Penelitian deskriptif : subjective well-being pada biarawati di Yogyakarta.

(1)

PENELITIAN DESKRIPTIF : SUBJECTIVE WELL-BEING PADA BIARAWATI DI YOGYAKARTA

Yohanes Hanggoro Tri Pamungkas

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuisubjective well-beingpada biarawati atau suster biara. Subjek dalam penelitian ini adalah para biarawati atau suster biara yang berada di Yogyakarta. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 69 orang. Hipotesis dalam penelitian ini adalah biarawati akan tetap merasakan subjective well-being dengan hidupnya. Data penelitian diperoleh dengan menggunakan satu skala Likert, yaitu skalasubjective well-being. Reliabilitas skala subjective well-being adalah 0,951. Reliabilitas ini diperoleh dengan menggunakan korelasi Cronbach’s Alpha. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan melakukan kategorisasi terhadap subjek penelitian dan diperoleh hasil biarawati atau suter biara cenderung memiliki subjective well-being yang tinggi, yaitu sebanyak 41 orang atau 59,4%.


(2)

DESCRIPTIVE RESEARCH: SUBJECTIVE WELL-BEING TOWARDS NUNS IN YOGYAKARTA

Yohanes Hanggoro Tri Pamungkas

ABSTRACT

This research aims to determine the subjective well-being towards nuns or sisters. The subjects in this research are the nuns or sisters in Yogyakarta. The total number of subjects in this research is 69 people. The hypothesis in this report is that the nuns or sisters will still feel thesubjective well-beingin their lives. The research’s data is collected by using a Likert scale, which is subjective well-being scale. The reliability ofsubjective well-being

scale is 0,951. This reliability is obtained by using theCronbach’s Alphacorrelation.The data in this research is analyzed by using categorization towars the research’s subjects and it will be obtained the result of the nuns or sisters which are tend to have the high subjective well-being, as many as 41 people or 59,4%.


(3)

PENELITIAN DESKRIPTIF : SUBJECTIVE

WELL-BEING PADA BIARAWATI DI

YOGYAKARTA

Disusun dalam rangka memenuhi Tugas Skripsi

Disusun Oleh :

Yohanes Hanggoro

(099114114)

FAKULTAS PSIKOLOGI

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA


(4)

(5)

(6)

Hari Esok Akan Lebih Indah

Dari Hari Ini

Maka

Terus Berusaha, Percaya,

Dan Berdoa


(7)

Karyaku ini kupersembahkan untuk :

Kedua Orang Tuaku yang setia menunggu kelulusanku...

Kakak-Kakakku dan Keluarga besar...

Teman Psikologi 2009 yang sudah tersebar keseluruh

Indonesia...

Keluarga besar GKN Gloria...

Kakak dan adik-

adik “Tresno Soul Management”...

Mis E yang pernah menemani...

Sahabat-

sahabat “Geng Coro Balap”...

Sahabat-

sahabat “The Brothers”...


(8)

(9)

PENELITIAN DESKRIPTIF : SUBJECTIVE WELL-BEING PADA BIARAWATI DI YOGYAKARTA

Yohanes Hanggoro Tri Pamungkas

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui subjective well-being pada biarawati atau suster biara. Subjek dalam penelitian ini adalah para biarawati atau suster biara yang berada di Yogyakarta. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 69 orang. Hipotesis dalam penelitian ini adalah biarawati akan tetap merasakan subjective well-being dengan hidupnya. Data penelitian diperoleh dengan menggunakan satu skala Likert, yaitu skala

subjective well-being. Reliabilitas skala subjective well-being adalah 0,951. Reliabilitas ini diperoleh dengan menggunakan korelasi Cronbach’s Alpha. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan melakukan kategorisasi terhadap subjek penelitian dan diperoleh hasil biarawati atau suter biara cenderung memiliki subjective well-being yang tinggi, yaitu sebanyak 41 orang atau 59,4%.


(10)

DESCRIPTIVE RESEARCH: SUBJECTIVE WELL-BEING TOWARDS NUNS IN YOGYAKARTA

Yohanes Hanggoro Tri Pamungkas

ABSTRACT

This research aims to determine the subjective well-being towards nuns or sisters. The subjects in this research are the nuns or sisters in Yogyakarta. The total number of subjects in this research is 69 people. The hypothesis in this report is that the nuns or sisters will still feel the subjective well-being in their lives. The research’s data is collected by using a Likert scale, which is subjective well-being scale. The reliability of

subjective well-being scale is 0,951. This reliability is obtained by using the Cronbach’s

Alpha correlation. The data in this research is analyzed by using categorization towars the

research’s subjects and it will be obtained the result of the nuns or sisters which are tend

to have the high subjective well-being, as many as 41 people or 59,4%. Keywords : subjective well-being, nuns.


(11)

(12)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan pada Tuhan Yang Maha Kuasa karena dengan penyertaan dan tuntunanNya penulis dapat menyelesaikan skripsinya yag

berjudul “Penelitian Deskriptif : Subjective Well-Being Pada Biarawati di Yogyakarta”. Skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Tugas akhir ini dapat terselesaikan berkat dukungan dan bantuan banyak pihak. Maka dari pada itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

2. Ratri Sunar Astuti, S.Psi., M.Psi., selaku Kaprodi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi selaku dosen pembimbing akademik. Terimakasih atas kesediaan bapak dalam mendampingi saya dalam menyelesaikan masalah akademik dan membantu dalam administrasi akademik.

4. Sylvia Carolina MYM, S.psi., M.Psi., selaku dosen pembimbing skripsi. Terimakasih untuk waktu dan tenaganya untuk membantu saya dalam menyelesaikan skripsi ini dengan bimbingan dan diskusinya selama ini.


(13)

5. Seluruh staf pengajar di Fakultas Psikologi. Terimakasih karena telah membimbing, mengajar, dan membagi ilmunya kepada saya.

6. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi Sanata Dharma, Bu Nanik, Mas

Gandung, Pak Gik, Mas Doni,dan Mas Muji yang sudah membantu dalam menyediakan alat-alat tes yang diperlukan dan bantuan-bantuan yang lain. Pelayanan yang memuaskan dari kalian.

7. Keluarga saya (babe, mamah, mas, dan mbak) yang senantiasa mendoakan dan memberikan semangat untuk menyelesaikan skripsi. Saya minta maap karena menunggu lama dalam menyelesaikan skripsi.

8. Para suster-suster dan terkhusus pada suster Marsel dan suster Petra yang membantu saya dalam mengumpulkan data penelitian. Saya ucapkan terimakasih.

9. Seluruh keluarga besar GKN Gloria yang senantiasa mendoakan dan

mendukung saya. Saya ucapkan terimakasih atas semuanya.

10. LC Tresno (Mas Nomo, Didit, Igar, Anggi, Dhana, Yogi, dan Kris) yang selalu ada untuk berbagi cerita, berbagi kebahagiaan, dan berbagi kesusahan untuk saya. Terimakasih saya ucapkan pada kalian semua. Kalian adalah keluarga baru saya.

11. The Brothers “Kelelawar Berkalung Sorban” (Togar, Hani, Fandra, Julius, Uki, dan Gatyo) yang senantiasa menemani saya, menjadi tempat berbagi cerita,dan tempat berbagi tawa. Terimakasih atas pengalaman-pengalaman selama ini. Kalian adalah sahabat-sahabat yang luar biasa.


(14)

12. Teman-teman C-Class 09 yang menemani hari-hari saya baik didalam dan diluar kelas. Terimakasih telah menjadi tempat yang menyenangkan untuk belajar, bercanda, dan berkumpul bersama. Saya bersyukur bisa berdinamika bersama kalian selama ini.

13. Keluarga besar “Coro Balap” yang selalu mengingatkan saya untuk mengerjakan skripsi meskipun dengan ejekan-ejekan. Terimakasih atas perhatiannya dan dukungannya selama ini.

14. Teman-teman Mitra Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, Paingan.

Untuk mbak Judit, Tika, Remma, Lana, Rea, Odil, Prima, Iwan, Nasa, Nisa, Nia, Chintya, Istri, Agung, dan Yovi. Terimakasih untuk kebersamaannya dan senang bisa memiliki pengalaman berdinamika dengan kalian diperpustakaan. 15. Orang-orang yang mungkin saya lupa atau tidak sempat saya tuliskan.

Terimakasih atas bantuan dan dukungannya baik langsung maupun tidak langsung sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan, baik dalam segi metode maupun pelaporannya. Oleh karena itu, penulis menerima segala masukan yang membangun demi perbaikan penelitian selanjutnya. Semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi banyak orang dan kiranya Tuhan senantiasa memberkati kita semua.


(15)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING...ii

HALAMAN PENGESAHAN...iii

HALAMAN MOTTO...iv

HALAMAN PERSEMBAHAN...v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA...vi

ABSTRAK...vii

ABSTRAK...viii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH...ix

KATA PENGANTAR...x

DAFTAR ISI...xiii

DAFTAR TABEL...xvi

DAFTAR LAMPIRAN...xvii

BAB I: PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang...1

B. Rumusan Masalah...5

C. Tujuan Penelitian...5

D. Manfaat Penelitian...5


(16)

1. Pengertian Subjective Well-Being...7

2. Komponen-Komponen yang Membentuk Subjective Well-Being...8

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Subjective Well-Being...15

4. Perwujudan Tinggi dan Rendahnya Subjective Well-Being...18

B. Biarawati...19

1. Pengertian Biarawati...19

2. Gaya Hidup Biarawati...20

3. Tahapan Dalam Menjadi Biarawati...23

C. Reward...24

D. Subjective Well-Being pada Biarawati...25

E. Kerangka Berpikir...27

BAB III: METODOLOGI PENELITIAN...28

A. Jenis Penelitian...28

B. Identifikasi Variabel...28

C. Definisi Operasional...29

1. Subjective Well-Being...29

D. Subjek Penelitian...32

E. Metodologi Pengambilan Sampel...32

F. Metodologi dan Alat Pengumpulan Data...32

G. Validitas dan Reliabilitas...35

1. Validitas Skala...35

2. Seleksi Aitem...35

3. Reliabilitas...38

H. Analisi Data...39

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...41

A. Pelaksanaan Penelitian...41

B. Deskripsi Subjek...43


(17)

D. Kategorisasi...46

E. Analisis Data Penelitian...48

F. Pembahasan...49

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN...54

A. Kesimpulan...54

B. Saran...55

1. Bagi pengelola Biara...55

2. Bagi Biarawati...55

3. Bagi Penelitian Selanjutnya...55

DAFTAR PUSTAKA...56


(18)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1.Blue Print Skala Subjective Well-Being......34

Tabel 3.2.Pemberian Skor pada Subjective Well-Being...35

Tabel 3.3.Komponen dan Distribusi Aitem Skala Subjective Well-Being ...38

Tabel 4.1.Kongregasi atau Ordo Subjek Penelitian...42

Tabel 4.2.Identitas Subjek Penelitian...44

Tabel 4.3.Hasil Pengukuran Statistik Deskriptif...46

Tabel 4.4.Hasil Kategorisasi Subjective Well-Being pada Subjek Penelitian...47

Tabel 4.5.Hasil Analisis Subjective Well-Being Biarawati Berdasarkan Lamanya Hidup Membiara...48

Tabel 4.6.Hasil Analisis Data Subjective Well-Being Berdasarkan Tingkatan dalam Biara...49


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Skala Subjective Well-Being...60 Lampiran 2 Reliabilitas Skala Penelitian...72 Lampiran 3 Statistik Deskriptif Subjecive Well-Being...82


(20)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kehidupan yang bahagia merupakan dambaan semua manusia. Aristoteles dalam Bertens (2007) bahkan menjelaskan kehidupan yang bahagia merupakan tujuan utama dari eksistensi manusia. Maka tidak salah manusia selalu mengusahakan diri mereka untuk meraih kehidupan yang bahagia.

Kebahagiaan juga merupakan sesuatu yang bersifat individual. Masing-masing orang memiliki cara pandangnya sendiri dalam melihat dan memaknai arti kebahagiaan. Melihat hal tersebut, maka Diener menjelaskan kebahagiaan yang individual ini dengan konsepnya yang disebut subjective well-being.

Diener, Lucas, & Oishi, 2009 mendefinisikan subjective well-being

adalah hasil evaluasi atau penilaian seseorang secara kognitif dan afektif terhadap seluruh pngalaman kehidupannya. Evaluasi kognitif merupakan penilaian terhadap kepuasan hidup seseorang dan evaluasi afektif merupakan respon emosional yang timbul dari setiap pengalaman hidup seseorang.

Pada umumnya, kebahagiaan sering dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat materi. Seseorang yang memiliki materi yang berlimpah dipandang memiliki kehidupan yang bahagia. Mobil, rumah yang mewah,


(21)

barang-barang yang berkualitas, dan barang mewah lainnya digunakan sebagai acuan untuk melihat kebahagiaan seseorang. Maka tidak salah jika materi dan kondisi finansial dijadikan standar untuk melihat kebahagiaan. Soleman H, dkk (2002) bahkan menjadikan kondisi finansial menjadi salah satu indikator untuk melihat kebahagiaan seseorang.

Kebahagiaan juga erat kaitannya dengan menikah dan memiliki keluarga. Soleman H, dkk (2002) menjelaskan social support yang salah satunya adalah keluarga memberikan dampak bagi seseorang dalam terciptanya perasaan puas pada hidup mereka. Lebih lanjut dijelaskan, menurut hasil penelitian di Amerika (dalam buku Psikologo Wanita Jilid 2 karya Dr. Kartini Kartono, 1992), fungsi keibuan atau menjadi seorang ibu merupakan sumber kepuasan dan kebahagiaan dalam hidup mereka. Maka tidak salah jika menciptakan keluarga yang harmonis menjadi dambaan seiap orang yang menikah. Lalu bagaimana dengan kelompok masyarakat tertentu yang memilih untuk hidup dengan gaya hidup yang berbeda, seperti biarawati atau suster biara.

Biarawati adalah wanita yang memfokuskan hidupnya dalam

kehidupan membiara dan hidup dengan memegang teguh kaul suci yang mereka hayati. Gaya hidup seorang biarawati atau suster adalah hidup untuk lebih melayani sesama dan menghayati ajaran-ajaran Injil dalam hidup berdoa. Melayani sesama ini diwujud nyatakan dalam semangat kerasulan ordo atau tarikat yang mereka ikuti, baik dibidang pendidikan, sosial, kesehatan, ataupun pastoral. Kemudian, menghayati ajaran-ajaran


(22)

Injil dalam hidup berdoa diwujud nyatakan para biarawati dengan melakukan doa, baik itu dilakukan secara pribadi ataupun secara bersama. Selain itu, biarawati atau suster biara hidup dengan berpegang teguh oleh kaul suci yang mereka hayati dan peraturan-peraturan biara menurut Ordo mereka masing-masing. Kaul suci yang mereka hayati dan hidupi adalah kaul selibat atau keperawanan, kaul ketaatan, dan kaul kemiskinan.

Dalam menjalani kehidupannya sebagai seorang biarawati, mereka

juga mengalami masalah dan tantangan. Paulus Suparmo, Sj (2007) menjelaskan bahwa biarawati mengalami krisis dalam menanggapi

panggilan hidupnya. Lebih lanjut, Paulus Suparmo, Sj

mengklasifikasikannya dalam 3 masa hidup membiara yaitu masa biara awal, masa biara tengah, dan masa biara lanjut usia.

Masa biara awal biasanya dialami oleh biarawati yang berada pada tingkatan aspiran dan novice. Pada masa biara awal, biarawati mengalami krisis identitas. Biarawati merasakan kebingungan mengenai apakah panggilan hidupnya sebagai biarawati adalah jalan hidup yang harus dilalui selama hidupnya. Krisis seksualitas menjadi krisis selanjutnya yang dialami biarawati dalam kehidupan. Saat seseorang merasakan perasaan jatuh cinta dengan lawan jenisnya itu adalah hal yang biasa dan wajar namun bagi seorang biarawati ini hal yang dilarang. Mengingat hal tersebut dapat mengganggu dalam panggilan hidup membiaranya. Selanjutnya, krisis sosial juga terjadi dalam kehidupan membiara. Hal ini disebabkan oleh suasana komunitas yang tidak sesuai dengan harapan dan


(23)

keinginan biarawati tersebut. Selanjutnya adalah krisis pekerjaan. Hal ini terjadi karena biarawati tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan dimana ia melayani. Mereka akan merasakan kebingungan dan frustasi dalam menjalankan tugas pelayanannya. Kemudian, biarawati masih berada pada tahapan aspiran dan novise adalah biarawati yang berada pada masa transisi dari masa kanak-remaja menuju masa dewasa awal. Mereka

belum mau untuk berubah dan berpindah dari “zona nyaman” mereka. Hal

ini disebut dengan krisis awal yaitu mau berubah.

Pada masa biara tengah, masalah biasanya terjadi pada para biarawati mediator. Ada beberapa masalah yang dialami pada masa ini. Pertama adalah krisis tengah umur. Krisis ini terjadi karena biarawati merasa apa yang dilakukan dalam pelayanannya tidak sesuai dengan apa yang diinginkan dan diharapkannya. Kedua adalah masalah menopause.

Masalah ini adalah masalah yang pasti terjadi dengan wanita, terkhusus pada wanita yang sudah memasuki usia tua. Selanjutnya, biarawati mengalami perasaan kesepian. Hal ini terjadi karena para biarawati merasa tidak punya sahabat atau teman karena mereka disibukkan dengan tugas pelayanan yang diberikan kongregasi. Yang keempat adalah krisis keturunan. Biarawati juga memiliki keinginan untuk menjadi seorang ibu dan melahirkan seorang anak. Menjadi masalah karena peraturan sebagai biarawati membuat mereka tidak dapat melakukannya. Hidup selibat adalah salah satu kaul suci yang harus dipegangnya untuk menjadi seorang biarawati. Kemudian, krisis kekuasaan, kekayaan, dan popularitas.


(24)

Masalah ini muncul karena terkadang biarawati tidak rela melepaskan posisinya pada biarawati lebih muda.

Masa biara lanjut usia. Biasanya terjadi pada usia 60-65 tahun. Pada masa ini krisis yang dihadapi adalah bagaimana mereka menghadapi masa pensiun dan masalah kesehatan yang dialaminya. Hal ini terjadi karena keterbatasan fisiknya yang semakin tua dan hal tersebut wajar dialami dimasa tua oleh semua orang.

Melihat begitu banyaknya masalah yang dialami biarawati dalam menjalani panggilannya, seperti masalah krisis identitas pada masa biara awal, krisis ingin memiliki keturunan pada masa biara tengah, krisis kesehatan pada masa lanjut usia, dan masih banyak masalah lainnya maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang subjective well-being pada biarawati.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana tingkat subjective well-being pada biarawati?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui subjective well-being pada biarawati atau suster biara.


(25)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk ilmu

psikologi, khususnya pada bidang perkembangan tentang

kesejahteraan diri atau subjective well-being, terkhusus pada biarawati.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi tentang kondisi kesejahteraan diri atau subjective well-being pada biarawati.


(26)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Subjective Well-Being

1. Pengertian Subjective Well-Being

Subjective well-being merupakan evaluasi atau penilaian terhadap kehidupan individu, penilaian terhadap kepuasan hidupnya dan evaluasi terhadap suasana hati dan emosi individu tersebut (Diener & Lucas, 1999). Diener dan Larsen (dalam Edington, 2005) mengungkapkan definisi subjective well-being adalah kondisi yang cenderung stabil sepanjang waktu dan sepanjang rentang kehidupan.

Diener, Lucas dan Oishi (2009) mendefinisikan subjective well-being atau kesejahteraan subjektifsebagai hasil evaluasi atau penilaian seseorang secara kognitif dan afektif terhadap seluruh pengalaman hidup seseorang. Evaluasi kognitif merupakan penilaian terhadap kepuasan hidup seseorang dan evaluasi afektif merupakan respon emosional yang timbul dari setiap pengalaman hidup seseorang. Kepuasan hidup terdiri dari kepuasan hidup secara global dan kepuasan hidup dalam domain khusus, seperti pendapatan, keluarga dan relasi sosial, pekerjaan, dan kesehatan. Kemudian, respon emosional terdiri dari respon emosional positif misalnya perasaan senang dan respon emosional negatif misalnya perasaan sedih atau cemas.


(27)

Berdasarkan pernyataan-pernyataan diatas maka dapat disimpulkan bahwa subjective well-being adalah hasil evaluasi individu secara kognitif (kepuasan hidup) dan afektif (positive & negative affect)

terhadap seluruh pengalaman hidup individu.

2. Komponen-Komponen yang Membentuk Subjective Well-Being

Terdapat 2 komponen pembentuk subjective well-being (Andrews & Robinson, 1992 ; Argyle, 2001; Diener, 2000; Diener et al., 1999) :

a. Komponen Kognitif

Komponen kognitif merupkan hasil evaluasi terhadap kepuasan hidup individu. Terdapat dua bentuk evaluasi terhadap kepuasan hidup yaitu kepuasan hidup secara global dan kepuasan hidup dalam domain khusus. Diener, Sandvik, dan Seidltizt (1993) menggambarkan kepuasan hidup secara global dengan kehidupan seseorang yang dekat dengan kehidupan ideal yang diinginkan, mampu menikmati hidup, merasa puas dengan hidupnya yang sekarang, merasa puas dengan hidupnya dimasa lalu, dan ada tidaknya keinginan untuk merubah hidupnya yang sekarang. Kemudian, Diener menjelaskan kepuasan hidup yang dalam domain khusus yang terdiri dari :

1. Pendapatan

Pendapatan adalah sejumlah uang atau barang yang diterima seseorang dari hasil pekerjaannya yang didigunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut hasil


(28)

wawancara informal dengan biarawati KSFL, ketercukupinya kebutuhan bulanan sudah cukup memberikan kepuasan bagi diri biarawati.

2. Relasi dengan lingkungan sosial

Relasi yang positif ditandai dengan adanya kemampuan individu untuk membangun relasi yang baik dengan individu lain. Biarawati yang memiliki relasi yang baik dapat dilihat dari sejauh mana biarawati tersebut mampu menunjukkan sikap yang hangat, menunjukkan perhatian, memiliki rasa percaya, memiliki empati, merasakan perasaan nyaman, dan mampu membangun keakraban dengan biarawati sekomunitas, biarawati diluar komunitas, dan orang umum.

3. Pekerjaan

Menurut hasil wawancara informal dengan biarawati

KSFL, kongregasi pusat memiliki wewenang untuk

memberikan tugas dan kewajiban pada biarawatinya. Biarawati yang merasakan kepuasan terhadap tugas yang diberikan kongregasi akan menunjukkan semangat dalam

mengerjakan tugas yang diberikan dan berusaha

menyelesaikannya dengan sebaik mungkin.

4. Kesehatan

Kesehatan erat kaitannya dengan kondisi fisiologis seseorang. Kondisi tubuh yang segar dan tidak mengalami


(29)

keluhan sakit saat melakukan tugas pelayanannya membuat biarawati mengalami kepuasan.

b. Komponen Afeksi

Komponen afeksi merupakan hasil evaluasi perasaan terhadap pengalaman yang pernah terjadi. Komponen afeksi dibagi kedalam dua jenis, yaitu positive affect dan negative affect. Positive Affect berbicara tentang perasaan yang menyenangkan

dialami oleh seseorang. Watson dan Tellegen (1985)

mengklasifikasikan perasaan positif dalam PANAS-X (Positive Affect and Negative Affect Schedule). Mereka mengklasifikasikan

positive affect ke dalam tiga bagian, yaitu :

1. Joviality

Joviality merupakan perasaan bahagian yang dirasakan seseorang. Perasaan ini terdiri dari rasa bersemangat dan antusias yang ditunjukan biarawati dalam melakukan sesuatu. 2. Self Assurace

Self Assurace merupakan perasaan aman yang dirasakan seseorang. Perasaan ini terdiri atas perasaan proud (rasa bangga) dan confident (ketenangan atau kenyamanan) menjadi seorang biarawati.

3. Attentiveness

Attentiveness merupakan rasa diperhatikan oleh orang lain. Perasaan ini terdiri atas perasaan attentive (perhatian) dan


(30)

kasih sayang yang diperoleh biarawati, baik dari biarawati sekomunitas ataupun orang lain diluar komunitasnya.

Menurut Diener (1993) terdapat beberapa perasaan yang

muncul untuk menjelaskan tentang postitive affect yaitu :

1. Ketenangan

Ketenangan adalah keadaan dimana biarawati merasa tenang baik secara hati, batin, dan pikiran.

2. Kasih sayang

Kasih sayang adalah perasaan cinta kasih yang dirasakan biarawati.

3. Kedermawana

Kedermawanan adalah kebaikan hati untuk membantu sesamanya.

4. Pengampunan

Pengampunan adalah memberikan maaf terhadap

kesalahan yang dilakukan orang lain.

Perasaan yang positif atau perasaan yang menyenangkan dengan frekuensi yang tinggi akan membuat seseorang mengalami

subjective well-being dalam kehidupannya. Mereka cenderung akan mampu menikmati perjalanan hidupnya dan memandang masa depannya lebih baik.

Negative affect merupakan kebalikan dari positive affect , yaitu perasaan yang tidak menyenangkan dalam kehidupannya,


(31)

baik itu perasaan yang sedih atau cemas. Watson dan Tellegen (1985) mengklasifikasikan perasaan negatif dalam PANAS-X (Positive Affect and Negative Affect Schedule). Mereka mengklasifikasikan negative affect ke dalam empat bagian, yaitu :

1. Fear

Fear merupakan perasaan takut yang muncul dalam diri seseorang. Perasaan ini terdiri dari perasaan takut, perasaan gugup, dan perasaan gelisah yang pernah dialami oleh biarawati.

2. Hostility

Hostility merupakan perasaan permusuhan yang dialami dalam diri seseorang yang secara umum disebut dengan perasaan angry atau marah.

3. Guilty

Guilty merupakan rasa bersalah yang dialami seseorang. Pada biarawati, perasaan ini muncul saat dirinya melakukan suatu kesalahan atau melanggar suatu aturan.

4. Sadness

Sadness adalah perasaan sedih yang dialami seseorang. Pada biarawati, perasaan ini muncul saat dirinya teringat akan pengalaman yang tidak menyenangkan dimasalalu dan berada pada kondisi yang tidak menyenangkan atau disaat tertekan dalam hidupnya.


(32)

Menurut Diener (1993) terdapat beberapa perasaan yang muncul untuk menjelaskan tentang perasaan negatif yaitu :

1. Marah

Marah adalah perasaan tidak senang karena diperlakukan tidak semestinya.

2. Rasa Bersalah

Perasaan tidak nyaman karena melakukan sesuatu yang tidak benar atau melanggar peraturan.

3. Egois

Egois adalah perasaan yang selalu mementingkan kehendak atau keinginan diri sendiri.

4. Kekecewaan

Kekecewaan adalah perasaan tidak puas karena

keinginannya tidak terpenuhi.

5. Sedih

Sedih adalah perasaan pilu didalam hati karena suatu keadaan yang tidak nyaman.

6. Frustrasi

Frustrasi adalah rasa kecewa akibat kegagalan dalam melakukan sesuatu atau mencapai sesuatu.

Perasaan negatif atau perasaan yang cenderung tidak

menyenangkan dengan frekuensi yang tinggi akan


(33)

dalam hidupnya. Mereka akan merasa bahwa hidupnya berjalan dengan buruk. Hal ini mengakibatkan seseorang akan mengalami gangguan efektivitas keberfungsian hidup, misalnya memandang dirinya tidak berguna dan tidak berarti.

Berdasarkan rincian diatas terdapat dua aspek yang berpengaruh dalam pembentukan subjective well-being, yaitu aspek kognitif dan emosi. Aspek kognitif tersebut dapat dilihat dari hasil evaluasi terhadap kepuasan hidup atau life satisfaction. Life satisfaction dapat diukur dengan melihat kepuasan hidup secara global dan kepuasan hidup dalam domain khusus. Kepuasan hidup secara global dapat diukur melalui kehidupan seseorang yang dekat dengan kehidupan ideal yang diinginkan orang tersebut, menikmati kondisi hidupnya sekarang, puas dengan hidupnya yang sekarang, puas dengan hidupnya dimasa lalu, dan seberapa besar keinginan untuk merubah hidup mereka sekarang. Kepuasan hidup dalam domain khusus dapat diukur dari tingkat pendapatan, relasi dengan lingkungan sosial, kesesuanan pekerjaan, dan kesehatan. Kemudian, aspek emosi dapat dilihat dari banyaknya positive affect

dan rendahnya negative affect yang dirasakan seseorang. Positive affect ditandai dengan seberapa sering mereka merasakan ketenangaan, kasih sayang, kedermawanan, pengampunan, perhatian, rasa bersemangat, antusias, dan rasa bangga. Negative affect dapat dilihat dari seberapa sering merasakan perasaan marah,


(34)

rasa bersalah, egois atau mementingkan dirisendiri, kekecewaan, sedih, kegagalan atau frustasi, takut, gugup, gelisah, dan rasa tertekan.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Subjective Well-Being

Menurut Diener dalam jurnalnya berjudul “Subjective Well-Being: The Science of Happiness and a Proposal for a National Index”,

terdapat 3 aspek yang mempengaruhi pembentukan subjective well-being, yaitu:

a. Emosi

Temperamen dan kepribadian terlihat menjadi salah satu faktor kuat yang mempengaruhi subjective well-being. Lykken dan Tellegen (dalam Diener & Lucas, 1999) menjelaskan bahwa kepribadian memberikan pengaruh sebesar 50 % dalam pembentukan subjective well-being dan berpengaruh sebesar 80 % pada jangka panjang.

b. Kognitif

Nilai-nilai dan tujuan mempengaruhi seseorang dalam melihat apa yang terjadi atau melihat peristiwa sebagai hal baik atau buruk.

c. Sosial

Budaya dan kondisi sosial mempengaruhi subjective well-being seseorang. Pertama, apakah lingkungan sosial dapat memenuhi kebutuhan mendasar manusia, seperti makan, air bersih,


(35)

dan kesehatan. Kedua, budaya berkorelasi pada pembentukan tujuan dan nilai-nilai seseorang. Kondisi sosial dan budaya tersebut mempengaruhi level subjective well-being.

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi pembentukan subjective well-being antar lain adalah :

a. Finansial

Kondisi finansial erat kaitannya dengan pendapatan yang diterima seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut hasil penelitian Gross National Happiness Survey Findings, 51% responden menjawab bahwa keamanan finansial menjadi faktor utama dalam pembentukan kebahagiaan. Kondisi finansial yang baik memberikan jaminan terhadap kelayakan hidup bagi mereka.

b. Pendidikan

Pendidikan merupakan kunci bagi seseorang untuk bergerak ke masa depan. Menurut hasil penelitian Gross National Happiness Survey Findings, pendidikan memperoleh 26% suara responden dalam pembentukan kebahagiaan. Fasilitas, sarana prasarana pendidikan yang memadai, dan kualitas pendidik merupakan hal-hal yang mempengaruhi kebahagiaan dalam hal pendidikan.

c. Kesehatan

Kondisi tubuh yang sehat juga berpengaruh dalam pembentukan kebahagiaan.


(36)

d. Keluarga dan relasi sosial

Keluarga merupakan faktor penting dalam pembentukan kebahagiaan seseorang. Perasaan nyaman, aman, dan hangat dapat diperoleh dari keluarga yang baik. Menurut hasil penelitian Gross National Happiness Survey Findings, memperoleh 26% suara responden yang menyatakan bahwa hubungan keluarga yang baik menjadi salah satu potensi yang besar dalam pembentukan kebahagiaan.

e. Pekerjaan

Pekerjaan juga menjadi salah satu faktor yang

mempengaruhi kebahagiaan. Kesempatan kerja dan lingkungan kerja yang baik berpengaruh dalam pembentukan kebagiaan. f. Kepercayaan dan spiritulalitas

Mengikuti acara keagamaan, mengunjungi rumah ibadah, dan beribadah dapat menjadi sarana untuk meningkatkan kebahagiaan. Menurut hasil penelitian Gross National Happiness Survey Findings, kurang lebih 9% responden mengatakan bahwa agama dan kegiatan spiritual dapat meningkatkan kebahagiaan hidup mereka.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga aspek yang dapat mempengaruhi subjective well-being seseorang, yaitu aspek emosi, kognitif, dan sosial. Temperamen dan kepribadian adalah


(37)

well-being. Kemudian, faktor kognitif yang mempengaruhi subjective well-being adalah nilai-nilai dan tujuan hidup seseorang. Budaya dan kondisi sosial merupakan faktor sosial yang mempengaruhi subjective well-being seseorang. Selain itu terdapat beberapa faktor lain yang

juga mempengaruhi pembentukan subjective well-being atau

kebahagiaan seseorang, yaitu kondisi finansial, pendidikan, kesehatan, keluarga dan relasi sosial, pekerjaan, dan kepercayaan dan spiritualitas seseorang.

4. Perwujudan Tinggi dan Rendahnya Subjective Well-Being

Biarawati yang memiliki subjective well-being yang tinggi memiliki kepuasan terhadap hidupnya. Secara umum, mereka akan cenderung menggambarkan kehidupan mereka dekat dengan kehidupan ideal yang diinginkannya, mampu menikmati hidup, merasa puas dengan hidupnya yang sekarang, merasa puas dengan hidupnya dimasa lalu, dan ada tidaknya keinginan untuk merubah hidupnya yang sekarang (Diener, Sandvik, dan Seidltizt, 1993). Selain itu, biarawati dengan subjective well-being yang tinggi akan merasa puas dengan ketercukupinya kebutuhan hidup yang diberikan kongregasi, memiliki relasi yang baik dengan lingkungan sosialnya, baik itu biarawati sekomunitas dan orang di luar komunitas, mampu menikmati tugas pelayanannya sebagai seorang biarawati, dan merasakan kepuasan terhadap kondisi kesehatannya.


(38)

Ketika biarawati memiliki subjective well-being yang tinggi, mereka cenderung sering merasakan perasaan yang menyenangkan. Perasaan ini dapat dialami saat mereka merasakan ketenangan dalam dirinya, merasakan kasih sayang, merasakan kepuasan, melakukan kedermawanan, dan memberikan pengampunan pada orang lain.

Biarawati dengan subjective well-being yang rendah memiliki kecenderungan sering merasakan perasaan yang tidak menyenangkan. Perasaan ini dialami saat mereka marah, merasa bersalah, egois, merasa iri, merasakan kecewa, sedih, dan merasa frustrasi karena kegagalan dalam menjalankan tugas pelayanannya sebagai biarawati.

B. Biarawati

1. Pengertian Biarawati

Dalam Kamus Besar Indonesia edisi 4 dijelaskan bahwa biarawati berasal dari kata dasar biara yang berarti bangunan tempat tinggal laki-laki atau perempuan yang memfokuskan diri terhadap ajaran dibawah pimpinan seorang ketua menurut aturan alirannya.

Dalam buku Iman Katholik (1996), biarawati diartikan sebagai anggota kelompok yang memfokuskan diri mereka dalam kehidupan kebiaraan dan bertugas untuk membantu uskup. Meski begitu, biarawati atau suster tidak termasuk dalam hierarki gereja Katolik. Hal ini dipertegas oleh Konsili Vatikan II yang mengajarkan “Meskipun

status yang terwujudkan dengan pengikraran nasihat-nasihat Injil, tidak termasuk susunan hierarki Gereja, namun juga tidak dapat


(39)

diceraikan dari kehidupan dan kesucian Gereja (LG44), sebab hidup membiara berkembang dari kehidupan Gereja sendiri, bahkan “nasihat-nasihat Injil didasarkan pada sabda dan teladan Tuhan” (LG43)” (dikutip dari Konferensi Waligereja Indonesia dalam bukunya yang berjudul Iman Katolik, 1996, hal.375).

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa biarawati adalah wanita yang memfokuskan hidupnya dalam kehidupan membiara dan hidup dengan memegang teguh kaul suci yang mereka hayati.

2. Gaya Hidup Biarawati

Gaya hidup seorang biarawati atau suster adalah hidup untuk lebih melayani sesama dan menghayati ajaran-ajaran Injil dalam hidup berdoa. Melayani sesama ini diwujud nyatakan dalam semangat kerasulan ordo atau tarikat yang mereka ikuti, baik dibidang pendidikan, sosial, kesehatan, ataupun pastoral. Semangat kerasulan di bidang pendidikan diwujud nyatakan biarawati dengan menjadi pengelola dan pendidik di sekolah Katholik yang dimiliki kongregasi, seperti sekolah Ursulin yang dimiliki Ordo Santa Ursula (OSU). Semangat kerasulan di bidang sosial diwujud nyatakan biarawati dengan memberikan pendampingan dan konseling, seperti yang dilakukan Ordo Klaris Kapusines (OSC Cap.) yang memberikan perhatian khusus untuk melayani para wanita yang tersesat, tertindas, dan tersingkir. Semangat kerasulan dibidang kesehatan diwujud


(40)

nyatakan biarawati dengan mengelola rumah sakit, poliklinik, dan pusat kesehatan di desa-desa yang dimiliki kongregasi. Hal ini juga dilakukan oleh para biarawati Carolus Borromeus (CB). Selain itu, semangat kerasulan dibidang pastoral diwujud nyatakan dengan pengelolaan rumah retret dan aktif dalam kegiatan gereja

(http://www.indonesianpapist.com/2011/04/situs-ordo-dan-kongregasi-suster-di.html). Kemudian, menghayati ajaran-ajaran Injil dalam hidup berdoa diwujud nyatakan para biarawati dengan melakukan doa, baik itu dilakukan secara pribadi ataupun secara bersama.

Selain itu, hidup dengan memegang teguh kaul suci yang mereka hayati dan peraturan-peraturan biara menurut ordo mereka masing-masing. Selain itu dalam menghidupi kaul-kaul suci, suster atau biarawati memilih hidup membiara dan menjaga kesucian mereka dengan tidak menikah. Hal ini dilakukan sebagai komitmen mereka akan kaul selibat atau keperawanan. Kaul selibat atau keperawanan berbicara tentang totallitas dalam melayani Tuhan dan terus menerus berusaha mengarahkan hidup mereka kepada Kristus, khususnya dalam hidup doa (Iman Katolik, 1996). Biarawati atau suster dituntut untuk taat dan hidup sesuai dengan aturan-aturan. Hal ini dilakukan dengan berpegang pada janji suci atau kaul ketaatan. Kaul ketaatan berbicara tentang melayani satu sama lain diantara mereka (antara biarawati atau suster dengan biarawati atau suster) dan hidup taat


(41)

terhadap ajaran-ajaran Injil, yang secara khusus diajarkan oleh masing-masing “lembaga-lembaga religius” atau yang sering kita dengar sebagai Ordo (Iman Katolik, 1996). Biarawati atau suster yang dituntut untuk hidup dalam kesederhanaan bahkan hidup dalam kemiskinan. Hal ini dilakukan mereka sebagai wujud komitmen mereka terhadap kaul kemiskinan yang mereka hidupi. Kaul kemiskinan berbicara tentang meninggalkan segala yang dimiliki

untuk hidup seperti “hamba” seperti ajaran Yesus (Iman Katolik,

1996). Hal ini diwujud nyatakan dengan gaya hidup sederhana yang dilakukan oleh biarawan atau suster dan nampak jelas dari gaya berpakaian, hidup keseharian di biara, dan hidup membantu mereka yang lemah, miskin, sakit, dan dipandang tidak berguna di masyarakat.

Berdasarkan penjelasan diatas maka gaya hidup biarawati adalah hidup untuk melayani sesama dan menghayati ajaran-ajaran Injil dalam hidup berdoa. Melayani sesama ini diwujud nyatakan dalam semangat kerasulan ordo atau tarikat yang mereka ikuti, baik dibidang

pendidikan, sosial, kesehatan, ataupun pastoral. Kemudian,

menghayati ajaran-ajaran Injil dalam hidup berdoa diwujud nyatakan para biarawati dengan melakukan doa, baik itu dilakukan secara pribadi ataupun secara bersama. Selain itu, hidup mereka sangat memegang teguh kaul suci yang mereka hayati dan peraturan-peraturan biara menurut Ordo mereka masing-masing.


(42)

3. Tahapan Dalam Menjadi Biarawati

Menurut hasil wawancara informal dengan salah biarawati dari Kongregasi Suster Fransiscan St. Lusia (17 Agustus, 2014), terdapat 4 tahapan dalam seseorang menjadi seorang biarawati secara umum, yaitu:

1. Aspiran atau juvenis

Aspiran atau juvenis merupakan tahapan awal untuk menjadi seorang biarawati. Mereka adalah wanita yang baru beberapa bulan masuk dalam kehidupan membiara.

2. Postulant atau novice

Postulant atau novice adalah mereka sudah hidup membiara selama 1 hingga 2 tahun.

3. Junior atau biarawati mediator

Pada tahap ini mereka memiliki para biarawati sudah diberikan kepercayaan untuk menjalankan tugas kerasulan ordo atau kongregasi. Bisa dikatakan mereka adalah tonggak dalam pekerjaan misi sebuah ordo atau kongregasi karena mereka memiliki peran dan tanggung jawab dalam menjalankan misi ordo, baik itu disekolah-sekolah, dibiara, ataupun ditempat pelayanan mereka yang lain.

4. Kaul kekal

Pada tahapan ini para biarawati mengucapkan janji setia pada kehidupan yang akan dijalaninya selama hidup sebagai


(43)

seorang biarawati. Kaul kekal juga berbicara tentang penyerahan total pada kehidupan pada pelayanan sesuai ajaran Kristus.

C. Reward

Hukum Thorndike (1911) menjelaskan bahwa pemberian reward

atau hadiah meningkatkan frekwensi dan intensitas seseorang untuk melakukan sesuatu. Pavlov (1927) mendefinisikan reward sebagai sebuah objek yang menghasilkan perubahan perilaku subjek. Kemudian, Skinner (dalam jurnal Behavioral Theories and The Neurophysiology of Reward

tahun 2006) menjelaskan bahwa reward sebagai suatu penguat jalur stimulus dan respon dalam perilaku individu. Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa reward merupakan suatu imbalan yang diberikan untuk mengubah atau menguatkan suatu perilaku manusia.

Schultz (2006) menuliskan terdapat dua persepsi umum untuk menjelaskan tentang reward atau imbalan. Pertama adalah seseorang akan melakukan sesuatu dengan baik untuk mendapatkan hadiah. Kedua adalah seseorang akan melakukan perilaku yang sama untuk mendapatkan kesenangan yang sama seperti saat individu melakukan perilaku yang sama dimasa yang lalu. Selain itu, Schultz juga menjelaskan terdapat beberapa bentuk umum reward pada manusia, antara lain adalah uang, kedudukan atau kekuasaan, perasaan aman, pujian, pengakuan, dan masih banyak lagi.


(44)

D. Subjective Well-Being Pada Biarawati

Subjective well-being adalah penilaian individu secara kognitif dan afektif terhadap keseluruhan pengalaman hidup. Subjective well-being ini dapat tercipta saat seseorang merasakan kepuasan di dalam hidupnya (life satisfaction). Life satisfaction tentang bagaimana seseorang memandang atau menilai kehidupannya sekarang. Selain itu, disaat seseorang lebih banyak mengalami pengalaman dan merasakan perasaan yang menyenangkan dalam hidupnya (positive affect) dan mengalami sedikit perasaan yang tidak menyenangkan (negative affect). Perasaan positif mencangkup perasaan seseorang yang mengalami ketenangaan, kasih sayang, kedermawanan, kepuasan, dan pengampunan. Serta perasaan negative yaitu marah, rasa bersalah, egois atau mementingkan dirisendiri, iri, kekecewaan, sedih,dan kegagalan atau frustasi yang cenderung lebih sedikit yang dirasakan dan dialami seseorang dalam hidupnya.

Untuk dapat mencapai subjective well-being, orang pada umumnya terus mengusahakan diri mereka untuk mencapai kondisi financial yang baik, pendidikan yang tinggi, menjaga kesehatan yang baik dengan hidup sehat atau bahkan mengikuti asuransi kesehatan, membangun keluarga dan membangun relasi sosial yang baik dengan lingkungannya, mendapatkan dan meraih posisi pekerjaan yang baik, dan ikut dalam kegiatan keagamaan dan spiritual. Mungkin bagi orang pada umumnya beberapa


(45)

hal tersebut dapat dilakukan untuk meraih dan mecapai subjective well-being dan kebahagiaan dalam hidupnya. Tapi bagaimana dengan kelompok masyarakat tertentu yang hidup dengan cara berbeda dengan orang-orang pada umumnya seperti biarawati.

Biarawati adalah cerminan kelompok masyarakat yang ada dan tetap ada hingga sekarang, memilih hidup dengan cara hidup berbeda dengan orang pada umumnya. Biarawati adalah wanita yang memfokuskan diri untuk hidup membiara dan bertugas untuk membantu uskup serta hidup dengan menghayati ajaran-ajaran Injil. Selain itu, cara hidup yang mereka lakukan cenderung berbeda dengan orang-orang pada umumnya. Tercermin nyata dalam tiga kaul-kaul suci yang mereka pegang dan mereka hayati. Kaul selibat atau kesucian adalah kaul yang mengharuskan mereka untuk hidup tidak menikah dan membangun keluarga. Hal ini dilakukan sebagai komitmen mereka akan kaul selibat atau keperawanan. Kaul selibat atau keperawanan berbicara tentang totallitas dalam melayani Tuhan dan terus menerus berusaha mengarahkan hidup mereka kepada Kristus, khususnya dalam hidup doa. Kaul ketaatan berbicara tentang melayani satu sama lain diantara mereka (antara biarawati atau suster dengan biarawati atau suster) dan hidup taat terhadap ajaran-ajaran Injil, yang secara khusus diajarkan oleh masing-masing

“lembaga-lembaga religius” atau yang sering kita dengar sebagai Ordo. Kemudian yang ketiga adalah kaul kemiskinan berbicara tentang


(46)

meninggalkan segala yang dimiliki untuk hidup seperti “hamba” seperti

ajaran Yesus.

Untuk mewujud nyatakan panggilan hidupnya, biarawati nantinya akan mengikrarkan janji sucinya yang disebut kaul kekal. Untuk mencapai kesana, seorang biarawati harus melalui proses yang lama dan tidak mudah. Secara umum, terdapat empat tahapan yaitu aspiran atau juvenis, postulan atau novice, junior atau mediator, hingga nantinya mencapai kaul kekal.

E. Kerangka Berpikir

Bagan 2.1 Dinamika Subjective Well-Being pada Biarawati Biarawati

Apakah biarawati mengalami SWB dalam hidupnya? Gaya hidup biarawati,

yaitu:

1. Hidup untuk

melayani sesama dan hidup berdoa.

2. Menghidupi kaul sucinya sebagai biarawati dengan hidup selibat, hidup dalam kemiskinan, dan hidup taat.


(47)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan ini adalah kuantitatif. Penelitian kuantitatif merupakan jenis penelitian yang menggunakan analisis data dengan menggunakan prosedur statistik. Juliansyah Noor menjelaskan, penelitian kuantitatif adalah metode pengujian teori tertentu dengan cara meneliti suatu variabel. Variabel atau instrumen penelitian ini terdiri atas data-data numerik yang dianalisis dengan menggunakan prosedur statistik tertentu (dalam bukunya berjudul Metodologi Penelitian, 2011, hal.38).

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk membuat deskripsi mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian (dalam buku berjudul Metodologi Penelitian, 2011, hal.34). Penelitian ini terdiri dari satu skala yang berisi pernyataan-pernyataan untuk mengukur tentang subjective well-being

biarawati yang dilihat dari lamanya hidup membiara biarawati. B. Variabel Penelitian

Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah subjective well-being. Subjective well-being adalah adalah hasil evaluasi individu secara kognitif dan afektif terhadap seluruh pengalaman hidup individu.


(48)

C. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah penjabaran dari suatu konsep teoritik kedalam bentuk yang bisa diukur. Definisi operasional di dalam penelitian ini adalah :

1. Subjective Well-Being

Dalam penelitian ini, subjective well-being akan dilihat dari skor total dari alat ukur subjective well-being yang disusun oleh peneliti. Skor total yang diperoleh merupakan skor dari setiap komponen pembentuk subjective well-being, yaitu evaluasi terhadap komponen kogniti dan afektif.

a. Evaluasi Kognitif

Evaluasi kognitif merupakan evaluasi dari kepuasan hidup secara global dan domain khusus. Alat ukur yang digunakan untuk pengukuran kepuasan hidup secara global didasarkan pada SWLS (Satisfaction With Life Scale) oleh Diener, dkk (1985).

Alat ukur yang digunakan untuk pengukuran kepuasan hidup dalam domain khusus didasarkan pada indikator-indikator yang terdapat dalam komponen-komponen kognitif pembentuk

subjective well-being yaitu kepuasan hidup yang dikemukakan Diener, Sandvik, dan Seidltizt (1993), yaitu :

a. Pendapatan

1. Ketercukupan kebutuhan hidup dengan uang atau barang diterima biarawati dari ordo atau kongregasi.


(49)

b. Relasi dengan lingkungan sosial

1. Kemampuan biarawati menunjukkan sikap yang hangat,

merasa puas, mampu menunjukkan perhatian, memiliki rasa percaya, memiliki empati, merasakan perasaan nyaman, dan mampu membangun keakraban dengan anggota komunitas dan orang di luar komunitas.

c. Pekerjaan

1. Menunjukkan semangat mengerjakan tugas yang diberikan oleh kongregasi.

2. Menyelesaikan tugas yang diberikan kongregasi dengan baik.

d. Kesehatan

1. Kondisi tubuh yang segar dan tidak mengalami keluhan sakit saat melakukan tugas pelayanannya.

Perolehan skor yang tinggi pada skala kepuasan hidup akan menunjukkan seseorang memiliki tingkat kepuasan hidup yang tinggi atau positif, namun perolehan skor yang rendah pada skala kepuasan hidup akan menunjukkan bahwa tingkat kepuasan hidupnya rendah atau negatif.

b. Evaluasi Afektif

Evaluasi afektif merupakan hasil evaluasi perasaan terhadap pengalaman yang pernah terjadi. Alat ukur yang


(50)

yang terdapat dalam komponen afektif pembentuk subjective well-being yang dikemukakan oleh Watson dan Tellegen (1985) dalam PANAS-X (Positive Affect and Negative Affect Schedule) dan Diener (1993), yaitu

a. Positive Affect

1. Merasakan ketenangaan, kasih sayang, kedermawanan, pengampunan, perhatian, rasa bersemangat, antusias, dan rasa bangga dalam menjalani hidup hingga sekarang menjadi biarawati.

b. Negative Affect

1. Merasakan perasaan marah, rasa bersalah, egois atau

mementingkan dirisendiri, kekecewaan, sedih,

kegagalan atau frustasi, takut, gugup, gelisah, dan rasa tertekan yang pernah dirasa selama hidup hingga sekarang menjadi biarawati.

Perolehan skor yang tinggi pada skala positife affect dan

negative affect akan menunjukkan seseorang memiliki positife affect dan negative affect yang tinggi atau positif, namun perolehan skor yang rendah pada skala positife affect dan negative affect akan menunjukkan tingkat positife affect dan negative affect yang rendah atau negatif.


(51)

D. Subjek Penelitian

Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah biarawati. Biarawati adalah perempuan yang tinggal dibiara dan hidup dengan memegang teguh kaul suci yang mereka hayati.

Gaya hidup atau corak hidup seorang biarawati adalah hidup untuk lebih melayani sesama dan menghayati ajaran-ajaran Injil dalam hidup berdoa. Melayani sesama ini diwujud nyatakan dalam semangat kerasulan ordo atau tarikat yang mereka ikuti.

E. Metode Pengambilan Sampel

Tehnik pengambilan sampel dilakukan dengan tehnik sample non probability. Tehnik sample non probability adalah tehnik pengambilan sempel dengan tidak memberikan peluang atau kesempatan yang sama bagi setiap anggota populasi untuk menjadi sempel dalam penelitian (Etta dan Sopiah, 2010). Pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan tehnik purposive samplig. Tehnik ini dilakukan dengan memilih sempel penelitian yang sesuai dengan kriteria-kriteria tertentu. Kriteria yang ditentukan dalam penelitian ini adalah para biarawati.

F. Metode dan Alat Pengumpulan Data

Metode pengumpulan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan skala Likert. Peneliti memilih menggunakan skala Likert untuk mengungkapkan sikap setuju atau tidak setuju terhadap suatu fenomena sosial. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala subjective well-being.


(52)

Pernyataan-pernyataan yang ada dalam skala penelitian ini terbagi atas dua macam jenis item yaitu aitem favorable dan unfavorable. Aitem

favorable berisikan pernyataan-pernyataan yang mendukung indikator dari variabel yang ingin diteliti. Aitem unfavorable berisikan pernyataan-pernyataan yang tidak mendukung indikator dari variabel yang ingin diteliti (Azwar,2009). Pada skala tersebut terdapat empat alternatif jawaban yang diberikan yaitu sangat setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju.

Dibawah ini merupakan rincian dari skala penelitian tersebut yaitu,

1. Skala Subjective Well-Being

Skala yang digunakan ini digunakan untuk mengukur tingkat

subjective well-being pada subjek penelitian adalah skala subjective well-being. Aitem-aitem pada skala penelitian ini dibuat dalam dua macam, yaitu favorable dan unfavorable. Aitem favorable berisikan pernyataan-pernyataan yang mendukung terbentuknya subjective well-being yang terdiri dari komponen kognitif dan afektif. Aitem

unfavorable berisikan pernyataan-pernyataan yang tidak mendukung terbentuknya subjective well-being yang terdiri dari komponen kognitif dan afektif. Skala ini dibuat dengan memberikan empat alternatif jawaban yang diberikan yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Jumlah aitem dalam penelitian ini adalah 92 aitem yang terdiri atas 43 aitem favorable dan 49 aitem unfavorable.


(53)

Tabel 3.1

Blue Print Skala Subjective Well-Being

No Aspek Sub-Aspek Item Total Favorable Unfavorable

1 Kognitf Kepuasan 1,2,3,11,12,13,21 26,27,28,29,30,46, 38 Hidup 44,45,51,52,53,54 47,48,49,50,79,80, (41,3%)

55,71,72,90,91,92 81,82,85,86,87,88, 89

2 Afektif Positive 4,5,14,15,22,23,24 54

Affect ,25,31,32,33,34,35 (58,7%) ,41,42,43,61,62,63

,64,65,73,83,84

Negative 6,7,8,9,10,16,17,18

Affect , 19,20,36,37,38,39, 40,54,57,58,59,60, 66,67,68,69,70,74,75 ,76,77,78

Total aitem 92


(54)

Tabel 3.2

Pemberian Skor pada Skala Subjective Well-Being

Alternatif Jawaban Favorable Unfavorable

Sangat Setuju 4 1

Setuju 3 2

Tidak Setuju 2 3

Sangat Tidak Setuju 1 4

G. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 1. Validitas Skala

Validitas adalah suatu pengukuran yang digunakan untuk melihat sejauh mana alat ukur yang digunakan dapat mengukur apa yang ingin diukur dalam suatu penelitian (Etta dan Sopiah, 2010). Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis validitas isi. Validitas isi adalah validitas yang didasarkan pada pendapat profesional (profesional judgement). Pada penelitian ini penilaian alat ukur dilakukan oleh dosen pembimbing skripsi sebagai seorang profesional. Dosen pembimbing skripsi menguji kesesuaian antara aitem-aitem pada skala dengan komponen-komponen yang akan diukur (Suryabrata, 2008).

2. Seleksi Aitem

Seleksi aitem digunakan untuk melihat aitem mana yang memiliki skor tinggi dan mana yang memiliki skor yang rendah. Peneliti melakukan seleksi aitem dilakukan dengan menggunakan SPSS 16.00


(55)

for Windows. Seleksi aitem didasarkan pada pada daya diskriminasi

aitem yang akan menghasilkan koefisiensi korelasi aitem total (rix).

Daya deskriminasi aitem adalah kondisi dimana aitem yang ada mampu membedakan antara individu atau sbjek penelitian yag memiliki dan yang tidak memiliki atribut-atribut yang diukur (Azwar,2006).

Koefisiensi korelasi aitem total (rix) merupakan korelasi antara skor

aitem dengan skor aitem total. Besarnya koefisiensi korelasi aitem total (rix) bergerak dari 0 sampai dengan 1,00 baik itu positif maupun

negatif. Skor yang semakin mendekati 1,00 akan memiliki daya deskriminasi yang tinggi dan apabila skor mendekati angka 0 maka aitem tersebut memiliki daya deskriminasi yang rendah. Kemudian, batasan yang digunakan dalam pemilihan aitem adalah rix≥ 0,3. Hal ini

berarti semua aitem yang mencapai koefisiensi korelasi aitem total minimal 0,30 dan dapat dikatakan aitem tersebut memuaskan. Namun, aitem dengan koefisiensi korelasional aitem total ≤ 0,3 maka aitem

tersebut memiliki daya deskriminasi yang rendah dan akan digugurkan (Azwar, 2006).

Pada skala ini terdapat dua komponen pembentuk subjective well-being yaitu komponen kognitif dan afektif. Pada komponen kognitif, terdapat 38 aitem yang terdiri atas 19 aitem favorable dan 19 aitem

unfavorable. Hasil pengujian data pada komponen kognitif menunjukkan bahwa terdapat 30 aitem yang memiliki rix ≥ 0,3,


(56)

sedangkan aitem yang memiliki nilai rix ≤ 0,3 adalah aitem 2, 26, 30,

71, 85, 87, 90, dan 91. Jadi dalam komponen kognitif terdapat 8 aitem yang gugur. Kemudian, pada komponen afeksi terbentuk atas positive affect dan negative affect. Positive affect merupakan aitem-aitem

favorable dan negative affect merupakan aitem-aitem unfavorable

pembentuk komponen afektif. Pada komponen afektif menunjukkan bahwa terdapat 54 aitem yang terdiri atas 24 aitem favorable dan 30 aitem unfavorable. Hasil pengujian data menunjukkan bahwa terdapat 34 aitem yang memiliki rix ≥ 0,3, sedangkan aitem yang memiliki nilai

rix ≤ 0,3 adalah aitem 6, 7, 8, 9, 10, 16, 17, 19, 23, 35, 57, 59, 61, 64,

66, 67,68, 74, 75, dan 77. Jadi dalam komponen afektif terdapat 20 aitem yang gugur.


(57)

Tabel 3.3

Komponen dan Distribusi Aitem Skala Subjective Well-Being

No Aspek Sub-Aspek Item Total Favorable Unfavorable

1 Kognitf Kepuasan 1,3,11,12,13,21 27,28,29,46, 30 Hidup 44,45,51,52,53,54 47,48,49,50,79,80, (46,9%)

55,72,92 81,82,86,88, 89

2 Afektif Positive 4,5,14,15,22,24 34

Affect ,25,31,32,33,34 (53,1%) ,41,42,43,62,63

,65,73,83,84

Negative 18,20,36,37,38,39,

Affect 40,54,58,60, 69,70 ,76,78

Total aitem 64

(100%)

3. Reabilitas

Reliabilitas adalah sejauhmana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Pengukuran yang memiliki reliabilitas yang tinggi berarti


(58)

pengukuran tersebut reliabel, sedangkan pengukuran yang memiliki reliabilias yang rendah menunjukkan bahwa pengukuran tersebut tidak reliabel dan tidak dapat dipercaya (Azwar, 2011). Reliabilitas dinyatakan oleh koefisiensi reliabilitas (rxx’) yang berada dari rentang 0 sampai dengan 1,00. Pengukuran yang reliabel jika skor koefisiensi reliabilitasannya mendekati angka 1,00 (Azwar, 2011).

Skala subjective well-being diuji dengan menggunakan tehnik

Alpha Cronbach dan didapatkan hasil (r) = 0,940, dan koefisiensi

Alpha Cronbach setelah seleksi aitem adalah (r) = 0,951. Nilai Alpha Cronbach menjadi naik dikarenakan adanya 28 aitem yang kurang baik digugurkan sehingga meningkatkan koefisiensi Alpha Cronbach.

H. Analisis Data

Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan katagorisasi. Pengkatagorisasian dilakukan dengan mengkatagorisasikan subjek berdasarkan tingkatan subjective well-being biarawati yang dilihat dari lamanya waktu membiara. Tujuan pengkatagorisasian adalah untuk menempatankan individu kedalam kelompok-kelompok secara berjenjang berdasarkan atribut yang ingin peneliti lihat, yaitu dari yang sangat rendah ke yang sangat tinggi (Azwar, 2006). Luas interval setiap katagori diperoleh melalui beberapa tahapan perhitungan, diantaranya adalah :

a) Menentukan skor maksimum : Nilai tertinggi tiap aitem x jumlah terpakai


(59)

b) Menentukan skor minimun : Nilai terendah tiap aitem x jumlah terpakai

c) Menghitung mean teoritik : (skor maksimum + skor minimum)

: 2

d) Standart Deviasi : (skor maksimum – skor minimum) : 6

Norma katagorisasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah (Azwar, 2006):

X ≤ (Mean –(1,5.σ)) katagori Sangat Rendah

(Mean –(1,5.σ)) < X ≤ (Mean –(0,5.σ)) katagori Rendah

(Mean –(0,5.σ)) < X ≤ (Mean + (0,5.σ)) katagori Sedang

(Mean + (0,5.σ)) < X ≤ (Mean + (1,5.σ)) katagori Tinggi (Mean + (1,5.σ)) < X katagori Sangat Tinggi


(60)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada tanggal 27 Desember 2014 sampai dengan 30 Januari 2015. Pengambilan data dilakukan dengan meminta bantuan kepada para suster untuk mengisi skala. Setiap subjek penelitian mendapatkan satu buah kuesioner yang berisi skala subjective well-being.

Peneliti menggunakan beberapa metode dalam menyebarkan skala kepada pada suster. Pertama adalah dengan meminta bantuan pada suster secara personal dan langsung untuk mengisi skala. Kedua adalah dengan datang door to door ke biara-biara untuk meminta ijin untuk membagikan skala. Ketiga adalah dengan meminta ijin pada suster untuk membagi skala dalam acara Natalan Gabungan Frater dan Suster. Berikut pemaparan dari sample penelitian yang diperoleh oleh peneliti:


(61)

Tabel 4.1

Kongregasi atau Ordo Subjek Penelitian

No Nama Ordo / Kongregasi Jumlah

1 PIJ (Sang Timur) 10

2 PBHK 2

3 SCMM 1

4 JMJ 4

5 KYM 7

6 FSE (Fransiskan Santa Elisabeth) 5

7 FDCC 3

8 SFD 5

9 Charitas 2

10 FCH 3

11 KSFL (kongregasi Fransiskan Santa Lusia) 8

12 SPM (Santa Perawan Maria) 4

13 FCM 3

14 PPYK (Putri-Putri Yesus Kristus) 2

15 OSF 2

16 SSCC 8

Total 69

Skala yang tersebar sebanyak 80. Setelah menunggu sampai batas waktu yang ditentukan, sebanyak 74 skala yang terkumpul. Skala yang


(62)

tidak kembali karena sebagian skala hilang. Selain itu, skala tidak kembali karena skala kembali setelah batas waktu yang ditentukan oleh peneliti. Kuesioner yang terkumpul selanjutnya diperiksa. Terdapat 5 skala yang tidak terisi dengan baik. Jadi jumlah skala yang dapat dijadikan data adalah 69.

Dalam penelitian ini juga, peneliti menggunakan uji coba terpakai. Peneliti menggunakan uji coba terpakai dengan beberapa alasan yang mendasarinya. Pertama adalah pada bulan Desember pastilah banyak universitas yang libur karena libur Natal ataupun libur semester sehingga ada kemungkinan akan banyak suster yang akan kembali ke daerah asalnya melihat sebagian suster di Jogja adalah pelajar. Kedua adalah akan banyak suster yang sibuk karena Natal sehingga akan sulit untuk meminta ijin ke biara-biara untuk meminta ijin melakukan penelitian. Ketiga adalah cukup lamanya mengurus perijinan penelitian dibiara. Hal ini dikarnakan harus adanya persetujuan dari kepala biara untuk melakukan penelitian dan menurut hasil lapangan kepala biara sering tidak ada ditempat karena adanya tugas keluar. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi kurangnya subjek penelitian maka peneliti menggunakan uji coba terpakai dalam penelitian ini.

B. Deskripsi Subjek

Subjek yang terlibat dalam penelitian ini adalah biarawati atau suster yang hidup membiara dan sekarang tinggal di Yogyakarta. Subjek


(63)

dalam penelitian ini berjumpah 69 orang. Berikut ini tabel deskripsi subjek penelitian :

Tabel 4.2

Deskripsi Subjek Penelitian

Ordo Tingkatan dalam biara Rentang lamanya hidup membiara Rentang usia biologis Jumlah

PIJ (Sang

Timur)

Junior 6-7 tahun 23-26 tahun 2

Kaul Kekal 23-47 tahun 47-75 tahun 8

PBHK Kaul Kekal 12-14 tahun 33-36 tahun 2

SCMM Junior 9 tahun 28 tahun 1

JMJ Junior 8 tahun 27-31 tahun 2

Kaul Kekal 8-13 tahun 27-33 tahun 2

KYM Junior 7-9 tahun 25-30 tahun 6

Kaul Kekal 15 tahun 35 tahun 1

FSE Junior 6-10 tahun 25-29 tahun 5

FDCC Junior 3-9 tahun 23-29 tahun 2

Kaul Kekal 10 tahun 33 tahun 1

SFD Junior 4-5 tahun 23-24 tahun 2

Kaul Kekal 10-16 tahun 29-34 tahun 3

Charitas Kaul Kekal 15-16 tahun 30-39 tahun 2


(64)

KSFL Junior 4-10 tahun 25-28 tahun 5

Kaul Kekal 6-15 tahun 24-33 tahun 3

SPM Junior 6 tahun 27 tahun 1

Kaul Kekal 13-16 tahun 39-42 tahun 3

FCM Junior 5-7 tahun 24-25 tahun 2

Kaul Kekal 9 tahun 28 tahun 1

PPYK Junior 9 tahun 35 tahun 1

Kaul Kekal 14 tahun 39 tahun 1

OSF Junior 10 tahun 29 tahun 1

Kaul Kekal 18 tahun 41 tahun 1

SSCC Junior 5-9 tahun 27-36 tahun 3

Kaul Kekal 9-15 tahun 37-44 tahun 5

Total 69

C. Deskripsi Data penelitian

One-Sample T-Test adalah suatu tes yang digunakan untuk menguji apakah suatu nilai tertentu berbeda secara nyata atau tidak dengan rata-rata sebuah sampel atau mean empirik (Santoso, 2010). Pada penelitian ini, rata-rata sampel penelitian (mean empirik) akan dibandingkan dengan mean teoritik. Mean teoritik didapat dengan menggunakan rumus, yaitu mean teoritik = (Xmin + Xmax) : 2. Sedangkan mean empirik diperoleh dari rata-rata skor responden.


(65)

Tabel 4.3

Hasil Pengukuran Statistik Deskriptif

Skor Empirik Skor Teoritik

Skala

Xmin Xmax Mean SD Xmin Xmax Mean SD

SWB 161 253 201,17 18,538 64 256 160 32

Berdasarkan hasil perbandingan mean empiris dengan mean teoritis diatas, maka dapat disimpulkan bahawa mean empiris memiliki skor lebih besar daripada mean teoritis (201,17 > 160) dan sig = 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa subjek cenderung memiliki rata-rata subjective well-being yang lebih tinggi dari standar (mean teoritis).

D. Kategorisasi

Peneliti akan menggolongkan subjek-subjek penelitian ke dalam kelompok berdasarkan kriteria tertentu dengan menggunakan suatu norma (Azwar, 2006). Norma tersebut adalah sebagai berikut :

1. X ≤ (Mean –(1,5.σ)) : katagori Sangat Rendah 2. (Mean –(1,5.σ)) < X ≤ (Mean –(0,5.σ)) : katagori Rendah

3. (Mean –(0,5.σ)) < X ≤ (Mean + (0,5.σ)) : katagori Sedang 4. (Mean + (0,5.σ)) < X ≤ (Mean + (1,5.σ)) : katagori Tinggi


(66)

Berdasarkan norma diatas, maka peneliti dapat membuat katagorisasi subjek berdasarkan skala subjective well-being sebagai berikut:

Tabel 4.4

Hasil Kategorisasi Subjective Well-Being pada Subjek Penelitian

Skala Rentang Nilai Jumlah Presentasi Katagori

Subjective 114 < X ≤ 176 3 4,4 % Sedang

Well-Being 176 < X ≤ 208 41 59,4 % Tinggi 208 < X 25 36,2 % Sangat Tinggi

Total 69 100 %

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa subjek cenderung memiliki subjective well-being yang masuk dalam katagori tinggi sebanyak 41 subjek atau 59,4 %. Kemudian, sebanyak 25 subjek atau 36,2 % termasuk dalam sangat tinggi dan sebanyak 3 subjek atau 4,4 % subjek memiliki subjective well-being yang termasuk dalam katagori sedang.


(67)

E. Analisis Tambahan

1. Analisis Data Subjective Well-Being Biarawati Dilihat dari Lamanya Hidup Membiara

a. Dibawah dan Diatas 10 Tahun

Tabel 4.5

Hasil Analisis Data Subjective Well-Being Biarawati

Berdasarkam Lamanya Hidup Membiara

Lamanya Hidup Membiara

Katagorisasi

Sedang Tinggi Sangat

Tinggi

≤ 10 tahun 3 (6,98%) 24 (55,81%) 16 (37,21%)

> 10 tahun 0 (0%) 17 (65,38%) 9 (34,62%)

Dari tabel diatas dapat dilihat biarawati dengan lamanya hidup dibawah 10 tahun, terdapat 3 atau 6,98% subjek tergolong dalam katagori sedang dalam subjective well-being. Pada katagori tinggi, terdapat 24 atau 55,81% subjek dan 16 atau 37,21 subjek memiliki subjective well-being yang termasuk dalam katagori sangat tinggi. Pada biarawati yang hidup membiara diatas 10 tahun diperoleh hasil, terdapat 17 atau 65,38% subjek memiliki

subjective well-being yang termasuk dalam katagori tinggi dan 9 atau 34,62% subjek termasuk dalam katagori sangat tinggi.


(68)

b. Tingkatan Dalam Biara

Tabel 4.6

Hasil Analisis Data Subjective Well-Being Biarawati

Berdasarkan Tingkatan dalam Biara

Tingkatan Dalam Biara

Katagorisasi

Sedang Tinggi Sangat

Tinggi

Junior 3 (8,33%) 19 (52,78%) 14 (38,89%)

Kaul Kekal

0 (0%) 22 (66,67%) 11 (33,33%)

Dari tabel diatas dapat dilihat subjective well-being

biarawati dilihat dari tingkatan dalam biara. Pada tahapan junior, terdapat 3 atau 8,33% subjek termasuk dalam katagori sedang. Kemudian, terdapat 19 atau 52,78% subjek termasuk katagori tinggi dan 14 atau 38,89% subjek termasuk dalam katagori sangat tinggi dalam subjective well-being. Selanjutnya dalam kelompok biarawati pada tingkatan kaul kekal, terdapat 22 atau 66,67% subjek termasuk dalam katagori subjective well-being yang tinggi dan 11 atau 33,33% subjek termasuk dalam katagori sangat tinggi.

F. Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah biarawati atau suster di Yogyakarta mengalami subjective well-being pada hidupnya.


(69)

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan kategorisasi untuk mengelompokkan biarawati atau suster sesuai tingkatan subjective well-being.

Subjective well-being ini dibentuk dari 2 komponen (Andrews & Robinson, 1992 ; Argyle, 2001; Diener, 2000; Diener et al., 1999) yaitu kognitif dan afektif. Komponen kognitif merupakan evaluasi terhadap kepuasan hidup dan komponen afektif yang merupakan hasil evaluasi dari

positive dan negative affect dari subjek penelitian yang dalam penelitian ini adalah para biarawati.

Berdasarkan skor total aitem dari seluruh biarawati yang menjadi subjek penelitian diketahui sebanyak 36,2% biarawati masuk dalam katagori sangat tinggi. Kemudian, sebanyak 59,4% subjek penelitian masuk dalam katagori tinggi dan 4,4% termasuk dalam katagori sedang. Dari hasil analisis diatas dapat disimpulkan bahwa biarawati memiliki tingkat subjective well-being yang tinggi.

Hasil penelitian ini sesuai dengan dugaan peneliti bahwa meski dengan gaya hidup yang cenderung berbeda, biarawati akan tetap mampu mengalami subjective well-being dalam hidup membiaranya. Gaya hidup untuk melayani sesama dan menghayati ajaran Injil, menghayati kaul suci, dan menaati aturan-aturan biara dan Ordo tidak membuat biarawati tidak mengalami subjective well-being dalam hidupnya.

Analisis lebih lanjut dilakukan oleh peneliti. Jika diilihat dari lamanya hidup membiara yang dikatagorikan dalam dua kelompok yaitu


(70)

dibawah 10 tahun dan diatas 10 tahun, maka di peroleh hasil pada biarawati yang hidup membiara dibawah 10 tahun terdapat 55,81% termasuk dalam katagori tinggi. Kemudian, 37,21% termasuk katagori sangat tinggi dan hanya 6,98% termasuk dalam katagori sedang. Selanjutnya biarawati yang hidup membiara diatas 10 tahun menunjukkan 65,38% termasuk dalam katagori tinggi dan 34,62% termasuk katagori sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa baik biarawati yang hidup membiara dibawah ataupun diatas 10 tahun, mereka mengalami subjective well-being yang termasuk dalam katagori yang tinggi. Subjective well-being yang tinggi akan membuat biarawati mengalami kepuasan hidup dalam dirinya. Biarawati juga cenderung mengalami pengalaman dan merasakan perasaan yang menyenangkan dalam hidupnya (positive affect)

dan mengalami sedikit perasaan yang tidak menyenangkan (negative affect).

Kepuasan hidup yang tinggi yang dirasakan biarawati akan

membuat biarawati memandang hidup secara lebih positif. Biarawati akan lebih dapat menikmati hidup, merasa puas dengan hidupnya yang sekarang, merasa puas dengan hidupnya dimasa lalu, dan kehidupannya dirasa dekat dengan kehidupan ideal yang diinginkan.

Subjective well-being yang tinggi pada biarawati juga terbentuk karena biarawati lebih sering mengalami positive affect dari pada negative affect dalam hidupnya. Watson dan Tellegen (1985) menjelaskan positive affect menjadi tiga, yaitu joviality (rasa bahagia), self assurace (rasa aman


(71)

dan nyaman), dan attentiveness (rasa diperhatikan). Menurut hasil survei yang dilakukan oleh peneliti, biarawati akan mengalami kebahagiaan saat mereka mampu melayani sesamanya dan memiliki relasi yang baik dengan teman anggota komunitas atau biarawati yang lain.

Dalam penelitian ini, peneliti juga melihat subjective well-being

biarawati dilihat dari tingkatannya dalam biara. Dalam penelitian ini biarawati digolongkan dalam biarawati junior dan biarawati yang telah mengucapkan kaul kekal. Menurut hasil wawancara informal dengan salah biarawati dari Kongregasi Suster Fransiscan St. Lusia, pada tahap biarawati junior biarawati sudah mulai diberikan kepercayaan untuk menjalankan tugas kerasulan ordo atau kongregasi. Bisa dikatakan mereka adalah tonggak dalam pekerjaan misi sebuah ordo atau kongregasi karena mereka memiliki peran dan tanggung jawab dalam menjalankan misi ordo, baik itu disekolah-sekolah, dibiara, ataupun ditempat pelayanan mereka yang lain. Kemudian, biarawati yang sudah mengucapkan kaul kekal. Biarawati yang sudah mengucapkan kaul kekal adalah para biarawati yang sudah mengucapkan janji setia pada kehidupan yang akan dijalaninya selama hidup sebagai seorang biarawati. Kaul kekal juga berbicara tentang penyerahan total pada kehidupan pada pelayanan sesuai ajaran Kristus.

Berdasarkan analisis data tingkatan dalam biara diketahui bahwa biarawati junior memperoleh hasil 52,78% biarawati termasuk dalam katagori tinggi. Kemudian, 38,89% termasuk dalam katagori sangat tinggi dan 8,33% termasuk dalam katagori sedang. Hal ini menunjukkan meski


(72)

dengan tanggung jawab yang dipercayakan oleh kongregasi atau ordonya biarawati tetap memiliki subjective well-being yang tergolong tinggi. Selanjutnya, pada kelompok biarawati yang sudah mengucapkan kaul kekal diperoleh 66,67% termasuk dalam katagori tinggi dan 33,33% termasuk dalam katagori sangat tinggi. Hal ini menunjukkan dengan setia dan menyerahkan secara total pada kehidupan pelayanannya biarawati tetap memiliki subjective well-being yang tergolong tinggi.


(73)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa secara umum biarawati di Yogyakarta memiliki subjective well-being yang termasuk dalam katagori tinggi. Hasil data penelitian menunjukkan sebanyak 41 biarawati atau 59,4% dari jumlah keseluruhan biarawati yang menjadi subjek penelitian memiliki subjective well-being yang tinggi. Lebih spesifik dijelaskan baik biarawati yang hidup membiara dibawah 10 tahun ataupun diatas 10 tahun memiliki subjective well-being yang termasuk dalam katagori yang tinggi, yaitu sebanyak 24 biarawati yang hidup membiara dibawah 10 tahun atau 55,81% dan sebanyak 17 biarawati yang hidup membiara diatas 10 tahun atau 65,38%. Selain itu, biarawati junior dan kaul kekal memiliki subjective well-being yang termasuk dalam katagori tinggi, yaitu sebanyak 19 biarawati junior atau 52,78% dan 22 biarawati kaul kekal atau 66,67%. Jadi lamanya hidup membiara membuat biarawati semakin merasakan subjective well-being.

Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa biarawati mengalami kepuasan hidup terhadap hidupnya yang sekarang dan cenderung banyak mengalami pengalaman dan merasakan perasaan yang menyenangkan dalam hidupnya (positive affect) dan mengalami sedikit


(74)

perasaan yang tidak menyenangkan (negative affect) dalam hidup membiara.

B. Saran

1. Bagi Pengelola Biara

Berdasarkan penelitian ini diharapkan setelah pengelola biara mengetahui kondisi para biarawati saat ini, pengelola biara dapat merancangkan kebijakan atau rencana kegiatan untuk kemajuan biarawatinya.

2. Bagi Biarawati

Disarankan untuk para biarawati untuk menjaga komunikasi yang baik dan terbuka dengan biarawati lain. Hal ini dapat dilakukan dengan sering melungkan waktu untuk sharing, bercerita baik pribadi atau kelompok dengan biarawati lain guna menjaga komunikasi dalam biara karena suasana dalam biara akan mempengaruhi subjective well-being

biarawati tersebut.

3. Bagi Penelitian Selanjutnya

Diharapkan untuk penelitian selanjutnya dapat menambah jumlah subjek penelitian. Selain itu, diharapkan penelitian selanjutnya dapat memperluas cakupan subjek penelitian karena dalam penelitian ini peneliti hanya mampu mengumpulkan biarawati junior dan kaul kekal dan belum mencangkup aspiran dan novice.


(75)

DAFTAR PUSTAKA

Abu-Bader, S. H., Rogers, A., & Barusch, A. S. (2003). Predictors of life satisfaction in frail elderly. Journal of Gerontological Social Work,

38(3), 3-17.

Azwar, S., & Manusia, S. (2006). Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta; Pustaka Belajar.

Azwar, S. (2009). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar, S. (2011). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Baumgardner, S. R., & Crothers, M. K. (2009). Positive psychology. Prentice Hall/Pearson Education.

Boeree, C. G. (2004). Personality theories: Melacak kepribadian anda bersama psikolog dunia. Yogyakarta: Prismasophi.

Departemen Pendidikan Nasional.(2011).Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi 4.Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.

Diener, E. D., Emmons, R. A., Larsen, R. J., & Griffin, S. (1985). The satisfaction with life scale. Journal of personality assessment, 49(1), 71-75.

Diener, E., Lucas, R. E., & Oishi, S. (2002). Subjective well-being. Handbook of positive psychology, 63-73.

Diener, E., Oishi, S., & Lucas, R. E. (2009). Subjective Well-Being : The science of happiness and life satisfaction. In S J Lopez & C.R. Snyder (Eds.),

Oxford handbook of positive psychology (pp.187-194). New York : Oxford University Press.


(1)

i11 197.74 331.931 .564 . .950

i12 197.80 330.194 .579 . .950

i13 198.04 331.160 .519 . .950

i14 197.83 334.293 .488 . .950

i15 197.93 335.451 .411 . .951

i18 198.41 332.833 .442 . .951

i20 198.74 332.666 .377 . .951

i21 197.97 331.970 .559 . .950

i22 198.04 331.630 .567 . .950

i24 197.80 333.458 .558 . .950

i25 197.74 333.960 .421 . .951

i27 198.19 332.596 .391 . .951

i28 198.22 332.526 .510 . .950

i29 198.09 332.169 .498 . .950

i31 197.57 333.455 .470 . .950

i32 197.61 333.742 .529 . .950

i33 197.71 331.650 .606 . .950

i34 197.83 334.028 .430 . .951

i36 198.38 329.797 .545 . .950

i37 198.97 334.323 .335 . .951

i38 198.35 334.642 .418 . .951


(2)

i40 199.07 335.333 .363 . .951

i41 198.00 334.147 .465 . .950

i42 197.96 335.160 .415 . .951

i43 197.64 333.529 .421 . .951

i44 198.03 333.117 .538 . .950

i45 197.75 330.218 .653 . .950

i46 197.72 330.820 .541 . .950

i47 197.90 331.975 .450 . .951

i48 198.17 334.205 .461 . .951

i49 198.09 333.375 .576 . .950

i50 197.97 331.470 .652 . .950

i51 197.51 333.371 .580 . .950

i52 197.84 330.930 .609 . .950

i53 197.83 335.910 .359 . .951

i54 197.86 333.832 .494 . .950

i55 198.23 332.710 .514 . .950

i56 198.29 333.944 .487 . .950

i58 198.16 332.695 .525 . .950


(3)

i69 198.30 336.156 .302 . .951

i70 198.13 333.262 .498 . .950

i72 197.75 335.247 .422 . .951

i73 197.75 333.247 .500 . .950

i76 198.29 335.474 .367 . .951

i78 198.72 333.761 .346 . .951

i79 198.42 328.983 .582 . .950

i80 198.41 333.833 .415 . .951

i81 198.20 331.135 .590 . .950

i82 198.16 334.018 .484 . .950

i83 197.81 334.920 .450 . .951

i84 197.96 335.101 .397 . .951

i86 198.03 336.234 .353 . .951

i88 198.33 330.549 .480 . .950

i89 198.43 332.396 .396 . .951


(4)

LAMPIRAN 3


(5)

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation VAR00002 69 161 253 201.17 18.538 Valid N (listwise) 69

T-Test

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean VAR00002 69 201.17 18.538 2.232

One-Sample Test

Test Value = 160

T df Sig. (2-tailed) Mean Difference

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper


(6)