Ketika biarawati memiliki subjective well-being yang tinggi, mereka cenderung sering merasakan perasaan yang menyenangkan.
Perasaan ini dapat dialami saat mereka merasakan ketenangan dalam dirinya, merasakan kasih sayang, merasakan kepuasan, melakukan
kedermawanan, dan memberikan pengampunan pada orang lain. Biarawati dengan subjective well-being yang rendah memiliki
kecenderungan sering merasakan perasaan yang tidak menyenangkan. Perasaan ini dialami saat mereka marah, merasa bersalah, egois,
merasa iri, merasakan kecewa, sedih, dan merasa frustrasi karena kegagalan dalam menjalankan tugas pelayanannya sebagai biarawati.
B. Biarawati
1. Pengertian Biarawati
Dalam Kamus Besar Indonesia edisi 4 dijelaskan bahwa biarawati berasal dari kata dasar biara yang berarti bangunan tempat tinggal laki-
laki atau perempuan yang memfokuskan diri terhadap ajaran dibawah pimpinan seorang ketua menurut aturan alirannya.
Dalam buku Iman Katholik 1996, biarawati diartikan sebagai anggota kelompok yang memfokuskan diri mereka dalam kehidupan
kebiaraan dan bertugas untuk membantu uskup. Meski begitu, biarawati atau suster tidak termasuk dalam hierarki gereja Katolik. Hal
ini dipertegas oleh Konsili Vatikan II yang mengajarkan “Meskipun
status yang terwujudkan dengan pengikraran nasihat-nasihat Injil, tidak termasuk susunan hierarki Gereja, namun juga tidak dapat
diceraikan dari kehidupan dan kesucian Gereja LG44, sebab hidup membiara berkembang dari kehidupan Gereja sendiri, bahkan
“nasihat-nasihat Injil didasarkan pada sabda dan teladan Tuhan” LG43” dikutip dari Konferensi Waligereja Indonesia dalam
bukunya yang berjudul Iman Katolik, 1996, hal.375. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa biarawati
adalah wanita yang memfokuskan hidupnya dalam kehidupan membiara dan hidup dengan memegang teguh kaul suci yang mereka
hayati.
2. Gaya Hidup Biarawati
Gaya hidup seorang biarawati atau suster adalah hidup untuk lebih melayani sesama dan menghayati ajaran-ajaran Injil dalam hidup
berdoa. Melayani sesama ini diwujud nyatakan dalam semangat kerasulan ordo atau tarikat yang mereka ikuti, baik dibidang
pendidikan, sosial, kesehatan, ataupun pastoral. Semangat kerasulan di bidang pendidikan diwujud nyatakan biarawati dengan menjadi
pengelola dan pendidik di sekolah Katholik yang dimiliki kongregasi, seperti sekolah Ursulin yang dimiliki Ordo Santa Ursula OSU.
Semangat kerasulan di bidang sosial diwujud nyatakan biarawati dengan memberikan pendampingan dan konseling, seperti yang
dilakukan Ordo Klaris Kapusines OSC Cap. yang memberikan perhatian khusus untuk melayani para wanita yang tersesat, tertindas,
dan tersingkir. Semangat kerasulan dibidang kesehatan diwujud
nyatakan biarawati dengan mengelola rumah sakit, poliklinik, dan pusat kesehatan di desa-desa yang dimiliki kongregasi. Hal ini juga
dilakukan oleh para biarawati Carolus Borromeus CB. Selain itu, semangat kerasulan dibidang pastoral diwujud nyatakan dengan
pengelolaan rumah retret dan aktif dalam kegiatan gereja http:www.indonesianpapist.com201104situs-ordo-dan-
kongregasi-suster-di.html. Kemudian,
menghayati ajaran-ajaran Injil dalam hidup berdoa diwujud nyatakan para biarawati dengan
melakukan doa, baik itu dilakukan secara pribadi ataupun secara bersama.
Selain itu, hidup dengan memegang teguh kaul suci yang mereka hayati dan peraturan-peraturan biara menurut ordo mereka masing-
masing. Selain itu dalam menghidupi kaul-kaul suci, suster atau biarawati memilih hidup membiara dan menjaga kesucian mereka
dengan tidak menikah. Hal ini dilakukan sebagai komitmen mereka akan kaul selibat atau keperawanan. Kaul selibat atau keperawanan
berbicara tentang totallitas dalam melayani Tuhan dan terus menerus berusaha mengarahkan hidup mereka kepada Kristus, khususnya
dalam hidup doa Iman Katolik, 1996. Biarawati atau suster dituntut untuk taat dan hidup sesuai dengan aturan-aturan. Hal ini dilakukan
dengan berpegang pada janji suci atau kaul ketaatan. Kaul ketaatan berbicara tentang melayani satu sama lain diantara mereka antara
biarawati atau suster dengan biarawati atau suster dan hidup taat
terhadap ajaran-ajaran Injil, yang secara khusus diajarkan oleh masing-
masing “lembaga-lembaga religius” atau yang sering kita dengar sebagai Ordo Iman Katolik, 1996. Biarawati atau suster yang
dituntut untuk hidup dalam kesederhanaan bahkan hidup dalam kemiskinan. Hal ini dilakukan mereka sebagai wujud komitmen
mereka terhadap kaul kemiskinan yang mereka hidupi. Kaul kemiskinan berbicara tentang meninggalkan segala yang dimiliki
untuk hidup seperti “hamba” seperti ajaran Yesus Iman Katolik, 1996. Hal ini diwujud nyatakan dengan gaya hidup sederhana yang
dilakukan oleh biarawan atau suster dan nampak jelas dari gaya berpakaian, hidup keseharian di biara, dan hidup membantu mereka
yang lemah, miskin, sakit, dan dipandang tidak berguna di masyarakat.
Berdasarkan penjelasan diatas maka gaya hidup biarawati adalah hidup untuk melayani sesama dan menghayati ajaran-ajaran Injil
dalam hidup berdoa. Melayani sesama ini diwujud nyatakan dalam semangat kerasulan ordo atau tarikat yang mereka ikuti, baik dibidang
pendidikan, sosial,
kesehatan, ataupun
pastoral. Kemudian,
menghayati ajaran-ajaran Injil dalam hidup berdoa diwujud nyatakan para biarawati dengan melakukan doa, baik itu dilakukan secara
pribadi ataupun secara bersama. Selain itu, hidup mereka sangat memegang teguh kaul suci yang mereka hayati dan peraturan-
peraturan biara menurut Ordo mereka masing-masing.
3. Tahapan Dalam Menjadi Biarawati