. Relasi dengan lingkungan sosial Relasi yang positif ditandai dengan adanya kemampuan individu untuk membangun relasi yang baik dengan individu lain. Biarawati yang memiliki relasi yang baik dapat dilihat dari sejauh mana biarawati tersebut mampu menunjukkan sikap yang hangat, menunjukkan perhatian, memiliki rasa percaya, memiliki empati, merasakan perasaan nyaman, dan mampu membangun keakraban dengan biarawati sekomunitas, biarawati diluar komunitas, dan orang umum. 3. Pekerjaan Menurut hasil wawancara informal dengan biarawati KSFL, kongregasi pusat memiliki wewenang untuk memberikan tugas dan kewajiban pada biarawatinya. Biarawati yang merasakan kepuasan terhadap tugas yang diberikan kongregasi akan menunjukkan semangat dalam mengerjakan tugas yang diberikan dan berusaha menyelesaikannya dengan sebaik mungkin. 4. Kesehatan Kesehatan erat kaitannya dengan kondisi fisiologis seseorang. Kondisi tubuh yang segar dan tidak mengalami keluhan sakit saat melakukan tugas pelayanannya membuat biarawati mengalami kepuasan. b. Komponen Afeksi Komponen afeksi merupakan hasil evaluasi perasaan terhadap pengalaman yang pernah terjadi. Komponen afeksi dibagi kedalam dua jenis, yaitu positive affect dan negative affect. Positive Affect berbicara tentang perasaan yang menyenangkan dialami oleh seseorang. Watson dan Tellegen 1985 mengklasifikasikan perasaan positif dalam PANAS-X Positive Affect and Negative Affect Schedule. Mereka mengklasifikasikan positive affect ke dalam tiga bagian, yaitu : 1. Joviality Joviality merupakan perasaan bahagian yang dirasakan seseorang. Perasaan ini terdiri dari rasa bersemangat dan antusias yang ditunjukan biarawati dalam melakukan sesuatu. 2. Self Assurace Self Assurace merupakan perasaan aman yang dirasakan seseorang. Perasaan ini terdiri atas perasaan proud rasa bangga dan confident ketenangan atau kenyamanan menjadi seorang biarawati. 3. Attentiveness Attentiveness merupakan rasa diperhatikan oleh orang lain. Perasaan ini terdiri atas perasaan attentive perhatian dan kasih sayang yang diperoleh biarawati, baik dari biarawati sekomunitas ataupun orang lain diluar komunitasnya. Menurut Diener 1993 terdapat beberapa perasaan yang muncul untuk menjelaskan tentang postitive affect yaitu : 1. Ketenangan Ketenangan adalah keadaan dimana biarawati merasa tenang baik secara hati, batin, dan pikiran. 2. Kasih sayang Kasih sayang adalah perasaan cinta kasih yang dirasakan biarawati. 3. Kedermawana Kedermawanan adalah kebaikan hati untuk membantu sesamanya. 4. Pengampunan Pengampunan adalah memberikan maaf terhadap kesalahan yang dilakukan orang lain. Perasaan yang positif atau perasaan yang menyenangkan dengan frekuensi yang tinggi akan membuat seseorang mengalami subjective well-being dalam kehidupannya. Mereka cenderung akan mampu menikmati perjalanan hidupnya dan memandang masa depannya lebih baik. Negative affect merupakan kebalikan dari positive affect , yaitu perasaan yang tidak menyenangkan dalam kehidupannya, baik itu perasaan yang sedih atau cemas. Watson dan Tellegen 1985 mengklasifikasikan perasaan negatif dalam PANAS-X Positive Affect and Negative Affect Schedule. Mereka mengklasifikasikan negative affect ke dalam empat bagian, yaitu : 1. Fear Fear merupakan perasaan takut yang muncul dalam diri seseorang. Perasaan ini terdiri dari perasaan takut, perasaan gugup, dan perasaan gelisah yang pernah dialami oleh biarawati. 2. Hostility Hostility merupakan perasaan permusuhan yang dialami dalam diri seseorang yang secara umum disebut dengan perasaan angry atau marah. 3. Guilty Guilty merupakan rasa bersalah yang dialami seseorang. Pada biarawati, perasaan ini muncul saat dirinya melakukan suatu kesalahan atau melanggar suatu aturan. 4. Sadness Sadness adalah perasaan sedih yang dialami seseorang. Pada biarawati, perasaan ini muncul saat dirinya teringat akan pengalaman yang tidak menyenangkan dimasalalu dan berada pada kondisi yang tidak menyenangkan atau disaat tertekan dalam hidupnya. Menurut Diener 1993 terdapat beberapa perasaan yang muncul untuk menjelaskan tentang perasaan negatif yaitu : 1. Marah Marah adalah perasaan tidak senang karena diperlakukan tidak semestinya. 2. Rasa Bersalah Perasaan tidak nyaman karena melakukan sesuatu yang tidak benar atau melanggar peraturan. 3. Egois Egois adalah perasaan yang selalu mementingkan kehendak atau keinginan diri sendiri. 4. Kekecewaan Kekecewaan adalah perasaan tidak puas karena keinginannya tidak terpenuhi. 5. Sedih Sedih adalah perasaan pilu didalam hati karena suatu keadaan yang tidak nyaman. 6. Frustrasi Frustrasi adalah rasa kecewa akibat kegagalan dalam melakukan sesuatu atau mencapai sesuatu. Perasaan negatif atau perasaan yang cenderung tidak menyenangkan dengan frekuensi yang tinggi akan mengindikasikan seseorang tidak merasakan subjective well-being dalam hidupnya. Mereka akan merasa bahwa hidupnya berjalan dengan buruk. Hal ini mengakibatkan seseorang akan mengalami gangguan efektivitas keberfungsian hidup, misalnya memandang dirinya tidak berguna dan tidak berarti. Berdasarkan rincian diatas terdapat dua aspek yang berpengaruh dalam pembentukan subjective well-being, yaitu aspek kognitif dan emosi. Aspek kognitif tersebut dapat dilihat dari hasil evaluasi terhadap kepuasan hidup atau life satisfaction. Life satisfaction dapat diukur dengan melihat kepuasan hidup secara global dan kepuasan hidup dalam domain khusus. Kepuasan hidup secara global dapat diukur melalui kehidupan seseorang yang dekat dengan kehidupan ideal yang diinginkan orang tersebut, menikmati kondisi hidupnya sekarang, puas dengan hidupnya yang sekarang, puas dengan hidupnya dimasa lalu, dan seberapa besar keinginan untuk merubah hidup mereka sekarang. Kepuasan hidup dalam domain khusus dapat diukur dari tingkat pendapatan, relasi dengan lingkungan sosial, kesesuanan pekerjaan, dan kesehatan. Kemudian, aspek emosi dapat dilihat dari banyaknya positive affect dan rendahnya negative affect yang dirasakan seseorang. Positive affect ditandai dengan seberapa sering mereka merasakan ketenangaan, kasih sayang, kedermawanan, pengampunan, perhatian, rasa bersemangat, antusias, dan rasa bangga. Negative affect dapat dilihat dari seberapa sering merasakan perasaan marah, rasa bersalah, egois atau mementingkan dirisendiri, kekecewaan, sedih, kegagalan atau frustasi, takut, gugup, gelisah, dan rasa tertekan.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Subjective Well-Being

Menurut Diener dalam jurnalny a berjudul “Subjective Well-Being: The Science of Happiness and a Proposal for a National Index ”, terdapat 3 aspek yang mempengaruhi pembentukan subjective well- being , yaitu: a. Emosi Temperamen dan kepribadian terlihat menjadi salah satu faktor kuat yang mempengaruhi subjective well-being. Lykken dan Tellegen dalam Diener Lucas, 1999 menjelaskan bahwa kepribadian memberikan pengaruh sebesar 50 dalam pembentukan subjective well-being dan berpengaruh sebesar 80 pada jangka panjang. b. Kognitif Nilai-nilai dan tujuan mempengaruhi seseorang dalam melihat apa yang terjadi atau melihat peristiwa sebagai hal baik atau buruk. c. Sosial Budaya dan kondisi sosial mempengaruhi subjective well- being seseorang. Pertama, apakah lingkungan sosial dapat memenuhi kebutuhan mendasar manusia, seperti makan, air bersih, dan kesehatan. Kedua, budaya berkorelasi pada pembentukan tujuan dan nilai-nilai seseorang. Kondisi sosial dan budaya tersebut mempengaruhi level subjective well-being. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi pembentukan subjective well-being antar lain adalah : a. Finansial Kondisi finansial erat kaitannya dengan pendapatan yang diterima seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut hasil penelitian Gross National Happiness Survey Findings, 51 responden menjawab bahwa keamanan finansial menjadi faktor utama dalam pembentukan kebahagiaan. Kondisi finansial yang baik memberikan jaminan terhadap kelayakan hidup bagi mereka. b. Pendidikan Pendidikan merupakan kunci bagi seseorang untuk bergerak ke masa depan. Menurut hasil penelitian Gross National Happiness Survey Findings, pendidikan memperoleh 26 suara responden dalam pembentukan kebahagiaan. Fasilitas, sarana prasarana pendidikan yang memadai, dan kualitas pendidik merupakan hal-hal yang mempengaruhi kebahagiaan dalam hal pendidikan. c. Kesehatan Kondisi tubuh yang sehat juga berpengaruh dalam pembentukan kebahagiaan. d. Keluarga dan relasi sosial Keluarga merupakan faktor penting dalam pembentukan kebahagiaan seseorang. Perasaan nyaman, aman, dan hangat dapat diperoleh dari keluarga yang baik. Menurut hasil penelitian Gross National Happiness Survey Findings, memperoleh 26 suara responden yang menyatakan bahwa hubungan keluarga yang baik menjadi salah satu potensi yang besar dalam pembentukan kebahagiaan. e. Pekerjaan Pekerjaan juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kebahagiaan. Kesempatan kerja dan lingkungan kerja yang baik berpengaruh dalam pembentukan kebagiaan. f. Kepercayaan dan spiritulalitas Mengikuti acara keagamaan, mengunjungi rumah ibadah, dan beribadah dapat menjadi sarana untuk meningkatkan kebahagiaan. Menurut hasil penelitian Gross National Happiness Survey Findings, kurang lebih 9 responden mengatakan bahwa agama dan kegiatan spiritual dapat meningkatkan kebahagiaan hidup mereka. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga aspek yang dapat mempengaruhi subjective well-being seseorang, yaitu aspek emosi, kognitif, dan sosial. Temperamen dan kepribadian adalah faktor emosi yang dapat mempengaruhi pembentukan subjective well- being. Kemudian, faktor kognitif yang mempengaruhi subjective well- being adalah nilai-nilai dan tujuan hidup seseorang. Budaya dan kondisi sosial merupakan faktor sosial yang mempengaruhi subjective well-being seseorang. Selain itu terdapat beberapa faktor lain yang juga mempengaruhi pembentukan subjective well-being atau kebahagiaan seseorang, yaitu kondisi finansial, pendidikan, kesehatan, keluarga dan relasi sosial, pekerjaan, dan kepercayaan dan spiritualitas seseorang.

4. Perwujudan Tinggi dan Rendahnya Subjective Well-Being

Biarawati yang memiliki subjective well-being yang tinggi memiliki kepuasan terhadap hidupnya. Secara umum, mereka akan cenderung menggambarkan kehidupan mereka dekat dengan kehidupan ideal yang diinginkannya, mampu menikmati hidup, merasa puas dengan hidupnya yang sekarang, merasa puas dengan hidupnya dimasa lalu, dan ada tidaknya keinginan untuk merubah hidupnya yang sekarang Diener, Sandvik, dan Seidltizt, 1993. Selain itu, biarawati dengan subjective well-being yang tinggi akan merasa puas dengan ketercukupinya kebutuhan hidup yang diberikan kongregasi, memiliki relasi yang baik dengan lingkungan sosialnya, baik itu biarawati sekomunitas dan orang di luar komunitas, mampu menikmati tugas pelayanannya sebagai seorang biarawati, dan merasakan kepuasan terhadap kondisi kesehatannya. Ketika biarawati memiliki subjective well-being yang tinggi, mereka cenderung sering merasakan perasaan yang menyenangkan. Perasaan ini dapat dialami saat mereka merasakan ketenangan dalam dirinya, merasakan kasih sayang, merasakan kepuasan, melakukan kedermawanan, dan memberikan pengampunan pada orang lain. Biarawati dengan subjective well-being yang rendah memiliki kecenderungan sering merasakan perasaan yang tidak menyenangkan. Perasaan ini dialami saat mereka marah, merasa bersalah, egois, merasa iri, merasakan kecewa, sedih, dan merasa frustrasi karena kegagalan dalam menjalankan tugas pelayanannya sebagai biarawati.

B. Biarawati

1. Pengertian Biarawati

Dalam Kamus Besar Indonesia edisi 4 dijelaskan bahwa biarawati berasal dari kata dasar biara yang berarti bangunan tempat tinggal laki- laki atau perempuan yang memfokuskan diri terhadap ajaran dibawah pimpinan seorang ketua menurut aturan alirannya. Dalam buku Iman Katholik 1996, biarawati diartikan sebagai anggota kelompok yang memfokuskan diri mereka dalam kehidupan kebiaraan dan bertugas untuk membantu uskup. Meski begitu, biarawati atau suster tidak termasuk dalam hierarki gereja Katolik. Hal ini dipertegas oleh Konsili Vatikan II yang mengajarkan “Meskipun status yang terwujudkan dengan pengikraran nasihat-nasihat Injil, tidak termasuk susunan hierarki Gereja, namun juga tidak dapat diceraikan dari kehidupan dan kesucian Gereja LG44, sebab hidup membiara berkembang dari kehidupan Gereja sendiri, bahkan “nasihat-nasihat Injil didasarkan pada sabda dan teladan Tuhan” LG43” dikutip dari Konferensi Waligereja Indonesia dalam bukunya yang berjudul Iman Katolik, 1996, hal.375. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa biarawati adalah wanita yang memfokuskan hidupnya dalam kehidupan membiara dan hidup dengan memegang teguh kaul suci yang mereka hayati.

2. Gaya Hidup Biarawati

Gaya hidup seorang biarawati atau suster adalah hidup untuk lebih melayani sesama dan menghayati ajaran-ajaran Injil dalam hidup berdoa. Melayani sesama ini diwujud nyatakan dalam semangat kerasulan ordo atau tarikat yang mereka ikuti, baik dibidang pendidikan, sosial, kesehatan, ataupun pastoral. Semangat kerasulan di bidang pendidikan diwujud nyatakan biarawati dengan menjadi pengelola dan pendidik di sekolah Katholik yang dimiliki kongregasi, seperti sekolah Ursulin yang dimiliki Ordo Santa Ursula OSU. Semangat kerasulan di bidang sosial diwujud nyatakan biarawati dengan memberikan pendampingan dan konseling, seperti yang dilakukan Ordo Klaris Kapusines OSC Cap. yang memberikan perhatian khusus untuk melayani para wanita yang tersesat, tertindas, dan tersingkir. Semangat kerasulan dibidang kesehatan diwujud nyatakan biarawati dengan mengelola rumah sakit, poliklinik, dan pusat kesehatan di desa-desa yang dimiliki kongregasi. Hal ini juga dilakukan oleh para biarawati Carolus Borromeus CB. Selain itu, semangat kerasulan dibidang pastoral diwujud nyatakan dengan pengelolaan rumah retret dan aktif dalam kegiatan gereja http:www.indonesianpapist.com201104situs-ordo-dan- kongregasi-suster-di.html. Kemudian, menghayati ajaran-ajaran Injil dalam hidup berdoa diwujud nyatakan para biarawati dengan melakukan doa, baik itu dilakukan secara pribadi ataupun secara bersama. Selain itu, hidup dengan memegang teguh kaul suci yang mereka hayati dan peraturan-peraturan biara menurut ordo mereka masing- masing. Selain itu dalam menghidupi kaul-kaul suci, suster atau biarawati memilih hidup membiara dan menjaga kesucian mereka dengan tidak menikah. Hal ini dilakukan sebagai komitmen mereka akan kaul selibat atau keperawanan. Kaul selibat atau keperawanan berbicara tentang totallitas dalam melayani Tuhan dan terus menerus berusaha mengarahkan hidup mereka kepada Kristus, khususnya dalam hidup doa Iman Katolik, 1996. Biarawati atau suster dituntut untuk taat dan hidup sesuai dengan aturan-aturan. Hal ini dilakukan dengan berpegang pada janji suci atau kaul ketaatan. Kaul ketaatan berbicara tentang melayani satu sama lain diantara mereka antara biarawati atau suster dengan biarawati atau suster dan hidup taat terhadap ajaran-ajaran Injil, yang secara khusus diajarkan oleh masing- masing “lembaga-lembaga religius” atau yang sering kita dengar sebagai Ordo Iman Katolik, 1996. Biarawati atau suster yang dituntut untuk hidup dalam kesederhanaan bahkan hidup dalam kemiskinan. Hal ini dilakukan mereka sebagai wujud komitmen mereka terhadap kaul kemiskinan yang mereka hidupi. Kaul kemiskinan berbicara tentang meninggalkan segala yang dimiliki untuk hidup seperti “hamba” seperti ajaran Yesus Iman Katolik, 1996. Hal ini diwujud nyatakan dengan gaya hidup sederhana yang dilakukan oleh biarawan atau suster dan nampak jelas dari gaya berpakaian, hidup keseharian di biara, dan hidup membantu mereka yang lemah, miskin, sakit, dan dipandang tidak berguna di masyarakat. Berdasarkan penjelasan diatas maka gaya hidup biarawati adalah hidup untuk melayani sesama dan menghayati ajaran-ajaran Injil dalam hidup berdoa. Melayani sesama ini diwujud nyatakan dalam semangat kerasulan ordo atau tarikat yang mereka ikuti, baik dibidang pendidikan, sosial, kesehatan, ataupun pastoral. Kemudian, menghayati ajaran-ajaran Injil dalam hidup berdoa diwujud nyatakan para biarawati dengan melakukan doa, baik itu dilakukan secara pribadi ataupun secara bersama. Selain itu, hidup mereka sangat memegang teguh kaul suci yang mereka hayati dan peraturan- peraturan biara menurut Ordo mereka masing-masing.

3. Tahapan Dalam Menjadi Biarawati

Menurut hasil wawancara informal dengan salah biarawati dari Kongregasi Suster Fransiscan St. Lusia 17 Agustus, 2014, terdapat 4 tahapan dalam seseorang menjadi seorang biarawati secara umum, yaitu: 1. Aspiran atau juvenis Aspiran atau juvenis merupakan tahapan awal untuk menjadi seorang biarawati. Mereka adalah wanita yang baru beberapa bulan masuk dalam kehidupan membiara. 2. Postulant atau novice Postulant atau novice adalah mereka sudah hidup membiara selama 1 hingga 2 tahun. 3. Junior atau biarawati mediator Pada tahap ini mereka memiliki para biarawati sudah diberikan kepercayaan untuk menjalankan tugas kerasulan ordo atau kongregasi. Bisa dikatakan mereka adalah tonggak dalam pekerjaan misi sebuah ordo atau kongregasi karena mereka memiliki peran dan tanggung jawab dalam menjalankan misi ordo, baik itu disekolah-sekolah, dibiara, ataupun ditempat pelayanan mereka yang lain. 4. Kaul kekal Pada tahapan ini para biarawati mengucapkan janji setia pada kehidupan yang akan dijalaninya selama hidup sebagai seorang biarawati. Kaul kekal juga berbicara tentang penyerahan total pada kehidupan pada pelayanan sesuai ajaran Kristus.

C. Reward

Hukum Thorndike 1911 menjelaskan bahwa pemberian reward atau hadiah meningkatkan frekwensi dan intensitas seseorang untuk melakukan sesuatu. Pavlov 1927 mendefinisikan reward sebagai sebuah objek yang menghasilkan perubahan perilaku subjek. Kemudian, Skinner dalam jurnal Behavioral Theories and The Neurophysiology of Reward tahun 2006 menjelaskan bahwa reward sebagai suatu penguat jalur stimulus dan respon dalam perilaku individu. Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa reward merupakan suatu imbalan yang diberikan untuk mengubah atau menguatkan suatu perilaku manusia. Schultz 2006 menuliskan terdapat dua persepsi umum untuk menjelaskan tentang reward atau imbalan. Pertama adalah seseorang akan melakukan sesuatu dengan baik untuk mendapatkan hadiah. Kedua adalah seseorang akan melakukan perilaku yang sama untuk mendapatkan kesenangan yang sama seperti saat individu melakukan perilaku yang sama dimasa yang lalu. Selain itu, Schultz juga menjelaskan terdapat beberapa bentuk umum reward pada manusia, antara lain adalah uang, kedudukan atau kekuasaan, perasaan aman, pujian, pengakuan, dan masih banyak lagi.

D. Subjective Well-Being Pada Biarawati

Subjective well-being adalah penilaian individu secara kognitif dan afektif terhadap keseluruhan pengalaman hidup. Subjective well-being ini dapat tercipta saat seseorang merasakan kepuasan di dalam hidupnya life satisfaction. Life satisfaction tentang bagaimana seseorang memandang atau menilai kehidupannya sekarang. Selain itu, disaat seseorang lebih banyak mengalami pengalaman dan merasakan perasaan yang menyenangkan dalam hidupnya positive affect dan mengalami sedikit perasaan yang tidak menyenangkan negative affect. Perasaan positif mencangkup perasaan seseorang yang mengalami ketenangaan, kasih sayang, kedermawanan, kepuasan, dan pengampunan. Serta perasaan negative yaitu marah, rasa bersalah, egois atau mementingkan dirisendiri, iri, kekecewaan, sedih,dan kegagalan atau frustasi yang cenderung lebih sedikit yang dirasakan dan dialami seseorang dalam hidupnya. Untuk dapat mencapai subjective well-being, orang pada umumnya terus mengusahakan diri mereka untuk mencapai kondisi financial yang baik, pendidikan yang tinggi, menjaga kesehatan yang baik dengan hidup sehat atau bahkan mengikuti asuransi kesehatan, membangun keluarga dan membangun relasi sosial yang baik dengan lingkungannya, mendapatkan dan meraih posisi pekerjaan yang baik, dan ikut dalam kegiatan keagamaan dan spiritual. Mungkin bagi orang pada umumnya beberapa hal tersebut dapat dilakukan untuk meraih dan mecapai subjective well- being dan kebahagiaan dalam hidupnya. Tapi bagaimana dengan kelompok masyarakat tertentu yang hidup dengan cara berbeda dengan orang-orang pada umumnya seperti biarawati. Biarawati adalah cerminan kelompok masyarakat yang ada dan tetap ada hingga sekarang, memilih hidup dengan cara hidup berbeda dengan orang pada umumnya. Biarawati adalah wanita yang memfokuskan diri untuk hidup membiara dan bertugas untuk membantu uskup serta hidup dengan menghayati ajaran-ajaran Injil. Selain itu, cara hidup yang mereka lakukan cenderung berbeda dengan orang-orang pada umumnya. Tercermin nyata dalam tiga kaul-kaul suci yang mereka pegang dan mereka hayati. Kaul selibat atau kesucian adalah kaul yang mengharuskan mereka untuk hidup tidak menikah dan membangun keluarga. Hal ini dilakukan sebagai komitmen mereka akan kaul selibat atau keperawanan. Kaul selibat atau keperawanan berbicara tentang totallitas dalam melayani Tuhan dan terus menerus berusaha mengarahkan hidup mereka kepada Kristus, khususnya dalam hidup doa. Kaul ketaatan berbicara tentang melayani satu sama lain diantara mereka antara biarawati atau suster dengan biarawati atau suster dan hidup taat terhadap ajaran-ajaran Injil, yang secara khusus diajarkan oleh masing-masing “lembaga-lembaga religius” atau yang sering kita dengar sebagai Ordo. Kemudian yang ketiga adalah kaul kemiskinan berbicara tentang meninggalkan segala yang dimiliki untuk hidup seperti “hamba” seperti ajaran Yesus. Untuk mewujud nyatakan panggilan hidupnya, biarawati nantinya akan mengikrarkan janji sucinya yang disebut kaul kekal. Untuk mencapai kesana, seorang biarawati harus melalui proses yang lama dan tidak mudah. Secara umum, terdapat empat tahapan yaitu aspiran atau juvenis, postulan atau novice, junior atau mediator, hingga nantinya mencapai kaul kekal.

E. Kerangka Berpikir