Latar Belakang Penelitian deskriptif : subjective well-being pada biarawati di Yogyakarta.

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kehidupan yang bahagia merupakan dambaan semua manusia. Aristoteles dalam Bertens 2007 bahkan menjelaskan kehidupan yang bahagia merupakan tujuan utama dari eksistensi manusia. Maka tidak salah manusia selalu mengusahakan diri mereka untuk meraih kehidupan yang bahagia. Kebahagiaan juga merupakan sesuatu yang bersifat individual. Masing-masing orang memiliki cara pandangnya sendiri dalam melihat dan memaknai arti kebahagiaan. Melihat hal tersebut, maka Diener menjelaskan kebahagiaan yang individual ini dengan konsepnya yang disebut subjective well-being. Diener, Lucas, Oishi, 2009 mendefinisikan subjective well-being adalah hasil evaluasi atau penilaian seseorang secara kognitif dan afektif terhadap seluruh pngalaman kehidupannya. Evaluasi kognitif merupakan penilaian terhadap kepuasan hidup seseorang dan evaluasi afektif merupakan respon emosional yang timbul dari setiap pengalaman hidup seseorang. Pada umumnya, kebahagiaan sering dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat materi. Seseorang yang memiliki materi yang berlimpah dipandang memiliki kehidupan yang bahagia. Mobil, rumah yang mewah, barang-barang yang berkualitas, dan barang mewah lainnya digunakan sebagai acuan untuk melihat kebahagiaan seseorang. Maka tidak salah jika materi dan kondisi finansial dijadikan standar untuk melihat kebahagiaan. Soleman H, dkk 2002 bahkan menjadikan kondisi finansial menjadi salah satu indikator untuk melihat kebahagiaan seseorang. Kebahagiaan juga erat kaitannya dengan menikah dan memiliki keluarga. Soleman H, dkk 2002 menjelaskan social support yang salah satunya adalah keluarga memberikan dampak bagi seseorang dalam terciptanya perasaan puas pada hidup mereka. Lebih lanjut dijelaskan, menurut hasil penelitian di Amerika dalam buku Psikologo Wanita Jilid 2 karya Dr. Kartini Kartono, 1992, fungsi keibuan atau menjadi seorang ibu merupakan sumber kepuasan dan kebahagiaan dalam hidup mereka. Maka tidak salah jika menciptakan keluarga yang harmonis menjadi dambaan seiap orang yang menikah. Lalu bagaimana dengan kelompok masyarakat tertentu yang memilih untuk hidup dengan gaya hidup yang berbeda, seperti biarawati atau suster biara. Biarawati adalah wanita yang memfokuskan hidupnya dalam kehidupan membiara dan hidup dengan memegang teguh kaul suci yang mereka hayati. Gaya hidup seorang biarawati atau suster adalah hidup untuk lebih melayani sesama dan menghayati ajaran-ajaran Injil dalam hidup berdoa. Melayani sesama ini diwujud nyatakan dalam semangat kerasulan ordo atau tarikat yang mereka ikuti, baik dibidang pendidikan, sosial, kesehatan, ataupun pastoral. Kemudian, menghayati ajaran-ajaran Injil dalam hidup berdoa diwujud nyatakan para biarawati dengan melakukan doa, baik itu dilakukan secara pribadi ataupun secara bersama. Selain itu, biarawati atau suster biara hidup dengan berpegang teguh oleh kaul suci yang mereka hayati dan peraturan-peraturan biara menurut Ordo mereka masing-masing. Kaul suci yang mereka hayati dan hidupi adalah kaul selibat atau keperawanan, kaul ketaatan, dan kaul kemiskinan. Dalam menjalani kehidupannya sebagai seorang biarawati, mereka juga mengalami masalah dan tantangan. Paulus Suparmo, Sj 2007 menjelaskan bahwa biarawati mengalami krisis dalam menanggapi panggilan hidupnya. Lebih lanjut, Paulus Suparmo, Sj mengklasifikasikannya dalam 3 masa hidup membiara yaitu masa biara awal, masa biara tengah, dan masa biara lanjut usia. Masa biara awal biasanya dialami oleh biarawati yang berada pada tingkatan aspiran dan novice. Pada masa biara awal, biarawati mengalami krisis identitas. Biarawati merasakan kebingungan mengenai apakah panggilan hidupnya sebagai biarawati adalah jalan hidup yang harus dilalui selama hidupnya. Krisis seksualitas menjadi krisis selanjutnya yang dialami biarawati dalam kehidupan. Saat seseorang merasakan perasaan jatuh cinta dengan lawan jenisnya itu adalah hal yang biasa dan wajar namun bagi seorang biarawati ini hal yang dilarang. Mengingat hal tersebut dapat mengganggu dalam panggilan hidup membiaranya. Selanjutnya, krisis sosial juga terjadi dalam kehidupan membiara. Hal ini disebabkan oleh suasana komunitas yang tidak sesuai dengan harapan dan keinginan biarawati tersebut. Selanjutnya adalah krisis pekerjaan. Hal ini terjadi karena biarawati tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan dimana ia melayani. Mereka akan merasakan kebingungan dan frustasi dalam menjalankan tugas pelayanannya. Kemudian, biarawati masih berada pada tahapan aspiran dan novise adalah biarawati yang berada pada masa transisi dari masa kanak-remaja menuju masa dewasa awal. Mereka belum mau untuk berubah dan berpindah dari “zona nyaman” mereka. Hal ini disebut dengan krisis awal yaitu mau berubah. Pada masa biara tengah, masalah biasanya terjadi pada para biarawati mediator. Ada beberapa masalah yang dialami pada masa ini. Pertama adalah krisis tengah umur. Krisis ini terjadi karena biarawati merasa apa yang dilakukan dalam pelayanannya tidak sesuai dengan apa yang diinginkan dan diharapkannya. Kedua adalah masalah menopause. Masalah ini adalah masalah yang pasti terjadi dengan wanita, terkhusus pada wanita yang sudah memasuki usia tua. Selanjutnya, biarawati mengalami perasaan kesepian. Hal ini terjadi karena para biarawati merasa tidak punya sahabat atau teman karena mereka disibukkan dengan tugas pelayanan yang diberikan kongregasi. Yang keempat adalah krisis keturunan. Biarawati juga memiliki keinginan untuk menjadi seorang ibu dan melahirkan seorang anak. Menjadi masalah karena peraturan sebagai biarawati membuat mereka tidak dapat melakukannya. Hidup selibat adalah salah satu kaul suci yang harus dipegangnya untuk menjadi seorang biarawati. Kemudian, krisis kekuasaan, kekayaan, dan popularitas. Masalah ini muncul karena terkadang biarawati tidak rela melepaskan posisinya pada biarawati lebih muda. Masa biara lanjut usia. Biasanya terjadi pada usia 60-65 tahun. Pada masa ini krisis yang dihadapi adalah bagaimana mereka menghadapi masa pensiun dan masalah kesehatan yang dialaminya. Hal ini terjadi karena keterbatasan fisiknya yang semakin tua dan hal tersebut wajar dialami dimasa tua oleh semua orang. Melihat begitu banyaknya masalah yang dialami biarawati dalam menjalani panggilannya, seperti masalah krisis identitas pada masa biara awal, krisis ingin memiliki keturunan pada masa biara tengah, krisis kesehatan pada masa lanjut usia, dan masih banyak masalah lainnya maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang subjective well-being pada biarawati.

B. Rumusan Masalah